RAISON d'ETRE

Pada suatu saat, pernah terbetik suatu keinginan dari berbagai pihak, terutama para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), agar lembaga legislatif di republik kita ini memiliki hak untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana halnya lembaga eksekutif.

Pada suatu saat lain, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terpaksa harus menginap di ’hotel prodeo’, karena oleh para penegak hukum di republik ini telah dinyatakan melakukan korupsi berjama’ah. Padahal, berbagai keputusan yang dituduhkan kepada para anggota dewan yang terhormat tersebut ternyata diputuskan bersama-sama lembaga eksekutif dalam suatu forum sakral dan dituangkan dalam dokumen resmi yang disebut dengan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kemudian, banyak pihak dipaksa untuk mengernyitkan keningnya ketika mengetahui seorang petinggi pemerintahan dan juga seorang pejabat suatu perusahaan negara yang bergerak di bidang perbankan dituduh telah merugikan keuangan negara, padahal masyarakat menyang-sikan bahwa uang tersebut memang uang Negara dalam arti sebenarnya.

Sementara itu, para birokrat di berbagai lembaga pemerintah merasa ragu dalam mengambil keputusan, ataupun bahkan menolak menduduki jabatan tertentu terkait dengan pengelolaan keuangan negara, karena kurang memahami berbagai konsep (baru) keuangan Negara, sehingga khawatir tertimpa musibah.

Di lain pihak, karena ilmu keuangan negara yang disoroti dari berbagai dimensi keilmuan kurang berkembang di Indonesia, para cerdik pandai merasa ragu memasuki wilayah keilmuan ini, dan hanya sekedar mencoba meraba-raba dan membuat tafsiran dari sudut pandang keilmuan yang dimilikinya.

Itulah kira-kira sebagian alasan dibukanya BLOG yang khusus untuk mendiskusikan masalah-masalah keuangan Negara di Indonesia.

Partisipasi semua pihak dalam mendiskusikan berbagai permasalahan keuangan negara di republik ini akan merupakan usaha bersama untuk melakukan studi tentang konsepsi keuangan negara dan memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat.

Perlu disampaikan bahwa konsep baru keuangan negara yang dikembangkan oleh para pemikir yang kemudian dituangkan dalam paket undang-undang bidang keuangan negara maupun ketentuan derivasi lainnya, memang belum dapat dikatakan sempurna.

Namun bagaimanapun, lahirnya paket undang-undang tersebut di atas merupakan kenyataan bahwa Indonesia kini telah memiliki sistem keuangan negara sendiri, sehingga terlepas dari berbagai pengaruh ketentuan keuangan kolonial yang antara lain bertahun 1800-an.

Oleh sebab itu, sudah selayaknya bila semua pihak memberi apresiasi dan berusaha memahami sebaik-baiknya, seperti ungkapan bahasa Prancis di bawah ini :

----SI ON A PAS CE QUE L’ON AIME, IL FAUT AIMER CE QUE L’ON A ---

Salam

(SS)

Catatan :

Dalam rangka memenuhi saran dan pendapat berbagai pihak, artikel dalam Blog ini dikategorikan dalam :

* RUBRIK, yaitu artikel yang ditulis sesuai dengan design topik yang telah ditetapkan dalam blog ini.

* INTERMEZZO, yaitu artikel yang membahas masalah-masalah keuangan negara yang bersifat actual.

* TANGGAPAN, yaitu artikel yang berisi respons terhadap pertanyaan atau komentar pembaca yang, karena sifatnya, perlu dijelaskan secara lebih detail.



- - - - - -



Tuesday, June 16, 2015


KERUGIAN  NEGARA DAN PERAN BPK
DALAM PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA [1]


