RAISON d'ETRE

Pada suatu saat, pernah terbetik suatu keinginan dari berbagai pihak, terutama para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), agar lembaga legislatif di republik kita ini memiliki hak untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana halnya lembaga eksekutif.

Pada suatu saat lain, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terpaksa harus menginap di ’hotel prodeo’, karena oleh para penegak hukum di republik ini telah dinyatakan melakukan korupsi berjama’ah. Padahal, berbagai keputusan yang dituduhkan kepada para anggota dewan yang terhormat tersebut ternyata diputuskan bersama-sama lembaga eksekutif dalam suatu forum sakral dan dituangkan dalam dokumen resmi yang disebut dengan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kemudian, banyak pihak dipaksa untuk mengernyitkan keningnya ketika mengetahui seorang petinggi pemerintahan dan juga seorang pejabat suatu perusahaan negara yang bergerak di bidang perbankan dituduh telah merugikan keuangan negara, padahal masyarakat menyang-sikan bahwa uang tersebut memang uang Negara dalam arti sebenarnya.

Sementara itu, para birokrat di berbagai lembaga pemerintah merasa ragu dalam mengambil keputusan, ataupun bahkan menolak menduduki jabatan tertentu terkait dengan pengelolaan keuangan negara, karena kurang memahami berbagai konsep (baru) keuangan Negara, sehingga khawatir tertimpa musibah.

Di lain pihak, karena ilmu keuangan negara yang disoroti dari berbagai dimensi keilmuan kurang berkembang di Indonesia, para cerdik pandai merasa ragu memasuki wilayah keilmuan ini, dan hanya sekedar mencoba meraba-raba dan membuat tafsiran dari sudut pandang keilmuan yang dimilikinya.

Itulah kira-kira sebagian alasan dibukanya BLOG yang khusus untuk mendiskusikan masalah-masalah keuangan Negara di Indonesia.

Partisipasi semua pihak dalam mendiskusikan berbagai permasalahan keuangan negara di republik ini akan merupakan usaha bersama untuk melakukan studi tentang konsepsi keuangan negara dan memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat.

Perlu disampaikan bahwa konsep baru keuangan negara yang dikembangkan oleh para pemikir yang kemudian dituangkan dalam paket undang-undang bidang keuangan negara maupun ketentuan derivasi lainnya, memang belum dapat dikatakan sempurna.

Namun bagaimanapun, lahirnya paket undang-undang tersebut di atas merupakan kenyataan bahwa Indonesia kini telah memiliki sistem keuangan negara sendiri, sehingga terlepas dari berbagai pengaruh ketentuan keuangan kolonial yang antara lain bertahun 1800-an.

Oleh sebab itu, sudah selayaknya bila semua pihak memberi apresiasi dan berusaha memahami sebaik-baiknya, seperti ungkapan bahasa Prancis di bawah ini :

----SI ON A PAS CE QUE L’ON AIME, IL FAUT AIMER CE QUE L’ON A ---

Salam

(SS)

Catatan :

Dalam rangka memenuhi saran dan pendapat berbagai pihak, artikel dalam Blog ini dikategorikan dalam :

* RUBRIK, yaitu artikel yang ditulis sesuai dengan design topik yang telah ditetapkan dalam blog ini.

* INTERMEZZO, yaitu artikel yang membahas masalah-masalah keuangan negara yang bersifat actual.

* TANGGAPAN, yaitu artikel yang berisi respons terhadap pertanyaan atau komentar pembaca yang, karena sifatnya, perlu dijelaskan secara lebih detail.



- - - - - -



Wednesday, November 2, 2011


PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK : penelusuran terhadap sebuah konsepsi[1]

Penggunaan penerimaan Negara secara langsung oleh kementrian/ lembaga adalah sumber inefisiensi dalam pengelolaan anggaran Negara. Pernyataan seperti ini telah dikemukakan oleh para Ahli Keuangan Negara sekitar 400 tahun yang lalu.

