RAISON d'ETRE

Pada suatu saat, pernah terbetik suatu keinginan dari berbagai pihak, terutama para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), agar lembaga legislatif di republik kita ini memiliki hak untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana halnya lembaga eksekutif.

Pada suatu saat lain, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terpaksa harus menginap di ’hotel prodeo’, karena oleh para penegak hukum di republik ini telah dinyatakan melakukan korupsi berjama’ah. Padahal, berbagai keputusan yang dituduhkan kepada para anggota dewan yang terhormat tersebut ternyata diputuskan bersama-sama lembaga eksekutif dalam suatu forum sakral dan dituangkan dalam dokumen resmi yang disebut dengan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kemudian, banyak pihak dipaksa untuk mengernyitkan keningnya ketika mengetahui seorang petinggi pemerintahan dan juga seorang pejabat suatu perusahaan negara yang bergerak di bidang perbankan dituduh telah merugikan keuangan negara, padahal masyarakat menyang-sikan bahwa uang tersebut memang uang Negara dalam arti sebenarnya.

Sementara itu, para birokrat di berbagai lembaga pemerintah merasa ragu dalam mengambil keputusan, ataupun bahkan menolak menduduki jabatan tertentu terkait dengan pengelolaan keuangan negara, karena kurang memahami berbagai konsep (baru) keuangan Negara, sehingga khawatir tertimpa musibah.

Di lain pihak, karena ilmu keuangan negara yang disoroti dari berbagai dimensi keilmuan kurang berkembang di Indonesia, para cerdik pandai merasa ragu memasuki wilayah keilmuan ini, dan hanya sekedar mencoba meraba-raba dan membuat tafsiran dari sudut pandang keilmuan yang dimilikinya.

Itulah kira-kira sebagian alasan dibukanya BLOG yang khusus untuk mendiskusikan masalah-masalah keuangan Negara di Indonesia.

Partisipasi semua pihak dalam mendiskusikan berbagai permasalahan keuangan negara di republik ini akan merupakan usaha bersama untuk melakukan studi tentang konsepsi keuangan negara dan memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat.

Perlu disampaikan bahwa konsep baru keuangan negara yang dikembangkan oleh para pemikir yang kemudian dituangkan dalam paket undang-undang bidang keuangan negara maupun ketentuan derivasi lainnya, memang belum dapat dikatakan sempurna.

Namun bagaimanapun, lahirnya paket undang-undang tersebut di atas merupakan kenyataan bahwa Indonesia kini telah memiliki sistem keuangan negara sendiri, sehingga terlepas dari berbagai pengaruh ketentuan keuangan kolonial yang antara lain bertahun 1800-an.

Oleh sebab itu, sudah selayaknya bila semua pihak memberi apresiasi dan berusaha memahami sebaik-baiknya, seperti ungkapan bahasa Prancis di bawah ini :

----SI ON A PAS CE QUE L’ON AIME, IL FAUT AIMER CE QUE L’ON A ---

Salam

(SS)

Catatan :

Dalam rangka memenuhi saran dan pendapat berbagai pihak, artikel dalam Blog ini dikategorikan dalam :

* RUBRIK, yaitu artikel yang ditulis sesuai dengan design topik yang telah ditetapkan dalam blog ini.

* INTERMEZZO, yaitu artikel yang membahas masalah-masalah keuangan negara yang bersifat actual.

* TANGGAPAN, yaitu artikel yang berisi respons terhadap pertanyaan atau komentar pembaca yang, karena sifatnya, perlu dijelaskan secara lebih detail.



- - - - - -



Monday, December 31, 2007

PENERIMAAN APBN BERMASALAH
(INTERMEZZO)

Membaca artikel di halaman 19 harian kompas yang terbit tanggal 27 Desember lalu ada sesuatu yang tampaknya sangat menarik untuk disimak dan didiskusikan dalam forum ini. Setidaknya ada tiga hal yang disampaikan oleh seorang pakar yang kebetulan berasal dari Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut yang tampaknya perlu digarisbawahi. Yaitu pertama, bahwa kelambatan penyerapan APBN yang terjadi sejak tahun 2005 hingga sekarang karena pemerintah tidak memiliki uang pada saat dibutuhkan pada awal hingga pertengahan tahun anggaran; kedua, ketergantungan pembiayaan APBN pada penerimaan pajak; ketiga, agar mulai memberdayakan Surat Perbendaharaan Negara yang berjangka pendek sebagai alternatif pembiayaan.

CASH MISMATCH DAN PELAKSANAAN ANGGARAN NEGARA

Dalam pengelolaan kas (cash management) terminologi cash mismatch diartikan sebagai suatu bentuk kesenjangan antara penerimaan dengan pengeluaran pada suatu saat tertentu. Artinya, pada suatu saat tertentu kebutuhan terhadap uang kas demikian tinggi, di satu sisi, sementara ketersediaan uang (cash availability) lebih kecil, di sisi lainnya. Situasi yang demikian mengakibatkan terjadinya defisit kas (cash short).

Dalam pelaksanaan anggaran negara terjadinya cash mismatch, secara teori, hampir tidak pernah dapat dihindarkan. Artinya, situasi kas defisit akan selalu dihadapi oleh Pemerintah, terutama di awal tahun anggaran. Dan hal ini merupakan suatu hal yang lumrah.

Kembali lagi pada masalah teori, situasi tersebut terjadi karena pengeluaran negara, bila dilihat dari grafik sepanjang tahun, memiliki kemiringan (slope) yang lebih landai dibandingkan penerimaan negara. Hal ini disebabkan karena adanya pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang bersifat imperatif sejak awal tahun yang harus dilaksanakan tanpa harus memperhatikan ketersediaan uang dalam kas pemerintah. Pengeluaran dimaksud antara lain digunakan untuk menggerakkan mesin birokrasi yaitu dalam bentuk operation and maintenance expenditures, misalnya untuk belanja pegawai, belanja barang maupun jenis belanja terkait lainnya.

Pengeluaran tersebut akan menjadi lebih besar lagi, manakala kementrian lembaga telah benar-benar mampu menyusun rencana pengeluarannya yang dirinci dengan cermat dari bulan ke bulan sepanjang tahun dan diikuti dengan rencana pencairan dana (disbursment plan) yang tertata dengan baik. Artinya, kebutuhan pemerintah terhadap dana kas yang tersedia bukan semata-mata karena adanya pengeluaran pemerintah yang bersifat imperatif, tetapi juga karena pengeluaran yang bersifat non imperatif yang ditujukan untuk kegiatan-kegiatan lain yang telah direncanakan.