Introduksi

Penggunaan berbagai sudut pandang oleh para Ahli dalam melakukan analisis terhadap kerugian Negara, dalam banyak hal, ditengarai dapat memberikan hasil yang bias terhadap makna kerugian negara. Hal tersebut membawa akibat terhadap persepsi hakim terhadap kerugian Negara, sehingga sangat berpengaruh pada pengambilan keputusan dalam berbagai penanganan kasus korupsi.
Dalam melakukan analisis, banyak Ahli tampaknya terfokus pada ranah dimana kejadian kerugian negara itu terjadi. Yaitu, ranah administrasi, perdata, ataupun ranah pidana.  Oleh karena itu, tidak mengherankan bila kemudian mereka memaknai pengertian kerugian negara dari sudut pandang tersebut, yang kebetulan merupakan bidang keahliannya, yaitu hukum administrasi, hukum perdata, ataupun hukum pidana.
Padahal, menurut kenyataan, masalah kerugian negara adalah merupakan suatu keadaan yang terjadi pada ranah hukum Keuangan Negara. Keadaan yang terjadi dalam interaksi antara negara dan rakyatnya ketika negara ingin mewujudkan kegiatan yang telah mereka sepakati bersama yang dituangkan dalam kesepakatan di antara keduanya. Yaitu, dalam APBN. Oleh sebab itulah, bila dicermati, masalah kerugian negara hanya diatur dalam undang-undang bidang Keuangan Negara. Bukan dalam undang-undang lainnya. Kalaupun dalam kenyataannya, terminologi kerugian negara dikenal dalam undang-undang lainnya, alasan utamanya adalah bagaimana memulihkan kembali kerugian negara tersebut. Bukan karena tujuan atau maksud lain !
Terkait dengan itu, berbagai upaya perlu dilakukan untuk menghindarkan beragamnya penafsiran tentang pengertian kerugian negara. Hal itu sangat penting artinya, karena kesalahan analisis yang dilakukan oleh berbagai Ahli dengan alur logika yang disusunnya  dapat menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak lain (pelaku), termasuk kepada negara, karena kerugian negara yang seharusnya nyata menjadi hilang.
Disamping itu, kejelasan dalam pengertian kerugian negara tersebut juga akan memperjelas posisi dimana kerugian negara tersebut akan diletakkan dan pola penyelesaiannya. Dalam kaitan ini, termasuk lembaga peradilan yang berwenang menyelesaikannya.
Kerugian Negara sebagai sebuah konsepsi