Entah itu merupakan suatu hal yang dibesar-besarkan entah tidak, kenyataan yang diungkapkan dalam berbagai kepustakaan tentang (Hukum) Keuangan Negara yang ditulis oleh berbagai Ahli Keuangan Negara di Eropa, memberikan contoh sebagai bukti nyata.

Dengan adanya kemudahan untuk menggunakan penerimaan secara langsung, hampir semua kementrian/ lembaga yang memiliki penerimaan terkait dengan layanan yang dihasilkannya cenderung menghabiskan dana tersebut. Ini semata-mata untuk menghindarkan kewajiban menyetorkan penerimaan tersebut ke Kas Negara. Sebaliknya, bila penerimaannya kurang mencukupi kebutuhannya, mereka selalu meminta tambahan kepada pemerintah, cq. Menteri Keuangan.

Ini sebenarnya merupakan sikap psikologis para pengelola keuangan yang akibatnya sangat berpengaruh pada pengelolaan keuangan Negara secara keseluruhan, terutama pada saat itu.

SUMBER UTAMA

Upaya Pemerintah memperoleh uang untuk membiayai kegiatannya sangat beragam. Yang pasti, disamping mengandalkan penerimaan yang berasal dari harta kekayaan milik kerajaan (pemerintah), dari pemberian layanan yang dilakukan oleh pemerintah, dan dari penerimaan lainnya yang memiliki kategori khusus (parafiscal), juga berasal dari berbagai jenis pajak yang dipungut dari rakyat.

Tiga jenis penerimaan yang pertama tersebut dikenal dengan nama penerimaan domanial (revenues domaniales). Yaitu, merupakan penerimaan negara yang pada hakekatnya bersumber dari semua milik negara, termasuk di dalamnya kekuasaan atau kewenangan tertentu yang dalam pelaksanaannya dapat menghasilkan penerimaan negara.

Secara konkrit, penerimaan dimaksud berasal dari penjualan hasil kekayaan alam dan kekayaan yang menjadi milik negara. Disamping itu, penerimaan ini juga berasal dari hasil pemberian fasilitas atau ijin kepada kelompok masyarakat tertentu untuk melakukan kegiatan tertentu. Oleh karena itu, bila diperhatikan, penerimaan jenis ini terserak di berbagai kementrian tergantung pada tugas dan fungsi kementrian yang bersangkutan.

Secara umum sifat sumber penerimaan pemerintah ini berlawanan dengan penerimaan pajak, yaitu dalam bentuk adanya imbalan langsung.

Bila kita sekilas melihat penerimaan Negara dalam struktur anggaran Negara di berbagai Negara pada saat ini, kita hampir tidak percaya, bahwa penerimaan Negara yang berasal dari penerimaan bukan pajak tersebut dulunya merupakan penerimaan Negara yang utama.[2] Ini tidak lain karena saat ini jumlahnya relatif sangat kecil dibanding penerimaan jenis lainnya. Walaupun, bila diamati secara lebih seksama, kecilnya jumlah penerimaan tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh pola pengelompokan (klasifikasi) yang kini digunakan.

Semula, penerimaan domanial ini diartikan sangat sempit. Yaitu, hanya mencakup penerimaan yang berasal dari pengelolaan kekayaan milik Negara dan hak-hak yang melekat pada kewenangan negara. Sebagai contoh, misalnya : penerimaan yang berasal dari penjualan hasil hutan, dari pemberian ijin penambangan, pemberian ijin pemanfaatan lahan, pemberian ijin berburu, dan lain sebagainya.

Namun demikian, sebagaimana dikembangkan di Itali, dalam penerimaan domanial ini kemudian dimasukkan pula penerimaan yang berasal dari pengelolaan kekayaan Negara yang berbentuk perusahaan. Disamping itu, juga penerimaan pemerintah yang berasal dari pemberian layanan kepada masyarakat untuk kegiatan industrial maupun komersial. Sehingga cakupan penerimaan jenis ini, kini, sudah sangat jauh berkembang.

Penerimaan bukan pajak berikutnya adalah penerimaan yang dikenal dengan sebutan pajak administratif (administrative tax/ taxes administrative[3]). Terlepas dari nama yang diberikan kepada penerimaan jenis ini, yang pasti bahwa pajak administratif merupakan sejumlah uang yang dibayarkan oleh masyarakat atas layanan pemerintah yang bersifat non industriel.

