PENGADAAN BARANG DAN JASA PADA BUMN
(Intermezzo)
Perlukah BUMN
mengikuti aturan baku tentang pengadaan barang dan jasa yang dirancang untuk
instansi pemerintah ? Ini adalah pertanyaan yang selalu memicu perdebatan bukan
saja dalam persidangan berbagai kasus korupsi, tetapi juga dalam praktek keseharian.
Terhadap
pertanyaan tersebut, ternyata jawabannya sangat beragam. Yang jelas, terdapat
dua kutub dengan argumennya masing-masing dengan landasan pikir yang, menurut
mereka masing-masing tentunya, sangat kuat dan mendasar. Alhasil, karena
perdebatan tersebut pada umumnya dilakukan di ruang sidang pengadilan,
keputusannya sangat tergantung pada Yang Mulia Majelis Hakim.
Oleh karena itu, tanpa adanya pretensi untuk membandingkan keputusan Majelis yang satu dengan yang lainnya yang ternyata bisa saja tidak sama, tampaknya perlu diperoleh landasan pikir yang sama yang dapat dijadikan acuan.
Oleh karena itu, tanpa adanya pretensi untuk membandingkan keputusan Majelis yang satu dengan yang lainnya yang ternyata bisa saja tidak sama, tampaknya perlu diperoleh landasan pikir yang sama yang dapat dijadikan acuan.
a.
Beda sudut pandang
Dalam konteks
kelembagaan, yaitu antara pemerintah dan swasta, berbagai pihak selalu
menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang sangat mendasar dalam proses pengadaan
barang dan jasa. Namun demikian, ketika mereka diminta untuk menjelaskan,
mereka hanya terjebak pada pernyataan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara tata kelola di korporasi dan di instansi pemerintah yang pada umumnya
sangat birokratif. Oleh karena itu, perlu system operating prosedure (SOP) yang
berbeda di antara keduanya. Ini adalah sebuah jawaban yang masih dapat menimbulkan
perdebatan yang semakin panjang.
Pada
kenyataannya bahwa, walaupun tentunya tidak diabaikan, perusahaan-perusahaan swasta tidak
menempatkan proses pemilihan penyedia
seperti layaknya pemerintah. Artinya, cara mereka melakukan pelelangan tidak
harus dilakukan dalam bentuk formal melalui suatu proses yang berbelit dan
terkesan rumit yang bisa memakan waktu relatif lebih lama. Demikian juga,
perusahaan-perusahaan swasta tidak terlalu terikat dengan prosedur yang telah
dijadikan acuan. Mereka sangat fleksibel ketika menghadapi berbagai hambatan
yang mungkin terjadi dalam suatu proses pengadaan.
Dari semua
itu, yang paling penting untuk
diperhatikan adalah bahwa, di perusahaan-perusahaan swasta, kegiatan pengadaan barang
dan jasa tersebut tidak mendorong lahirnya benturan kepentingan (conflict of interest) para pejabatnya.
Yaitu, kepentingan yang melahirkan sebuah keinginan untuk memperoleh keuntungan
pribadi dalam proses pengadaan tersebut.
Sementara itu,
di sektor pemerintah, para pejabat pengadaan barang dan jasa pemerintah lebih
diarahkan untuk mengikuti tata aturan baku yang telah dituangkan dalam berbagai
aturan. Ini adalah suatu kewajiban yang
tidak bisa dilanggar. Hal ini mengingat bahwa aturan yang tertuang dalam
ketentuan dimaksud diharapkan mampu menjamin perlakuan yang adil dan jujur
kepada semua pihak. Yaitu, para penyedia barang dan jasa.
Satu hal lain
yang tidak kalah pentingnya adalah anggapan bahwa dengan mengikuti tata aturan
baku yang telah ditetapkan akan mampu membuat para pelaku pengadaan barang dan
jasa pemerintah terhindar dari perbuatan fraude. Hal lainnya yang perlu
mendapat perhatian para pejabat pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah,
bahwa pengadaan barang dan jasa tersebut selalu mendapat sorotan dari pihak
legislatif. Ini adalah sesuatu yang sangat logis, mengingat pengadaan barang
dan jasa, pada hakekatnya, merupakan realisasi dari pengeluaran negara yang
menjadi obyek legislatif.
