RAISON d'ETRE

Pada suatu saat, pernah terbetik suatu keinginan dari berbagai pihak, terutama para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), agar lembaga legislatif di republik kita ini memiliki hak untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana halnya lembaga eksekutif.

Pada suatu saat lain, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terpaksa harus menginap di ’hotel prodeo’, karena oleh para penegak hukum di republik ini telah dinyatakan melakukan korupsi berjama’ah. Padahal, berbagai keputusan yang dituduhkan kepada para anggota dewan yang terhormat tersebut ternyata diputuskan bersama-sama lembaga eksekutif dalam suatu forum sakral dan dituangkan dalam dokumen resmi yang disebut dengan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kemudian, banyak pihak dipaksa untuk mengernyitkan keningnya ketika mengetahui seorang petinggi pemerintahan dan juga seorang pejabat suatu perusahaan negara yang bergerak di bidang perbankan dituduh telah merugikan keuangan negara, padahal masyarakat menyang-sikan bahwa uang tersebut memang uang Negara dalam arti sebenarnya.

Sementara itu, para birokrat di berbagai lembaga pemerintah merasa ragu dalam mengambil keputusan, ataupun bahkan menolak menduduki jabatan tertentu terkait dengan pengelolaan keuangan negara, karena kurang memahami berbagai konsep (baru) keuangan Negara, sehingga khawatir tertimpa musibah.

Di lain pihak, karena ilmu keuangan negara yang disoroti dari berbagai dimensi keilmuan kurang berkembang di Indonesia, para cerdik pandai merasa ragu memasuki wilayah keilmuan ini, dan hanya sekedar mencoba meraba-raba dan membuat tafsiran dari sudut pandang keilmuan yang dimilikinya.

Itulah kira-kira sebagian alasan dibukanya BLOG yang khusus untuk mendiskusikan masalah-masalah keuangan Negara di Indonesia.

Partisipasi semua pihak dalam mendiskusikan berbagai permasalahan keuangan negara di republik ini akan merupakan usaha bersama untuk melakukan studi tentang konsepsi keuangan negara dan memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat.

Perlu disampaikan bahwa konsep baru keuangan negara yang dikembangkan oleh para pemikir yang kemudian dituangkan dalam paket undang-undang bidang keuangan negara maupun ketentuan derivasi lainnya, memang belum dapat dikatakan sempurna.

Namun bagaimanapun, lahirnya paket undang-undang tersebut di atas merupakan kenyataan bahwa Indonesia kini telah memiliki sistem keuangan negara sendiri, sehingga terlepas dari berbagai pengaruh ketentuan keuangan kolonial yang antara lain bertahun 1800-an.

Oleh sebab itu, sudah selayaknya bila semua pihak memberi apresiasi dan berusaha memahami sebaik-baiknya, seperti ungkapan bahasa Prancis di bawah ini :

----SI ON A PAS CE QUE L’ON AIME, IL FAUT AIMER CE QUE L’ON A ---

Salam

(SS)

Catatan :

Dalam rangka memenuhi saran dan pendapat berbagai pihak, artikel dalam Blog ini dikategorikan dalam :

* RUBRIK, yaitu artikel yang ditulis sesuai dengan design topik yang telah ditetapkan dalam blog ini.

* INTERMEZZO, yaitu artikel yang membahas masalah-masalah keuangan negara yang bersifat actual.

* TANGGAPAN, yaitu artikel yang berisi respons terhadap pertanyaan atau komentar pembaca yang, karena sifatnya, perlu dijelaskan secara lebih detail.



- - - - - -



Tuesday, November 30, 2010

BANK CENTURY: OH IT’S RIDICULOUS !
(Intermezzo)
Artikel ini sengaja ditulis untuk memenuhi permintaan para pengunjung Blog yang ingin memperoleh analisis kasus Bank Century dari aspek Ilmu (Hukum) Keuangan Negara.
Dari beberapa komentar yang masuk, baik yang langsung melalui Blog ataupun melalui e-mail, terasa adanya keinginan masyarakat untuk memperoleh penjelasan yang dipandang obyektif, dalam arti bahwa ulasan yang disampaikan tidak mengandung keberpihakan terhadap siapa pun, tapi murni dianalisis atas dasar fakta, ketentuan perundang-undangan, dan konsep teoritik.
Semoga bermanfaat.

Ketika saya mampir di London beberapa bulan lalu, saya menginap di suatu wisma di mana banyak teman dari Indonesia yang kebetulan sama2 jadi passerby. Dari cara mereka berbicara, tampaknya mereka memiliki latar belakang yang berbeda-beda, baik pendidikan maupun profesinya. Ada yg bekerja di perusahaan asing di kawasan Eropa. Ada mahasiswa yang sedang menyelesaikan kuliah S2 ataupun S3 nya di beberapa negara. Ada pengusaha. Dan ada juga yang hanya sekedar jadi turis untuk menikmati musim panas di Eropa.