Masyarakat memang diwajibkan memberikan imbalan atas jasa tertentu yang diperolehnya dari pemerintah. Walaupun, dalam hal-hal tertentu, pemerintah memberikan layanan tersebut secara cuma-cuma kepada kelompok masyarakat tertentu , karena sebenarnya layanan tersebut masih merupakan kewajiban pemerintah. Contoh yang cukup jelas untuk penerimaan Negara jenis ini, antara lain, adalah pembayaran untuk mengikuti pendidikan tingkat tinggi.

Jenis terakhir penerimaan negara bukan pajak adalah parafiscal. Diakui oleh para Ahli Keuangan Negara bahwa penerimaan jenis ini sangat dekat sifatnya dengan pajak. Yaitu mengandung paksaan dan seringkali tanpa diimbangi oleh pemberian jasa dari pemerintah. Penerimaan ini merupakan sejumlah uang yang dibayarkan kepada pemerintah utk tujuan tertentu dlm rangka menjamin pembiayaan kegiatannya, mis : asuransi sosial.

MENGANDUNG HAK DAN KEWAJIBAN

Kemudahan menggunakan dana yang diperoleh sebagai imbal jasa layanan pemerintah telah mendorong berbagai kementrian/ lembaga pada akhir-akhir ini untuk menciptakan penerimaan Negara di masing-masing instansinya. Euphoria ini ternyata juga didorong oleh adanya tafsir yang kurang tepat terhadap pengertian government engineering, yang kemudian memunculkan usaha untuk menutup pembiayaan melalui penerimaan dari layanan pemerintah dengan menetapkan target penerimaan.

Dalam mencandra apakah suatu penerimaan merupakan penerimaan Negara bukan pajak kita dapat melakukan dengan menjawab dua pertanyaan.

Pertama, apakah layanan yang dibutuhkan oleh masyarakat tersebut merupakan kewajiban pemerintah? Kedua, apakah pemerintah melaksanakan sendiri produksi untuk layanan tersebut ? Bila jawaban untuk kedua pertanyaan di atas adalah ‘ya’, dapat dipastikan bahwa pemerintah wajib melakukan pungutan terhadap layanan tersebut. Dan hasil pungutan tersebut dapat dikategorikan sebagai penerimaan Negara bukan pajak.

Namun demikian, pertanyaan di atas baru merupakan pertanyaan dasar yang harus dikembangkan dan didukung oleh pertanyaan lainnya. Antara lain, kalau benar yang disediakan oleh pemerintah merupakan layanan yang dibutuhkan masyarakat, mengapa masyarakat harus membayar ? Mengapa bukan dibiayai melalui system perpajakan ?

Terhadap pertanyaan ini, masyarakat perlu diberikan pemahaman bahwa ternyata layanan yang dibutuhkan masyarakat tersebut bukan merupakan layanan dasar yang dibutuhkan oleh seluruh masyarakat yang dikenal dengan istilah public goods. Layanan dimaksud merupakan layanan tertentu yang hanya dibutuhkan oleh sekelompok masyarakat tertentu. Hal ini tentunya akan terasa tidak adil bila biaya produksinya ditanggung oleh seluruh lapisan masyarakat melalui system perpajakan. Ini adalah kata kunci.

Namun demikian, karena memang secara prinsip merupakan kewajiban pemerintah untuk menyediakan layanan tersebut, pemerintah memiliki kewajiban pula untuk melakukan pembiayaan. Dari pemikiran tersebut diperoleh suatu gagasan pembiayaan bersama (cost sharing principle) antara pemerintah dengan kelompok masyarakat yang membutuhkan.

Terkait dengan masalah pelaksanaan layanan, seringkali dibutuhkan kegiatan pendukung agar layanan pemerintah dapat dilaksanakan sesuai kebutuhan. Dalam kegiatan pendukung ini, seringkali pemerintah, karena berbagai alasan belum mampu melaksanakan. Oleh karena itu, seringkali pula kegiatan tersebut dilaksanakan oleh pihak-pihak tertentu setelah memperoleh ijin atau memperoleh pengakuan dari pemerintah.