Sementara itu, di sisi penerimaan, awal tahun selalu merupakan saat yang kritis bagi pemerintah. Bila pemerintah dipaksa untuk membuat pengeluaran dengan jumlah yang relatif tinggi, pada awal tahun, pemerintah tidak dapat memaksa masyarakat untuk membayar pajak ataupun menyetorkan pendapatan negara lainnya terkait dengan layanan yang nantinya akan diberikan oleh pemerintah. Secara empiris, grafik penerimaan negara memiliki tingkat kemiringan (slope) yang lebih tajam dalam satu tahun dibandingkan grafik pengeluaran negara. Hal ini terjadi karena berbagai kegiatan masyarakat maupun kegiatan pemerintah yang nantinya akan menghasilkan penerimaan negara, baru berjalan atau menjadi semakin cepat berjalannya setelah mesin birokrasi bergerak.

Itulah sebabnya penerimaan negara, bukan saja dari sektor perpajakan tetapi juga dari penerimaan lainnya, dalam triwulan pertama atau kuartal pertama selalu lebih rendah dibandingkan dengan pengeluaran negara. Namun demikian, situasi tersebut akan berbalik pada suatu titik. Penerimaan negara justru akan lebih besar dibandingkan kebutuhan dana untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan di berbagai kementrian yang mengakibatkan terjadinya kelebihan kas (cash excess). Titik balik ini bisa terjadi setelah triwulan pertama atau setelahnya, tergantung pada berbagai faktor.

APA YANG HARUS DILAKUKAN PEMERINTAH ?

Melihat fenomena tersebut, Ilmu Keuangan Negara memikirkan berbagai instrumen untuk mengatasinya. Salah satu cabang dari pohon Ilmu Keuangan Negara yang mengkhususkan diri dalam pengelolaan perbendaharaan (treasury management) mengusulkan alternatif solusi untuk menutup cash mismatch tersebut, yaitu melalui pinjaman uang muka dari bank sentral atau melalui pinjaman jangka pendek dari masyarakat. Alternatif solusi ini semata-mata didasarkan pada pemikiran bahwa cash mismatch, pada hakekatnya, hanya merupakan temporary deficit yang jangka waktunya hanya beberapa bulan saja, misalnya 3 bulan, dan bukan merupakan real deficit.

Alternatif solusi yang pertama, pinjaman uang muka dari bank sentral, dipandang memiliki kelemahan, terutama dari segi konsepsional, karena secara tidak langsung akan mempengaruhi kebijakan moneter yang dilaksanakan oleh bank sentral. Oleh sebab itu, berbagai negara cenderung menutup mismatch tersebut melalui penerbitan surat utang jangka pendek yang dilakukan oleh divisi perbendaharaan. Surat utang inilah yang kemudian dikenal dengan Treasury Bill yang berjangka waktu sekitar 3 bulan.

Penutupan cash mismatch melalui penerbitan surat utang kepada masyarakat menimbulkan konsekwensi dalam bentuk biaya bunga yang harus dibayar oleh pemerintah. Terkait dengan itulah fungsi treasury harus mampu mengelola pendapatan sedemikian rupa, agar pajak-pajak yang dipungut dari masyarakat tidak digunakan untuk membayar kewajiban bunga utang pemerintah. Berdasarkan pemikiran di atas, pemerintah kemudian mengambil langkah untuk menempatkan uangnya dalam berbagai kegiatan yang dapat memberikan imbalan (bunga) bilamana terdapat kelebihan kas (cash excess). Langkah tersebut dimaksudkan agar kewajiban bunga tidak ditutup melalui pendapatan perpajakan, melainkan ditutup dari penghasilan bunga.

Kebijakan pemerintah dalam hal ini harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian, jangan sampai menimbulkan akibat terhadap terganggunya penyediaan layanan kepada masyarakat yang menjadi tugas utamanya. Namun bagaimanapun, pemerintah melalui divisi perbendaharaannya harus mampu melakukan kebijakan tersebut. Ini tentunya terkait dengan tugas divisi perbendaharaan, yang secara teori, pada prinsipnya harus mampu menyediakan dana yang cukup, tepat waktu, dan aman untuk pembiayaan pelaksanaan anggaran negara.

BAGAIMANA IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA ?

Di masa lalu, jauh sebelum lahirnya undang-undang Bank Indonesia maupun Paket Undang-undang bidang Keuangan Negara, pemegang fungsi kebijakan fiskal dan pemegang fungsi kebijakan moneter di Indonesia tidak dipisahkan. Pemerintah yang merupakan pemegang fungsi kebijakan fiskal, pada saat itu, merupakan ketua dewan moneter. Sementara Bank Indonesia, yang diwakili oleh Gubernur Bank Sentral, menduduki jabatan wakil ketua dewan.

Berbagai pemikiran pada saat itu tampaknya lebih didasarkan pada pertimbangan praktis bahwa kebijakan moneter dan kebijakan fiskal adalah bagaikan dua sisi sekeping mata uang. Berbagai kebijakan yang diambil pemerintah di bidang fiskal akan sangat berpengaruh pada situasi moneter negara ini. Misalnya, kebijakan anggaran defisit akan berpengaruh terhadap nilai mata uang. Demikian pula sebaliknya. Oleh sebab itu, diharapkan agar kedua kebijakan tersebut dapat dilakukan secara harmonis, Pemerintah dikukuhkan sebagai ketua dewan moneter yang tugasnya antara lain menjaga keseimbangan nilai mata uang. Dengan demikian setiap tindakan pemerintah di bidang fiskal harus sekaligus mempertimbangkan impak moneternya.

Praktek tersebut di atas, memiliki implikasi yang sangat signifikan terhadap pengelolaan treasury (perbendaharaan) di tingkat pemerintah. Pada saat itu, pengelolaan perbendaharaan lebih ditekankan pada kegiatan-kegiatan administratif, yaitu mencatat penerimaan dan pengeluaran kas, kemudian menyusun laporan realisasinya.

Dalam kedudukannya sebagai otoritas moneter, pemerintah harus menjaga agar nilai mata uang tetap stabil. Oleh sebab itu, pemerintah tidak dapat menempatkan uangnya dengan bebas di sembarang bank, karena akan mengakibatkan terjadinya penciptaan uang yang pada gilirannya akan berpengaruh pada nilai mata uang. Kendati dalam praktek, sebagian uang negara ditempatkan di berbagai bank umum (milik negara), uang tersebut harus dalam status tidak dapat digunakan sebagai dasar pemberian kredit alias idle.

