RAISON d'ETRE

Pada suatu saat, pernah terbetik suatu keinginan dari berbagai pihak, terutama para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), agar lembaga legislatif di republik kita ini memiliki hak untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana halnya lembaga eksekutif.

Pada suatu saat lain, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terpaksa harus menginap di ’hotel prodeo’, karena oleh para penegak hukum di republik ini telah dinyatakan melakukan korupsi berjama’ah. Padahal, berbagai keputusan yang dituduhkan kepada para anggota dewan yang terhormat tersebut ternyata diputuskan bersama-sama lembaga eksekutif dalam suatu forum sakral dan dituangkan dalam dokumen resmi yang disebut dengan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kemudian, banyak pihak dipaksa untuk mengernyitkan keningnya ketika mengetahui seorang petinggi pemerintahan dan juga seorang pejabat suatu perusahaan negara yang bergerak di bidang perbankan dituduh telah merugikan keuangan negara, padahal masyarakat menyang-sikan bahwa uang tersebut memang uang Negara dalam arti sebenarnya.

Sementara itu, para birokrat di berbagai lembaga pemerintah merasa ragu dalam mengambil keputusan, ataupun bahkan menolak menduduki jabatan tertentu terkait dengan pengelolaan keuangan negara, karena kurang memahami berbagai konsep (baru) keuangan Negara, sehingga khawatir tertimpa musibah.

Di lain pihak, karena ilmu keuangan negara yang disoroti dari berbagai dimensi keilmuan kurang berkembang di Indonesia, para cerdik pandai merasa ragu memasuki wilayah keilmuan ini, dan hanya sekedar mencoba meraba-raba dan membuat tafsiran dari sudut pandang keilmuan yang dimilikinya.

Itulah kira-kira sebagian alasan dibukanya BLOG yang khusus untuk mendiskusikan masalah-masalah keuangan Negara di Indonesia.

Partisipasi semua pihak dalam mendiskusikan berbagai permasalahan keuangan negara di republik ini akan merupakan usaha bersama untuk melakukan studi tentang konsepsi keuangan negara dan memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat.

Perlu disampaikan bahwa konsep baru keuangan negara yang dikembangkan oleh para pemikir yang kemudian dituangkan dalam paket undang-undang bidang keuangan negara maupun ketentuan derivasi lainnya, memang belum dapat dikatakan sempurna.

Namun bagaimanapun, lahirnya paket undang-undang tersebut di atas merupakan kenyataan bahwa Indonesia kini telah memiliki sistem keuangan negara sendiri, sehingga terlepas dari berbagai pengaruh ketentuan keuangan kolonial yang antara lain bertahun 1800-an.

Oleh sebab itu, sudah selayaknya bila semua pihak memberi apresiasi dan berusaha memahami sebaik-baiknya, seperti ungkapan bahasa Prancis di bawah ini :

----SI ON A PAS CE QUE L’ON AIME, IL FAUT AIMER CE QUE L’ON A ---

Salam

(SS)

Catatan :

Dalam rangka memenuhi saran dan pendapat berbagai pihak, artikel dalam Blog ini dikategorikan dalam :

* RUBRIK, yaitu artikel yang ditulis sesuai dengan design topik yang telah ditetapkan dalam blog ini.

* INTERMEZZO, yaitu artikel yang membahas masalah-masalah keuangan negara yang bersifat actual.

* TANGGAPAN, yaitu artikel yang berisi respons terhadap pertanyaan atau komentar pembaca yang, karena sifatnya, perlu dijelaskan secara lebih detail.



- - - - - -



Tuesday, October 6, 2009

HAIRCUT UTANG BANK BUMN : suatu catatan untuk (R)UU APBN 2010
(INTERMEZZO)

Lahirnya pemikiran para anggota DPR, khususnya Panitia Anggaran, yang memposisikan bahwa piutang bermasalah bank-bank BUMN masuk ke dalam ranah korporasi akan membuat para bankir yang mengawaki bank-bank plat merah tersebut dapat bernapas lega. Pasalnya, kendala yang selama ini dihadapi bank-bank tersebut dalam melakukan hapus tagih piutang bermasalah akan segera sirna sudah. Dengan demikian, bank-bank plat merah tersebut tidak lagi harus menyisihkan cadangan dalam neracanya yang jumlahnya lumayan besar yang mengakibatkan kinerja keuangan mereka kurang efisien, sehingga melemahkan daya saing mereka terhadap bank-bank swasta.

