RAISON d'ETRE

Pada suatu saat, pernah terbetik suatu keinginan dari berbagai pihak, terutama para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), agar lembaga legislatif di republik kita ini memiliki hak untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana halnya lembaga eksekutif.

Pada suatu saat lain, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terpaksa harus menginap di ’hotel prodeo’, karena oleh para penegak hukum di republik ini telah dinyatakan melakukan korupsi berjama’ah. Padahal, berbagai keputusan yang dituduhkan kepada para anggota dewan yang terhormat tersebut ternyata diputuskan bersama-sama lembaga eksekutif dalam suatu forum sakral dan dituangkan dalam dokumen resmi yang disebut dengan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kemudian, banyak pihak dipaksa untuk mengernyitkan keningnya ketika mengetahui seorang petinggi pemerintahan dan juga seorang pejabat suatu perusahaan negara yang bergerak di bidang perbankan dituduh telah merugikan keuangan negara, padahal masyarakat menyang-sikan bahwa uang tersebut memang uang Negara dalam arti sebenarnya.

Sementara itu, para birokrat di berbagai lembaga pemerintah merasa ragu dalam mengambil keputusan, ataupun bahkan menolak menduduki jabatan tertentu terkait dengan pengelolaan keuangan negara, karena kurang memahami berbagai konsep (baru) keuangan Negara, sehingga khawatir tertimpa musibah.

Di lain pihak, karena ilmu keuangan negara yang disoroti dari berbagai dimensi keilmuan kurang berkembang di Indonesia, para cerdik pandai merasa ragu memasuki wilayah keilmuan ini, dan hanya sekedar mencoba meraba-raba dan membuat tafsiran dari sudut pandang keilmuan yang dimilikinya.

Itulah kira-kira sebagian alasan dibukanya BLOG yang khusus untuk mendiskusikan masalah-masalah keuangan Negara di Indonesia.

Partisipasi semua pihak dalam mendiskusikan berbagai permasalahan keuangan negara di republik ini akan merupakan usaha bersama untuk melakukan studi tentang konsepsi keuangan negara dan memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat.

Perlu disampaikan bahwa konsep baru keuangan negara yang dikembangkan oleh para pemikir yang kemudian dituangkan dalam paket undang-undang bidang keuangan negara maupun ketentuan derivasi lainnya, memang belum dapat dikatakan sempurna.

Namun bagaimanapun, lahirnya paket undang-undang tersebut di atas merupakan kenyataan bahwa Indonesia kini telah memiliki sistem keuangan negara sendiri, sehingga terlepas dari berbagai pengaruh ketentuan keuangan kolonial yang antara lain bertahun 1800-an.

Oleh sebab itu, sudah selayaknya bila semua pihak memberi apresiasi dan berusaha memahami sebaik-baiknya, seperti ungkapan bahasa Prancis di bawah ini :

----SI ON A PAS CE QUE L’ON AIME, IL FAUT AIMER CE QUE L’ON A ---

Salam

(SS)

Catatan :

Dalam rangka memenuhi saran dan pendapat berbagai pihak, artikel dalam Blog ini dikategorikan dalam :

* RUBRIK, yaitu artikel yang ditulis sesuai dengan design topik yang telah ditetapkan dalam blog ini.

* INTERMEZZO, yaitu artikel yang membahas masalah-masalah keuangan negara yang bersifat actual.

* TANGGAPAN, yaitu artikel yang berisi respons terhadap pertanyaan atau komentar pembaca yang, karena sifatnya, perlu dijelaskan secara lebih detail.