Konsekwensi logis dari kebijaksanaan tersebut adalah bahwa cash mismatch merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan bank sentral. Oleh sebab itu, dengan berbagai pertimbangan, situasi defisit tersebut kemudian ditutup melalui uang muka dari bank sentral.

Dengan lahirnya Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menegaskan peran Bank Indonesia sebagai bank sentral yang mandiri, pemerintah tidak dapat lagi (dengan mudah) meminta Bank Indonesia untuk membantu menutup cash mismatch melalui pemberian uang muka Bank Indonesia seperti di masa lalu.

Selanjutnya, lahirnya Undang-undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara membawa era baru dalam pengelolaan perbendaharaan negara. Berbagai ketentuan dalam Bab IV yang mengatur tentang Pengelolaan Uang telah memungkinkan pemerintah melakukan pengelolaan kas (cash management) dengan baik. Penanganan terhadap temporary cash deficit melalui penerbitan surat utang negara jangka pendek (Treasury Bill), maupun terhadap terjadinya kas berlebih (over liquid cash) dengan mudah dapat dilakukan oleh Pemerintah. Dan hal ini lebih ditegaskan lagi dengan lahirnya Undang-undang No. 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara, yang memberikan kemudahan kepada Pemerintah untuk mengatur kasnya melalui penerbitan surat utang negara.

Dalam pada itu, terkait dengan kritik terhadap kebijakan penutupan cash short melalui surat utang jangka panjang yang dilakukan oleh pemerintah (Menteri Keuangan) sebagaimana disampaikan oleh pakar tersebut, tampaknya perlu dipelajari duduk permasalahannya.

Lahirnya keputusan pemerintah untuk menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) bukanlah semata-mata dikaitkan dengan adanya posisi cash short dalam pengelolaan perbendaharaan, melainkan karena berbagai alasan lain, seperti misalnya: sebagai alternatif pembiayaan APBN, menggantikan pinjaman luar negeri, dlsb. Oleh sebab itu, penerbitan SUN (jangka panjang) dilakukan sesuai agenda yang telah ditetapkan dengan memperhatikan berbagai faktor, di antaranya situasi pasar. Hal ini bisa dilihat dengan jelas penerbitan SUN pertama yang dilakukan pemerintah pada tahun 2006, dan seterusnya.

Keputusan pemerintah untuk menerbitkan SUN tersebut, jelas tidak dapat dipungkiri telah meningkatkan likuiditas kas negara, bahkan ada kemungkinan terjadi over liquidity. Namun demikian, judgement bahwa Menteri Keuangan sebagai Tresurer telah gegabah menutup temporary cash deficit melalui kebijakan pinjaman jangka panjang yang dilontarkan oleh pihak-pihak tertentu tampaknya terlalu sembrono dan tidak memiliki dasar pijak.

PENYEBAB RENDAHNYA PENYERAPAN APBN DI KEMENTRIAN/ LEMBAGA

Walaupun Menteri Keuangan dalam pernyataan persnya di akhir tahun 2007 menyampaikan bahwa penyerapan dana APBN menunjukkan trend yang semakin meningkat sejak tahun anggaran 2005 hingga sekarang, dalam kenyataannya penyerapan tersebut sangat lamban dilakukan, terutama di awal hingga pertengahan tahun.

Yang jelas, berdasarkan teori maupun fakta di lapangan, hal tersebut bukan disebabkan karena pemerintah tidak memiliki cukup dana sebagaimana diungkapkan oleh pihak-pihak tertentu melalui media massa.

Lambannya penyerapan dana oleh kementrian/ lembaga bila dicermati, terutama didasarkan pada beberapa faktor, antara lain faktor ketentuan perundang-undangan dan faktor psikologis para pejabat pengelola keuangan di berbagai kementrian/ lembaga.

Lahirnya reformasi pengelolaan keuangan negara yang mengusung prinsip/ slogan ’lets the manager manage’ yang dimulai sejak lahirnya Paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara, membawa perubahan pola pengelolaan keuangan negara, dan pola pikir maupun sikap para pejabat pengelola keuangan di republik ini.

Di masa lalu, dalam pelaksanaan anggaran, berbagai keputusan pengeluaran negara diambil oleh pejabat di departemen/ lembaga, kemudian diperiksa dan di-approve oleh pejabat departemen keuangan selaku ordonnator. Dengan pola seperti itu, tanggungjawab dalam pengelolaan keuangan negara seolah terbagi antara departemen/ lembaga dan departemen keuangan. Oleh karena keputusan cair-tidaknya suatu pengeluaran negara berada di departemen keuangan, berbagai kesalahan yang terjadi dapat saja kemudian menjadi tanggungjawab departemen keuangan. Sementara itu, pejabat di departemen/ lembaga dengan adanya approval dari pejabat departemen keuangan terbebas dari segala kesalahan dan bahkan tanggungjawab.

Kini semua menjadi berubah. Prinsip lets the manager manage menegaskan bahwa setiap manager, mulai dari menteri/ pimpinan lembaga hingga ke jajarannya setingkat satuan kerja, memiliki tanggungjawab sepenuhnya dalam pengelolaan uang kementrian/ lembaga ataupun bagiannya. Artinya, prinsip tersebut menekankan bahwa pengelolaan anggaran kementrian/ lembaga, mulai dari penyusunan, pelaksanaan, maupun pertanggungjawabannya sepenuhnya menjadi tanggungjawab setiap menteri/ pimpinan lembaga.

Terkait dengan itu, dalam pelaksanaan anggaran, keputusan pengeluaran dana, pencairan dana, maupun pertanggungjawabannya menjadi tanggungjawab para pejabat pengelola keuangan di setiap kementrian/ lembaga. Peran kementrian keuangan sebagai pemegang fungsi Bendahara Umum Negara hanya sebatas melakukan double check terhadap keputusan pejabat di kementrian/ lembaga. Atas dasar peran tersebut, tanggungjawab para pejabat kementrian keuangan hanya terbatas pada pengujian dari aspek administratif keputusan yang telah diambil. Sedangkan tanggungjawab substantif berada pada para pejabat di kementrian/ lembaga.

Perubahan paradigma tersebut di atas, yang mengacu pada Undang-undang Perbendaharaan Negara, baru dimulai pada awal tahun anggaran 2005. Perubahan ini ’memaksa’ para pejabat di kementrian/ lembaga yang dahulunya mengandalkan kementrian keuangan sebagai filter, harus mampu berdiri sendiri, mampu memahami segala ketentuan di bidang pengelolaan keuangan negara, dan, yang paling penting, harus mampu menjadi penanggungjawab tunggal terhadap keputusan yang diambilnya sendiri.

