PELAKSANAAN FUNGSI TREASURY
DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA [1]
Adakah disadari oleh
Menteri Keuangan ketika mengambil keputusan bersama para
Elit Pengelola Keuangan
Negara yang ada di Kementeriannya maupun
yang ada di Kemenko Perekonomian
untuk menyerahkan beberapa kewenangan dalam penganggaran
kepada Bappenas, pada hakikatnya,
tidak sejalan dengan praktek dalam system politik
di negara ini ?
yang ada di Kemenko Perekonomian
untuk menyerahkan beberapa kewenangan dalam penganggaran
kepada Bappenas, pada hakikatnya,
tidak sejalan dengan praktek dalam system politik
di negara ini ?
(bagian pertama....)
Introduksi
Masih adakah peran Bendahara Umum Negara (BUN)
atau Treasurer dalam konstelasi lembaga pengelola Keuangan
Negara di Indonesia dewasa ini ? Pertanyaan semacam ini, bagi para
elit pengelola keuangan negara mungkin dirasakan sebagai pertanyaan yang aneh.
Bahkan, mungkin dianggap sebagai pertanyaan yang mengada-ada atau
sebagai silly question.
Namun, kalau saja para elit tersebut mau jujur dan mau
sedikit memperhatikan praktek pengelolaan Keuangan Negara pada saat ini,
pertanyaan yang sama, walaupun mungkin sangat samar akan muncul juga dalam
pemikiran mereka. Di sisi lain, pada tingkat mikro, pertanyaan tersebut menjadi
sangat jelas, atau justru merupakan titik kritis, pada tingkat kajian
teknis yang kini berkembang di republik ini.
Berbagai pihak boleh saja berpendapat bahwa penyerahan
kembali sebagian kewenangan Menteri Keuangan di bidang penganggaran kepada
Bappenas adalah sebuah langkah maju. Penyerahan kewenangan penganggaran
tersebut, yang konon telah menempatkan Bappenas seperti layaknya Office
Management of Budget (OMB) dalam sistem pengelolaan Keuangan Negara di
Amerika, menurut para elit pengelola Keuangan Negara di Indonesia, adalah
sebuah kebutuhan di negara ini.
It is a must ! Apanya yang salah, kata mereka. Toh di Amerika
Serikat, tempat kelahiram sistem yang menggumakan Lembaga OMB, pola tersebut tidak
pernah menimbulkan masalah. Bahkan, masih kata mereka, berbagai negara,
termasuk negara di Asia, seperti Korea Selatan dan Thailand, juga telah
menerapkan pola tersebut sejak beberapa tahun silam.
Oleh karena itu, usul yang digagas oleh Kementerian
Keuangan, yang sudah tentu merupakan buah pikir para elit di Kementerian
Keuangan, yang telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP), yaitu PP No. 17 tahun 2017 tentang Sinkronisasi
Proses Perencanaan dan Penganggaran, adalah merupakan langkah yang tepat
menuju pola baru pengelolaan Keuangan Negara di Indonesia.
Walaupun, disadari atau tidak, langkah tersebut
ternyata tidak sejalan dengan Undang-undang no. 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara. Tapi, untuk dan atas nama kemajuan, menurut mereka, langkah
itu sah-sah saja. Kalau memang perlu, bahkan, harus dilakukan reformasi yang
membawa perubahan yang sangat mendasar pada sistem dan tatanan kelembagaan pengelola Keuangan
Negara di Indonesia.
Hal-hal tersebut di atas, menurut hemat saya, adalah
merupakan wacana yang sangat menarik untuk dijadikan entry
point dalam mengawali diskusi tentang Perbendaharaan atau Treasury,
baik dari segi kelembagaan maupun perannya dalam sistem pengelolaan Keuangan
Negara di Indonesia, khususnya ditinjau dari segi makro konsep. Sementara itu,
di sisi lain, berbagai permasalahan teknis yang muncul dalam pelaksanaan
pengelolaan Keuangan Negara antara Kementerian Keuangan, dalam hal ini pemegang
fungsi treasury, yaitu Direktorat Jenderal Perbendaharaan, dengan pihak-pihak
lain, yaitu Kementeria/ Lembaga dan masyarakat, merupakan segi mikro yang tidak
kalah menariknya untuk
didiskusikan.