- - - - - -



Thursday, July 25, 2013


KERUGIAN NEGARA, BERAPA .... ? (Intermezzo)

Dari kasus korupsi kelas ‘kakap’ yang terungkap belakangan ini, terdapat beberapa hal yang menarik untuk disimak. Salah satu dari beberapa hal yang menarik tersebut, yang akhir-akhir ini diungkapkan oleh media massa,  adalah kenyataan adanya saling lempar tanggungjawab antara para pihak dalam mengungkapkan berapa sebenarnya kerugian yang diderita oleh negara. Terkait dengan itu, sekedar untuk memberikan ilustrasi, dengan harapan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang seharusnya memutuskan, dalam blog ini saya sajikan beberapa  tulisan terkait dengan bagaimana seharusnya kerugian negara tersebut dihitung. Alur logika yang digunakan, tentu saja, sesuai dengan spesifikasi blog ini, adalah dari sudut pandang Hukum Keuangan Negara. Bukan dari sudut pandang disiplin ilmu lain.
Salam,
SS



Pada tahun 2007, ketika saya menjadi pembicara dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seorang peserta dengan lantang mengusulkan agar penggantian kerugian negara yang diakibatkan karena kasus korupsi harus dilakukan setinggi-tingginya. Artinya, ganti rugi harus dilakukan melebihi besaran asset Negara yang hilang karena kasus korupsi. 

Dalam kesempatan lain, dapat dilihat ekspresi keinginan masyarakat untuk menghukum para koruptor dengan cara membuat mereka menjadi miskin. Wacana ini belakangan muncul bukan saja dalam diskusi ataupun berbagai artikel di media, melainkan juga dalam diskusi setengah resmi dalam rangka penyusunan ketentuan perundang-undangan.

Dalam mengamati situasi yang tampaknya lebih diselimuti oleh sikap emosional daripada rasional tersebut memang kemudian muncul pertanyaan, berapa sebenarnya kerugian yang harus dikembalikan kepada Negara dalam suatu kasus yang merugikan Negara ?

Bila diikuti kata hati dan perasaan masyarakat, terlebih dalam kondisi perekonomian dan kenegaraan seperti pada saat ini, menuntut pengembalian harta yang dikorupsi sebesar-besarnya hingga membuat si koruptor menjadi miskin rasanya adalah tindakan yang paling memihak rakyat. Dus paling memenuhi rasa keadilan.

Namun demikian, dengan tetap berlandaskan pada filosofi tentang keadilan, apakah hal tersebut dapat dibenarkan ?

TIDAK PASTI

Pasal 1365 BW yang dijadikan inspirasi lahirnya gagasan tentang kerugian Negara ternyata tidak mengatur secara khusus besarnya kerugian yang harus ditanggung oleh pihak yang bersalah.

Pernyataan ‘diwajibkan mengganti sebesar kerugian yang diderita oleh pihak yang dirugikannya’ membuka  kesempatan berbagai pihak untuk membuat penafsiran. Atau bahkan memungkinkan terjadinya penemuan hukum oleh pihak-pihak yang berwenang (baca: hakim di pengadilan).

Dengan ketiadaan ketentuan yang dijadikan acuan, berbagai pihak kemudian berusaha membuat penafsiran yang mendekati pemikiran dasar yang menjadi jiwa pasal itu sendiri (pasal 1365 BW).

Setelah mempelajari berbagai teori dan mengkaji berbagai kasus yang terjadi dalam peristiwa perbuatan melawan hukum, para ahli hukum berpendapat bahwa besarnya penggantian kerugian atas perbuatan melawan hukum dapat ditetapkan melalui teknik penafsiran secara analogis dengan mendasarkan pada konsep adequat (kepantasan).

Dengan memandang bahwa wan prestasi (cidera janji) merupakan perbuatan melawan hukum, dan akibat perbuatan wan prestasi, yaitu kerugian seseorang, dapat dengan jelas diukur, berbagai ahli hukum kemudian berpendapat bahwa besarnya kerugian yang ditanggung oleh seseorang adalah sama dengan besarnya kerugian sebagai akibat terjadinya perbuatan melawan hukum dalam bentuk cidera janji.

Terkait dengan itu, besarnya ganti rugi yang harus dibayarkan kepada pihak yang menanggung kerugian harus disesuaikan dengan perhitungan yang dibuat atas dasar unsur-unsur yang dijadikan dasar perhitungan sebagai akibat cidera janji. Besarnya kerugian  tersebut dengan jelas dinyatakan dalam pasal 1243 hingga pasal 1252 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Unsur-unsur kerugian dimaksud terdiri: biaya, hasil yang diharapkan, dan bunga. Ini adalah teknik penafsiran analogis.