Biasalah, seperti kalau sekelompok kawan akrab saling ketemu dan ngobrol, topik bisa berganti tanpa arah dan tujuan, hingga sampailah pada analisis tingkat warung kopi tentang masalah-masalah yang serius. Tetapi, satu hal yang sangat menarik perhatian saya, dan saya juga tidak pernah mengira bahwa ternyata mereka-mereka yang tinggal jauh dari tanah air, selalu mengikuti perkembangan hingga tataran yang relatif cukup detil.

Satu topik yang tampaknya cukup menarik untuk disimak adalah tentang kasus Bank Century yang menurut mereka tampak sebagai lelucon. Betapa tidak ? Sampai hari ini, kasus yang posisinya sudah sangat jelas tersebut justru diambangkan dan dibuatkan penafsiran menurut versinya sendiri-sendiri, seolah ingin membuat masyarakat lelah, dan akhirnya memahami bahwa kasus Bank Century tidak perlu dipermasalahkan. Karena memang tidak ada masalah.

KONTOVERSI SISTEMIK-NON SISTEMIK

Semua pihak sebenarnya sudah menyadari, bahwa masyarakat sudah sangat lelah mendengarkan perdebatan para ahli ekonomi terkait masalah Bank Century. Sebagian karena tidak paham, dan sebagian lagi merasa dibuat tidak paham. Betapa tidak, perdebatan yang menampilkan argumen teori yang indah-indah itu ujung-ujungnya ternyata tidak mampu menyajikan kesimpulan yang rasional untuk dicerna masyarakat. Bahkan, beberapa kalangan masyarakat mulai memahami bahwa pihak-pihak tertentu tidak lebih sekedar berdebat kusir.

Terlepas dari apa yang menjadi kesimpulan dari perdebatan para ahli tentang kemungkinan akibat yang dapat ditimbulkan oleh Bank Century terhadap perekonomian nasional saat itu, yang jelas pemerintah telah memutuskan bahwa pengucuran dana talangan kepada bank tersebut perlu dilakukan.

Sementara itu, yang paling mengecewakan banyak pihak adalah bahwa ternyata keputusan tersebut bukan didasarkan pada pertimbangan ekonomis, melainkan pada faktor psikologis yang mungkin akan berdampak sistemik terhadap perekonomian nasional. Yaitu kemungkinan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap system perbankan yang bisa membuat masyarakat beramai-ramai menarik uangnya (rush). Padahal, menurut penjelasan seorang pejabat Bank Indonesia dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Kementrian Keuangan pada saat itu, bahwa rush yang dikhawatirkan banyak pihak, khususnya di pemerintahan, sebenarnya tidak terjadi. Situasi tenang bukan hanya tampak di bank-bank pada umumnya, tetapi juga di Bank Century. Satu-satunya kejadian yang mirip rush hanya terjadi di satu cabang Bank Century, yaitu di Pangkal Pinang.

Oleh sebab itu, tidak salah kalau seorang politisi partai oposisi berpendapat bahwa sebenarnya Bank Century tidak perlu ditolong. Pendapat ini tampaknya senada dengan kesimpulan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyatakan bahwa KSSK tidak mempunyai suatu kriteria terukur untuk menetapkan dampak sistemik Bank Century. Menurut lembaga tersebut, penetapan bail-out Bank Century semata-mata hanya didasarkan pada judgement.

Lucunya, ketika masyarakat masih disibukkan dengan pemikiran apakah keputusan bail-out Bank Century memang perlu atau tidak perlu, serta wacana sistemik atau tidak sistemik sedang hangat diperdebatkan, Jusuf Kalla (JK) bahkan dengan yakinnya memastikan bahwa masalah Bank Century bukan masalah krisis ekonomi.

Kita semua hampir yakin, bahwa pernyataan JK tersebut pasti bukan didasarkan pada konsep teoritis. Ini adalah pertimbangan praktis yang didasarkan pada kenyataan. Sebagai seorang praktisi ekonomi (baca : pedagang) kemampuan intuisi JK harus diakui sangat tajam. Tanpa banyak berteori, JK memastikan bahwa masalah Bank Century adalah masalah kriminal. Dengan entengnya JK membeberkan bukti tindakan kriminal para pemiliknya mulai dari penggerogotan uang nasabah hingga penerbitan obligasi bodong. Oleh karena itu, dengan tegas JK menampik cara penyelesaian yang dilakukan pemerintah (cq. Menteri Keuangan) pada saat itu, yaitu dengan menyuntikkan dana alias bail-out.

Bagi JK adalah tidak masuk akal jika dikatakan bahwa masalah Bank Century merupakan akibat krisis keuangan global. Nyatanya, saat itu cuma Bank Century yang bermasalah, sementara bank-bank lain pada umumnya tetap sehat. Oleh karena itu, bagi JK penyelesaian yang paling tepat adalah melaporkan kepada polisi dan menangkap pemilik bank tersebut. Dan itu ternyata dilaksanakan.

