RAISON d'ETRE

Pada suatu saat, pernah terbetik suatu keinginan dari berbagai pihak, terutama para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), agar lembaga legislatif di republik kita ini memiliki hak untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana halnya lembaga eksekutif.

Pada suatu saat lain, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terpaksa harus menginap di ’hotel prodeo’, karena oleh para penegak hukum di republik ini telah dinyatakan melakukan korupsi berjama’ah. Padahal, berbagai keputusan yang dituduhkan kepada para anggota dewan yang terhormat tersebut ternyata diputuskan bersama-sama lembaga eksekutif dalam suatu forum sakral dan dituangkan dalam dokumen resmi yang disebut dengan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kemudian, banyak pihak dipaksa untuk mengernyitkan keningnya ketika mengetahui seorang petinggi pemerintahan dan juga seorang pejabat suatu perusahaan negara yang bergerak di bidang perbankan dituduh telah merugikan keuangan negara, padahal masyarakat menyang-sikan bahwa uang tersebut memang uang Negara dalam arti sebenarnya.

Sementara itu, para birokrat di berbagai lembaga pemerintah merasa ragu dalam mengambil keputusan, ataupun bahkan menolak menduduki jabatan tertentu terkait dengan pengelolaan keuangan negara, karena kurang memahami berbagai konsep (baru) keuangan Negara, sehingga khawatir tertimpa musibah.

Di lain pihak, karena ilmu keuangan negara yang disoroti dari berbagai dimensi keilmuan kurang berkembang di Indonesia, para cerdik pandai merasa ragu memasuki wilayah keilmuan ini, dan hanya sekedar mencoba meraba-raba dan membuat tafsiran dari sudut pandang keilmuan yang dimilikinya.

Itulah kira-kira sebagian alasan dibukanya BLOG yang khusus untuk mendiskusikan masalah-masalah keuangan Negara di Indonesia.

Partisipasi semua pihak dalam mendiskusikan berbagai permasalahan keuangan negara di republik ini akan merupakan usaha bersama untuk melakukan studi tentang konsepsi keuangan negara dan memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat.

Perlu disampaikan bahwa konsep baru keuangan negara yang dikembangkan oleh para pemikir yang kemudian dituangkan dalam paket undang-undang bidang keuangan negara maupun ketentuan derivasi lainnya, memang belum dapat dikatakan sempurna.

Namun bagaimanapun, lahirnya paket undang-undang tersebut di atas merupakan kenyataan bahwa Indonesia kini telah memiliki sistem keuangan negara sendiri, sehingga terlepas dari berbagai pengaruh ketentuan keuangan kolonial yang antara lain bertahun 1800-an.

Oleh sebab itu, sudah selayaknya bila semua pihak memberi apresiasi dan berusaha memahami sebaik-baiknya, seperti ungkapan bahasa Prancis di bawah ini :

----SI ON A PAS CE QUE L’ON AIME, IL FAUT AIMER CE QUE L’ON A ---

Salam

(SS)

Catatan :

Dalam rangka memenuhi saran dan pendapat berbagai pihak, artikel dalam Blog ini dikategorikan dalam :

* RUBRIK, yaitu artikel yang ditulis sesuai dengan design topik yang telah ditetapkan dalam blog ini.

* INTERMEZZO, yaitu artikel yang membahas masalah-masalah keuangan negara yang bersifat actual.

* TANGGAPAN, yaitu artikel yang berisi respons terhadap pertanyaan atau komentar pembaca yang, karena sifatnya, perlu dijelaskan secara lebih detail.



- - - - - -



Monday, January 11, 2016

PERUM – PERSERO :  Sebuah Ambivalensi
(Intermezzo)

