PERUM – PERSERO : Sebuah Ambivalensi
(Intermezzo)
Badan usaha milik Negara adalah sebuah nama generik.
Sebuah nama yang berusaha mencitrakan peran baru Negara. Sebuah nama yang
dirancang dari sebuah paduan gagasan yang tertuang dalam Undang-undang Dasar
dan sejarah masa lalu yang panjang. Itu sebabnya, ketika nama tersebut
dicanangkan dalam sebuah undang-undang, sifat atau karakter lembaga tersebut
tergambar utuh.
Semua itu dapat dilihat dengan jelas sebagaimana tertuang
dalam pasal 2 Undang-undang No. 19 tentang BUMN
di bawah ini :
a. memberikan sumbangan
bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada
khususnya;
b. mengejar keuntungan;
c. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan
hajat hidup orang banyak;
d. menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang
belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi;
e. turut aktif
memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah,
koperasi, dan masyarakat.
Bila saja para penyusun undang-undang tersebut berpikir
secara konsisten, sesuai dengan maksud yang terkandung dalam pembentukan
institusi badan usaha milik Negara tersebut, seharusnya urutannya dimulai dari
c, d, e, baru kemudian a, dan b.
Maksudnya, bahwa sesuai dengan maksud Undang-undang Dasar
1945 diciptakannya sebuah institusi usaha milik Negara (BUMN) utamanya
ditujukan untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat. Sedangkan tujuan mengejar keuntungan yang merupakan motif utama bagi institusi sejenis di sektor privat, bagi
badan-badan usaha milik Negara lebih merupakan cara atau teknik pengelolaan
usaha itu sendiri. Artinya, bahwa di dalam pengelolaannya badan-badan usaha
milik Negara harus mempertimbangkan formula sebagaimana diterapkan di sektor
privat. Sehingga kegiatan dimaksud akan mampu memberikan hasil in money term, yaitu laba usaha.
Namun, tampaknya berbagai pihak justru membawa pemikiran dasar tersebut berkembang menuju ke arah yang berbeda ketika gagasan penyusunan Undang-undang tentang BUMN mulai
dilontarkan. Lihat saja misalnya, bagaimana pemikiran ambivalensi
tersebut dimulai.
Dari data-data yang berhasil dihimpun, kenyataan
menunjukkan bahwa kinerja badan usaha milik negara pada umumnya sangat rendah, sehingga
hanya mampu menampilkan kerugian dalam neraca tahunannya. Hal ini ternyata
terjadi pada sebagaian besar badan usaha milik negara yang ada. Alih-alih
menjadi sumber alternatif bagi penerimaan negara dari sektor penerimaan negara
bukan pajak, sebagian badan usaha tersebut justru membebani pemerintah dengan
cara meminta tambahan permodalan melalui penyertaan modal pemerintah.
Celakanya, justru berbagai pihak cenderung
sependapat dengan pernyataan bahwa situasi tersebut adalah disebabkan karena
status badan usaha yang tidak jelas. Yaitu, menurut mereka, tidak independen. Badan-badan
usaha milik pemerintah tersebut dikendalikan oleh para birokrat dengan
cara-cara yang birokratis. Berbagai pihak justru lebih ekstrim berpendapat
bahwa badan-badan usaha milik negara tersebut adalah merupakan mesin pencari
uang bagi rezim yang tengah berkuasa. Artinya, bukan saja para birokrat di
lembaga eksekutif, tetapi juga para anggota di legislatif.
Dengan mengambil acuan praktek yang terjadi di
negara-negara tertentu, berbagai pihak berpendapat agar gagasan untuk
melepaskan diri dari kompleksitas birokrasi harus segera direalisasikan. Dari
sinilah lahirnya pemikiran agar segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas dapat diberlakukan untuk badan usaha milik negara.
Sebuah independensi dari pemilik, yaitu negara. Dalam pandangan mereka, badan
usaha milik negara adalah sebuah unit pencari keuntungan bagi pemerintah (profit centre branch of the government) yang tidak
berbeda dengan mesin pencari keuntungan milik pengusaha swasta pada umumnya.
Atas dasar itulah kemudian, menurut mereka, peran dan keberadaan badan
usaha milik negara, dalam konteks pengelolaan keuangan negara, perlu dipikirkan kembali. Toh, di masa lalu (zaman Hindia Belanda) dikenal juga dua jenis
perusahaan, yaitu perusahaan rezim ICW dan perusahaan rezim IBW. Oleh karena
itu, apa salahnya bila konsep perusahaan rezim IBW yang dijadikan model dalam
mendirikan badan usaha milik negara dengan orientasi sebagaimana layaknya
perusahaan milik swasta murni. Dan, itu dapat dilakukan dengan sekedar
menyesuaikan maksud
dan tujuan pendirian badan usaha milik negara yang
murni ditujukan sebagai mesin pencari keuntungan.