Walaupun, sebenarnya, hal ini masih menimbulkan perdebatan panjang. Banyak di antara para ahli hukum sendiri yang masih mempersoalkan pengertian kerugian menurut pasal 1365 BW dan pasal 1243-1252 (tentang cidera janji) yang ternyata memiliki unsur yang berbeda. Yaitu, schade untuk pasal 1365 BW, dan kosten, schade, dan interessen untuk pasal   1243-1252.

Bila diperhatikan, pandangan para ahli hukum itu sendiri terpecah dalam dua school of thinking. Pertama, bahwa besarnya kerugian yang diderita adalah harus nyata. Artinya, sesuai dengan apa yang sebenarnya ditanggung oleh penderita. Pernyataan ini, bila diperhatikan, mengungkapkan nilai nominal yang telah dikeluarkan oleh yang bersangkutan sebelum terjadinya perbuatan yang merugikan dirinya. Kedua, yang dimaksudkan dengan kerugian tersebut termasuk keuntungan yang seharusnya diperoleh bila kejadian yang merugikan dirinya tidak terjadi.

Dalam pemikiran kelompok pertama tersebut di atas, berbagai pihak ternyata memasukkan pula unsur penyesuai, yaitu perubahan harga. Hal ini terjadi misalnya dalam kasus utang-piutang.

Sebagai contoh, dapat dikemukakan suatu kasus yang pernah diputuskan pengadilan di Negeri Belanda yang kemudian dijadikan yurisprudensiDalam suatu sengketa tentang utang-piutang, pertimbangan besarnya utang yang harus dibayar, yang setelah sekian lama tidak dapat ditagih, didasarkan pada perkembangan harga emas.

Dengan cara demikian, secara nyata nilai nominal utang tersebut tentunya akan berubah (naik). Tetapi, bila dinilai secara materiil sebenarnya tidak. Kenaikan tersebut, bila diperhatikan, hanya sekedar untuk mempertahankan kemampuan ekonomis utang tersebut yang diukur melalui daya belinya terhadap emas. Dari sudut pandang ini, nilai tersebut sama sekali tidak berubah.

Makna yang dapat diperoleh dari kasus utang-piutang tersebut adalah bahwa, bertambah besarnya nilai nominal utang ini, bila diperhatikan bukan karena adanya pertambahan penghasilan dari utang itu sendiri, akan tetapi semata-mata hanya untuk mempertahankan nilai ekonomis utang  tersebut.

Sedangkan menurut pemikiran kelompok kedua, besarnya kerugian yang ditanggung oleh pihak penderita adalah sebanding dengan berbagai keuntungan yang seharusnya diterima oleh yang bersangkutan, seandainya tindakan melawan hukum yang merugikan dirinya tersebut tidak terjadi.

Dalam perkembangan, berbagai pihak justru cenderung sependapat dengan pandangan kelompok kedua ini. Oleh sebab itu, pihak-pihak tertentu, terutama para penganut ilmu ekonomi menyusun ganti rugi dengan mengadopsi pemikiran tersebut dan mengembangkannya sesuai pertimbangan ekonomis. Itu sebabnya kemudian dapat dilihat berbagai metode perhitungan yang kini dikembangkan, yang bila diperhatikan kesemuanya beranjak dari pola pikir yang hampir tidak berbeda.

TIDAK BOLEH LEBIH

Bagaimana dengan Hukum Keuangan Negara ?

Dari penelusuran yang dilakukan terhadap ketentuan lama tentang pengelolaan keuangan negara di Indonesia, hampir dapat dipastikan tidak terdapat ketentuan yang secara eksplisit menjelaskan bagaimana besarnya kerugian negara harus ditetapkan.

Beberapa kepustakaan lama yang berhasil ditemukan, seperti misalnya Perbendaharaan Negara Indonesia yang ditulis oleh A.P. van Gogh pada tahun 1952, dan Perbendaharaan yang ditulis oleh J. Bijloo (yang disusun atas dasar karya P. Alons tahun 1940),  ternyata juga tidak berbeda. Para penulisnya  hanya mampu memberikan gambaran atau contoh kasus yang mungkin dapat dijadikan pedoman.