Badan usaha milik Negara adalah sebuah nama generik. Sebuah nama yang berusaha mencitrakan peran baru Negara. Sebuah nama yang dirancang dari sebuah paduan gagasan yang tertuang dalam Undang-undang Dasar dan sejarah masa lalu yang panjang. Itu sebabnya, ketika nama tersebut dicanangkan dalam sebuah undang-undang, sifat atau karakter lembaga tersebut tergambar utuh.
Semua itu dapat dilihat dengan jelas sebagaimana tertuang dalam pasal 2 Undang-undang No. 19 tentang BUMN  di bawah ini :  
a. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya;
b.   mengejar keuntungan;
c.  menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak;
d.  menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi;
e. turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Bila saja para penyusun undang-undang tersebut berpikir secara konsisten, sesuai dengan maksud yang terkandung dalam pembentukan institusi badan usaha milik Negara tersebut, seharusnya urutannya dimulai dari c, d, e, baru kemudian a, dan b.
Maksudnya, bahwa sesuai dengan maksud Undang-undang Dasar 1945 diciptakannya sebuah institusi usaha milik Negara (BUMN) utamanya ditujukan untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat.  Sedangkan tujuan mengejar keuntungan yang merupakan motif utama bagi institusi sejenis di sektor privat, bagi badan-badan usaha milik Negara lebih merupakan cara atau teknik pengelolaan usaha itu sendiri. Artinya, bahwa di dalam pengelolaannya badan-badan usaha milik Negara harus mempertimbangkan formula sebagaimana diterapkan di sektor privat. Sehingga kegiatan dimaksud akan mampu memberikan hasil in money term, yaitu laba usaha.
Namun, tampaknya berbagai pihak justru membawa pemikiran dasar tersebut berkembang menuju ke arah yang berbeda ketika gagasan penyusunan Undang-undang tentang BUMN mulai dilontarkan. Lihat saja misalnya, bagaimana pemikiran ambivalensi tersebut dimulai.
Dari data-data yang berhasil dihimpun, kenyataan menunjukkan bahwa kinerja badan usaha milik negara pada umumnya sangat rendah, sehingga hanya mampu menampilkan kerugian dalam neraca tahunannya. Hal ini ternyata terjadi pada sebagaian besar badan usaha milik negara yang ada. Alih-alih menjadi sumber alternatif bagi penerimaan negara dari sektor penerimaan negara bukan pajak, sebagian badan usaha tersebut justru membebani pemerintah dengan cara meminta tambahan permodalan melalui penyertaan modal pemerintah.
Celakanya, justru berbagai pihak cenderung sependapat dengan pernyataan bahwa situasi tersebut adalah disebabkan karena status badan usaha yang tidak jelas. Yaitu, menurut mereka, tidak independen. Badan-badan usaha milik pemerintah tersebut dikendalikan oleh para birokrat dengan cara-cara yang birokratis. Berbagai pihak justru lebih ekstrim berpendapat bahwa badan-badan usaha milik negara tersebut adalah merupakan mesin pencari uang bagi rezim yang tengah berkuasa. Artinya, bukan saja para birokrat di lembaga eksekutif, tetapi juga para anggota di legislatif.
Dengan mengambil acuan praktek yang terjadi di negara-negara tertentu, berbagai pihak berpendapat agar gagasan untuk melepaskan diri dari kompleksitas birokrasi harus segera direalisasikan. Dari sinilah lahirnya pemikiran agar segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas dapat diberlakukan untuk badan usaha milik negara. Sebuah independensi dari pemilik, yaitu negara. Dalam pandangan mereka, badan usaha milik negara adalah sebuah unit pencari keuntungan bagi pemerintah  (profit centre branch of the government)  yang tidak berbeda dengan mesin pencari keuntungan milik pengusaha swasta pada umumnya.
Atas dasar itulah kemudian, menurut mereka, peran dan keberadaan badan usaha milik negara, dalam konteks pengelolaan keuangan negara,   perlu dipikirkan kembali. Toh, di masa lalu (zaman Hindia Belanda) dikenal juga dua jenis perusahaan, yaitu perusahaan rezim ICW dan perusahaan rezim IBW. Oleh karena itu, apa salahnya bila konsep perusahaan rezim IBW yang dijadikan model dalam mendirikan badan usaha milik negara dengan orientasi sebagaimana layaknya perusahaan milik swasta murni. Dan, itu dapat dilakukan dengan sekedar menyesuaikan maksud dan tujuan pendirian badan usaha milik negara yang murni ditujukan sebagai mesin pencari keuntungan.
Oleh sebab itu, maksud dan tujuan pendirian badan-badan usaha milik negara dengan label PT-Persero kemudian difokuskan hanya pada dua hal, yaitu : a. menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat; b. mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan. Tanpa harus memikirkan tanggungjawabnya sebagai suatu unit pemerintah terhadap negara dan rakyat.  
Pada kenyataannya, dengan berbekal pada hal-hal yang dijadikan landasan pemikiran untuk melahirkan PT-Persero tersebut di atas, yaitu bahwa perlu adanya badan usaha milik negara sebagai unit pencari keuntungan bagi pemerintah (profit centre branch of the government) yang tidak berbeda dengan mesin pencari keuntungan milik pengusaha swasta pada umumnya yang kini dituangkan dalam ketentuan perundang-undangan, berbagai pihak kemudian menempatkan BUMN dengan bentuk PT-Persero tak ubahnya seperti halnya perusahaan swasta murni. Hanya saja suatu kebetulan bahwa pemiliknya adalah Negara. Tidak lebih dari itu !  Sebagai korporasi, badan-badan usaha tersebut tidaklah perlu menempatkan dirinya sebagai bagian dari pemilik, yang nota-bene adalah negara, khususnya dalam hal kewajiban terhadap negara dan juga rakyat.
Bila diperhatikan, ini adalah merupakan pangkal dari berbagai masalah yang selalu timbul dalam hubungan antara badan usaha milik negara dengan Pemerintah sebagai pemiliknya. Padahal, bila dirunut dengan cermat gagasan tentang lahirnya badan usaha milik negara tersebut sikap ambigu yang selalu ditampilkan oleh berbagai pihak seharusnya tidak pernah lahir.
Bukan saja mengacu pada Undang-undang Keuangan Negara yang merupakan hukum positif yang dijadikan landasan penyusunan berbagai ketentuan perundang-undangan tentang badan usaha milik negara, praktek yang terjadi selama ini yang mewajibkan badan-badan usaha milik negara memikul tanggungjawab negara di bidang kesejahteraan masyarakat maupun perekonomian nasional pada umumnya adalah suatu bentuk bukti nyata.
*

