KASUS
HAMBALANG : Sebuah Cerita Tentang Kacang Panjang Dan Kacang Pendek (Intermezzo)
(….. bagian akhir)
OPERASIONALISASI
KESEPAKATAN POLITIS
Bila aspek politik keuangan negara secara substansi
mengatur hubungan hukum antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dalam
rangka penyusunan dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN),
aspek administratifnya mengatur hubungan hukum antar instansi dalam lembaga
eksekutif dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara
(APBN).
Sehubungan
dengan itu, dapat dilihat dalam hal ini tindakan di sisi administratif ini, bila diperhatikan, berupa serangkaian tindakan (sequential act) operasional
yang akan dapat mewujudkan gagasan yang
terkandung dalam dokumen kesepakatan (UU APBN) menjadi kenyataan. Tindakan tersebut diawali dengan pemberian
kewenangan oleh Presiden sebagai Kepala Pemerintahan kepada para pembantunya, kemudian
diikuti dengan tindakan penerbitan dokumen yang dijadikan dasar dalam
melaksanakan UU APBN, dan terakhir adalah pelaksanaan kegiatan.
1.
Otorisasi Presiden
Secara konkrit, aspek
administratif keuangan negara terkait dengan teknik bagaimana Undang-undang
APBN dilaksanakan. Yakni, mengatur bagaimana kesepakatan antara
lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang telah dituangkan dalam Undang-undang
APBN dapat diwujudkan oleh berbagai instansi di dalam Kementerian/ Lembaga.
Mengawali
tahapan administratif tersebut, sebagai tindak lanjut dari pemberian otorisasi
parlementer yang diberikan kepada Pemerintah, Pemerintah, dalam hal ini
Presiden, kemudian menerbitkan Otorisasi Presiden (Presidential Authorization)
yang ditujukan kepada para Menteri/ Pimpinan Lembaga sebagai pengguna anggaran (budget user).
Secara
substansi, Otorisasi Presiden tersebut berupa pemberian mandat/ kuasa kepada
para Menteri/ Pimpinan Lembaga untuk melaksanakan berbagai kegiatan beserta
alokasi dana sebagaimana telah dituangkan dalam Undang-undang APBN. Di dalam
system pengelolaan keuangan Negara Indonesia, Otorisasi Presiden dimaksud
diwujudkan dengan Peraturan Presiden yang mengatur tentang rincian APBN.
Bila
dicermati dengan saksama, lahirnya Otorisasi Presiden tersebut mengandung dua
makna penting. Pertama, di pihak Kementerian Keuangan, dan kedua, di pihak
Kementerian/ Lembaga.
Di
pihak Kementerian Keuangan keputusan Presiden tersebut menandai :
pertama, berakhirnya peran Menteri Keuangan
yang selama pembahasan bersama DPR bertindak mewakili Presiden dan berperan selaku Penguasa Fiscal (Fiscal Authority); dan
kedua, menandai dimulainya peran Menteri
Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (Treasurer) yang mengendalikan
pengeluaran berbagai kementerian/ lembaga agar bertindak sesuai UU APBN dan
mematuhi aturan dalam tata kelola administrasi Keuangan Negara.
Sedangkan
di pihak Kementerian/ Lembaga, keputusan tersebut membebankan kewajiban kepada
para Menteri untuk melaksanakan
kesepakatan yang telah disetujui antara Pemerintah dengan DPR sesuai bidangnya
masing-masing.
Dengan
demikian, terkait dengan makna kelahiran Otorisasi Presiden tersebut --khususnya
makna kedua--, berbagai tindakan para
pejabat publik dalam pelaksanaan APBN (dalam tahapan administratif) hanya
merupakan operasionalisasi keputusan
politis. Dengan kata lain, berbagai tindakan/ keputusan para pejabat publik
terkait dengan pelaksanaan APBN adalah sekedar membuat berbagai keputusan yang
telah dituangkan dalam APBN menjadi sesuatu yang nyata.
Perubahan
dalam bentuk apa pun, kecuali telah diberikan mandat sebelumnya oleh Lembaga
Legislatif, ditinjau dari sudut Hukum Keuangan Negara, merupakan suatu bentuk
pelanggaran. Hal ini karena setiap perubahan yang terjadi sebagai akibat
keputusan pejabat public dapat
dipastikan akan melanggar prinsip pengelolaan Keuangan Negara (Golden
Principles) sebagaimana dikemukakan di atas.
