Tuesday, December 31, 2019


KEDALUARSAAN DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA 
DI INDONESIA [1]

Intro
Karena ditolak pembayaran hak pensiunnya setelah diabaikannya untuk masa beberapa tahun, seorang pensiunan Pegawai Negeri Sipil  di sekitar awal tahun  2017 telah menggugat Negara ke Mahkamah Konstitusi. 
Materi yang diusung dalam gugatan tersebut tergolong tidak main-main, karena ternyata sangat mendasar. Yaitu, mempertanyakan apakah, ditinjau dari segi konstitusi,  Negara pantas memperlakukan kedaluarsaan terhadap hak masyarakat ? [2]   Dalam hal apa sajakah Negara dapat memperlakukan daluarsa terhadap hak masyarakat ? Apakah terhadap semua utang Negara ?
Pada kesempatan lain, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mempertanyakan kejelasan tentang kedaluarsaan piutang Negara yang diatur dalam Undang-undang no. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Apa pasalnya ? Karena, menurut BPK, berbagai aspek tentang kedaluarsaan dimaksud tidak diatur dan dijelaskan dalam undang tersebut. Akibatnya, masih menurut BPK, hal tersebut akan dapat melahirkan multi tafsir dalam pelaksanaan daluarsa itu sendiri.
Kenyataan di atas merupakan masalah dua sisi dari salah satu aspek pengelolaan Keuangan Negara. Yaitu terkait dengan masalah hak dan kewajiban negara.
Perkembangan Pemikiran tentang Kedaluarsaan
Bila dicermati, pemikiran tentang kedaluarsaan dalam Hukum Keuangan Negara lahir dari gagasan yang dikembangkan oleh Hukum Perdata. Oleh karena itu, sebagaimana dinyatakan dalam Hukum Perdata, daluarsa dalam Hukum Keuangan Negara, juga didefinisikan sebagai  suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Atas dasar hal tersebut, seperti halnya dalam Hukum Perdata, daluarsa dalam Hukum Keuangan Negara pun dibedakan ke dalam daluarsa yang bersifat akuisitif (acquisitive verjaring) dan daluarsa yang bersifat ekstintif (extinctieve verjaring) 
Daluarsa yang bersifat akuisitif (acquisitive verjaring), pada prinsipnya,  merupakan daluarsa (lewat waktu) yang mengakibatkan diperolehnya hak oleh Negara atau dibebaskannya  Negara dari kewajiban tertentuSementara itu, pengertian daluarsa yang bersifat ekstintif (extinctieve verjaring) merupakan daluarsa yang, pada prinsipnya, mengakibatkan hilangnya hak tertentu Negara.
Di masa lalu, sejak masa kolonial Belanda hingga lahirnya Undang-undang bidang Keuangan Negara pada sekitar tahun 2003, masalah kedaluarsaan dalam pengelolaan keuangan negara di Indonesia, khususnya yang bersifat akuisitif di atur dalam pasal 60 Indonesische Comptabiliteits Wet (ICW).
Dalam versi Bahasa Indonesia pasal 60 ICW tersebut berbunyi sebagai berikut :
“ Menyimpang dari pasal-pasal 1954 dan 1967 buku undang-undang hukum sipil di Hindia Belanda, maka tagihan-tagihan atas negara karena hutang-hutang uang atas beban Hindia Belanda, tanpa diperhatikan bangsa apa penagih hutang, kedaluarsa dalam jangka waktu lima tahun setelah 31 Desember tahun hutang itu timbul, kecuali bilamana hutang itu telah terkena kedaluarsa yang jangka waktunya lebih pendek. “
Sementara itu, tidak seperti halnya yang selama ini diperkirakan oleh semua pihak, bahwa daluarsa yang bersifat ekstintif dalam pengelolaan keuangan pada masa Hindia Belanda ternyata tidak diatur berdasarkan ICW.  Dari penelusuran terhadap kepustakaan lama tentang Thesauri Negara (Perbendaharaan Negara) masalah daluarsa ekstintif, yang pada umumnya terjadi terhadap ganti rugi oleh para pegawai negeri, baik dalam statusnya sebagai administrator maupun sebagai bendaharawan,  pengaturannya didasarkan pada pasal 9 Staatsblad (Lembaran Negara) Tahun 1904 No. 241.


 ------------------- desole, pas encore fini ------



[1] Dirangkum dari Penjelasan sebagai Ahli Hukum Keuangan Negara di hadapan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Juli 2017 dan diskusi di Auditorat BinBangkum BPK RI tanggal 17 Desember 2019
[2] Gugatan dimaksud, yang dalam bahasa populernya dikenal dengan istilah Judicial Review, menyangkut konstitusionalitas Undang-undang No 1 tahun 2014 tentang Perbendaharaan Negara, khususnya pasal 40.