Konon, dengan dituangkannya klausula tersebut dalam salah satu pasal (R)UU APBN 2010, ke depan bank-bank BUMN tidak lagi harus menunggu proses birokrasi di Kementrian Keuangan yang sangat lama dan tidak memberikan kepastian bila harus menghapuskan piutang bermasalah. Selanjutnya, dengan diberlakukannya ketentuan dalam (R)UU APBN 2010 dimaksud penyelesaian kredit macet di bank-bank BUMN akan tunduk pada UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.


UU APBN sebagai acte condition


Sudah pasti, langkah tersebut kemudian mendapat response positif dari berbagai pihak. Yang jelas, bukan saja dari para bankir plat merah itu sendiri, melainkan juga dari kalangan pengamat ekonomi maupun pengamat hukum yang memandang keputusan tersebut sangat cerdas, dan merupakan terobosan yang mampu memecahkan kebekuan dan ketidakpastian hukum, khususnya di bidang pengelolaan keuangan negara.

Lebih jauh lagi, kita semua seharusnya memang patut bergembira bahwa pada akhirnya, di ujung masa baktinya, para anggota DPR dapat memahami konsep dasar yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya pemikiran dichotomis tentang negara sebagai otoritas dan negara sebagai individu dengan konsekuensi pembedaan kekayaan negara dalam kekayaan negara yang tidak dipisahkan (yang dikelola melalui sistem APBN) dan kekayaan negara yang dipisahkan. Suatu identifikasi yang selama ini ternyata tidak mudah dipahami oleh berbagai pihak, terutama dengan adanya kepentingan masing-masing.

Namun demikian, tanpa bermaksud mengurangi apresiasi terhadap langkah cerdas yang telah diambil para anggota Dewan tersebut di atas, tampaknya ada hal mendasar yang perlu diperhatikan. Konkritnya, penempatan keputusan Panitia Anggaran DPR tentang piutang bermasalah bank BUMN ke dalam ranah korporasi dalam Undang-undang APBN Tahun 2010, ditinjau dari aspek hukum, bukanlah tindakan yang tepat.
Para anggota Dewan dan juga berbagai pihak, seharusnya memahami bahwa undang undang APBN bukanlah undang-undang dalam arti sebenarnya. Kendati tidak dapat dipungkiri bahwa undang-undang APBN adalah produk lembaga legislatif bersama lembaga eksekutif, sejak awal lahirnya pemikiran tentang Keuangan Negara di Eropa, para ahli Keuangan Negara berpendapat bahwa undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara hanyalah merupakan acte condition yang dapat diartikan kurang lebih sebagai ketentuan yang bersifat penetapan (beschiking). Memang, bila dicermati, secara substantif undang-undang APBN hanyalah merupakan penetapan tentang apa-apa yang telah disepakati oleh lembaga eksekutif bersama lembaga legislatif. Penetapan tentang apa yang harus dikerjakan oleh pemerintah dalam suatu periode tertentu. Atau, dalam terminologi yang lebih spesifik, merupakan penetapan pemberian kewenangan parlemen kepada pemerintah.

Dalam kedudukannya sebagai acte condition inilah seringkali undang-undang APBN disalahartikan oleh berbagai pihak selama ini. Undang-undang APBN selalu dipersepsikan dan diperlakukan sebagai lex spesialis bila dihadapkan dengan undang-undang pada umumnya yang bersifat pengaturan (acte regle). Padahal perlakuan tersebut tidak memiliki dasar pijak maupun relevansi dari sudut konsepsi.