Dalam hal seperti yang belakangan tersebut, pemerintah tentunya tidak berhak memungut imbalan dari masyarakat.

PERLU EKSEPSI

Pemberian otorisasi untuk menggunakan dana secara langsung kepada kementrian/ lembaga tertentu, sebagaimana dikemukakan di awal makalah ini mengundang kritik berbagai ahli. Sisi negatif yang muncul antara lain adalah sebagai berikut.

Pertama, mendorong inefisiensi di kementrian lembaga, karena adanya keinginan untuk menghabiskan sebanyak mungkin penerimaan yang mereka peroleh. Sementara itu, kementrian/ lembaga tersebut tetap meminta alokasi dana anggaran kepada Menteri Keuangan yang berasal dari sector perpajakan.

Kedua, oleh karena tidak semua instansi pemerintah dapat menghasilkan layanan yang dapat menghasilkan penerimaan yang dapat langsung digunakan, kenyataan tersebut di atas menimbulkan sikap iri. Sikap ini dapat menimbulkan akibat dalam bentuk perubahan sikap pemerintah dalam memberikan layanan kepada masyarakat. Konkritnya, berbagai instansi kemudian berlomba-lomba menciptakan layanan tertentu sekedar untuk memperoleh penerimaan yang kemudian dapat digunakan sendiri. Padahal, harus diakui banyak layanan pemerintah yang mestinya bersifat gratis, karena merupakan layanan dasar yang harus disediakan oleh pemerintah.

Namun demikian, perkembangan penerimaan Negara bukan pajak di berbagai instansi dipandang oleh sebagian ahli memiliki nilai positif. Menurut mereka, pemikiran ini mendorong masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam membiayai sendiri kebutuhan mereka. Hal ini justru akan menimbulkan sikap rasional dalam penggunaan layanan publik. Di sisi lain, terutama ditinjau dari anggaran Negara, peningkatan penerimaan ini akan secara alamiah memilah kegiatan-kegiatan yang sebenarnya dapat diselenggarakan oleh pihak-pihak tertentu dengan kegiatan yang memang harus dilaksanakan oleh pemerintah dan dibiayai melalui sector perpajakan. Langkah ini akan membuat organisasi pemerintah menjadi lebih ramping, sehingga konsep debugetisasi dalam anggaran Negara dapat direalisasikan.

Dalam segi pengelolaan, penerimaan Negara jenis ini memerlukan pola yang berbeda dengan penerimaan pada umumnya. Oleh karena penerimaan Negara bukan pajak merupakan penerimaan yang dapat digunakan secara langsung oleh kementrian/ lembaga, pengelolaannya harus diperlakukan secara khusus. Artinya, penerimaan ini tidak seperti penerimaan pada umumnya yang mengikuti kaidah umum penerimaan Negara, pengelolaan penerimaan ini tidak tunduk pada prinsip universalitas dan prinsip non-affektasi.

Karena berbagai alasan praktis, seringkali pengertian ‘dapat digunakan secara langsung’ diartikan secara harafiah. Yaitu, bahwa secara fisik uang yang diterima tidak disetorkan terlebih dahulu ke kas Negara, melainkan langsung digunakan untuk pembiayaan kegiatan dalam rangka pelaksanaan fungsinya.

Namun demikian, kendati terjadi pertautan langsung antara penerimaan dan pengeluaran (affektasi), pengelolaan penerimaan ini harus tetap mengikuti azas bruto. Artinya, baik penerimaan maupun pengeluaran terkait dengan kegiatan yang dilakukan oleh instansi yang bersangkutan harus sepenuhnya dilaporkan kepada Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Laporan kepada Menteri Keuangan tidak dapat dilakukan secara netto, dengan cara melaporkan jumlah yang tersisa dari penerimaan dimaksud setelah dikurangi pengeluaran untuk biaya penyediaan layanan.