KONTROVERSI KERUGIAN NEGARA

Dalam kasus Bank Century, analisis tentang kerugian Negara seharusnya dilihat secara proporsional. Yaitu, dengan menempatkan pemerintah (Negara) sebagai otoritas. Bukan sebagai pelaku ekonomi. Menurut konteks ini, penempatan pemerintah sebagai otoritas akan mendudukkan pemerintah selaku pemegang kebijakan, dalam hal ini, kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan kebijakan ekonomi makro. Sebagai otoritas, pemerintah berkewajiban mengambil langkah penyelamatan seandainya ditengarai akan terjadi ancaman yang serius di bidang perekonomian Negara. Dengan demikian masyarakat harus memahami bahwa tindakan pemerintah seperti itu mutlak diperlukan.
Sebaliknya, penempatan pemerintah sebagai pelaku ekonomi akan mendudukkan pemerintah seperti pelaku ekonomi pada umumnya, misalnya individu ataupun perusahaan. Dalam kedudukan seperti ini, tindakan pemerintah akan dianilisis sebagai interaksi antar pelaku ekonomi yang tunduk pada dalil-dalil ekonomi.

Yang lucu, entah ini by design atau hanya kebetulan, masyarakat dari hari ke hari didorong untuk memahami bahwa dalam kasus Bank Century kedudukan pemerintah seolah adalah pelaku ekonomi. Dan pemahaman ini secara konsisten dipompakan ke dalam benak masyarakat melalui para ahli ekonomi.

Apa sebenarnya yang ingin dicapai di balik skenario ini ?
Dengan menempatkan Negara sebagai pelaku ekonomi yang tidak ada bedanya dengan pelaku ekonomi lainnya, masyarakat diberi kesan bahwa tentunya wajar bila Negara menderita kerugian sebagai akibat tindakannya pada saat melakukan interaksi dengan pelaku ekonomi lainnya. Disamping itu, terdapat alternatif penghitungan kerugian yang dapat dilakukan pada saat terjadinya interaksi ataupun baru akan dinyatakan pada suatu saat di masa yang akan datang, tergantung bentuk interaksi yang dilakukan dan teknik pencatatan yang diselenggarakan.

Dalam konteks Bank Century, kerugian itu sendiri baru akan dapat dibuktikan dalam suatu periode yang lumayan panjang. Menurut para ahli tersebut, akan berada dalam kisaran 10 sampai 15 tahun yang akan datang. Itu pun besarannya belum pasti. Sangat tergantung pada berapa nilai asset bank Century pada saat penjualan.

Sementara itu, dari hari ke hari masyarakat disuguhi informasi oleh para pejabat LPS--sebagai pengampu--, jajaran direksi, dan para analis keuangan/ perbankan yang menyatakan bahwa Bank Mutiara, nama baru Bank Century, telah meraih prestasi yang sangat mengesankan. Prestasi ini ditunjukkan dengan kondisinya yang semakin hari semakin sehat dan mampu meraih keuntungan.

Nah inilah inti dari skenario di atas. Berbagai usaha yang dilakukan para ahli ekonomi tersebut ingin mengesankan bahwa kerugian Negara merupakan suatu peristiwa ekonomi. Bahwa tindakan pemerintah mem-bailout Bank Century adalah tidak salah. Tindakan pemerintah, kalaupun menyebabkan kerugian Negara, merupakan risiko ekonomis jangka panjang. Sebaliknya, kalau tindakan tersebut berhasil, bisa-bisa yang akan terjadi bukan kerugian Negara, melainkan keuntungan Negara. Dan hal itu biasa terjadi pada pelaku ekonomi lainnya.

Padahal, penyelamatan Bank Century, kalau boleh dikatakan demikian, adalah tindakan penyelamatan perekonomian nasional. Dan ini merupakan tanggungjawab Negara selaku otoritas. Selaku penanggungjawab perekonomian nasional yang mengelola kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan kebijakan makro ekonomi.

Dalam konteks ini, kedudukan Negara harus dipahami secara berbeda. Kedudukan Negara bukanlah sebagai pelaku ekonomi. Negara bukanlah sebagai anggota komunitas ekonomi (sosio ekonomi). Oleh karena itu, tindakan pemerintah (Negara) mem-bailout Bank Century bukanlah seperti halnya tindakan suatu perusahaan yang membeli atau menyelamatkan sebuah bank yang sedang collaps.

Dalam kedudukannya seperti itu, keberhasilan tindakan pemerintah tidaklah dapat sekedar diukur in money term, yaitu berapa jumlah uang yang telah dikeluarkan dan berapa yang mungkin akan dapat diterima kembali.

Kalau saja tindakan pemerintah mem-bailout Bank Century benar-benar didasarkan pada suatu keharusan karena situasi dan kondisi ekonomi yang mengharuskan demikian, keuntungan yang diharapkan pemerintah adalah terhindarnya perekonomian nasional dari kehancuran. Dan ini tentunya tidak sebanding, dan akan jauh lebih besar dari sekedar dana yang telah dikeluarkan, karena akan mencakup berbagai aspek kehidupan ekonomi nasional. Oleh karena itu, tindakan mem-bailout itu sendiri tidak dapat dihitung untung-ruginya dengan penjualan asset bank Century di masa datang. Tindakan pemerintah dalam melakukan penyelamatan Negara, dalam hal ini di bidang perekonomian nasional, adalah suatu kewajiban mutlak.