Ketentuan alternatif

Pertanyaan mendasar yang mungkin bermanfaat untuk dikemukakan terkait dengan masalah tersebut di atas adalah, apakah undang-undang yang bersifat penetapan dapat merubah undang-undang yang bersifat pengaturan ? Atau dengan kata lain, apakah acte condition dapat merubah acte regle ? Secara pasti, jawabannya adalah tidak. Bila demikian halnya, klausula yang dituangkan dalam pasal 4 (R)UU APBN 2010 yang secara substantif akan merubah pasal 8 Undang-undang No. 49 Tahun 1960 tentang Piutang Negara yang mengecualikan bank-bank BUMN untuk melakukan hapus tagih piutangnya seperti halnya perusahaan negara pada umumnya, tidaklah dapat dibenarkan. Atau, dalam istilah yang lebih populer, keputusan para anggota Dewan tersebut adalah ilegal.

Terkait dengan itu, langkah-langkah yang akan diambil oleh Menteri Keuangan sebagai operasionalisasi ketentuan yang ditetapkan oleh DPR dalam UU APBN 2010 mendatang juga merupakan tindakan ilegal, karena bertentangan dengan undang-undang yang masih berlaku, yaitu Undang-undang No. 49 Tahun 1960.

Kali ini Pemerintah, khususnya Menteri Keuangan sebagai pelaksana (executing agency), harus benar-benar memikirkan akibat yang mungkin terjadi. Bukan hanya terbuai oleh kewenangan, akan tetapi legalitas dari tindakan itu sendiri harus menjadi pertimbangan utama. Jangan sampai kasus-kasus yang terjadi dalam penanganan masalah BPPN ataupun Bank Century yang hingga kini masih menyisakan masalah akan terulang kembali.

Namun, apapun yang terjadi, pemikiran yang dikembangkan para anggota Dewan tersebut perlu disambut gembira dengan antusiaisme yang memadai. Hanya saja, mungkin dari segi format perlu difikirkan kembali. Bila memang demikian halnya, apakah penerbitan Perppu oleh pemerintah bukan mungkin lebih dapat dipertimbangkan ?


*
* *
LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN : SEBUAH LEMBAGA KONTROVERSIAL
(INTERMEZZO)

Pernyataan Direktur eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Firdaus Djaelani, terkait status dana triliunan rupiah yang digelontorkan di awal kisruh Bank Century tampak lebih bernuansa politis ketimbang teknis keuangan. Demikian pula ungkapan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam menanggapi tuduhan para anggota DPR maupun dalam menangkis pendapat seorang kolumnis di sebuah media. Kedua pejabat departemen keuangan tersebut tampaknya mati-matian ingin mengesankan kepada semua pihak bahwa keputusan untuk menyelamatkan Bank Century bukan dengan cara menghamburkan uang rakyat yang secara langsung maupun tidak langsung dibebankan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Mengapa hal tersebut perlu dilakukan ? Bila dicermati, paling tidak terdapat dua hal yang perlu diketahui masyarakat dalam masalah ini. Pertama, bahwa kasus Bank Century bukanlah BLBI jilid 2. Keyakinan ini harus diberikan kepada masyarakat, mengingat masyarakat masih menyimpan trauma atas kasus BLBI yang masih menyisakan beban kepada rakyat sebesar 600 triliun rupiah. Kedua, semacam deklarasi bahwa penanganan masalah Bank Century dilakukan atas dasar professional judgement dan dilaksanakan dengan good governance. Oleh karena itu, Menteri Keuangan dengan entengnya mempersilahkan Badan Pemeriksa Keuangan ataupun Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan audit.

Namun demikian, terlepas dari itu semua setelah kasus tersebut mulai mereda dan tampaknya masyarakat mulai menemukan equilibrium baru tentang masalah Bank Century, kini justru menyeruak pertanyaan ikutan di benak masyarakat luas. Apa sebenarnya kedudukan atau peran LPS yang dibentuk atas dasar Undang-undang No.24 Tahun 2004 dalam pengelolaan kebijakan perekonomian dan keuangan Negara ?