Bila dicermati, perubahan paradigma inilah yang merupakan penyebab utama melambannya permintaan pencairan dana dari berbagai kementrian/ lembaga ke kementrian keuangan hingga saat ini. Kondisi ini tentunya dapat difahami, karena berbagai ketentuan dalam pengelolaan keuangan yang diterbitkan sejalan dengan berlakunya Paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara, harus mulai dipahami dan diimplementasikan oleh para pejabat di semua kementrian/ lembaga. Semua pihak sedang in motion. Sedang berusaha menemukan bentuk yang pas sesuai yang diharapkan oleh ketentuan perundang-undangan. Dan hal ini tentunya memerlukan waktu yang relatif cukup lama. Bukan seperti ’mijet wohing ranti’ kata orang Jawa, yang artinya ’sangat mudah’.

Kesulitan yang dihadapi para pejabat di kementrian/ lembaga tersebut di atas masih ditambah dengan masalah pengadaan yang prosedurnya dirasakan berbagai pihak sangat rumit. Hambatan di tingkat ini yang sering dikeluhkan berbagai pihak adalah adanya kewajiban para pejabat untuk mengikuti sertifikasi melalui uji kompetensi yang tampaknya perlu dipertimbangkan kembali tingkat kepentingannya.

Dan yang tak kalah pentingnya, yang tampaknya memiliki kontribusi yang relatif besar terhadap kelambanan penyerapan dana APBN oleh kementrian/ lembaga, adalah langkah-langkah para penegak hukum (termasuk aparat pengawas/ pemeriksa di lembaga audit, maupun aparat pengawasan di masing-masing kementrian/ lembaga) yang bersikap over-reaktif dalam melihat kasus yang terjadi dalam pengelolaan keuangan negara. Dari banyak kasus yang terungkap, yang paling banyak dikeluhkan, dalam hal ini, adalah penerjemahan makna berbagai ketentuan keuangan negara yang baru dengan penafsiran lama atau terkesan sesuai dengan pemaknaan menurut penafsiran para aparat pemeriksa. Sikap para aparat pengawasan inilah yang dalam banyak hal memunculkan keengganan para pejabat untuk diserahi tanggungjawab sebagai pengelola keuangan negara.

AKHIR KATA....

Dalam era keterbukaan seperti saat ini, masyarakat sangat membutuhkan informasi dalam berbagai hal, misalnya : politik, ekonomi, hukum ataupun lainnya, karena masyarakat sedang mulai belajar untuk memahami apa yang terjadi di sekitarnya. Sementara itu, tidak semua level dalam masyarakat mampu mengkaji berbagai kejadian di sekitarnya dengan menggunakan pisau analisis konsepsional/ teoritik.

Oleh karena itulah, diharapkan agar para pakar atau para pengamat dapat memberikan analisisnya dengan cermat yang dapat membawa masyarakat ke arah pencerahan atau pemahaman yang benar. Dan tidak menggiring masyarakat ke arah yang sebaliknya, karena adanya pemahaman yang keliru.

Key words :
Cash-mismatch dalam pengelolaan perbendaharaan negara merupakan hal yang lumrah.
Cash mismatch dapat ditutup melalui berbagai cara pembiayaan, diantaranya melalui pinjaman dari masyarakat dengan cara penerbitan surat utang negara.
• Tugas utama fungsi treasury adalah menyediakan dana yang cukup, tepat waktu, dan aman bagi pelaksanaan APBN.
• Terkait dengan itu, lambannya penyerapan alokasi APBN tentu bukan disebabkan karena pemerintah tidak memiliki cukup dana untuk membiayai anggaran, melainkan karena faktor-faktor non teknis di kementrian lembaga.



*
* *

Saturday, December 29, 2007


BUDGET AS VIEWED FROM ECONOMIC PERSPECTIVE
(tanggapan)

Pertama-tama, saya ucapkan terima kasih atas sambutan yang hangat dan sangat positif dari berbagai pihak atas lahirnya Blog Keuangan-Negara ini. Munculnya berbagai pertanyaan pada awal kelahiran blog ini memberikan sign bahwa studi tentang keuangan negara cukup diminati oleh banyak pihak.

Untuk menjawab pertanyaan Sdr. Syaibani di Makassar kiranya perlu dilakukan penelusuran terhadap perkembangan historis ilmu keuangan negara. Sebagaimana terungkap dalam artikel dalam blog, ilmu keuangan negara lahir dari wilayah politik, yaitu terkait pada masalah hubungan antara dua lembaga politik, yaitu legislatif dan eksekutif. Bila diamati, wilayah tersebut merupakan wilayah tata negara. Oleh sebab itu, studi tentang ilmu keuangan negara, disoroti dari aspek politik maupun hukum tata negara. Selanjutnya, karena yang jadi permasalahan utama pada saat 'Raja minta duit ' adalah bagaimana membagi beban kepada rakyat, lahirlah konsep keadilan dalam pembagian beban pajak. Sejak saat itu, , lahirlah konsep-konsep hukum pajak.

Dalam perjalanannya, seorang ahli (ekonomi) Jerman (Adolf Wagner) mengamati perilaku pengeluaran negara yang secara empiris tidak pernah turun, tetapi justru setiap tahun selalu meningkat. Phenomena ini terjawab, setelah melihat bahwa kebutuhan negara untuk menyediakan layanan dasar kepada masyarakat selalu meningkat karena berbagai alasan, misalnya alasan sosial, keamanan, dlsb. Penelitian tersebut, bila dipelajari dalam kepustakaan, kemudian melahirkan dalil (law) yaitu : Law of ever increasing government expenditures yang terkenal itu.

Mulai saat itu, sorotan terhadap masalah-masalah keuangan negara tidak lagi semata-mata pada masalah hukum, dalam hal ini hukum tata negara dan hukum pajak, ataupun masalah-masalah politik, tetapi juga pada masalah ekonomi.

Sorotan terhadap masalah ekonomi ini, semakin hari semakin mengedepan yang kemudian melahirkan pemikiran bahwa studi tentang keuangan negara adalah studi tentang bagaimana mengatur rumah tangga negara, yaitu bagaimana merencanakan kegiatan, bagaimana menyusun pengeluaran yang efisien dan efektif, dan bagaimana cara memperoleh uang untuk membiayai semua kegiatan tersebut. Gagasan inilah yang di kemudian hari melahirkan teori-teori benefit & cost analysis sampai dengan performance based dalam penyusunan anggaran.