Terkait dengan itu, materi diskusi akan disajikan
dalam dua bagian, yaitu: Pengaruh
Sistem Politik Terhadap Lembaga Pengelola Keuangan Negara, dan Fungsi
Treasury Dalam Pengelolaan Keuangan Negara di Indonesia.
1. PENGARUH
SISTEM POLITIK TERHADAP LEMBAGA PENGELOLA KEUANGAN NEGARA
Bukan seperti yang pada umumnya dipahami oleh berbagai
pihak, bahwa ternyata menurut taxonomie (pohon keilmuan), bahwa disiplin Ilmu
Keuangan Negara merupakan cabang dari Ilmu Hukum Tata Negara. Oleh karena itu,
tidaklah mengherankan bila ilmu Keuangan Negara banyak bersinggungan dengan
Ilmu Politik dan Ilmu Hukum. Inilah praktek dan pemikiran yang hingga kini
berkembang dan dikukuhi hampir sebagian besar Ahli Keuangan Negara di daratan
Eropa.
Oleh karena itu, Anggaran Negara, yang merupakan inti
dari Keuangan Negara, didefinisikan sebagai sebuah bentuk ‘kesepakatan’ antara
Lembaga Eksekutif dan Lembaga Legislatif yang dituangkan dalam sebuah dokumen
politik. Kesepakatan dimaksud berisi sebuah rencana kerja yang dituangkan dalam
bentuk uang.
Atas dasar kenyataan tersebut, system politik di suatu
negara sangat berpengaruh terhadap system kelembagaan pengelolaan keuangan
negaranya. Hal ini dapat dilihat secara nyata di negara-negara yang menganut
sistem politik dengan model Monochepalist atau yang lebih dikenal
dengan system Presidentiel, dibandingkan dengan negara negara yang menganut
system politik dengan model Bichepalist atau yang lebih
dikenal dengan system parlementer.
Dalam system presidential di mana Presiden merupakan
Kepala Negara dan sekaligus Kepala Pemerintahan, kewenangan untuk menyusun
rencana anggaran mutlak di tangan Presiden. Dalam system ini, seorang Presiden
hanya membutuhkan sebuah institusi yang mampu menerjemahkan janji-janji
kampanyenya (presidential campaign) ke dalam rencana aksi yang
akan diwujudkan secara berkesinambungan selama kepemimpinannya. Artinya,
lembaga tersebut memiliki tugas menyusun perencanaan sekaligus menyusun
penganggarannya.
Pola ini dipelopori oleh Amerika Serikat. Dan
institusi penerjemah janji-janji kampanye kepresidenan tersebut dikenal dengan
nama Office Management of Budget (OMB). Sebagai lembaga
penyusun perencanaan yang sekaligus menuangkannya dalam rencangan
anggaran pendapatan dan belanja negara, OMB memiliki peran:
· Menyusun
asumsi ekonomi makro
· Menyiapkan
proyeksi penerimaan pajak, dan
· Membahas
berbagai aspek perencanaan dan penganggaran dimaksud dengan Presiden dan para
pembantunya.
Dengan pola seperti tersebut di atas, system
pengelolaan keuangan negara di Amerika Serikat tidak memerlukan institusi
Kementerian Keuangan. Sementara itu, yang dibutuhkan adalah sebuah Treasury
Department.
Sementara itu, system politik dengan model Bichepalist dikenal
dengan sitem politik parlementer. Dalam system ini, terdapat pemisahan antara
peran Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Sistem politik semacam ini populer
di berbagai negara di daratan Eropa, baik yang berbentuk republik maupun yang
berbentuk kerajaan.
Yang penting untuk dikemukakan dalam system ini
terkait dengan masalah penganggaran, adalah bahwa Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) merupakan hasil kolaborasi antara Menteri Keuangan dan
Menteri Perencanaan. Dalam system yang populer di daratan Eropa ini, peran
Menteri Keuangan dalam penyusunan anggaran adalah sangat dominan. Dalam
berbagai kepustakaan tentang Keuangan Negara dinyatakan bahwa The
Minister of Finance presides the budget meeting on behalf of The Head of The
Government.
Dalam konstelasi kelembagaan pengelola Keuangan Negara
dapat dilihat keberadaan Kementerian Perencanaan, Kementerian Keuangan yang
memegang fungsi penganggaran dan perbendaharaan. Sementara itu, bila
diperhatikan, di Perancis, disamping Menteri keuangan terdapat pula Menteri
Anggaran yang membawahi Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Fungsi Treasury .......
No comments:
Post a Comment