Satu hal lagi yang perlu dikemukakan terkait dengan sifat-sifat khusus penerimaan Negara bukan pajak ini. Oleh karena penerimaan Negara jenis ini langsung dikaitkan dengan penyediaan layanan kepada masyarakat, besarnya kebutuhan pendanaan yang diperlukan oleh setiap kementrian/ lembaga akan berbanding lurus dengan peningkatan penerimaan yang dihasilkan. Dengan kata lain, setiap terjadi peningkatan penerimaan akan secara otomatis meningkatkan pengeluaran instansi yang bersangkutan.

PERKEMBANGAN DI INDONESIA

Bila diperhatikan, pemikiran tentang penerimaan negara bukan pajak dalam system anggaran Negara kita tidak berbeda dengan yang terjadi di berbagai Negara lain. Oleh karena pola klasifikasi penerimaan yang selama ini dianut oleh Indonesia telah menempatkan penerimaan Negara bukan pajak sebagai penerimaan Negara dengan nilai yang relatif kecil.

Di masa lalu, masyarakat dikesankan bahwa yang dimaksud dengan penerimaan Negara bukan pajak hanyalah penerimaan yang tercantum di bawah rubrik penerimaan lain-lain dalam anggaran kita. Penerimaan tersebut antara lain terdiri dari laba usaha dari perusahaan-perusahaan Negara, hasil penyelenggaraan lotere, hibah, serta lain-lain penerimaan. Dalam kelompok terakhir ini, dimasukkan penerimaan kementrian/ lembaga yang berasal dari penjualan inventaris yang sudah tidak terpakai.

Banyaknya praktek yang kurang sehat di berbagai kementrian/ lembaga dalam menyediakan layanan tertentu kepada kelompok masyarakat dan perkembangan fungsi-fungsi kelembagaan pemerintah , telah menyadarkan pemerintah untuk mengintensifkan pola penyediaan layanan dengan menciptakan unit-unit swadana. Ini adalah usaha pemerintah untuk membuka secara nyata kepada masyarakat bahwa tidak semua layanan pemerintah selalu diberikan secara cuma-cuma. Disamping itu, penciptaan unit-unit swadana mendorong dilaksanakannya disiplin anggaran.

Lahirnya Undang-undang no. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan titik yang dahulu dianggap paling maju, yang dianggap mampu mewadahi berbagai kebutuhan masyarakat dan juga Negara. Namun, perkembangan masyarakat maupun konsep pengelolaan keuangan negara yang semakin maju telah membuat undang-undang tersebut terasa semakin ketinggalan.

Undang-undang tersebut dalam beberapa hal, kini justru merupakan hambatan terhadap perkembangan, khususnya dalam pengelolaan keuangan, yang kemudian berakibat terhadap pola kelembagaan pemerintah.

*

* *



[1] Disajikan dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Anggaran, Kementrian Keuangan R.I. tanggal 2 Nopember 2011 di Kementrian Keuangan, Jakarta.

[2] Sekedar sebagai referensi bahwa di Perancis, penerimaan pajak baru dimulai secara efektif pada abad ke XVI setelah Jean Bodin mengungkapkan bahwa pajak merupakan sarana pembiayaan pemerintah.

[3] Di Perancis istilah ‘taxe’ tidak selalu diartikan dengan pajak, karena istilah ‘pajak’ sebagaimana dikenal di Indonesia digunakan kata ‘impot’. Walaupun tidak selalu demikian, karena dalam istilah TTC (tout taxes compris) kata ‘taxes’ berarti pajak.

Tuesday, October 25, 2011

HUBUNGAN KELEMBAGAAN ANTARA DPR DENGAN BPK DALAM PENGAWASAN PARLEMENTER DI BIDANG KEUANGAN NEGARA : sebuah analisis kritik *)


Pengawasan lembaga legislatif di bidang keuangan Negara merupakan pengawasan yang cenderung kurang efektif. Ini adalah pernyataan dari para ahli Hukum Keuangan Negara, ketika mengamati pola pelaksanaan pengawasan yang selama ini dilaksanakan lembaga legislatif di berbagai Negara. Termasuk di beberapa negara Eropa yang merupakan tempat lahir dan berkembangnya Ilmu HUkum Keuangan Negara.