Sementara itu, di sisi perpajakan, para ahli ekonomi mulai mengamati pajak bukan semata-mata sebagai alat pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dana, tetapi juga sebagai alat untuk mempengaruhi perilaku masyarakat, baik perilaku ekonomis maupun perilaku psikologisnya, misalnya pengaruhnya terhadap keinginan untuk berinvestasi ataupun keinginan untuk lebih baik memilih leisure daripada bekerja keras tapi sebagian besar penghasilannya akan diambil pemerintah dalam bentuk pajak penghasilan. Pemikiran inilah yang kemudian melahirkan fungsi-fungsi dalam perpajakan, seperti fungsi budgetaire dan fungsi regulataire.

Pemikiran-pemikiran para ahli ekonomi terhadap perkembangan teori keuangan negara tidak hanya sampai di sisi perpajakan saja sebagai unsur penerimaan, tetapi juga dari sisi pengeluaran. Dari penelitian mereka, tindakan-tindakan pemerintah di bidang pengeluaran ternyata memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap perekonomian. Mampu mendorong laju pertumbuhan ekonomi, mampu mempengaruhi masyarakat untuk berinvestasi.

Bila diamati, melalui kedua sisi anggarannya, pemerintah ternyata mampu mempengaruhi perekonomian masyarakat secara nasional. Itulah sebabnya, para ahli ekonomi kemudian melihat anggaran as economic tool of the government. Dan secara ringkas, hal ini dilakukan melalui kebijakan anggaran defisit, balance, atau kebijakan anggaran surplus, tergantung situasi perekonomian yang dihadapi pada saat itu.

Studi dari aspek inilah yang kemudian berkembang di berbagai belahan dunia, seperti misalnya di Amerika Serikat. Oleh sebab itu, bila kita amati kepustakaan tentang keuangan negara (Public Finance) dari Amerika cenderung lebih banyak membahas konsep-konsep efisiensi pengeluaran negara maupun penerimaan negara (khususnya, terkait dengan masalah-masalah perpajakan) dan impaknya terhadap perekonomian dan terhadap perilaku masyarakat. Disinilah best choise perlu dilakukan oleh pemerintah dalam memutuskan suatu pengeluaran.

Akhirnya, bila diperhatikan secara cermat, pemikiran dari aspek ekonomi tersebut lebih banyak merupakan masalah teknis yang dilakukan oleh eksekutif dalam rangka mendukung argumennya pada saat 'minta duit' ke lembaga legislatif.


Salam,



Key words :

- Terjadi perluasan wilayah cakupan ilmu keuangan negara yang semula dari wilayah politik/ tata negara, ke wilayah hukum, dan kemudian ke wilayah ekonomi.

- Studi tentang keuangan negara kemudian berkembang menjadi studi tentang bagaimana mengatur rumah tangga negara

- Dari sudut ekonomi, anggaran didefinisikan sebagai alat pemerintah untuk mempengaruhi perekonomian nasional

*
*
*


Wednesday, December 26, 2007

ANGGARAN NEGARA DAN LEMBAGA LEGISLATIF (Rubrik)

Mengapa anggaran negara harus dibahas oleh lembaga legislatif ? Mungkinkah lembaga legislatif menyusun anggaran negara untuk dilaksanakan oleh pemerintah ? Itulah kira-kira sebagian pertanyaan yang selalu berada di benak masyarakat awam terkait dengan masalah anggaran negara dan peran lembaga legislatif sebagai lembaga politik di suatu negara.

Sementara itu, gagasan agar lembaga legislatif memiliki kewenangan untuk menyusun anggaran negara pernah berkembang di Indonesia. Pemikiran semacam itu, kalau tidak salah, justru muncul dari para anggota dewan, ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengalami masa kebebasan dari keterkungkungannya sebagai lembaga politik di masa lalu, yaitu sejak dicanangkannya reformasi di Indonesia.

DIMULAI KETIKA RAJA MINTA DUIT

Tradisi pembahasan anggaran negara oleh lembaga legislatif, secara historis, dimulai di Inggris sekitar tahun 1200-an ketika paham parlementarisme berkembang di negara tersebut, dan juga di Perancis.

Di Inggris, ide pembahasan anggaran di legislatif, tepatnya dimulai pada tahun 1215 ketika Inggris di bawah pemerintahan Raja John (Roi Jean Sans Terre), yaitu ketika masyarakat menolak untuk membayar pajak. Ketika itu, masyarakat menyatakan bahwa tidak akan membayar pajak, kecuali rakyat memiliki wakil di parlemen yang akan membela kepentingannya. Pergolakan yang ditandai dengan lahirnya Magna Charta tersebut, mengusung slogan yang terkenal pada saat itu, yaitu ‘No taxation without representation’.

Ide dasar yang berkembang pada saat itu adalah adanya keinginan rakyat untuk dapat mengetahui secara pasti kegunaan uang yang dipungut dari mereka dalam bentuk pungutan memaksa melalui sistem perpajakan.

Kendati keberhasilan perjuangan rakyat untuk dapat berperan dalam menentukan anggaran negara melalui lembaga perwakilan (parlemen) ternyata baru sekitar lima abad kemudian, tahun 1200-an tersebut dianggap sebagai tonggak sejarah kelahiran hak legislatif dalam penetapan anggaran negara yang kini dikenal secara luas dengan nama hak budget lembaga legislatif. Dalam alur yang sederhana, lahirnya hak budget lembaga legislatif dapat diilustrasikan seperti di bawah ini.

Keinginan pemerintah untuk memungut sejumlah uang yang akan digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan pemerintah, direspons oleh rakyat melalui perwakilannya di lembaga legislatif dalam bentuk permintaan agar pemerintah secara transparan dapat menjelaskan program-program kegiatan yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu setahun mendatang, dan juga rincian dana yang dibutuhkan yang nantinya akan dipungut dari masyarakat. Hal inilah yang kemudian memaksa pemerintah menyusun semacam proposal dalam bentuk rencana kerja yang selanjutnya diikuti dengan rincian pendanaannya. Proposal tersebut selanjutnya dikaji oleh lembaga legislatif untuk kemudian diberikan persetujuan untuk dilaksanakan bilamana dipandang layak.

Namun demikian, diterimanya rencana kerja pemerintah yang diikuti dengan rinciannya dalam bentuk uang dimaksud oleh lembaga legislatif tidaklah serta merta memberikan otorisasi kepada pemerintah untuk membebankan segala biaya kepada masyarakat dalam bentuk ijin pemungutan pajak.

