KEDALUARSAAN DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA
Intro
Karena ditolak pembayaran hak
pensiunnya setelah diabaikannya untuk masa beberapa tahun, seorang pensiunan
Pegawai Negeri Sipil di sekitar awal tahun 2017 telah
menggugat Negara ke Mahkamah Konstitusi.
Materi yang diusung dalam gugatan
tersebut tergolong tidak main-main, karena ternyata sangat mendasar. Yaitu,
mempertanyakan apakah, ditinjau dari segi konstitusi, Negara pantas
memperlakukan kedaluarsaan terhadap hak masyarakat ? [2] Dalam hal apa
sajakah Negara dapat memperlakukan daluarsa terhadap hak masyarakat ? Apakah
terhadap semua utang Negara ?
Pada kesempatan lain, Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) mempertanyakan kejelasan tentang kedaluarsaan piutang
Negara yang diatur dalam Undang-undang no. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara. Apa pasalnya ? Karena, menurut BPK, berbagai aspek tentang kedaluarsaan
dimaksud tidak diatur dan dijelaskan dalam undang tersebut. Akibatnya, masih
menurut BPK, hal tersebut akan dapat melahirkan multi tafsir dalam pelaksanaan
daluarsa itu sendiri.
Kenyataan di atas merupakan masalah
dua sisi dari salah satu aspek pengelolaan Keuangan Negara. Yaitu terkait
dengan masalah hak dan kewajiban negara.
Perkembangan Pemikiran tentang
Kedaluarsaan
Bila dicermati, pemikiran tentang kedaluarsaan dalam
Hukum Keuangan Negara lahir dari gagasan
yang dikembangkan oleh Hukum Perdata. Oleh karena itu, sebagaimana dinyatakan
dalam Hukum
Perdata, daluarsa dalam Hukum Keuangan Negara, juga didefinisikan
sebagai suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu
perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Atas dasar hal tersebut, seperti
halnya dalam Hukum Perdata, daluarsa dalam Hukum Keuangan
Negara pun dibedakan ke dalam daluarsa yang bersifat akuisitif (acquisitive
verjaring) dan daluarsa yang bersifat ekstintif (extinctieve
verjaring).
Daluarsa yang bersifat akuisitif (acquisitive
verjaring), pada prinsipnya, merupakan daluarsa (lewat waktu)
yang mengakibatkan diperolehnya hak oleh Negara atau dibebaskannya Negara dari
kewajiban tertentu. Sementara
itu, pengertian daluarsa yang bersifat ekstintif (extinctieve
verjaring) merupakan daluarsa yang, pada prinsipnya, mengakibatkan
hilangnya hak tertentu Negara.
Di masa lalu, sejak masa kolonial
Belanda hingga lahirnya Undang-undang bidang Keuangan Negara pada sekitar tahun
2003, masalah kedaluarsaan dalam pengelolaan keuangan negara di Indonesia,
khususnya yang bersifat akuisitif di atur dalam pasal 60 Indonesische
Comptabiliteits Wet (ICW).
Dalam versi Bahasa Indonesia pasal
60 ICW tersebut berbunyi sebagai berikut :
“ Menyimpang dari pasal-pasal 1954
dan 1967 buku undang-undang hukum sipil di Hindia Belanda, maka tagihan-tagihan
atas negara karena hutang-hutang uang atas beban Hindia Belanda, tanpa
diperhatikan bangsa apa penagih hutang, kedaluarsa dalam jangka waktu lima
tahun setelah 31 Desember tahun hutang itu timbul, kecuali bilamana hutang itu telah
terkena kedaluarsa yang jangka waktunya lebih pendek. “
Sementara itu, tidak seperti halnya
yang selama ini diperkirakan oleh semua pihak, bahwa daluarsa yang bersifat
ekstintif dalam pengelolaan keuangan pada masa Hindia Belanda ternyata tidak
diatur berdasarkan ICW. Dari penelusuran terhadap kepustakaan lama
tentang Thesauri Negara (Perbendaharaan Negara) masalah daluarsa ekstintif,
yang pada umumnya terjadi terhadap ganti rugi oleh para pegawai negeri, baik dalam
statusnya sebagai administrator maupun sebagai
bendaharawan, pengaturannya didasarkan pada pasal 9 Staatsblad
(Lembaran Negara) Tahun 1904 No. 241.
-------------------
desole, pas encore fini ------
[1] Dirangkum
dari Penjelasan sebagai Ahli Hukum Keuangan Negara di hadapan Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Juli 2017 dan diskusi di Auditorat
BinBangkum BPK RI tanggal 17 Desember 2019
[2] Gugatan dimaksud, yang dalam bahasa populernya dikenal dengan
istilah Judicial Review, menyangkut konstitusionalitas Undang-undang No 1 tahun
2014 tentang Perbendaharaan Negara, khususnya pasal 40.