Ini adalah sudut pandang Hukum Keuangan Negara. Konsekuensinya adalah, bahwa kerugian Negara bukanlah dianggap sebagai suatu peristiwa ekonomi. Kerugian Negara adalah suatu peristiwa hukum. Kerugian negara adalah akibat dari suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatig daad). Artinya, tidak akan pernah terjadi kerugian Negara sepanjang tidak terjadi perbuatan melawan hukum. Ini terutama bila dikaitkan dengan tindakan penanganan korupsi.

Sementara itu, kerugian Negara itu sendiri diartikan sebagai sesuatu yang nyata. Yaitu, bila penerimaan yang seharusnya diterima Negara ternyata tidak diterima, atau pengeluaran yang seharusnya tidak dilakukan, tetapi tetap dilakukan, sehingga secara nyata mengakibatkan berkurangnya kekayaan milik Negara. Dan kerugian Negara ini dengan jelas dinyatakan pada suatu suatu saat tertentu dalam suatu tahun anggaran. Bukan dalam 10 atau 15 tahun yang akan datang. Karena konsep seperti itu tidak dikenal dalam Ilmu Hukum Keuangan Negara.

( bersambung . . . . . . . .)
*
* *

Monday, November 22, 2010

LAHIRNYA UU Bid KN: suatu proses perjalanan panjang
(Surat terbuka untuk seorang rekan di Kuala Lumpur)

(lanjutan…..)
Mengalir dari sumber yang indah

Saudara Aidinil,

Apa yang dapat kita bayangkan bila pada suatu saat kita berada di suatu hamparan rerimbunan hijau yang indah. Dengan burung berkicau bebas. Dan kita menemukan sebuah mata air yang jernih airnya mengalir meliwati rerimbunan yang hijau ? Tentu, ingin rasanya mandi sepuasnya sambil menikmati kicauan burung di alam bebas seraya membayangkan alangkah bahagianya, bila air yang jernih sejuk itu mengalir di pekarangan rumah kita.

La France est la source de droit --Perancis adalah sumber kelahiran (ilmu) hukum—kata orang Perancis. Itu sebabnya Code Penale/ Code Napoleone lahir di sana. Namun demikian, saya tidak ingin mengundang polemik tentang dimana sebenarnya dilahirkannya pemikiran tentang hukum keuangan Negara di Eropa sana. Dari kepustakaan yang dapat dibaca, pemikiran tentang hukum keuangan Negara diawali kejadiannya di daratan Inggris. Namun dalam perkembangannya di Perancis tampak lebih maju dan konsisten.

Pada saat kuliah di Perancis, khususnya ketika di Universitas Paris 2-Pantheon, saya mulai memahami perkembangan konsep maupun perkembangan kelembagaan pengelolaan keuangan Negara yang dulunya pernah saya tekuni di Indonesia. Dalam pemahaman saya, konsep yang ada di Indonesia (baca: Hindia Belanda) adalah sebuah varian suatu sistem yang memang diciptakan khusus untuk Negara jajahan oleh pemerintah Belanda. Celakanya, hingga Indonesia merdeka lebih dari 45 tahun, konsep yang diciptakan hanya untuk memenuhi kebutuhan suatu wilayah yang tidak memiliki status hukum tersebut ternyata tetap dipertahankan.

Pada saat itulah, saya mulai bermimpi. Sebagai mahasiswa yang sedang melakukan penelitian, saya mulai resah. Berbagai pertanyaan mulai memenuhi benak saya. Mengapa Indonesia tidak mampu sekedar menyusun undang-undang tentang pengelolaan keuangan Negara untuk dirinya sendiri ?

Yang jelas, dari penelitian saya, usaha tersebut ternyata bukan tidak pernah dilakukan. Keresahan para birokrat di bidang pengelolaan keuangan Negara, para ahli hukum, maupun berbagai pihak tentang masalah ini ternyata sudah dimulai ketika Indonesia baru saja melangkahkan kaki menuju gerbang kemerdekaan. Ini terbukti dengan lahirnya Tim pertama yang diserahi tugas untuk menyusun undang-undang tentang pengelolaan keuangan Negara untuk republik Indonesia. Dan usaha tersebut terus berlanjut secara konsisten hingga melahirkan Tim ke 12 yang bekerja dalam kurun waktu hingga akhir tahun 90-an.

Yang justru membuat penasaran adalah kenapa undang-undang tersebut tidak pernah terwujud ? Inilah yang kemudian menjadi perhatian saya. Disamping reluctancy berbagai pihak untuk keluar dari comfort zone –kalau boleh dikatakan demikian--, saya melihat kurangnya kemampuan Tim-tim sebelumnya dalam memberikan paparan konsepsi dan philosophical analysis terhadap pasal-pasal yang termuat dalam berbagai ketentuan pengelolaan keuangan Negara pada masa penjajahan.