Bukan lembaga negara

Terkait dengan itu, menarik memang apa yang diungkapkan Menteri Keuangan dan dikutip oleh berbagai Media. LPS adalah suatu Badan Hukum. Dan, sebagai badan hukum, LPS memiliki karakteristik seperti badan hukum pada umumnya, misalnya menyangkut visi, misi, motivasi dalam melakukan kegiatan,dan juga terkait dengan pemilikan asset/ kekayaan.

Oleh karena itu, merujuk pasal 81 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS, Menteri Keuangan menyatakan bahwa asset LPS merupakan kekayaan sendiri dan terpisah dari kekayaan negara. Artinya, kendati kekayaan tersebut berasal dari Negara, pengelolaannya dilakukan secara terpisah dan dengan pola yang sangat berbeda.

Itulah sebabnya Menteri Keuangan dengan lantang menyatakan bahwa uang yang digelontorkan ke Bank Century bukan uang Negara. Karena LPS memang bukan representasi Negara. Dan, pernyataan tersebut bukan pula semata-mata karena uang Pemerintah yang ada di LPS relatif lebih kecil dibandingkan dengan dana yang dialirkan untuk menyelamatkan Bank Century yang berasal dari premi.

Sri Mulyani hanya ingin menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan ‘uang negara’ dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan Negara di mana pemerintah/ Negara berperan selaku otoritas, adalah uang yang tertera dalam Undang-undang APBN. Ini adalah pernyataan yang secara eksplisit dinyatakan dalam undang-undang, yaitu Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Sementara itu, dengan mendasarkan pada prinsip industry helps industry, dari sisi misi dan motivasi, LPS memiliki ciri lembaga swasta murni (private sector), sehingga tidak memiliki kewajiban dalam penyediaan layanan publik dalam konteks pemerintahan Negara. LPS menjamin simpanan masyarakat di bank-bank sesuai premi yang dibayarkan. Dan ini, mencegah masyarakat melakukan rush, sehingga secara tidak langsung akan menghindarkan bank-bank dari bahaya collapse. Mekanisme kerja LPS dengan bank didasarkan pada contractual base.
Bila demikian halnya, mengapa para anggota DPR harus sewot ? Mengapa mereka serta merta harus meminta BPK maupun KPK untuk turun tangan melakukan audit dan pemeriksaan. Seharusnya mereka juga tidak perlu membuat polemik dan menyatakan bahwa DPR harus ikut campur, hanya karena di dalam institusi tersebut (LPS) terdapat uang Negara, atau bahkan menuding bahwa seluruh uang hasil premi juga merupakan uang Negara.

Memang harus diakui bahwa kucuran dana dari LPS kepada Bank Century tidak akan pernah terjadi tanpa campur tangan lembaga-lembaga pemerintah semisal Bank Indonesia, Departemen Keuangan, maupun Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Namun dengan dalih bahwa penyelamatan Bank Century menggunakan uang Negara, sehingga DPR perlu campur tangan hanya karena dalam institusi LPS terdapat uang Negara, menunjukkan kerancuan cara berpikir para anggota Dewan dalam memahami konteks ‘Negara’ dalam Undang-undang Keuangan Negara.

Perlu lembaga independen

Penjelasan Menteri Keuangan tentang kedudukan LPS maupun keyakinan berbagai pihak tentang mekanisme pengucuran dana talangan kepada bank yang ditengarai sebagai bank gagal, justru menimbulkan kerancuan pada logika masyarakat tentang LPS itu sendiri. Keterlibatan Bank Indonesia, Departemen Keuangan, dan juga Komite Stabilitas Sistem Keuangan sebagai penentu dikucurkan-tidaknya dana talangan kepada suatu bank yang dinyatakan sebagai bank gagal telah menempatkan LPS pada posisi tidak-lebih sekedar sebagai ‘kasir’.

Keterlibatan Bank Indonesia dalam menentukan operasi penyelamatan bank gagal tidaklah dapat dilihat semata-mata karena ingin menyelamatkan sistem perbankan, terutama dari aspek kelembagaan. Namun, harus dilihat lebih jauh lagi bahwa dibalik itu semua sebenarnya terdapat indikasi kekhawatiran pemerintah bahwa kegagalan suatu bank akan berpengaruh terhadap kondisi moneter di republik ini. Hal ini mengingat bahwa Bank Indonesia merupakan pemegang kebijakan moneter.