Mengawali uraian yang akan disampaikan alangkah baiknya bila terlebih dahulu diperoleh kepastian tentang terminologi yang seharusnya digunakan sebagai penyebutan. Yaitu, apakah terminologi ‘kerugian negara’ atau kerugian keuangan negara’. Mengingat kedua terminologi dimaksud digunakan dalam undang-undang, sehingga selama ini menimbulkan perdebatan dalam berbagai kesempatan. Dalam kaitan ini, tampaknya memang perlu ada suatu penjelasan kontekstual yang dapat dijadikan acuan.
Dalam berbagai kepustakaan terkait masalah Keuangan Negara, dengan jelas dinyatakan bahwa Negara adalah subyek, sedangkan Penerimaan dan Pengeluaran Negara beserta unsur-unsur di dalamnya merupakan obyek. Sementara itu, Tata kelola yang mengandung sistem maupun sub sistem, kalau boleh dikatakan, merupakan predikat. Inilah yang secara jelas dituangkan dalam rumusan penjelasan Undang-undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Terkait dengan itu, suatu perbuatan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu hanya dapat menguntungkan atau merugikan subyek, yaitu Negara. Oleh karena itu, terminologi merugikan Keuangan Negara, dalam konteks Keuangan Negara, adalah tidak benar.
Celakanya, terminologi yang terakhir ini --- merugikan Keuangan Negara --, telah digunakan dalam berbagai undang-undang di Republik ini, termasuk dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.
Tak diragukan lagi, kerancuan terminologi ini kemudian membingungkan berbagai pihak, termasuk para hakim dalam berbagai sidang, khususnya dalam sidang perkara tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, tidak jarang hakim menanyakan apa perbedaan kerugian keuangan Negara dan kerugian Negara.[2]
Sementara itu, pengertian kerugian negara itu sendiri,  beranjak dari gagasan sederhana sebagaimana termaktub dalam pasal 1365 BW, adalah dimaksudkan untuk memastikan besaran jumlah yang seharusnya dikembalikan kepada negara, dan memastikan pihak-pihak tertentu yang karena perbuatannya telah mengakibatkan berkurangnya asset negara.
Dalam kaitan dengan rumusan di atas, penyebab berkurangnya asset/ kekayaan Negara dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut.   Pertama, karena uang yang seharusnya disetor, tidak disetor ke Kas Negara; atau karena kekayaan yang seharusnya menjadi milik Negara, beralih  menjadi milik pihak lain; kedua, berkurangnya asset dapat pula terjadi, karena uang atau asset yang sudah menjadi milik/ hak Negara terlepas dari kepemilikan Negara,  atau karena kekayaan yang merupakan milik Negara, beralih  menjadi milik pihak lain.
Dalam perspektif Keuangan Negara, kerugian Negara merupakan ekspresi atau perwujudan terjadinya selisih kurang. Yaitu, selisih kurang pada asset Negara dalam suatu pertanggungjawaban para pengelola keuangan Negara. Sementara itu, bila diperhatikan, selisih kurang itu sendiri terjadi karena  catatan dalam pembukuan asset tersebut ternyata lebih besar dibandingkan dengan keadaan nyata asset itu sendiri. 
Dengan mengacu pada pola pikir di atas, karena kerugian negara dihitung atas dasar kenyataan yang ada atas hak pemerintah atau yang seharusnya menjadi hak pemerintah, besarnya kerugian negara dihitung dengan perhitungan yang sangat sederhana.  Misalnya, uang yang seharusnya diterima, antara lain berupa setoran yang secara nyata sudah diterbitkan hak tagihnya oleh pemerintah, tetapi diselewengkan oleh pejabatnya, sehingga uangnya tidak dibukukan dan tidak masuk ke kas Negara. Demikian juga halnya untuk asset milik pemerintah yang raib karena perbuatan menyeleweng para pejabat pemerintahan. Asset dimaksud harus benar-benar nyata didukung oleh adanya hak yang dapat dibuktikan, misalnya, dokumen kepemilikan atau dokumen setara lainnya. Ini adalah sebuah konsepsi yang didasarkan pada kenyataan (real based concept). [3] Bukan sesuatu yang diharapkan (opportunity based concept).
Oleh sebab itu, besarnya kerugian negara tidak boleh ditambah dengan berbagai keuntungan yang seharusnya diterima oleh negara, seandainya tindakan melawan hukum yang merugikan negara tersebut tidak terjadi. [4]
Sementara itu, pertanyaan yang tak kalah pentingnya terkait dengan real based concept tersebut adalah kapan sebenarnya suatu kerugian negara dinyatakan telah terjadi. Dengan mengacu pada konsep di atas, kerugian negara dinyatakan telah terjadi pada saat kekayaan yang seharusnya menjadi milik Negara, beralih  menjadi milik pihak lain; atau ketika kekayaan yang merupakan milik Negara, beralih  menjadi milik pihak lain.
Namun demikian, oleh karena kerugian negara itu sendiri perlu ditetapkan melalui suatu proses dan penetapannya harus dilakukan melalui sebuah sidang, kepastian saat terjadinya kerugian negara dimaksud akan dinyatakan oleh sebuah Majelis. Tentunya, saat terjadinya kerugian negara tersebut akan bersifat retroactive, sesuai kejadian yang sebenarnya.
Di sisi lain, dalam peristiwa kerugian Negara, kejadian berkurangnya asset tersebut di atas selalu dikaitkan dengan suatu perbuatan  melanggar/ melawan hukum para pengelola keuangan Negara, atau karena kelalaian mereka. Dalam kenyataan, pengertian pelaku perbuatan melanggar/ melawan hukum tersebut bukan hanya terbatas pada para pegawai negeri, akan tetapi dapat juga dilakukan oleh siapa saja. Yang penting, bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindakan yang melanggar hukum atau karena kelalaian.
Gbr 1.
Dalam peristiwa yang merugikan Negara, tindakan atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para pelaku dapat saja berada dalam ranah administrasi ataupun non administrasi, yaitu perdata atau bahkan pidana. Pemilahan ini sangat penting artinya, karena bukan saja terkait dengan tata cara pemulihan kekayaan negara yang telah berkurang ataupun cara pemberian sanksi (hukuman) kepada pelaku, tetapi juga terkait dengan majelis yang nantinya berwenang memutuskan terjadinya kerugian tersebut.
Dari uraian tersebut di atas dapat kiranya disusun skema kerugian negara sebagaimana tampak dalam gambar no.1.
Atau dapat pula disusun skema dengan pendekatan lainnya sebagaimana tampak dalam gambar no.2 di bawah ini
Gbr 2