Betapa tidak, kendati pengawasan tersebut dapat dilaksanakan pada dua fase dalam siklus anggaran, berbagai keterbatasan lembaga tersebut, baik berupa teknis-operasional maupun system pengawasan, telah membuat lembaga tersebut tidak berdaya.

Double surveyance parlementaire.

Kewenangan lembaga legislative untuk melakukan pengawasan pengelolaan keuangan Negara (baca: APBN), bila diperhatikan, merupakan konsekuensi logis diberikannya otorisasi parlementer kepada pemerintah. Dengan kewenangan tersebut lembaga legislatif dapat melakukan verifikasi apakah pemerintah benar-benar telah melakukan amanah rakyat yang diberikan melalui para wakilnya di lembaga legislatif.

Sebagaimana dikemukakan oleh para Ahli, dan tentunya sesuai dengan alur pemikiran dan siklus anggaran Negara, pengawasan lembaga legislatif dilakukan setelah anggaran dilaksanakan oleh pihak eksekutive. Jelasnya, pengawasan yang dilakukan oleh legislative lebih ditujukan pada pengawasan yang bersifat a posteriori (post audit). Pengawasan yang dilakukan tersebut termasuk juga dalam bentuk permintaan penjelasan atau alasan bilamana suatu program yang telah disediakan dananya dalam APBN tidak dapat dilaksanakan.

Pengawasan a posteriori legislative dilakukan dalam bentuk pembahasan dalam rangka penetapan laporan anggaran Negara yang disajikan oleh Pemerintah ke dalam undang-undang. Namun, seperti pada umumnya pengawasan yang bersifat post audit, pengawasan lembaga legislative ini pun mengandung banyak kelemahan.

Dua kelemahan pengawasan jenis post audit, khususnya terkait dengan pelaksanaan hak budget lembaga legislative, yang dapat dikemukakan di sini adalah: pertama, pengawasan tersebut tidak memiliki kemampuan tindakan yang bersifat korektif; kedua, seringkali diskusi dan pembahasan yang dilakukan oleh lembaga legislative dilakukan bersama dengan pihak eksekutif yang diperankan oleh pejabat-pejabat yang berbeda pada saat otorisasi diberikan.

Untuk menutup kelemahan dan alasan kurangnya efisiensi dalam pengawasan terhadap pelaksanaan otorisasi parlementer (hak budget legislatif), pengawasan lembaga legislative kemudian dilakukan juga pada tahun berjalan. Yaitu, pada saat anggaran negara sedang dilaksanakan oleh pemerintah.

Namun demikian, berbagai pihak harus berhati-hati dalam memahami pemikiran tersebut, karena, sesuai tugas dan peran lembaga legislative, pengawasan ini bukan merupakan pengawasan yang bersifat a priori (pre audit). Walaupun pengawasan tersebut dilaksanakan pada saat pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja Negara.

Perlu bantuan lembaga lain

Seperti halnya lembaga pengambil keputusan kebijakan (organe deliberante) dalam suatu konstelasi kelembagaan di suatu negara demokrasi, lembaga legislatif bukan merupakan lembaga teknis. Lembaga legislatif tidak memiliki kompetensi mengambil langkah atau tindakan yang bersifat mikro-teknis dalam masalah pengelolaan keuangan negara.

Lembaga legislatif merupakan lembaga yang harus berpikir secara makro strategis.
Hal ini dapat dilihat bahwa apa yang dilakukan oleh lembaga legislatif dalam mengawasi kebijakan pengelolaan keuangan Negara dilaksanakan hanya dengan cara pembahasan melalui diskusi di dalam sidang-sidang yang diselenggarakan oleh lembaga tersebut. Baik terkait dengan pengawasan dalam tahun berjalan maupun pengawasan yang bersifat a posteriori.

Pembahasan dalam tahun berjalan akan menghasilkan perubahan atau penyesuaian terhadap program maupun alokasi anggaran yang selama ini diperlukan. Sedangkan pembahasan dalam rangka pengawasan a posteriori, pada hakekatnya, lebih diarahkan untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan dalam rangka memberikan pengesahan dan penetapan pelaksanaan anggaran (Budget rectificatif).