Hal yang terakhir ini terlihat jelas, misalnya, dari hasil kerja Tim ke 12 yang bertugas melakukan penyempurnaan ICW dan menuangkannya dalam (Rancangan) Undang-undang Perbendaharaan Indonesia (UPI). Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada para anggota Tim, dari kajian yang telah saya lakukan saat itu, Tim Penyempurnaan UPI tidak memberikan kejelasan konsepsi. Menurut hemat saya, Tim tersebut hanya ‘memformalkan’ praktek yang selama ini dilakukan yang justru bias dipandang dari sudut konsepsi.

Melihat kenyataan tersebut, pada tahun 1990 saya dari Paris menulis paper kritik terhadap RUU PI, dan menyarankan agar pembenahan konsepsinya lebih diutamakan, bukan sekedar up-dating redaksi dan situasi semata. Selanjutnya, karena tidak ada reaksi terhadap kritik dimaksud, pada tahun 1994 saya menulis dalam Majalah Anggaran tentang perlunya ada sebuah undang-undang organik yang mengatur pengelolaan keuangan Negara di samping ICW.

Diakui atau tidak, artikel dimaksud tampaknya memberi impak positif kepada para pejabat di Departemen Keuangan (baca: Direktorat Jenderal Anggaran). Itu sebabnya, kemudian dalam suatu seminar rutin, dibahaslah topik khusus, yaitu pemikiran tentang rancangan undang-undang pengganti ICW. Pada saat itu saya menjadi konseptor utama paper yang akan disajikan oleh pak Mulia Nasution, yang ketika itu menjabat sebagai salah satu direktur di Direktorat Jenderal Anggaran.

Tampaknya, harus diakui bahwa moment tersebut merupakan titik awal dimulainya suatu perjalanan panjang sebuah Tim Penyusunan RUU Keuangan Negara, karena sejak itulah mengkristal keinginan untuk menyusun suatu rancangan undang-undang. Selanjutnya dibentuklah Tim ‘lokal’ di Direktorat Jenderal Anggaran yang kemudian ternyata benar-benar merupakan sebuah embrio sebuah Tim besar.

Berkat lobby Pak Hartadi Sutomo yang ketika itu menjabat Sekretaris Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan, Tim ‘lokal’ tersebut tumbuh menjadi besar setelah berpadu dengan Tim Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan ditambah dengan berbagai unsur terkait, termasuk antara lain dari Departemen Dalam Negeri. Mungkin pada saat itu terjadi sebuah coincidence, karena Tim BPK --yang dimotori oleh pak Harianto yang ketika itu menjabat sebagai salah seorang Auditor Utama, dan pak Surachmin dari Biro Hukum--, sedang ditugasi menyusun RUU tentang pemeriksaan tanggungjawab pengelolaan keuangan Negara.

Tim Penyusun Undang-undang Bidang Keuangan Negara --sebagaimana kemudian kita semua menyebutnya-- bergerak dengan cepat di bawah arahan Menteri Keuangan untuk menyusun konsep pemikiran dan mendiskusikannya dengan cara bersafari ke berbagai universitas terkemuka di Indonesia. Disamping itu, Tim juga melakukan berbagai seminar terbuka untuk menggalang dukungan berbagai pihak, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang pemantauan anggaran Negara.

Sekedar untuk diketahui, bahwa Tim ini bekerja di bawah arahan empat Menteri Keuangan secara berturut-turut, yaitu dimulai dari prof. DR. Bambang Sudibyo, Ir. Priyadi, DR. Rizal Ramly, dan terakhir DR. Boediono. Di bawah DR. Boediono inilah Tim berhasil menuntaskan pembahasan keseluruhan draft RUU --sebanyak tiga RUU—bersama DPR untuk kemudian ditetapkan menjadi undang-undang. Alhamdulillah !!!

The oldies based concept

Saudara Aidinil,

Dari latar belakang pendidikan saya, baik di Jakarta maupun di Perancis, serta kegiatan saya dalam ‘menginisiasi’ penyusunan undang-undang di bidang Keuangan Negara, kemudian berbagai pihak, sebagaimana disampaikan kepada Saudara, menganggap bahwa saya memotori perubahan konsep pengelolaan Keuangan Negara di Republik ini.

Padahal, menurut kenyataan, tidak mungkin seseorang melakukan perubahan sistem administrasi (baca: pengelolaan keuangan Negara) yang sudah mengakar lebih dari seratus tahun, yaitu sejak Indonesia masih berstatus sebagai negara jajahan yang bernama Hindia Belanda, dalam tempo sekejap mata. Apalagi, sistem tersebut bukan hanya berkembang dalam kelembagaan di tingkat pemerintah pusat, tetapi juga di tingkat pemerintahan daerah. Oleh karena itu, dengan rendah hati saya selalu mengatakan kepada berbagai pihak bahwa we (The Team) just put everything on the right track.