Demikian pula halnya dengan Departemen Keuangan. Keterlibatan Menteri Keuangan adalah semata-mata karena Menteri Keuangan sebagai Pengelola Fiskal dan sebagai penanggungjawab stabilitas ekonomi makro tidak ingin gejolak yang diakibatkan oleh sistem perbankan memiliki efek domino terhadap kondisi fiskal dan ekonomi makro.

Jadi, kepentingan nasional inilah yang memaksa pemerintah, termasuk Bank Indonesia, harus menangani bila sistem perbankan terkendala. Bila demikian halnya, dalam skenario yang lebih besar, penyelamatan bank gagal, pada hakekatnya, adalah usaha untuk menghindarkan terancamnya stabilitas perekonomian nasional. Dan ini memang merupakan kewajiban pemerintah.

Yang justru menjadi pertanyaan adalah, bagaimana penyelesaian masalahnya harus diserahkan kepada LPS yang secara kelembagaan bukan mewakili pemerintah ? Ini sesuai pernyataan Darmin Nasution yang tampaknya mengutip pasal 21 ayat (3) UU LPS yang menyatakan bahwa semenjak diputuskan oleh Komite Koordinasi yang bekerja adalah LPS.

Bagaimana Menteri keuangan ataupun pihak-pihak lain harus menjelaskan bahwa dasar filosofi ‘industry helps industry’ (3rd party helps 3rd party) yang ditrapkan pada LPS sebenarnya ditujukan untuk kepentingan yang lebih besar yang perlu diselamatkan, yaitu perekonomian nasional ? Bukan sekedar menyelamatkan bank yang dinyatakan gagal.

Tanpa harus mengedepankan pretensi negatif, satu pertanyaan mendasar dapat pula ditujukan kepada DPR, yaitu, bagaimana UU LPS dahulu dapat disetujui, bila secara substantif mengandung ketidakjelasan sebagaimana dikemukakan di atas ?

Untuk menghindarkan itu semua, seharusnya pemerintah, dan juga DPR, memikirkan perlunya ada suatu lembaga yang secara komprehensif dapat menangani masalah-masalah seperti itu yang mungkin timbul di kemudian hari. Lembaga yang memiliki tanggungjawab dan akuntabilitas yang penuh, dengan tugas dan kewenangan seperti yang mungkin pada saat ini dimiliki oleh KSSK dan Komite Koordinasi, dengan LPS berada di bawah naungannya. Idealnya, lembaga dimaksud adalah suatu lembaga pemerintah dengan independensi dalam pengambilan keputusan, tetapi tidak dengan kekayaan Negara yang dipisahkan.

Harapannya adalah agar di kemudian hari tidak ada lagi saling lempar tanggungjawab antara Bank Indonesia dan Departemen Keuangan seperti saat ini. Demikian pula, kita tidak perlu melihat kejanggalan bahwa Direktur Eksekutif LPS yang nota bene merupakan pimpinan ‘lembaga swasta’ duduk bersama Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan dalam Komite Koordinasi untuk menyerahkan bank gagal ke tangan LPS yang tidak lain adalah dirinya sendiri. Ataupun, kita tidak perlu meragukan pernyataan sebagaimana disampaikan Darmin Nasution bahwa tidak ada permasalahan hukum dalam penggelontoran dana ke Bank Century, karena semua didasarkan pada prinsip good governance, dan semua keputusan didasarkan pada professional judgement.
*
* *

Tuesday, June 23, 2009

PEMBAGIAN KEWENANGAN DI ANTARA PARA PEJABAT DALAM
PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA
(RUBRIK)
BANGUNAN PEMBAGIAN KEWENANGAN
Dalam bagian terdahulu telah disampaikan bahwa, kendati kajian Ilmu Keuangan Negara memiliki kompleksitas yang tinggi, karena merupakan la science de carrefour sebagaimana dikemukakan dalam berbagai kepustakaan Perancis, bila diamati secara mendasar kajian utama tentang Ilmu Keuangan Negara dapat dibedakan dalam dua sisi. Pertama, sisi politis yang mengkaji hubungan hukum antara dua lembaga politik dalam penetapan Undang-undang APBN, yaitu antara Lembaga Legislatif dan lembaga Eksekutif; dan kedua, sisi administratif yang mengkaji hubungan hukum antara berbagai instansi di dalam lembaga Eksekutif dalam pelaksanaan Undang-undang APBN.