Dari contoh kasus yang diungkapkan seperti misalnya, kewajiban mengganti kerugian terhadap rumah dinas yang ditelantarkan oleh penghuni hingga mengalami kerusakan, ataupun penerapan pasal 1359 dan 1360 BW terhadap tindakan seorang pejabat pemerintah yang telah menerbitkan keputusan yang salah yang menguntungkan pihak lain, menyiratkan bahwa pada prinsipnya, besarnya kerugian yang ditanggung oleh negara sebagai akibat perbuatan melawan hukum atau lalai adalah sebesar kerugian nyata.

Untuk kerugian dalam bentuk barang adalah sebesar nilai taksiran untuk memulihkan kembali keadaan semula, sedangkan untuk  kerugian dalam bentuk uang adalah sebesar nilai yang benar-benar berkurang dari perhitungan atau milik negara berdasarkan catatan pembukuan yang diselenggarakan oleh negara.

Sekedar untuk dipahami, bahwa pengertian nilai taksiran dalam hal kerugian negara dalam bentuk barang merupakan penetapan resmi yang dilakukan oleh suatu lembaga yang berkompeten, mis: instansi di bawah kementrian pekerjaan umum untuk taksiran harga rumah dinas, dan instansi di bawah kementrian perhubungan untuk kendaraan bermotor milik pemerintah. Bukan taksiran yang dibuat dengan cara mengira-ira. Apalagi dibuat oleh suatu lembaga yang tidak berkompeten, atau sekedar dianggap berkompeten oleh masyarakat pada umumnya.

Satu-satunya pengaturan yang agak jelas yang selama ini dijadikan acuan, kalau boleh dikatakan demikian, adalah surat Gouvernements Secretaris tertanggal 30 Agustus 1933 Nomor 2498/B. Dalam surat tersebut antara lain dinyatakan bahwa, dalam masalah kerugian negara, pertama-tama perlu diteliti dan dikumpulkan bahan bukti untuk menetapkan besarnya kerugian yang diderita oleh negara. Selanjutnya, dalam penelitian dimaksud perlu diperhatikan bahwa tidak diperkenankan melakukan tuntutan ganti rugi untuk jumlah yang lebih besar daripada kerugian sesungguhnya yang diderita oleh negara.

Pernyataan dimaksud, tampaknya, selaras dengan praktek perhitungan yang digunakan dalam tuntutan kepada para Bendahara dalam pengelolaan uang maupun pengelolaan barang. Pengertian ‘kekurangan perbendaharaan’ (comptabel tekort) adalah selisih kurang antara saldo buku-kas dengan saldo kas yang sesungguhnya, atau selisih kurang antara buku persediaan barang dengan saldo barang yang sesungguhnya terdapat di dalam gudang. Jumlah inilah yang benar-benar merupakan kerugian negara.

Dengan mengacu pada pola pikir di atas, karena kerugian negara dihitung atas dasar kenyataan yang ada atas hak pemerintah atau yang seharusnya menjadi hak pemerintah, besarnya kerugian negara dihitung dengan perhitungan yang sangat sederhana. Yaitu, prinsipnya, hanya dengan membandingkan kekayaan yang menjadi hak negara dengan kekayaan yang ada dan berkurang karena akibat pengelolaan ataupun perbuatan melawan hukum.

Untuk kerugian negara, misalnya dalam bentuk uang yang kurang distorkan ke Kas Negara
(misalnya dalam masalah perpajakan), yang dilakukan secara sengaja oleh wajib pajak atau wajib setor, formula tersebut harus lebih disempurnakan. Pertama, harus diperhatikan landasan hukum pemungutannya; kedua, cara menginformasikan; dan ketiga, besaran jumlah yang dipungut dari masyarakat. Setelah ketiga unsur tersebut diteliti, kemudian dengan menghitung banyaknya transaksi yang terjadi dalam suatu periode akan dihasilkan jumlah yang seharusnya diterima oleh negara.


                                                                                                  ( bersambung .......... )

*

*        *