2. Penerbitan
Dokumen Pelaksanaan Anggaran
Dalam
rangka mengoperasionalkan keputusan politik yang tertuang dalam UU APBN, setiap
Kementerian/ lembaga kemudian wajib menyusun dokumen pelaksanaan. Di dalam sistem tata kelola Keuangan Negara
Indonesia -- menurut undang-undang bidang Keuangan Negara – dokumen dimaksud
dikenal dengan nama Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).
Secara
prinsip, sesuai alur pemikiran yang disampaikan di atas, DIPA suatu
kementerian/ lembaga berisi segala rincian kegiatan dan sekaligus rincian
pembiayaan (anggaran) yang diperlukan yang akan dilaksanakan selama satu tahun
ke depan. Sebagai alat operasional, dokumen (DIPA) tersebut kemudian terbagi
dalam unit-unit kerja kementerian/ lembaga yang dikenal dengan istilah Satuan
Kerja (Satker). Artinya, setiap Satker akan memiliki dokumen pelaksanaan
anggaran (DIPA) sendiri-sendiri sebagai alat operasional dalam melaksanakan
kegiatannya.
Bila
dicermati, dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA) tersebut memiliki dua arti
penting. Pertama, dilihat dari sudut Hukum Keuangan Negara; dan kedua, dilihat
dari sudut manajemen, khususnya, manajemen keuangan negara.
Ditinjau
dari sudut Hukum Keuangan Negara, DIPA merupakan
dokumen yang memiliki karakter otorisasi yang
dijadikan dasar bagi pelaksanaan pengeluaran negara.
Bila
diperhatikan dengan seksama, penerbitan DIPA tersebut merupakan bagian terakhir
dari suatu rangkaian pemberian otorisasi (kewenangan). Yaitu, yang dimulai
dengan Otorisasi Parlemen (otorisation parlementaire) dari lembaga
legislatif kepada lembaga eksekutif yang
berupa UU APBN; kemudian diikuti dengan Otorisasi Pemerintah (Otorisation
Gouvernementale) dari Presiden kepada setiap kementerian/lembaga yang
diwujudkan dalam bentuk Peraturan Presiden tentang Rincian APBN; dan terakhir, Otorisasi Kementerian (Otorisation
Ministeriele) dari Kepala Kementerian/ Lembaga kepada para pejabat
bawahannya (Kepala Satuan Kerja) dalam bentuk DIPA.
Terkait
dengan itu, penerbitan berbagai (surat) keputusan oleh pejabat publik dalam
pelaksanaan APBN bukan merupakan keputusan yang berdiri sendiri, melainkan
merupakan akibat dari suatu keputusan politis yang telah diambil dalam rangka
penyusunan dan penetapan Undang-undang APBN. Penerbitan surat keputusan oleh
para Pejabat Publik dimaksud adalah suatu bentuk tindakan dalam pemenuhan unsur
untuk melengkapi langkah operasionalisasi keputusan politis.
Sedangkan
ditinjau dari sisi lainnya, yaitu dari sudut manajemen keuangan negara, DIPA
merupakan sebuah dokumen acuan bagi pelaksanaan kegiatan dan anggaran untuk
setiap satuan kerja sebuah kementerian/ lembaga. Dus, DIPA tersebut merupakan
alat kendali (means of control). Yaitu, merupakan alat kendali operasional agar:
- berbagai keputusan yang dilakukan oleh para pejabat publik di kementerian/
lembaga tetap mengacu dan sejalan dengan keputusan politik,
- pelaksanaan kegiatan dan pelaksanaan pengeluaran anggarannya tetap
memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan anggaran (keuangan negara), antara
lain: prinsip annualitas, prinsip spesialitas, dlsb.
Kedua hal di atas itulah, pada hakekatnya,
yang melandasi makna hubungan antara UU APBN dengan DIPA.
3. Bintang
pada tahapan Administratif
Disamping
dalam tahapan politis, pemberian tanda bintang dapat pula diberikan pada
tahapan administratif. Pemberian tanda bintang di dalam tahapan administratif
ini dilakukan semata-mata karena alasan yng berkaitan dengan masalah pencairan
dana. Terkait dengan itu, pemberian tanda bintang tersebut di dasarkan antara
lain karena :
1) belum
ditetapkannya pejabat perbendaharaan;
2) ketidakjelasan
kode satuan kerja;
3) ketidakjelasan
kantor bayar;
4) dlsb.
Dalam
kaitan ini, mengingat pemberian tanda bintang pada hakekatnya merupakan tanda
peringatan (alert) kepada
kementerian/ lembaga yang menyatakan bahwa terdapat kendala dalam masalah
pencarian dana, pemberian tanda bintang ini dilakukan oleh Menteri Keuangan
selaku Bendahara Umum Negara (BUN).