Dari penelitian saya, baik ketika masih di Perancis saat menyusun desertasi maupun ketika menyusun konsep RUU, saya memperoleh kesimpulan bahwa dilihat dari sudut konsepsi, pola yang telah diterapkan sejak dulu di Negara ini tidak ada yg salah. Dari pengamatan saya, yang salah adalah penafsiran berbagai pihak yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai terhadap konsep pengelolaan keuangan Negara yang berlaku ketika Republik ini sedang berada pada masa transisi, yaitu ketika berubah dari Negara koloni menjadi Negara dengan kemandirian yang penuh. Jadi, apa salahnya bila kita mengembalikan sistem yang ada sesuai konsep dasar yang hingga kini masih berlaku di Negara asalnya (Perancis), yang sebenarnya telah mengikuti prinsip manajemen yang sangat bagus (sound practice) ?

Kalau kemudian ada pihak-pihak tertentu yang menyatakan (dan setengah menuduh !) bahwa konsep yang terkandung dalam Undang-undang (Bidang) Keuangan Negara merupakan American model based, rasanya menjadi sangat aneh. Kecuali seperti yang diskenariokan untuk dicarikan kaitannya bahwa seolah-olah terdapat pressure (intervensi) pihak luar (asing) yang memaksa agar Indonesia melakukan reformasi di bidang pengelolaan keuangan negara ketika Indonesia sedang in motion mulai tahun 1998.

Rasanya agak aneh kalau konsep Undang-undang Keuangan Negara dikatakan mengikuti model Amerika. Kalau yang mereka tengarai adalah muatan teknik penganggaran maupun penekanan terhadap sistem akuntansi yang saat itu mulai ngetrend di Negara-negara Barat (baca: Amerika), tampaknya mereka keliru.

Penganggaran adalah sub sistem Keuangan Negara yang berkembang sesuai tuntutan keadaan sebagai akibat interaksi antara sektor publik dan sektor prive. Ini dapat dilihat sejak lahirnya PPBS (Planning, Programming, Budgeting System), dan seterusnya. Sementara penerapan sistem akuntansi yang mungkin tampak lebih modern, merupakan penyesuaian terhadap tuntutan keadaan yang pada saat itu sudah tidak mampu lagi dijawab oleh sistim pembukuan pemerintah yang digunakan pada masa lalu.

Singkatnya, penyusunan Undang-undang (Bidang) Keuangan Negara adalah pembenahan kembali konsep lama yang disesuaikan dengan pakem dengan memberikan sentuhan baru sesuai trend, misalnya penerapan Medium Term Expenditure Framework (MTEF). Bila diamati, metode penyusunan anggaran ini merupakan teknik untuk menjaga wibawa Legislatif agar komitmen pemerintah terhadap rakyat tetap terpelihara. Apakah ini merupakan teori baru ? Menurut saya hanyalah teknik (cara) baru dalam mepertahankan paradigma lama.

Disamping itu, untuk melengkapi prinsip-prinsip utama (golden principles) yang lekat dengan aspek politis, dalam Undang-undang (Bidang) Keuangan Negara tersebut ditambahkan prinsip-prinsip baru terkait dengan aspek pengelolaan anggaran negara yang mendukung terselenggaranya good governance government and clean government. Oleh karena itu, kemudian dapat diketemukan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, proporsionalitas, dlsb. dalam beberapa pasal undang-undang tersebut.

Saudara Aidinil yang baik,

Dari mana konsep-konsep tersebut muncul ? Rasanya hampir tidak ada yang pernah meragukan bahwa Institut Ilmu Keuangan yang ada di Jakarta merupakan suatu perguruan tinggi satu-satunya di Indonesia yang memiliki konsentrasi di bidang Keuangan Negara. Walaupun tidak dapat disebandingkan dengan lembaga pendidikan yang sama di Eropa, di Institut inilah konsep pengelolaan keuangan Negara dapat dipelajari, terutama telusuran terhadap historical thinking-nya.

Dari penelusuran terhadap ketentuan perundang-undangan yang ada ketika itu --kalau boleh dikatakan demikian--, dan juga terhadap kepustakaan, dapat dilihat bahwa ketika Negeri Belanda berada dalam pengaruh Perancis yang merupakan source of system di bidang Keuangan Negara, Belanda menyusun sebuah sistem administrasi pengelolaan keuangan untuk negara-negara jajahannya, termasuk tentunya Hindia Belanda dan Suriname.

Dari penelitian yang saya lakukan, diperoleh kenyataan bahwa praktek pengelolaan Keuangan Negara yang dilaksanakan di Hindia Belanda ternyata hanya terbatas pada satu aspek, yaitu aspek administratif. Oleh karena memang hanya aspek tersebut yang diperlukan pada saat itu. Sementara aspek politisnya, merupakan wilayah yang menjadi ‘ayahan’ para politisi di Metropole. Aspek ini dapat dikatakan tidak pernah ada, kendati pada saat itu di Hindia Belanda sudah berdiri Volksraad, yaitu embrio lembaga legislatif di tanah jajahan. Aspek inilah yang hilang dan harus ditemukan kembali.