Menurut pandangan rakyat, pemerintah memiliki sedemikian banyak kekayaan yang sangat mungkin menghasilkan dana yang dapat digunakan untuk kepentingan pembiayaan kegiatan pemerintahan. Sebut saja misalnya, tanah-tanah kerajaan yang selama itu disewakan kepada berbagai pihak, hutan-hutan yang memberikan penghasilan dalam bentuk hasil hutan, pelabuhan-pelabuhan yang memungut biaya labuh ataupun biaya bongkar muat, bahkan terdapat pula penghasilan pemerintah dari kekayaan yang tidak berwujud, seperti misalnya yang berasal dari pemberian ijin, hak-hak monopoli dan lain sebagainya yang diberikan kepada pihak-pihak tertentu. Kekayaan dimaksud merupakan sumber pendapatan pemerintah yang dikenal dengan nama pendapatan domanial.

Dengan mempertimbangkan besarnya penerimaan domanial, lembaga legislatif kemudian dapat menyetujui besarnya dana yang akan ditarik pemerintah dari masyarakat dalam bentuk pajak pada suatu tahun untuk membiayai pengeluaran yang telah disetujui.


ANGGARAN NEGARA ADALAH KESEPAKATAN POLITIK

Ilustrasi di atas kiranya dapat menjelaskan bahwa penyampaian rencana kerja yang disertai dengan rencana pembiayaan, di satu sisi, dan rencana pendapatan di sisi lain, mengandung pengertian bahwa pemerintah wajib menyampaikan rencana anggaran negara kepada lembaga legislatif untuk dibahas, dan lembaga legislatif memiliki kewenangan untuk melakukan pembahasan dan memberikan persetujuan (approval) sebelum rencana dimaksud dilaksanakan.

Selanjutnya, hasil pembahasan lembaga legislatif yang merupakan kesepakatan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dimaksud kemudian dituangkan dalam suatu produk hukum yang dikenal dengan undang-undang.

Dengan demikian, dari sudut politik, anggaran negara adalah suatu bentuk kesepakatan politik antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif yang berisi persetujuan untuk melakukan pengeluaran pada suatu kurun waktu di masa datang untuk membiayai program kerja yang telah disetujui, di satu sisi, dan persetujuan untuk mengupayakan pendanaan guna membiayai pengeluaran tersebut pada kurun waktu yang sama, di sisi lain.

Sebagaimana laiknya suatu kesepakatan, kesepakatan antara kedua lembaga politik tersebut juga memiliki konsekwensi logis dalam bentuk hak dan kewajiban bagi ke dua-belah pihak.

Di sisi lembaga legislatif, hak yang timbul dengan adanya kesepakatan dimaksud adalah hak untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan persetujuan yang telah dituangkan dalam suatu produk perundang-undangan. Hak pengawasan lembaga legislatif, pada hakekatnya, mencakup baik pada sisi pelaksanaan pengeluaran negara, maupun pada sisi penerimaan negara, karena melalui kedua sisi itulah pelaksanaan persetujuan diwujudkan. Hak lainnya yang sangat penting artinya adalah hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada lembaga eksekutif terhadap pelaksanaan rencana kerja maupun rencana pembiayaannya. Sementara itu, kewajibannya adalah memberikan dukungan maupun konsultasi agar pelaksanaan kesepakatan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.

Seperti hakekat nama yang melekat, lembaga eksekutif, pada prinsipnya, adalah pelaksana dari keputusan yang telah ditetapkan oleh rakyat melalui lembaga perwakilannya. Oleh sebab itu, hak lembaga eksekutif adalah melaksanakan kesepakatan yang telah ditetapkan dalam undang-undang dan mewujudkan semua rencana yang terkandung di dalamnya.

Terkait dengan peran tersebut, semua kebijakan yang disusun oleh pemerintah adalah kebijakan operasional dalam rangka pelaksanaan kesepakatan. Bukan merupakan kebijakan yang bersifat konsepsional yang berujung pada perubahan substansi kesepakatan. Terhadap kenyataan ini, banyak pihak berpendapat bahwa hak yang dimiliki oleh lembaga eksekutif dalam hal ini tidak lebih hanya merupakan suatu bentuk kewajiban. Bukan hak dalam arti yang sebenarnya, karena ternyata lebih cenderung berupa kewajiban untuk melaksanakan perintah.

Di sisi lain, kewajiban lembaga eksekutif adalah menyusun pertanggungjawaban pada akhir periode atas berbagai program dan kegiatan yang telah disetujui lembaga legislatif. Pertanggungjawaban dimaksud , disamping mencakup kinerja lembaga eksekutif dalam mewujudkan program-program kerja yang telah direncanakan (performance responsability), juga mencakup pertanggungjawaban keuangan (financial responsability), yang terdiri dari pertanggungjawaban atas pemungutan dana-dana yang bersumber dari masyarakat dan penggunaan dana tersebut untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan.

Dengan pola dan mekanisme sebagaimana diuraikan di atas, pembagian peran antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dlm penyusunan anggaran negara menjadi jelas. Anggaran negara, pada hahkekatnya, harus dipersiapkan (disusun) oleh lembaga eksekutif, dan selanjutnya dibahas untuk kemudian disetujui oleh legislatif.

Pembagian peran antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif sebagaimana dikemukakan di atas telah memberikan inspirasi bagi lahirnya prinsip transparansi anggaran (fiscal transparency) di era modern, yang pada intinya antara lain menekankan adanya kejelasan peran antara pihak yang mengusulkan dan pihak yang memutuskan; antara pengambil keputusan dan pelaksana keputusan.

Selanjutnya, bila dicermati, pola dan mekanisme yang berkembang dalam penyusunan anggaran antara dua lembaga politik itulah yang kemudian juga melahirkan berbagai prinsip dasar (golden principles) dalam pengelolaan anggaran negara yang hingga kini masih tetap relevan.

Sebagai contoh, dapat disebutkan di sini misalnya, prinsip anterioritas atau prinsip prealable yang menekankan bahwa anggaran negara harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari lembaga legislatif sebelum dilaksanakan. Kemudian, prinsip anualitas atau prinsip periodisitas yang menyatakan bahwa anggaran negara harus dilaksanakan dalam suatu periode tertentu yang ditandai dengan titik awal dimulainya anggaran (suatu tanggal tertentu) dan diakhiri pada suatu tanggal tertentu.

Prinsip-prinsip dasar yang kemudian dijadikan sebagai acuan dalam pengelolaan anggaran negara tersebut, bila dicermati, ternyata merupakan pilar pengawasan bagi lembaga legislatif terhadap pelaksanaan kesepakatan dengan pihak eksekutif. Artinya, prinsip-prinsip dasar dimaksud diciptakan untuk memberikan batasan kepada lembaga eksekutif sebagai pelaksana agar tidak menyimpang dari arah dan tujuan yang telah ditetapkan. Sementara itu, bagi lembaga legislatif sendiri, prinsip-prinsip tersebut dijadikan sebagai ukuran dalam melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kesepakatan maupun kepatuhan lembaga eksekutif terhadap berbagai keputusan lembaga legislatif.