Oleh
sebab itu, walaupun dalam hal penyediaan (alokasi) dana anggaran, DPR tidak
membubuhkan tanda bintang, dalam pelaksanaan, Menteri Keuangan, selaku BUN,
dapat membubuhkan tanda bintang karena alasan belum terpenuhinya persyaratan
administratif.
4. Pelaksanaan
Kegiatan
Satu
hal yang menjadi kunci dalam pelaksanaan kegiatan terkait dengan alokasi
pendanaan yang tercantum dalam UU APBN adalah, bahwa proses pelaksanaan pengeluaran
negara untuk pembiayaan kegiatan dimaksud harus mengikuti prosedur baku dan
berpatokan pada norma-norma pengelolaan keuangan negara. Keharusan tersebut
merupakan kunci untuk menghindarkan
Negara dari kemungkinan mengalami
kerugian.
Sejalan dengan itu, pemikiran utama yang harus dijadikan landasan
bagi para pejabat / pengelola keuangan negara dalam melakukan tindakan
pengeluaran negara adalah dengan menghindarkan terjadinya kerugian negara.
Tindakan tersebut diawali dengan memastikan terselenggaranya
organisasi pengelolaan keuangan negara di semua unit jajarannya agar mampu menjamin terselenggaranya mekanisme chek and balance diantara para pejabat
pemegang kewenangan. Selanjutnya, adalah
menjamin bahwa terhadap keputusan pejabat pengambil keputusan yang dapat
mengakibatkan pengeluaran negara tersebut harus dilakukan pengujian-pengujian yang diperlukan, yaitu
pengujian dari aspek wetmatigheid, rechtmatigheid dan doel matigheid.
Maksud yang terkandung dalam tindakan pengujian dimaksud, pada
prinsipnya, adalah memberikan jaminan atau kepastian bahwa pemerintah :
- telah memperoleh haknya dalam perikatan yang
dibuatnya dengan pihak lain (rekanan),
- hanya akan membayar kepada pihak lain
berdasarkan kesepakatan/ perikatan yang dibuatnya, dan
- pembayaran tersebut sesuai dengan prestasi
yang diterimanya dalam koridor perikatan yang ada.
SEPERTI
MEMBACA TULISAN ARAB
Dari sisi historis, sejak ketika gagasan
membangun sebuah sekolah olah raga diluncurkan oleh Menpora pada tahun 2006
konon Hambalang adalah sebuah proyek sederhana dengan dana hanya sebesar 125 Milyar. Perkembangan yang digagas oleh Menpora yang
baru sebagaimana kemudian dituangkan
dalam UU APBN 2010 ternyata hanya mampu menambah alokasi dana dari 125 M
menjadi 275 M, alias hanya terjadi peningkatan sebesar 150 M.
Dari caranya DPR memberikan alokasi dana
untuk tahun Anggaran 2010, tahun 2011,
dan tahun 2012 semua pihak tentunya memahami bahwa Hambalang hanyalah sebuah proyek tahunan yang
dibangun secara berkelanjutan. Bahkan, menurut berbagai pihak, untuk tahun
anggaran 2012 DPR tidak lagi memberikan alokasi dana dalam UU APBN.
Hal itu memberikan indikasi yang sudah sangat
jelas bahwa proyek tersebut tidak pernah masuk dalam proses penyusunan anggaran
yang dituangkan dalam pola MTEF. Dus, sebuah kegiatan yang dari semula secara
transparan memang tidak tampak sebagai sebuah kesatuan utuh yang dibiayai
melalui beberapa tahun anggaran yang secara konsepsi teoritik didefinisikan
sebagai kegiatan pluri annuel (multi year). Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila
kini berbagai pihak di DPR bersikukuh bahwa mereka tidak pernah memberikan
persetujuan terhadap status multi year
terhadap proyek Hambalang.
Mengacu pada penjelasan terdahulu, bagi DPR,
menyetujui alokasi anggaran suatu kegiatan haruslah dimulai dari persetujuan
terhadap kegiatannya terlebih dahulu. Ini adalah perwujudan dari konsepsi performance based approach yang memulai
dengan pertanyaan what are you going to
do ? Baru kemudian dipertimbangkan alokasi anggarannya bila kegiatan yang diusulkan
disepakati. Konkritnya, harus ada perencanaan proyeknya terlebih dahulu, baru
kemudian diberikan persetujuan
anggarannya.