Implementasi sebuah konsepsi

1.    Pegawai Negeri Sebagai Pelaku Tindakan Yang  Merugikan Negara
Dalam penyelesaian kerugian negara yang dilakukan oleh pegawai negeri, ketentuan pengelolaan keuangan kita dahulu  (Indische Comptabiliteits Wet --ICW) secara khusus mengatur dalam dua pasal, yaitu pasal 74 dan pasal 78 (2). Pasal 74 ditujukan untuk pegawai negeri yang bukan berstatus sebagai bendaharawan, sedangkan pasal 78 (2) mengatur penyelesaian kerugian negara terkait dengan tindakan seorang pegawai negeri yang berstatus sebagai bendaharawan.
Pada saat itu, pembedaan ini sangat penting artinya karena tata cara, proses penuntutan, maupun pihak-pihak yang berwenang untuk memberikan keputusan dalam penyelesaian masalah kerugian negara tersebut benar-benar berbeda.
Dalam berbagai kepustakaan, para ahli hukum—terutama ahli hukum administrasi, mencoba mendeskripsikan pengertian pegawai negeri. Pada intinya mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan pegawai negeri adalah semua pegawai yang bekerja pada instansi pemerintah (termasuk TNI/ Polri) yang menerima imbalan/ gaji dari keuangan negara/ daerah.
Beberapa bahkan mencoba memperluas pengertian pegawai negeri dengan memasukkan ‘semua orang yang menerima gaji/ upah dari korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah’ sebagai unsur pegawai negeri.
Bila diamati, semua definisi yang telah diungkapkan oleh para ahli hanya mengulang ataupun lebih memerinci praktek yang telah dituangkan dalam berbagai ketentuan masa lalu.
Namun demikian, ada satu hal yang perlu kita cermati secara khusus, yaitu masuknya unsur kelompok pegawai perusahaan negara/ daerah ke dalam kelompok pegawai negeri.
Menurut hemat saya, banyak pihak terjebak pada masalah-masalah norma atau ketentuan hukum yang ada di masa lalu, tanpa memikirkan alasannya. Seharusnya mereka memahami substansinya mengapa para pegawai perusahaan negara tersebut dahulu dimasukkan ke dalam kelompok pegawai negeri. Jawabannya tidak lain adalah, karena perusahaan negara di masa lalu merupakan bagian kementrian yang pengelolaan keuangannya tunduk pada ICW.
Saat ini, paradigmanya sudah berubah. Dengan adanya berbagai perubahan sudut pandang sejak kemerdekaan, pengelolaan keuangan semua badan usaha di republik ini terpisah dari pengelolaan keuangan negara pada umumnya. Pola ini kemudian dikukuhkan dengan lahirnya UUKN dan dengan diundangkannya UU BUMN.
Kalau kita cermati, ICW sendiri, sebagai landasan operasional pengelolaan keuangan negara pada saat itu telah memberikan kejelasan tentang masalah siapa yang dimaksud dengan pegawai negeri. Ini dengan jelas dapat dilihat  dalam pasal 74 yang  menyatakan bahwa : ‘ Semua pegawai negeri, yang sebagai pegawai negeri dan bukan selaku bendaharawan, (…).’
Anak kalimat ‘ yang sebagai pegawai negeri’ yang menjelaskan subyek ‘semua pegawai negeri’ memberi arti dan penekanan bahwa pegawai negeri yang bersangkutan sedang melaksanakan tugas dan fungsinya ataupun kapasitasnya sebagaimana dinyatakan dalam surat keputusan pengangkatannya. Bukan sekedar hanya karena dia menyandang status sebagai pegawai negeri.
Kendati secara redaksional ketentuan dimaksud mengalami perobahan, secara substansi, hingga kini ide dasar yang terkandung dalam ketentuan tersebut di atas masih dijadikan acuan dalam penyelesaian kerugian negara dalam UUKN dan UUPN.
Mengapa harus pegawai negeri ? Pegawai negeri adalah operator dari tugas-tugas pemerintah. Dan di tangan pegawai negeri itu pulalah pengelolaan keuangan negara dilaksanakan. Oleh karena itu, berkurangnya aset negara yang kemudian menjadi obyek kerugian negara, pada hakekatnya merupakan akibat dari suatu tindakan para pegawai negeri sebagai pengelola. Tindakan tersebut dapat berupa tindakan yang dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum ataupun tindakan yang disebabkan karena kelalaian.
Dalam Hukum Administrasi Keuangan Negara, status pelaku yang menyebabkan terjadinya kerugian negara memang sangat penting. Hal ini untuk menentukan apakah seseorang yang melakukan perbuatan yang merugikan negara tersebut memang layak dihukum dengan menggunakan ketentuan administratif (ICW), ataukah akan dihukum menurut Hukum publik (Perdata). 
Menurut Hukum Administrasi Keuangan Negara, seorang pegawai negeri hanya dapat dihukum dengan menggunakan ketentuan administratif bilamana terdapat pertautan antara kedudukannya sebagai pegawai negeri dengan tindakannya yang mengakibatkan terjadinya kerugian negara, serta kerugian negara itu sendiri.  Artinya, bahwa seorang pegawai negeri hanya dapat dihukum dengan menggunakan ketentuan yang tercantum dalam ICW bilamana terdapat causaliteit verbands, yaitu bahwa tindakan yang dilakukannya dimaksud terkait dengan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pegawai negeri.
Di luar itu, seorang pegawai negeri tidak dapat dihukum dengan menggunakan ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam ICW, melainkan dengan menggunakan pasal-pasal yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Publik (Perdata).  Konkritnya, pegawai negeri dimaksud dianggap memiliki kedudukan yang tidak berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Yang dalam istilah pada masa lalu dikenal dengan sebutan ‘partikelir’. Bila pemisahan tersebut disusun dalam sebuah skema akan tampak sebagaimana dalam gambar no. 3.