Prinsip-prinsip dimaksud kemudian melahirkan sejumlah ketentuan yang kini dapat ditemukan dalam berbagai pasal dalam ketentuan perundang-undangan terkait dengan pengelolaan anggaran negara. Sebut saja misalnya, adanya larangan untuk tidak melakukan perikatan bila tidak tersedia dana dalam anggaran. Bila diamati, ketentuan ini merupakan penerjemahan lebih lanjut dari prinsip anterioritas. Ataupun misalnya, adanya larangan untuk melakukan pengeluaran negara setelah akhir tahun anggaran yang, pada hakekatnya, mengacu pada prinsip anualitas.

Key words :

• Anggaran negara disiapkan/ disusun oleh lembaga eksekutif dan disetujui oleh lembaga legislatif.
• Anggaran negara adalah suatu bentuk kesepakatan politis
• Berbagai prinsip dasar (golden principles) yang dijadikan acuan dalam pengelolaan anggaran negara, pada hakekatnya, merupakan pilar bagi kegiatan pengawasan lembaga legislatif.

Thursday, December 20, 2007

KEUANGAN NEGARA DI INDONESIA: SUATU PERKEMBANGAN KONSEPSI KONTEMPORAIN
(Rubrik)


INTRODUKSI

Bila diamati perkembangan usaha pemerintah Indonesia untuk menyusun undang-undang tentang pengelolaan keuangan negara di republik ini, perdebatan tentang cakupan/ lingkup keuangan negara telah berlangsung sangat lama. Perdebatan tersebut tampaknya dimulai beberapa saat setelah Indonesia merdeka dengan dibentuknya Panitia Achmad Natanegara pada tahun 1945 yang bertugas menyusun RUU Keuangan Republik Indonesia (UKRI).

Dalam perjalanan sejarah yang demikian panjang tentang keuangan negara, bahkan ada suatu masa, para pakar hukum dan administrasi keuangan negara, yang pada saat itu merasa terpanggil untuk mendefinisikan secara detil tentang keuangan negara, justru saling bersepakat untuk tidak sepakat tentang lingkup keuangan negara yang telah bertahun-tahun dijadikan issue sentral dalam penyusunan rancangan undang-undang tentang keuangan negara di republik ini.

Saling ketidaksepakatan diantara para pakar dalam masalah lingkup keuangan negara dimaksud, disamping menunjukkan bukti betapa luasnya dimensi keuangan negara, juga menunjukkan beragamnya aspek pendekatan keuangan negara sebagai suatu cabang keilmuan. Sayangnya di Indonesia, bila diamati, masalah keuangan negara pada saat itu lebih didekati dari aspek hukum administrasi sebagai pelengkap dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, dan aspek ekonomi makro dalam melakukan analisis terhadap akibat penerimaan dan pengeluaran negara.

Sebaliknya, di negara Eropa tempat lahirnya keuangan negara sebagai suatu ilmu, kompleksitas dan keluasan dimensi keuangan negara sudah sangat lama disadari oleh para ahli. Bahkan, para ahli keuangan negara Prancis mengatakan bahwa Finance Publique est une science de carrefour, artinya suatu ilmu yang berada di persimpangan jalan. Persimpangan antara ilmu-ilmu politik, hukum, administrasi, ekonomi, aritmatik, statistik, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila ketidakluasan wawasan dalam memandang keuangan negara sebagai suatu ilmu akan menyebabkan debat berkepanjangan yang tidak menghasilkan suatu kesepahaman.


KONSEPSI DASAR KEUANGAN NEGARA DAN IMPLEMENTASINYA

Lahirnya Undang-undang Keuangan Negara pada tahun 2003, yang diikuti dengan Undang-undang Perbendaharaan Negara dan Undang-undang Pemeriksaan Tanggungjawab Pengelolaan Keuangan Negara pada tahun 2004, memberikan cakrawala pandang yang lebih jelas terhadap keuangan negara di Indonesia. Dan sejak itulah diperkenalkan konsep baru tentang keuangan negara yang kemudian melahirkan era baru dalam pengelolaan keuangan negara di Indonesia.

Keuangan Negara di Indonesia, sebagaimana perkembangan trend yang terjadi di seluruh dunia, mulai cenderung disoroti dari aspek hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif, yang merupakan aspek utama keuangan negara pada saat kelahirannya di benua Eropa pada awal tahun 1200-an. Pemikiran inilah yang antara lain kemudian melahirkan keputusan bahwa undang-undang bidang keuangan negara harus merupakan suatu paket yang terdiri dari 3 (tiga) undang-undang yang pada hakekatnya mengatur hubungan hukum antar lembaga politik dan hubungan hukum antar instansi dalam lembaga eksekutif.

Sementara itu, tentang lingkup keuangan negara, para penyusun Undang-undang Keuangan Negara, tampaknya cenderung untuk berpendapat bahwa diskusi tentang keuangan negara seharusnya dimulai dari negara sebagai suatu subyek dengan perkembangannya sebagaimana dikaji oleh berbagai pakar di Eropa maupun Amerika.

Terkait dengan itu, dengan mengadopsi pemikiran para ahli keuangan negara klasik, para penyusun undang-undang keuangan negara meletakkan negara sebagai penyedia layanan dasar kepada masyarakat dalam bentuk pertahanan, kesehatan, keadilan, pendidikan, dan pekerjaan umum lainnya. Oleh karena itu, negara dipersepsikan sebagai pemegang kekuasaan (otoritas- authority) yang mendapat mandat dari rakyat untuk menyediakan dan membela kepentingan masyarakat (public interest).

Selanjutnya, dengan memperhatikan pula pemikiran yang lebih modern yang lahir pada era 1900-an yang melakukan pendekatan dari aspek sosio-ekonomis yang melihat negara dalam perannya yang cukup signifikan di bidang perekonomian, telah menempatkan negara tidak lagi hanya sebagai otoritas melainkan juga sebagai individu. Hal ini terkait dengan tindakan ataupun langkah-langkah pemerintah di bidang perekonomian melalui sistem pengeluarannya yang tidak lagi dapat dibedakan dengan individu pada umumnya. Melalui serangkaian tindakan pengeluarannya, mulailah dibedakan peran negara sebagai otoritas, dan peran negara sebagai individu pada umumnya.