*        *   

Wednesday, January 6, 2016


CORPORATE SOCIAL RESPONSABILITY (CSR) DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DI INDONESIA
(intermezzo)

Introduksi

Kendati gagasan tentang Corporate Social Responsability (CSR), atau yang kemudian diterjemahkan secara bebas dengan Tanggungjawab Sosial Perusahaan, sudah cukup lama diimplementasikan pada korporasi di berbagai negara, geliat penerapannya di Indonesia, bila diperhatikan, baru terasa beberapa tahun belakangan ini.

Masyarakat luas memahami bahwa CSR adalah sesuatu yang diberikan oleh sebuah korporasi kepada masyarakat. Itu sebabnya, mereka demikian menikmati arti CSR ini ketika di hari raya memperoleh fasilitas pulang gratis dan lain sebagainya yang disediakan oleh perusahaan tertentu yang selama ini, secara tidak langsung, telah terbantu dengan kegiatan operasi usaha mereka. Atau, menerima donasi sembako pada hari-hari di mana kehidupan bagi sebagian masyarakat kecil terasa mulai lebih sulit dari biasanya.

Ini adalah sebuah contoh pemahaman yang keliru tentang pengertian CSR. Masyarakat luas memang hanya memiliki pemahaman sebatas seperti itu. Mereka berpendapat bahwa CSR adalah suatu bentuk pemberian dari sebuah korporasi kepada masyarakat. Sebuah donasi atau sumbangan. Pemahaman seperti itu, dalam kenyataannya bukan hanya dimiliki oleh masyarakat yang berpredikat sebagai awam, tetapi juga dimiliki oleh berbagai kalangan pengusaha yang mengendalikan sebuah korporasi.

Yang paling memprihatinkan adalah bahwa trend pemahaman seperti itu juga dimiliki oleh para pejabat yang mengendalikan badan-badan usaha milik negara. Oleh karena itu, bila diperhatikan tidak sedikit program di beberapa badan usaha milik negara yang tidak/ kurang berhasil kemudian disumbangkan kepada pihak-pihak tertentu yang kemudian diberi label CSR.

A.      CSR Sebagai Sebuah Konsep

Berbagai kepustakaan mengindikasikan bahwa lahirnya pemikiran tentang Corporate Social Responsability (CSR) semula dipicu oleh adanya keinginan perusahaan untuk mengurangi  benturan yang mungkin terjadi dengan masyarakat sekitar. Atas dasar pemikiran dimaksud, banyak pihak berpendapat bahwa terdapat unsur yang kurang positif dari sebuah korporasi dalam masalah konsep CSR tersebut. Yaitu, bahwa CSR dipandang sebagai unsur untuk melemahkan sikap atau pendapat masyarakat terhadap hal-hal yang merugikan masyarakat itu sendiri. Atau, dalam terminology yang lebih konkrit yang biasa digunakan sehari-hari, adalah semacam ‘suap’ lah kepada masyarakat. Walaupun, terhadap pandangan itu sendiri, banyak pihak yang kurang sependapat.