Gbr no.3

2.    Siapa yang berhak menghitung ?

Bagi para ahli hukum phrasa ‘merugikan negara’  dalam suatu undang-undang bukanlah sesuatu yang sederhana. Untuk dapat sampai pada besaran pasti tentang kerugian itu sendiri, diperlukan perdebatan yang cukup serius. Yaitu, perdebatan yang berkisar pada metode atau cara bagaimana besaran kerugian negara dimaksud dapat ditetapkan, dan juga tentang siapa pihak-pihak yang berkompeten melakukan penghitungan.
Kenapa metode penghitungan tersebut menjadi bahan perdebatan ? Ini tidak lain karena dua hal. Pertama, ternyata bahwa dalam hukum pidana tidak dikenal adanya tuntutan ganti rugi. Padahal, kasus korupsi merupakan kasus pidana yang mengharuskan kewajiban penggantian kerugian kepada Negara. Kedua, ternyata dalam hukum perdata tidak dapat ditemukan pola penghitungan yang pasti yang dapat dijadikan acuan.
Selanjutnya, dalam masalah siapa pihak yang memiliki kompetensi untuk menmghitung besaran kerugian negara, berbagai pihak—termasuk para hakim --, selalu dibingungkan dengan perbedaan status antara BPK dengan BPKP. Pertanyan yang selalu dikemukakan adalah siapakah yang paling berhak, mengingat keduanya secara kelembagaan memiliki kedudukan yang sangat berbeda.
Dalam konsep teorinya, penghitungan kerugian negara sebenarnya dapat dilakukan oleh setiap orang yang memiliki keahlian di bidang audit. Tidak terbatas kelembagaannya. Hanya saja, mengingat bidang keuangan negara bersifat specifik diperlukan keahlian yang sangat memadai di bidang keuangan negara. Oleh karena itu, diperlukan seseorang yang bekerja dan familiar di bidang audit keuangan negara.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam kaitan ini, BPK, menurut undang-undang bidang Keuangan Negara, secara kelembagaan memiliki kapasitas sebagai ahli. Oleh karena itu, siapa pun yang ditunjuk dan ditugaskan merupakan Ahli dalam suatu persidangan. Hal yang demikian tentunya berbeda dengan BPKP dengan status kelembagaannya, sehingga personal BPKP yang ditugaskan dari lembaganya, sebenarnya hanyalah mewakili dirinya sendiri (pribadi).

3.    Siapa menetapkan kerugian Negara ?

Hingga kini, praktek masa lalu (masa Hindia Belanda) dalam hal penyelesaian kerugian negara masih tetap dipertahankan. Oleh karena itu, menurut Undang-undang bidang Keuangan Negara, kerugian negara  yang terjadi di ranah administrasi sebagai akibat kelalaian/ kesengajaan pejabat pengelola keuangan negara/ Pejabat Perbendaharaan dilakukan oleh Majelis yang berbeda dalam suatu lembaga peradilan administratif (quasi judiciare). Sementara itu, kerugian negara yang terjadi di ranah non administratif diputuskan dan ditetapkan oleh Majelis di pengadilan negeri.
Gbr no. 4
Dengan demikian, dalam penyelesaian kerugian negara menurut Hukum Keuangan Negara dikenal adanya tiga jenis Majelis. Yaitu: Majelis Tuntutan Ganti Rugi, Majelis Tuntutan Perbendaharaan, dan Majelis pada Pengadilan Negeri. Secara skematis, keberadaan tiga Majelis tersebut dapat digambarkan sebagaimana tampak dalam gambar no. 4.