Secara ringkas, kemudian dapat dilihat bahwa peran pemerintah sebagai otoritas selalu berorientasi kepada pemenuhan layanan publik yang dibiayai melalui sector perpajakan atau penerimaan lainnya. Oleh karena dibiayai melalui sektor perpajakan, layanan tersebut diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat dalam bentuk barang kebutuhan umum (public goods). Sebaliknya, peran negara sebagai homo-economis selalu berorientasi kepada pemupukan keuntungan (profit motive).

Dalam kesehariannya, pelaksanaan kedua peran dimaksud dengan mudah dapat dibedakan. Implementasi teori dimaksud diwujudkan, bahwa sebagai otoritas, kewenangan pemerintah dilakukan secara unilateral, karena didasarkan pada kepentingan publik. Sementara, sebagai individu, setiap tindakan terkait dengan pihak lain selalu dilakukan melalui perundingan yang bersifat bilateral.

Perbedaan peran tersebut kemudian berakibat pada penataan pola pengelolaan keuangan negara itu sendiri. Dengan mendasarkan pada kewajiban dan motif tindakan pemerintah, keuangan negara kemudian dibedakan antara keuangan yang ditujukan untuk kegiatan-kegiatan pemerintah dalam perannya sebagai otoritas dan pemerintah dalam perannya sebagai individu.

Terkait dengan pemikiran di atas, dalam Undang-undang Keuangan Negara dikenallah istilah kekayaan negara yang tidak dipisahkan, yaitu kekayaan negara yang digunakan untuk mendukung kegiatan pemerintah sebagai otoritas, dan kekayaan negara yang dipisahkan, yaitu kekayaan negara yang digunakan dalam rangka pelaksanaan peran selaku individu pada umumnya.

Sesuai dengan tujuannya, kekayaan negara yang tidak dipisahkan harus dikelola sedemikian rupa, antara lain melalui suatu pembahasan untuk memperoleh persetujuan rakyat yang direpresentasikan oleh lembaga legislatif. Oleh karena itulah, kekayaan negara yang tidak dipisahkan harus dikelola dalam suatu sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Artinya, pengelolaan dimaksud harus dimulai dengan perencanaan oleh pemerintah, dibahas, dan kemudian disetujui oleh lembaga legislatif. Untuk selanjutnya, dituangkan dalam undang-undang.

Oleh karena itu, dengan mengacu pada uraian diatas, pemahaman terhadap pasal 1 (1) Undang-undang Keuangan Negara yang memberikan definisi tentang Keuangan negara harus dilakukan secara utuh sesuai konteksnya dan landasan pemikiran yang melatarbelakangi kelahiran pasal dimaksud, dan dengan mengkaitkannya dengan pasal 2 dan pasal 7 maupun pasal-pasal terkait lainnya.



IMPLIKASI PERAN MELALUI PENDEKATAN SOSIO-EKONOMIS

Dengan adanya perbedaan tersebut, suatu tindakan pemerintah benar-benar harus dilihat secara cermat apakah dilakukan dalam kapasitasnya sebagai otoritas ataukah sebagai individu. Sayangnya, masyarakat pada umumnya tidak dapat dengan mudah membedakan kapan pemerintah bertindak sebagai otoritas, dan kapan bertindak sebagai individu.

Dengan mengacu pada uraian di atas, pembedaan tersebut dapat dengan mudah dilakukan sebagai berikut :

Semua tindakan/ keputusan yang dilakukan oleh pemerintah melalui kementrian lembaga yang ditujukan untuk menyediakan layanan kepada masyarakat merupakan tindakan pemerintah dalam kapasitasnya selaku otoritas. Dalam hal ini, semua tindakan tersebut dituangkan dalam suatu rencana kerja pemerintah dan dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Sedangkan tindakan pemerintah untuk tujuan ekonomis dengan motif keuntungan yang dilakukan oleh organ-organ pemerintah lainnya di luar kementrian/ lembaga merupakan tindakan pemerintah selaku individu. Dalam hal ini, semua tindakan tersebut tidak dituangkan dalam APBN melainkan dituangkan dalam dokumen tersendiri sesuai rezim yang berlaku pada umumnya, dalam hal ini misalnya UU Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) atau lainnya.

Perbedaan peran negara tersebut di atas memiliki berbagai implikasi baik secara organisasi, administrasi, yuridis, maupun personnel.

Dalam melakukan tindakan dalam kapasitasnya sebagai otoritas, pemerintah diwakili oleh para pejabatnya yang lebih dikenal dengan nama birokrat yang terikat dengan aturan yang berlaku dalam birokrasi. Segala tindakan didasarkan pada rule and regulation yang berlaku dalam birokrasi. Demikian pula pengertian efisiensi, efektifitas penggunaan dana memiliki ukuran tersendiri. Dalam hal ini, pengertian keuntungan, yang dihitung dengan menggunakan analisis manfaat dan biaya (benefit and cost analysis) lebih didasarkan pada arti manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat sebagai akibat layanan yang diberikan oleh pemerintah, bukan pada nilai uang sebagai imbalan kepada pemerintah yang diterima dan dicatat dalam neraca pemerintah.

Atas dasar pemikiran tersebut di atas, kerugian negara tidak pernah terjadi bila tindakan pemerintah dilakukan sesuai rule and regulation yang telah ditetapkan. Demikian pula halnya, seorang pejabat pemerintah tidak dapat dipersalahkan dan dianggap telah merugikan keuangan negara ketika melakukan suatu tindakan, sepanjang tindakan tersebut telah sesuai dengan rule and regulation yang ada. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pemerintah tidak perlu memperhitungkan keuntungan maupun kerugian dalam arti uang dalam melaksanakan tindakannya yang ditujukan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.

Hal yang sebaliknya terjadi pada organ-organ pemerintah yang memerankan pemerintah sebagai individu yang memiliki motif mencari keuntungan. Contoh konkrit dalam hal ini adalah BUMN. BUMN dikelola oleh para professional yang bekerja dengan rule and regulation sesuai good corporate governance . Langkah usaha dalam bentuk mencari keuntungan in money term, tidak selalu terbebas dari adanya risiko dalam bentuk kemungkinan menanggung kerugian. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tindakannya para professional selalu dihadapkan pada kemungkinan memperoleh keuntungan atau menderita kerugian. Namun demikian, kerugian yang terjadi dalam pengambilan keputusan professional tidak boleh dianggap sebagai suatu tindakan sengaja yang setara dengan melakukan financial fraud. Kecuali, kemudian dapat dibuktikan sebaliknya. Dalam hal ini yang perlu dicatat adalah bahwa kerugian yang diderita negara dimaksud terjadi dalam kapasitas negara selaku individu, bukan sebagai otoritas.


KEY WORDS :


*
* *