Namun, apa pun yang menjadi motifnya, ditinjau dari sudut pandang sebuah korporasi, kegiatan CSR pada prinsipnya adalah sebuah kegiatan yang ditujukan untuk mencegah gangguan yang dilakukan oleh masyarakat atau dalam terminology yang lebih umum dikenal sebagai  interupsi usaha.

Terkait dengan itu, agar kegiatan bisnisnya tidak terganggu, sebuah korporasi harus dapat membina hubungan yang harmonis dengan masyarakat sekitar. Akan tetapi, tidak terlepas dari motif tindakan dalam sebuah korporasi, kegiatan CSR selain harus memberikan manfaat nyata yang dapat dirasakan oleh masyarakat, harus pula dituntut untuk dapat memberikan manfaat kepada perusahaan.

Mengacu pada pemikiran tersebut di atas, berbagai pihak sering salah menafsirkan bahwa CSR merupakan kegiatan yang ditujukan untuk kepentingan promosi (branding promotion). Misalnya saja, dilakukan dalam bentuk pemberian fasilitas atau bantuan kepada masyarakat tertentu yang bersifat insidentil.

Padahal, CSR seharusnya merupakan sebuah kegiatan perusahaan yang terkonsep dengan baik. Sebuah kegiatan yang ditujukan untuk kemajuan masyarakat dan lingkungannya yang terdampak dari berbagai aspek operasional perusahaan.

Bila demikian halnya, CSR pastilah bukan suatu kegiatan yang bersifat jangka pendek atau bahkan bersifat insidentil, melainkan sebuah kegiatan yang berkesinambungan. Oleh karena itu, program/ kegiatan CSR harus merupakan investasi yang terencana dengan baik dalam suatu periode jangka panjang untuk menciptakan pertumbuhan dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Dengan demikian, program/ kegiatan CSR akan memiliki dampak yang nyata dan terukur.

Dalam pada itu, mengingat program/ kegiatan CSR pada hakekatnya ditujukan untuk kepentingan masyarakat sekitar (terdampak), hampir dapat dipastikan bahwa kegiatan CSR tidak terkait dengan kegiatan inti (core business) perusahaan. Hal tersebut membawa konsekuensi bahwa kegiatan CSR tidak selayaknya dibiayai dari dana operasional perusahaan. Oleh karena itu, dalam praktek, kegiatan CSR sebuah korporasi tidak dibiayai dari dana operasional  perusahaan, melainkan dari keuntungan perusahaan.

B.       Pengelolaan Keuangan Negara

1.        Hak dan Kewajiban Negara

Berdasarkan Hukum Keuangan Negara, pengelolaan keuangan negara harus dilihat dari sudut pandang hubungan antara Pemerintah dan rakyatnya (gouvernant et gouvernes), baik dari segi politis, ekonomis, dan hukum, khususnya terkait dengan pengertian hubungan hukum antara Negara/ Pemerintah dengan rakyat.

Menurut  studi Ilmu Keuangan Negara, dengan mengacu pada hak-hak azasi masyarakat yang secara rinci dituangkan dalam Declaration of Human Right yang kemudian dimuat dan dijadikan landasan  Konstitusi berbagai Negara di dunia, secara konstitusional Pemerintah berkewajiban untuk menjamin kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan barang dan jasa publik. Sebagaimana kemudian disadari, penyediaan barang dan jasa publik dimaksud dapat dibiayai melalui sistem perpajakan maupun melalui sistem ‘sharing’ tergantung dari sifat barang dan jasa publik yang bersangkutan.

Hal-hal, yang pada hakekatnya mencakup cara penyediaan barang dan jasa publik dimaksud, yang meliputi bagaimana pendanaan harus dicari, dialokasikan, dan kemudian digunakan itulah  yang kemudian merupakan obyek tata kelola keuangan rumah tangga Negara yang dikenal dengan tata kelola Keuangan Negara. Oleh karena itu, pengelolaan keuangan Negara, sesuai dengan peran Negara pada zamannya, hanya terfokus pada  keuangan rumah tangga Negara, yang dikenal dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Kendati kewajiban Pemerintah untuk menjamin kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan barang dan jasa publik dalam rangka menjamin kesejahteraan masyarakat sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi tidak berubah,  peran Negara di era modern berkembang secara signifikan seiring dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.