Jadi, menyusun anggaran dapat diibaratkan
seseorang membaca dengan menggunakan huruf Latin. Mulai dari sebelah kiri
menuju ke kanan. Mulai dari pertanyaan apakah ada rencana kegiatan/ proyek yang
feasible untuk disetujui ? Berapa
lama kegiatan tersebut akan diselesaikan ? Baru kemudian, lahirlah pertanyaan
terakhir, yaitu berapa biaya yang
dibutuhkan, dan untuk berapa tahun anggaran dana tersebut harus disediakan
?
Tetapi, dalam tahap pelaksanaan, prosesnya
justru terbalik. Tampaknya semua pihak harus sepakat dengan cara orang membaca huruf
Arab. Yaitu membaca dari kanan ke kiri.
Artinya, pertanyaannya harus dimulai dulu dari apakah tersedia alokasi anggaran
dalam UU APBN, baru kemudian dilaksanakan melalui kontrak. Secara konkrit, lahirnya
suatu kontrak atau ijin melakukan kontrak harus didasarkan pada ketersediaan alokasi
dana dalam UU APBN. Bukan dalam dokumen lainnya !
Bila dicermati, sebenarnya ini adalah praktek
sehari-hari yang dilakukan oleh para Pejabat Perbendaharaan di setiap
kementerian/ lembaga ketika akan melaksanakan suatu kegiatan. Tidak peduli
apakah itu Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Penandatangan SPM (PPSPM),
ataukah bahkan Pejabat yang mewakili Menteri Keuangan yang bertindak selaku
Bendahara Umum Negara.
Inilah suatu bentuk pengujian atau verifikasi
yang pada masa Hindia Belanda dikenal dengan nama wetmatigheid
verificatie. Suatu pengujian yang pada dasarnya mempertanyakan apakah
kegiatan yang akan dilaksanakan tersebut telah sesuai dengan Undang-undang,
yaitu maksudnya UU APBN. Dan, lebih mendasar lagi, mengingat UU APBN pada
dasarnya merupakan persetujuan terhadap kegiatan yang dikaitkan dengan alokasi
pendanaannya, pertanyaan yang diwujudkan dalam wetmatigheid verificatie tersebut adalah mempertanyakan ketersediaan
alokasi dana dalam UU APBN untuk kegiatan itu sendiri.
Nah, kalau saat ini ada pihak-pihak yang
menyatakan bahwa: “ saya kan hanya memberikan ijin pelaksanaan kegiatannya
saja, sedangkan soal alokasi dana bukan urusan saya “. Gimana dong ini
logikanya ? Nggak nyambung kan !
P E
N U T U P
Mungkin,
di antara anda yang sedang membaca blog ini ada yang bertanya, di mana dong
hubungannya kasus Hambalang dengan cerita kacang panjang dan kacang pendek yang
saya sampaikan di awal tulisan ini ?
Oh
ya, saya hampir lupa menceritakan, bahwa sambil menanam padi, para petani suka
menanam pohon kacang di pematang sawah sebagai tanaman tumpang sari. Buah
kacang yang umumnya merupakan sayuran tersebut, ternyata ada yang jenisnya
panjang, dan karena itu dinamakan kacang panjang. Ada pula yang pendek, sehingga dinamakan kacang pendek atau lebih dikenal dengan nama kacang
tunggak.
Walaupun
ketika disajikan sebagai sayur asem, kacang pendek dibiarkan dengan ukurannya
yang relatif panjang, semua orang akan bilang bahwa itu adalah sayur asem kacang
pendek. Sementara itu, ketika disajikan sebagai sayur tumis, kacang panjang
yang dirajang tipis-tipis/ pendek-pendek, tetap saja disebut sebagai tumis
kacang panjang.
Alhasil,
dalam closing statement yang saya sampaikan
sore itu saya begitu gembira. Semua peserta memiliki pemahaman yang sama, bahwa
penamaan kacang panjang atau kacang pendek adalah semata-mata karena nature . Karena sifat alaminya, atau
bahasa Betawinya : sudah dari sononya ! Bukan semau-mau kita untuk menyebut bahwa ini adalah kacang panjang, padahal
menurut kenyataan itu adalah kacang pendek.
Demikian
pula seharusnya dengan proyek Hambalang ! Untuk dapat memutuskan apakah Proyek
Hambalang merupakan kacang panjang atau kacang pendek, eh... maaf, maksud saya
proyek multi year atau proyek single year, harus diteliti terlebih dahulu dari asal-muasalnya.
Terkait
dengan itu, satu hal yang harus diperhatikan adalah, bahwa sejumlah kacang
pendek yang disusun berderet-deret hingga membentuk formasi serupa kacang
panjang, tetaplah kacang pendek. Bukan kacang panjang !
Semoga
sukses selalu !
*
* *