Keharusan berfikir dan bersikap secara makro-strategis ini semata-mata bukan karena adanya keterbatasan (constraint) yang melekat pada para anggota lembaga tersebut, tetapi lebih disebabkan karena peran lembaga itu sendiri sebagai lembaga pengambil keputusan kebijakan.
Oleh karena itu, keterbatasan ini tidak dapat ditutup dengan kehadiran suatu institusi pendukung (supporting agency) yang diharapkan akan mampu melakukan langkah-langkah yang bersifat teknis-operasional dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran Negara.

Kehadiran institusi semacam itu dalam lembaga legislatif, yang didukung oleh para ahli, lebih diharapkan untuk memberikan dukungan agar lembaga legislatif mampu secara lebih rinci melihat implementasi kebijakan yang telah diputuskan. Disamping itu, institusi tersebut juga diharapkan mampu memberikan saran dan solusi kepada lembaga legislatif, bila ternyata terdapat hambatan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut di lapangan oleh pihak eksekutif.

Terkait dengan itu, dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan hak budgetnya, lembaga legislatif memerlukan dukungan instansi lain yang memiliki kewenangan dan kompentensi teknis-operasional di bidang pengawasan keuangan Negara melalui kegiatan auditnya. Sebut saja Government Accountability Office di Amerika Serikat, Cour des Comptes di Perancis, atau Algemene Rekenkammer di Negeri Belanda.

Instansi-instansi pengawasan tersebut merupakan lembaga yang memiliki independensi yang relatif tinggi, dalam arti tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, dan juga tidak terlibat dalam pelaksanaan. Sehingga akan memberikan jaminan terhadap akuntabilitas dan transparansi pengawasan yang diperlukan. Ini sesuai dengan konsep fiscal transparency yang selama ini dikembangkan.

Hubungan yang berkualitas.

Dari uraian di atas tergambar dengan jelas betapa lembaga legislatif memiliki ketergantungan yang relatif besar terhadap lembaga audit independen. Sejalan dengan itu, lembaga audit tersebut harus mampu menyajikan informasi sesuai kebutuhan lembaga legislatif agar lembaga tersebut mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai yang diharapkan.

Bagaimana dengan praktek di Indonesia ?

Dengan dianutnya paham Panca Praja dalam sistem politik di Negara kita, telah menempatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang merupakan lembaga audit, sebagai lembaga politik. Tanpa harus melakukan analisis tersendiri yang lebih mendalam terhadap situasi tersebut, tampak secara kasat mata bahwa kedudukan politik BPK yang setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), telah memberikan pengaruh yang agak kurang positif dalam kaitan dengan pengawasan lembaga legislatif di bidang pengelolaan keuangan negara pada umumnya.

Diakui atau tidak, kesetaraan kedudukan antara keduanya, secara psikologis, menghambat keluwesan (flexibility) hubungan antara kedua lembaga tersebut. Sebagai lembaga politik, yang merupakan salah satu lembaga tinggi Negara, BPK memiliki kebijakan sendiri dalam melaksanakan tugas-tugas konstitusionalnya. Tidak tergantung pada siapa pun. Dan tidak harus patuh kepada siapa pun.

Masih tergambar tentunya dalam ingatan kita semua, ketika BPK menolak permintaan DPR untuk menyerahkan data hasil audit dalam suatu kasus besar yang menghebohkan Negara kita. Alih-alih menyerahkan kepada DPR, BPK justru menyerahkan data tersebut kepada penegak hukum untuk ditindaklanjuti.

Padahal, harusnya semua pihak memahami bahwa masalah keuangan Negara adalah masalah otorisasi parlementer. Masalah keuangan Negara adalah masalah politik. Oleh karena itu, penyimpangan dalam pelaksanaan otorisasi parlementer merupakan domain politik. Bukan domain penegakan hukum. Namun, akibat lanjutan dari penyimpangan itu sendiri merupakan wilayah penegakan hukum.