Bentuk, cara, dan pola penyediaan layanan dimaksud kemudian berpengaruh terhadap cara atau model pembiayaannya. Hal-hal tersebut pada gilirannya melahirkan lembaga-lembaga sebagai unsur Pemerintah dalam pengambilan keputusan di bidang keuangan Negara.

Pemikiran di era modern tersebut membawa konsekuensi dalam bentuk perubahan terhadap konsepsi Keuangan Negara yang semula sempit ke arah pengertian yang lebih  luas. Yaitu, yang semula menempatkan Pemerintah sebagai subyek, yang semata-mata mengelola keuangan Negara untuk memenuhi layanan publik  melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, kemudian berkembang menjadi Pemerintah dalam peran barunya yang mencakup semua unsur Pemerintah yang memiliki kewenangan pengambilan keputusan keuangan dalam rangka pelaksanaan perannya dalam arti luas. Konsepsi baru Keuangan Negara ini kemudian dikenal dengan Keuangan Sektor Publik.

Konsekuensi perubahan terhadap konsepsi Keuangan Negara menjadi Keuangan Sektor Publik tersebut, secara substansi, merubah cakupan keuangan negara yang kemudian meliputi keuangan :

-     Unit-unit Pemerintah sebagai penghasil barang/ jasa publik, yaitu: kementerian/ lembaga Negara, dan unit nir laba;
-     perusahaan Negara di bawah kementerian yang anggarannya dikelola dalam APBN yang diserahi tugas untuk menghasilkan barang dan jasa publik;
-     perusahaan Negara dengan penganggaran tersendiri yang diserahi tugas untuk menghasilkan barang dan jasa publik;
-     lembaga keuangan Pemerintah, termasuk bank sentral, bank umum, dan lembaga asuransi.

2.        CSR Dalam Pengelolaan Keuangan Negara

Sebagaimana dikemukakan di atas, bila tujuan utama CSR adalah untuk mencegah interupsi usaha, pertanyaan yang perlu dikemukakan pada kesempatan ini adalah  ‘apakah dalam kedudukannya sebagai unit pemerintah, sebuah badan usaha milik negara memerlukan program/ kegiatan seperti CSR ?’

Dengan mengacu pada hal-hal yang telah disampaikan di atas, jawabannya seharusnya adalah ‘ Tidak.’   Hal ini mengingat tujuan pendirian badan usaha milik negara itu sendiri, antara lain, adalah untuk menyediakan layanan publik. Artinya,  bahwa lahirnya  badan usaha milik negara sejak semula adalah ditujukan untuk memenuhi kepentingan publik.  Yaitu, merupakan tujuan yang tidak berbeda dengan unit-unit pemerintah lainnya.

Bila demikian halnya, program yang dikembangkan untuk kegiatan CSR, nantinya akan  tumpang tindih dengan kegiatan pokok (core business) badan usaha itu sendiri. Atau pun bila tidak, akan tumpang tindih (overlap) dengan kegiatan lain yang pada hakikatnya tertuju untuk penyelenggaraan layanan publik yang menjadi tugas pemerintah. Yaitu, kegiatan yang dilaksanakan oleh kemeterian/ lembaga.

Kendati tentunya tidak semua pihak sependapat dengan pemikiran di atas, paling tidak berbagai pihak sependapat bahwa kalau pun diperlukan adanya CSR, hendaknya kegiatan CSR tersebut tidak harus identik dengan pola CSR yang diterapkan pada sebuah korporasi pada umumnya. Artinya, perlu dipikirkan model yang sesuai dengan sifat lembaga korporatif milik negara tersebut.

C.      Implementasi CSR pada BUMN di Indonesia

Berbagai hal yang perlu mendapat perhatian terkait dengan pelaksanaan CSR di Indonesia adalah sebagaimana disampaikan dalam penjelasan di bawah ini.

1.        Model yang bersifat spesifik

Terlepas apakah pemikiran tersebut di atas dijadikan dasar pertimbangan ataupun tidak, praktek penyelenggaraan CSR pada badan usaha milik negara ternyata relatif berbeda dengan pola yang selama ini diselenggarakan pada perusahaan-perusahaan pada umumnya. Sebagaimana dituangkan dalam pasal 88 (1) UU no. 19 tahun 2003 tentang BUMN, pola tersebut adalah seperti di bawah ini.