BPK dalam penyelesaian kerugian negara

Sebagaimana diuraikan, khususnya dalam penanganan kasus kerugian negara, para penyidik (termasuk penyidik PNS) memang memerlukan sebuah angka untuk dijadikan alas tuntutan/ dakwaan. Dan itu diperoleh dari semua bukti yang berhasil dikumpulkan dalam proses penyidikan. Untuk menghitung jumlah kerugian Negara dari bukti yang tersedia itulah para penyidik membutuhkan seorang Ahli yang memiliki sertifikat sebagai auditor. 
Dalam kaitan ini, BPK, menurut undang-undang bidang Keuangan Negara, secara kelembagaan memiliki kapasitas sebagai ahli. Oleh karena itu, siapa pun yang ditunjuk dan ditugaskan merupakan Ahli dalam suatu persidangan. Kedudukan dalam hukum yang demikian tidak dimiliki oleh lembaga lainnya, sehingga personal yang ditugaskan dari sebuah lembaga audit, termasuk dalam hal ini BPKP, sebenarnya hanyalah mewakili dirinya sendiri secara pribadi.
Disamping sebagai lembaga audit, secara historis, BPK adalah jelmaan dari Algemene Rekenkammer. Yaitu, merupakan sebuah lembaga peradilan yang khusus mengadili rekening (pertanggungjawaban) para Bendahara seperti halnya Cour des Comptes di Prancis.
Hingga saat ini, kendati Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak lagi merupakan lembaga peradilan yang bersifat quasi, kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan atau kelalaian seorang Bendahara tetap diputuskan dan ditetapkan oleh suatu Majelis di BPK. Majelis dimaksud dikenal dengan nama Majelis Tuntutan Perbendaharaan.
Dalam hal ini yang perlu dicatat adalah, bahwa kemampuan untuk menetapkan kerugian negara yang dimiliki oleh para anggota Majelis tersebut merupakan kemampuan institusi. Bukan kemampuan individu para anggota Majelis. Oleh sebab itu, setiap keputusan yang diambil harus merupakan keputusan bersama. Dan itu dilakukan untuk dan atas nama institusi. 

K E S I M P U L A N

Dari uraian di atas kiranya dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1.       Sesuai dengan konsepsi Hukum Keuangan Negara bahwa Kerugian negara merupakan suatu keadaan yang terjadi dalam kegiatan pelaksanaan hubungan antara negara dan rakyat yang dituangkan dalam anggaran negara (APBN);
2.       Oleh karena itu, kerugian negara harus dianalisis dan dijelaskan sesuai konsepsi Hukum Keuangan Negara;
3.       Sementara itu, kerugian negara itu sendiri merupakan akibat dari suatu tindakan/ perbuatan melawan hukum seseorang, baik yang bersifat administratif ataupun bersifat non administratif;
4.       Penyelesaian kerugian negara harus dilakukan melalui keputusan Majelis dalam suatu lembaga peradilan, baik yang bersifat quasi judiciaire maupun judiciaire.
5.       Badan Pemeriksa Keuangan, disamping merupakan lembaga audit juga merupakan Majelis yang berwenang memutuskan dan menetapkan kerugian negara.


[1] Disajikan dalam Diskusi Terbatas pada Badan Pemeriksa Keuangan RI di Jakarta tanggal 11 Juni 2015.
[2] Dalam kapasitas saya sebagai Ahli Hukum Keuangan Negara yang dihadirkan dalam berbagai sidang Tipikor, saya selalu menyampaikan bahwa kerugian keuangan Negara, kendati termuat dalam berbagai undang-undang, adalah suatu terminologi yang salah. Yang benar adalah kerugian Negara.

[3] Lihat pasal 22 ayat 1 Undang-undang Perbendaharaan yang berbunyi ‘Kerugian Negara/ daerah adalah kekurangan uang,….., yang nyata dan pasti jumlahnya,…. ‘ adalah jelas menunjukkan konsep nyata (real based).
[4] Dalam perkembangan, berbagai pihak justru cenderung sependapat dengan para penganut ilmu ekonomi yang menghitung ganti rugi dengan mengadopsi pemikiran tersebut dan mengembangkannya sesuai pertimbangan ekonomis. Itu sebabnya kemudian dapat dilihat berbagai metode perhitungan kerugian negara yang kini dikembangkan, yang bila diperhatikan kesemuanya beranjak dari pola pikir yang hampir tidak berbeda.