Bila pembagian kewenangan antara dua lembaga tinggi negara tersebut dengan mudah dapat dilihat dalam undang-undang dasar, karena sisi politis Ilmu Keuangan Negara merupakan sisi yang menyentuh ranah hukum dasar (Hukum Tata Negara), pertanyaan yang timbul adalah dari mana asal berbagai kewenangan yang timbul dan dimiliki oleh para pejabat pengelola anggaran maupun pejabat pengelola perbendaharaan dalam melaksanakan undang-undang APBN tersebut.

Dari uraian di atas, dapat ditarik suatu simpulan bahwa lingkup pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara pada prinsipnya adalah berada dalam ranah kajian bidang hukum administratif. Tepatnya, dalam ranah Hukum Administrasi Negara.

Hal ini dengan jelas dapat dilihat dalam konteks pemikiran yang dituang -kan dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Sedangkan, kekuasaan pemerintahan dimaksud adalah kekuasaan ekseku- tif yang antara lain berupa kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat umum, yaitu berupa kekuasaan menyelenggarakan administrasi negara.

Atas dasar alur pikir tersebut kemudian dapat dirumuskan bahwa Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Pemikiran inilah yang kemudian dituangkan dalam rumusan pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, yang kemudian menyatakan bahwa ‘kekuasaan pengelolaan keuangan negara berada di tangan Presiden’.

Selanjutnya, dalam operasionalisasi kewenangan dimaksud, Presiden men-delegasikan sebagian kewenangan pengelolaan keuangan negara tersebut kepada para Menteri sebagai pembantunya sesuai dengan peran masing-masing dalam pengelolaan keuangan negara. Peran tersebut adalah sebagai Chief Financial Officer (CFO), di satu sisi, dan sebagai Chief Operation Officer (COO), di sisi lainnya.

Peran sebagai CFO secara eksklusif hanya didelegasikan kepada Menteri Keuangan. Hal ini sesuai dengan tugasnya sebagai pembantu Presiden di bidang keuangan, yaitu sebagai pengelola keuangan negara atau lebih tepatnya sebagai Bendahara Umum Negara dan sebagai wakil pemerintah sebagai pemegang saham berbagai perusahaan milik negara. Sementara itu, peran sebagai COO didelegasikan kepada semua menteri sebagai kepala kementrian, termasuk kepada menteri keuangan. Sebagai COO, pada hakekatnya, setiap menteri adalah penanggungjawab terhadap keberhasilan program yang telah disusun dan ditetapkan dalam kementrian masing-masing.

Dengan mengacu pada pemikiran di atas, Undang-undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 6 ayat (2.a dan b) menyatakan bahwa kewenangan tersebut pada ayat (1) dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku BUN, di satu pihak, dan kepada Menteri Teknis selaku Pengguna Anggaran (PA), di lain pihak.

PRINSIP YANG DIANUT DALAM PEMBAGIAN KEWENANGAN

Bila diamati, pembagian kewenangan sebagaimana tersebut di atas ternyata didasarkan pada kaidah umum yang dapat diketemukan dalam teori kebijakan publik. Adapun tujuan pembagian kewenangan dimaksud terutama adalah menghindarkan terpusatnya kewenangan di satu tangan agar dapat menjamin terciptanya mekanisme check and balance (saling uji) di antara para pihak, yaitu para pejabat pengelola keuangan negara.

Lebih lanjut, bila diperhatikan, pembagian kewenangan ini merupakan sistem yang mampu mendorong agar berbagai keputusan yang diambil oleh para pejabat pengelola keuangan, yaitu para Menteri selaku Pengguna Anggaran, selalu didasarkan pada kaidah-kaidah pengelolaan keuangan negara yang telah ditetapkan sebagai acuan, karena keputusan yang telah diambil akan diuji oleh pihak lain, yaitu Menteri Keuangan , selaku Bendahara Umum Negara.