Sejak awal, program CSR pada badan-badan usaha milik negara telah diarahkan untuk kegiatan tertentu yang telah ditetapkan. Konkritnya, bahwa dana-dana yang disisihkan oleh korporasi dimaksud digunakan untuk membiayai dua kelompok program/ kegiatan. Yaitu, sebagian untuk pembinaan usaha kecil, dan sebagian lagi digunakan untuk pemberdayaan kondisi lingkungan. Bila dicermati, ini adalah merupakan perbedaan signifikan yang tampak dalam penyelenggaraan program CSR pada badan-badan  usaha milik negara dibandingkan dengan program CSR yang dilaksanakan pada perusahaan-perusahaan swasta pada umumnya.

Program kelompok pertama, yang dikenal dengan nama Program Kemitraan, adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri. Program dimaksud berbentuk :

1. Pemberian pinjaman untuk modal kerja dan/atau pembelian Aktiva Tetap Produktif,
2. Pinjaman khusus bagi UMK yang telah menjadi binaan yang bersifat pinjaman tambahan dalam rangka memenuhi pesanan dari rekanan usaha UMK Binaan,
3. Program pendampingan dalam rangka peningkatan kapasitas (capacity building) UMK binaan dalam bentuk bantuan pendidikan/pelatihan, pemagangan, dan promosi.

Sementara itu, program kelompok kedua dinamakan Program Bina Lingkungan. Sesuai dengan namanya, program dimaksud mencakup berbagai aspek sosial kemasyarakatan. Cakupan kegiatan Program Bina Lingkungan meliputi pemberian bantuan untuk bencana alam, bantuan pendidikan dan pelatihan, bantuan prasarana umum, bantuan kesehatan masyarakat, bantuan sarana ibadah serta bantuan pelestarian alam.

2.        Pola Pembiayaan

Sebagaimana layaknya yang berlaku dalam dunia korporasi, program-program CSR di Indonesia juga disediakan oleh BUMN yang berasal dari penyisihan keuntungan bersih perusahaan. Sesuai ketentuan, dana yang disediakan untuk CSR tidak melebihi 4% dari keuntungan bersih perusahaan. Yaitu, sebagian untuk membiayai Program Kemitraan, dan sebagian lainnya untuk Program Bina Lingkungan.

Dengan mengacu pada pola pembiayaan di atas, secara prinsip, Program Kemitraan dimaksud akan dibiayai melalui penyisihan keuntungan dengan porsi tidak lebih dari 2% dari keuntungan bersih badan usaha yang bersangkutan. Disamping itu, sebagaimana kemudian ditetapkan dalam ketentuan, program dimaksud dapat pula dibiayai dari hasil pengelolaan dana itu sendiri yang terakumulasi di lembaga pengelolanya.  Melalui program ini setiap UMK yang telah berkembang diharapkan juga dapat menyerap tenaga kerja dari masyarakat lokal, sehingga mereka mendapatkan penghasilan.

Dibandingkan dengan Program Kemitraan, program Bina Lingkungan memiliki dimensi yang lebih luas dan lebih variatif sifatnya. Namun demikian, dari sisi pendanaan, seperti halnya Program Kemitraan, program ini pun dibiayai  melalui penyisihan keuntungan dengan porsi tidak lebih dari 2% dari keuntungan bersih badan usaha yang bersangkutan. Disamping juga tentunya dari hasil pengelolaan dana itu sendiri yang terakumulasi di lembaga pengelolanya.

Dari pola pembiayaan yang kini dikembangkan,  tampak bahwa program CSR (PKBL) telah mengakibatkan terjadinya penurunan bagian laba pemerintah, selaku pemegang saham/ pemilik. Hal tersebut disebabkan karena keuntungan bersih yang seharusnya hanya diperuntukkan sebagian sebagai Dana Cadangan (Equity) dan sebagian lagi berupa Deviden untuk Negara, kini harus dikurangi untuk pendanaan program PKBL.

Lebih dari itu, beberapa pihak tampaknya berpendapat bahwa program PKBL memiliki pengaruh pula terhadap Penyertaan Modal Pemerintah (PMN) sehingga menjadi understated.

*

*           *