Disamping itu, kita juga sering mendengar betapa laporan BPK kurang memberikan manfaat bagi pelaksanaan kewenangan pengawasan DPR, khususnya di bidang pengelolaan keuangan Negara. Baik laporan yang bersifat periodik, maupun laporan akhir tahun.

Laporan hasil pemeriksaan semesteran (Hapsem) yang dihimpun oleh BPK dan disampaikan kepada DPR, misalnya, pada hakekatnya, merupakan himpunan hasil kerja BPK dalam suatu semester sesuai dengan program kerja BPK. Bukan laporan semester tahun anggaran berjalan yang diharapkan oleh DPR yang dapat digunakan untuk melakukan koreksi dalam rangka pengawasan legislatif, antara lain, untuk penyusunan anggaran perubahan bersama pemerintah. Walaupun, kini dengan lahirnya Undang-undang Keuangan Negara telah dilakukan perubahan terhadap laporan jenis ini, baik dari materi maupun bentuknya.

Sementara itu, laporan pemeriksaan terhadap pertanggungjawaban keuangan pemerintah, lebih terfokus pada sisi analisis keuangan mengikuti sistem akuntansi (to satisfy the accounting analysis). Padahal, harapan DPR, laporan BPK yang disampaikan kepada DPR akan mampu menggambarkan bagaimana hasil kerja pemerintah dalam melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh lembaga legislatif.

Dalam situasi seperti tersebut di atas, lahirnya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) sebagai institusi kelengkapan DPR dirasakan sangat penting artinya. Namun demikian, harus dihindarkan adanya pemikiran bahwa lahirnya BAKN akan diarahkan sebagai alat untuk memuaskan DPR memenuhi keinginannya untuk memperoleh informasi yang selama ini dibutuhkan. Artinya, BAKN akan diarahkan untuk melakukan langkah-langkah teknis-operasional dalam rangka mendukung peran pengawasan DPR. Atau lebih konkritnya, BAKN yang didukung oleh tenaga-tenaga ahli, khususnya dalam bidang akuntansi, akan diharapkan melakukan audit terhadap pelaksanaan kegiatan keuangan Negara.

Lembaga BAKN harus diposisikan sebagai ujung tombak (focal point) DPR dalam usaha memahami masalah-masalah keuangan Negara yang diinformasikan oleh BPK ataupun berbagai pihak lainnya. BAKN diharapkan mampu menjadi interface dalam hubungan antara DPR dan BPK.

Dalam kedudukannya yang demikian BAKN diharapkan mampu melakukan pendekatan dan mendorong BPK untuk menyajikan informasi sesuai kebutuhan DPR. Bukan sekedar memenuhi kaidah-kaidah atau sesuai analisis akuntansi pemerintah. Hal ini penting artinya agar informasi/ laporan BPK benar-benar bermanfaat untuk digunakan sebagai sarana pengawasan DPR sesuai keinginan Undang-undang Dasar 45.

K E S I M P U L A N

1. Lembaga legislatif merupakan lembaga penetap kebijakan (organe deliberante).
2. Terkait dengan itu, lembaga tersebut harus memiliki sikap pikir yang berorientasi makro-strategis, bukan berorientasi pada mikro-teknis.
3. Oleh karena itu, dalam melaksanakan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan Negara, lembaga legislatif memerlukan bantuan lembaga audit independen.
4. Informasi/ laporan yang disajikan oleh BPK hingga saat ini masih belum memenuhi kebutuhan DPR untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan yang tercermin dalam pelaksanaan Keuangan Negara.
5. Lahirnya BAKN sangat penting artinya dalam rangka menjembatani atau sebagai interface dalam hubungan antara DPR dan BPK sebagai lembaga politik.

*

* *
___________

*) Disampaikan dalam Workshop yang diselenggarakan oleh BAKN-DPR bersama ProRep dengan tema " Optimalisasi Peran dan Fungsi BAKN dalam Pengawasan Parlementer di Bidang Keuangan Negara ", tanggal 25 Oktober 2011 di Century Hotel, Senayan-Jakarta.