( bersambung . . . . )

Sunday, November 14, 2010


KERUGIAN PADA KEUANGAN NEGARA DAN KERUGIAN PADA PENDAPATAN NEGARA : suatu diskusi
(Tanggapan)
INTRODUKSI

Saudara Frenda Nic, terima kasih atas kunjungan anda ke Blog saya. Sinyalemen saudara bahwa ‘ dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan TIDAK menggunakan terminologi 'menimbulkan kerugian pada 'keuangan negara'..., melainkan 'menimbulkan kerugian pada pendapatan negara' bila terjadi sebuah tindak pidana perpajakan’ sangat menarik untuk didiskusikan.

Sebagaimana Saudara sampaikan, dalam konteks perpajakan uang setoran pajak yang diselewengkan dalam sebuah kasus tindak pidana perpajakan belumlah masuk ke kas Negara, melainkan masih berada di wajib pajak bersangkutan yang dengan kesengajaan/kealpaan tidak menyetorkannya ke kas negara. Bagaimana mungkin dapat timbul kerugian pada keuangan negara sementara tidak ada uang negara yang keluar sama sekali ? Jadi, tepat apabila redaksi yang digunakan adalah baru sebatas pada "merugikan pendapatan negara".

Terkait dengan situasi tersebut, rasanya kita semua dapat memahami bahwa dengan adanya istilah dalam undang-undang tersebut di atas, alur pikir masyarakat kemudian terkanalisasi dalam suatu logika yang bersifat ‘pembenaran’ (self justification). Oleh karena itu, sangat wajar bila masyarakat kemudian juga membuat kesimpulan bahwa, kerugian pada keuangan negara baru bisa terjadi jika secara nyata ada aliran uang keluar yang tidak semestinya dari kas Negara. Dan…, setoran yang belum masuk ke Kas Negara karena berbagai alasan dari wajib pajak atau wajib setor hanya akan merugikan pendapatan Negara.

KURANG KOMPREHENSIF
Saudara Frenda Nick, kalau kita melihat dari sisi positif keberadaan berbagai perundang-undangan di bidang Keuangan Negara sejak kemerdekaan hingga tahun 2003 akan tampak sebagai sebuah keunikan. Betapa tidak ! Berbagai undang-undang terkait dengan masalah Keuangan Negara justru lahir sebelum kelahiran Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Idealnya, Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara inilah yang merupakan acuan bagi seluruh perundang-undangan di bidang (pengelolaan) Keuangan Negara.

Oleh sebab itu, di awal kelahirannya, ketika masih berupa rancangan undang-undang, Undang-undang tentang Keuangan Negara ini diusulkan sebagai undang-undang pokok. Hal ini terutama didasarkan pada kandungan substantifnya. Namun karena system dan struktur perundang-undangan di Indonesia tidak lagi mengenal undang-undang pokok, Undang-undang tentang Keuangan Negara dilahirkan sebagai undang-undang pada umumnya. Kendati substansinya tetap dijadikan acuan semua undang-undang di bidang Keuangan Negara.

Sementara itu, bila kita melihat dari sisi lain, terasa ada sesuatu yang sangat janggal. Yaitu, bahwa pemahaman berbagai pihak terhadap konsep atau pemikiran tentang Ilmu Keuangan Negara terasa kurang memadai atau kurang komprehensif. Padahal, kalau diperhatikan dengan seksama konsep pengelolaan Keuangan Negara di Indonesia selama ini tidak banyak mengalami perubahan.

Terkait dengan itu, kalau boleh saya katakan dalam posisi saya selaku Ketua Tim Kecil Penyusunan RUU Bidang Keuangan Negara (tiga RUU), bahwa konsepsi tentang Keuangan Negara baik dari aspek politis maupun administratif tidaklah berbeda dengan konsepsi yang selama ini sudah dikenal dan dilaksanakan. Bahkan, dalam beberapa hal sudah berjalan sejak sebelum kemerdekaan.

Dalam kaitan ini, Tim Penyusun bahkan menyampaikan ‘we just put everything on the right track’. Artinya, hanya sekedar mengembalikan semuanya pada konsep lama yang sebenarnya hingga kini prinsipnya masih diikuti dan dikembangkan di berbagai Negara. Dan satu hal yang perlu kita garis bawahi bahwa Tim Penyusun juga membenahi atau meluruskan kembali praktek-praktek bias dalam pengelolaan Keuangan Negara yang telah berjalan selama ini dan mengembalikan pada track yang benar, seperti misalnya peran Menteri Teknis yang ‘dikerdilkan’, peran Menteri Keuangan yang sangat berlebihan, dan juga peran Bappenas yang tidak proporsional dibandingkan dengan yang seharusnya.