Oleh
sebab itu,
maksud dan tujuan pendirian badan-badan usaha milik
negara dengan label PT-Persero
kemudian difokuskan hanya pada dua hal, yaitu : a. menyediakan barang dan/atau jasa
yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat; b. mengejar keuntungan guna
meningkatkan nilai perusahaan. Tanpa harus memikirkan tanggungjawabnya sebagai suatu unit pemerintah terhadap negara dan
rakyat.
Pada
kenyataannya, dengan berbekal pada hal-hal yang dijadikan landasan pemikiran
untuk melahirkan PT-Persero tersebut di atas, yaitu bahwa perlu adanya badan usaha milik negara sebagai unit pencari keuntungan bagi pemerintah (profit centre branch of the government) yang tidak berbeda dengan mesin pencari keuntungan milik
pengusaha swasta pada umumnya yang kini dituangkan dalam ketentuan perundang-undangan,
berbagai pihak kemudian menempatkan BUMN dengan bentuk PT-Persero tak ubahnya
seperti halnya perusahaan swasta murni. Hanya saja suatu kebetulan bahwa
pemiliknya adalah Negara. Tidak lebih dari itu ! Sebagai
korporasi, badan-badan usaha tersebut tidaklah perlu menempatkan dirinya
sebagai bagian dari pemilik, yang nota-bene adalah negara, khususnya dalam hal
kewajiban terhadap negara dan juga rakyat.
Bila
diperhatikan, ini adalah merupakan pangkal dari berbagai masalah yang selalu
timbul dalam hubungan antara badan usaha milik negara dengan Pemerintah sebagai
pemiliknya. Padahal, bila dirunut dengan cermat gagasan tentang lahirnya badan
usaha milik negara tersebut sikap ambigu yang selalu ditampilkan oleh berbagai
pihak seharusnya tidak pernah lahir.
Bukan
saja mengacu pada Undang-undang Keuangan Negara yang merupakan hukum positif
yang dijadikan landasan penyusunan berbagai ketentuan perundang-undangan
tentang badan usaha milik negara, praktek yang terjadi selama ini yang
mewajibkan badan-badan usaha milik negara memikul tanggungjawab negara di
bidang kesejahteraan masyarakat maupun perekonomian nasional pada umumnya
adalah suatu bentuk bukti nyata.
*
* *
Saya masih berusaha mencerna kata demi kata..karena memang pemahaman saya yang cukup dangkal..
ReplyDeleteTetapi terima kasih mas sudah menulis dengan gambalng, sebuah pembelajaran yang bagus
Salam
Blog Keuangan
Terima kasih Mas Andhika sudah mampir ke blog saya. Semoga yang telah anda baca dapat memberikan manfaat. Walaupun, mungkin, tidak sebagaimana yang diharapkan. Sebenarnya, artikel dimaksud merupakan bagian dari sebuah seri artikel. Yaitu, kira-kira bagian akhir yang hampir menyerupai sebuah simpulan. Tetapi, saya berpikir ada baiknya saya tampilkan dalam blog saat ini agar dapat menjadi bahan diskusi. Terima kasih.
ReplyDeleteSalam hangat,
SS
Terima kasih pak atas tulisan yang sangat berkesan ini. Saya salah satu yang jadi berpikir ulang apakah saat ini kita masih perlu mempertahankan BUMN sebagai alat negara? Mengingat sebagian besar sektor usaha BUMN sudah ada pasarnya bahkan BUMN yang dulu berjaya tidak mampu bersaing dalam pasar. Mungkin akan lebih baik apabila pemerintah melepaskan kepemilikannya pada BUMN tersebut ke pasar dan uangnya digunakan untuk tujuan nasional yang lebih strategis dalam mensejahterakan rakyat sehingga Pemerintah tidak bergantung terus pada Pembiayaan/Utang. Hal ini tentu saja jarus dengan berbagai pertimbangan yang matang mengingat masih banyaknya aset2 strategis negara yang dikuasai BUMN agar negara tidak "kecolongan". Saya harap Bapak lebih sering menulis dan berbagi pemikiran dan ilmu keuangan publik. Semoga Bapak selalu sehat dan dilindungi Tuhan YME.
ReplyDelete