Dari kenyataan
di atas, bila dicermati, perbedaan mendasar yang terjadi antara keduanya
ternyata lebih diakibatkan oleh cara pandang terhadap pengertian akuntabilitas
dalam kegiatan itu sendiri. Dalam kaitan
ini, ternyata perusahaan-perusahaan di sektor swasta lebih melihat akuntabilitas
pengadaan barang dan jasa tersebut dalam kaitannya dengan hasil (result). Bukan akuntabilitas terhadap
proses pengadaan itu sendiri. Mengapa demikian ? Jawabannya ternyata cukup
sederhana. Yaitu, bahwa hasil dari pengadaan barang dan jasa tersebut sangat
mudah dikuantifisir dengan melihat akibatnya terhadap keuntungan perusahaan
secara keseluruhan. Hal yang tentunya tidak mudah atau bahkan hampir tidak
mungkin dilakukan di sektor pemerintah. Hal itu karena adanya perbedaan sifat (nature) dan motif kegiatan atau misi
yang sangat mendasar di antara keduanya.
Alasan itulah
yang mungkin kemudian dijadikan dasar oleh para perumus ketentuan bahwa dalam
pengadaan barang dan jasa pemerintah lebih
cenderung digunakan akuntabilitas proses sebagai ukuran. Walaupun
tentunya, assumsi tersebut perlu dibuktikan.
b.
Aspek ekonomis sebagai ukuran
Tidak
dapat disangkal bahwa kriteria ekonomi dalam suatu kegiatan pengadaan barang
dan jasa adalah sangat penting. Ini bukan saja untuk sektor swasta, tetapi juga
untuk sektor pemerintah. Bagi pemerintah,
penilaian keberhasilan pengadaan barang dan jasa adalah terletak pada kinerja
fungsi pengadaan itu sendiri. Yaitu, apakah para pejabat pengadaan barang dan
jasa tersebut mampu atau tidak untuk mengadakan barang dan jasa yang dibutuhkan
oleh unit-unit pemerintahan secara tepat waktu dan dengan biaya yang serendah-rendahnya.
Padahal,
yang juga harus dipahami adalah bahwa ternyata pemikiran tentang kriteria
ekonomis dimaksud sangat erat hubungannya dengan kriteria efisiensi yang dalam hal ini terkait dengan biaya
produksi. Maksudnya adalah, kendati barang dan jasa yang diadakan telah
memenuhi kriteria dari sisi harga yang relatif murah, tetapi bila tidak
memberikan kontribusi untuk menghasilkan produk secara efisien, pengadaan
barang dan jasa dimaksud tidak memberikan manfaat ditinjau dari sisi kriteria
ekonomis. Ini adalah sudut pandang yang menjadi perhatian para pengusaha di
sektor swasta.
Sebaliknya, pemikiran
semacam itu tampaknya jauh dari para pengelola institusi di sektor pemerintah.
Hal ini dapat dibuktikan dari pernyataan atau penjelasan tentang kriteria
ekonomis yang dituangkan dalam berbagai ketentuan tentang pengelolaan keuangan
negara di sektor pemerintah.
Jadi …..
Dengan
mencermati pemikiran yang dikemukakan di atas dapat kiranya ditarik sebuah
simpulan bahwa, bila mengacu pada sifat (nature) kegiatan operasi dan motivasi
institusi pada badan usaha milik negara (BUMN), tentunya kita semua sepakat
bahwa tidak seharusnya ketentuan terkait pengadaan barang dan jasa yang
diperuntukkan bagi institusi pemerintah diperuntukkan pula bagi badan usaha
milik negara (BUMN). Oleh sebab itu,
kemudian dapat diketemukan dalam praktek adanya ketentuan yang memberikan
kelonggaran kepada BUMN tersebut untuk menyusun sendiri ketentuan terkait
pengadaan barang dan jasa pada instansinya masing-masing.
Namun
demikian, aturan dimaksud harus pula mencermati makna yang terkandung dalam
uraian di atas. Artinya, kendati BUMN diberikan kelonggaran untuk menyusun
sendiri aturan tentang pengadaan barang dan jasa bagi instansinya
masing-masing, bukanlah berarti bahwa BUMN dapat begitu saja mengadopsi
berbagai pemikiran yang digunakan oleh korporasi di sektor swasta.
Dalam
kaitan ini haruslah diingat, bahwa sebebas-bebasnya BUMN, sifat atau karakter
pengelolanya tidaklah sepadan dengan pengelola korporasi di sektor swasta.
Konkritnya, pengelola korporasi di sektor swasta pada hakekatnya adalah para
pemilik yang memiliki sense of belonging yang
lebih tingkatannya dibandingkan para pengelola BUMN. Ini adalah sebuah sikap
yang mau-tidak mau harus diakui.
*
* *