Namun demikian, yang memprihatinkan adalah bahwa pihak-pihak tertentu yang merasa berkompeten dan merasa mampu justru memberikan arti lebih terhadap tafsir yang sebenarnya kurang tepat pada saat sebelum lahirnya Undang-undang tentang Keuangan Negara. Berbagai contoh dapat dilihat lahirnya berbagai terminologi di bidang penerimaan Negara maupun di bidang pengeluaran Negara yang sebenarnya kurang sesuai dengan terminologi dalam konteks Keuangan Negara yang kemudian dibakukan dan dipahami sebagai suatu kebenaran oleh berbagai pihak. Padahal, istilah ataupun tafsir dimaksud sebenarnya tidak sesuai dengan konsep pemikiran dasar Ilmu Keuangan Negara.

Contoh kasus lain, misalnya, ketika pembahasan RUU Keuangan Negara pada tahun 2001 di Dewan Perwakilan Rakyat. Ketika itu, para wakil rakyat mempertahankan pendapat mereka bahwa dalam substansi Keuangan Negara tidak perlu memasukkan kekayaan Negara. Keuangan, menurut mereka, hanyalah terkait dengan uang. Keuangan dari sudut syntaxis merupakan kata jadian dari kata dasar ‘uang’. Demikian pula terminologi ‘perbendaharaan’ yang menurut mereka berasal dari kata dasar ‘bendahara’. Oleh karena itu, Perbendaharaan hanya terkait dengan semua kegiatan bendahara.

Pendapat awam yang dikemukakan para anggota Dewan tersebut, ternyata hingga kini masih banyak diacu oleh berbagai pihak. Padahal, bila kita benar-benar mempelajari Ilmu (Hukum) Keuangan Negara akan tampak bahwa semua itu tidak benar. Pengertian yang dikembangkan oleh para anggota Dewan tersebut hanya tafsir pribadi yang tidak memiliki dasar pijak sesuai kajian bidang keilmuan.

Namun, dari pengamatan saya selama ini, yang tidak kalah memprihatinkan adalah berkembangnya berbagai tafsir yang salah terhadap system pengelolaan keuangan Negara dan juga terhadap peran para pelaku pengelola keuangan negara itu sendiri.

NEGARA SEBAGAI SUBYEK

Kembali pada diskusi tentang konsep kerugian pada keuangan Negara atau kerugian pada Pendapatan Negara, menurut hemat saya, perlu ada suatu penjelasan kontekstual yang dapat dijadikan acuan.

Dalam berbagai kepustakaan terkait masalah Keuangan Negara, dengan jelas dinyatakan bahwa Negara adalah subyek, sedangkan Penerimaan dan Pengeluaran Negara beserta unsur-unsur di dalamnya merupakan obyek. Sementara itu, Tata kelola yang mengandung sistem maupun sub sistem, kalau boleh dikatakan, merupakan predikat.

Terkait dengan itu, suatu perbuatan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu hanya dapat menguntungkan atau merugikan subyek, yaitu Negara. Oleh karena itu, terminologi merugikan Pendapatan Negara atau merugikan Keuangan Negara, dalam konteks Keuangan Negara, adalah salah.

Celakanya, terminologi yang terakhir ini --- merugikan Keuangan Negara --, telah digunakan dalam berbagai undang-undang di Republik ini, termasuk dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.

Tak diragukan lagi, kerancuan terminologi ini kemudian membingungkan berbagai pihak, termasuk para hakim dalam berbagai sidang, khususnya dalam sidang perkara tindak pidana korupsi. Tidak jarang hakim menanyakan apa perbedaan kerugian keuangan Negara dan kerugian Negara.

Dalam kapasitas saya sebagai ahli Hukum Keuangan Negara yang dihadirkan dalam berbagai sidang Tipikor, saya selalu menyampaikan bahwa kerugian keuangan Negara, kendati termuat dalam berbagai undang-undang, adalah suatu terminologi yang salah. Yang benar adalah kerugian Negara.

Dari uraian di atas, tampak dengan jelas bahwa istilah merugikan pendapatan Negara dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah istilah yang salah. Akibatnya ternyata cukup fatal. Masyarakat kemudian menyusun suatu persepsi bahwa penerimaan pajak yang karena alasan tertentu tidak disetorkan oleh wajib pajak tidak merupakan kerugian Negara. Sementara itu, kerugian Negara dipersepsikan bila nyata-nyata terjadi aliran uang keluar yang sudah berada di Kas Negara.

Padahal, dalam konsep Keuangan Negara, suatu kerugian dinyatakan terjadi bila sejumlah uang yang seharusnya masuk ke Kas Negara tidak masuk ke Kas Negara atau bilamana sejumlah uang yang seharusnya tidak keluar, ternyata keluar dari Kas Negara. Dan, yang tidak kalah pentingnya, sebagai unsur kerugian Negara adalah, bahwa kejadian tersebut merupakan akibat dari suatu perbuatan melawan hukum dari seseorang atau karena kelalaian.

*
* *