Dari gagasan pemisahan kewenangan sebagaimana diuraikan di atas, dapat kiranya diperhatikan bahwa agar tetap terjamin terselenggaranya mekanisme saling uji antara para pihak, pembagian kewenangan dalam pengelolaan keuangan negara harus didasarkan pada prinsip kesetaraan di antara para pengelolanya. Artinya, baik pemegang peran Bendahara Umum Negara (BUN) maupun peran Pengguna Anggaran (PA) harus memiliki kedudukan yang setara, yang dalam hal ini adalah para menteri.

IMPLEMENTASI

Konstruksi bangunan pembagian kewenangan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara pasal 6 ayat (1) dan ayat (2a dan b) sebagaimana dikemukakan di atas selanjutnya diacu dalam Undang-undang No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.

Prinsip pembagian kewenangan dalam pengelolaan keuangan negara dengan titik puncak pemegang kewenangan adalah Presiden dengan melibatkan dua kelompok menteri, yaitu menteri keuangan, di satu pihak, dan menteri teknis, di pihak lain, selanjutnya diterapkan dalam lingkup kementrian lembaga dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Dengan tetap mengacu pada Undang-undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara pasal 6 ayat (1) dan ayat (2a dan b), dalam lingkup yang lebih kecil, para menteri kemudian mendelegasikan sebagian kewenangan pengelolaan keuangan negara di masing-masing kementrian/ lembaga kepada para pembantunya sebagai pimpinan satuan kerja (Satker).

Perlu diingat bahwa dalam pelaksanaan APBN, dalam kementrian masing-masing, para menteri memiliki kewenangan layaknya Presiden dalam pengelolaan keuangan negara. Dengan demikian, dalam kementriannya seorang menteri selaku Pengguna Anggaran, memiliki peran BUN dan juga peran Menteri Teknis. Dua peran inilah yang selanjutnya dikuasakan kepada setiap Kepala Satker sebagai pembantunya. Oleh karena itu, setiap Kepala Satker, sebagai penerima kuasa dari menteri selaku Penggunan Anggaran, --yang untuk selanjutnya disebut sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) --harus mendelegasikan kewenangan di bidang pengelolaan keuangan negara yang diperolehnya dari menteri kepada masing-masing pejabat di bawahnya sesuai kaidah yang dianut dalam undang-undang bidang keuangan negara.

Oleh sebab itu, sejalan dengan pola di atas, di dalam setiap satker akan terdapat pemegang peran layaknya BUN yang diperankan oleh Pejabat Penanda tangan SPM (PPSPM) yang akan melakukan tugas-tugas pengujian (verifikasi), dan juga peran Menteri Teknis, --yang melakukan pengambilan keputusan--, yang diperankan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Dengan pola pembagian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, KPA sebagai Kepala Satker, pada hakekatnya hanya memiliki tanggungjawab dan kewenangan yang bersifat manajerial, yaitu agar berbagai program ataupun kegiatan yang berada dalam tanggungjawabnya dan harus dilaksanakan oleh Satkernya dapat dilaksanakan sesuai rencana yang telah ditetapkan. Hal ini terkait dengan peran strukturalnya (formalnya) sebagai kepala satuan kerja yang secara hierarchies membawahi pejabat struktural lainnya yang tingkatannya lebih rendah.

Sementara itu, PPK adalah pejabat yang bertanggungjawab terhadap terjadinya pengeluaran negara, karena berbagai keputusan yang diambilnya akan dapat mengakibatkan terjadinya pengeluaran negara. Dalam konsep pengelolaan keuangan negara versi lama (sebelum diberlakukannya undang-undang bidang keuangan negara), kewenangan PPK dapat disetarakan dengan kewenangan otorisasi, kendati lingkupnya lebih sempit yaitu pada umumnya terkait dengan tindakan dalam rangka pengadaan barang dan jasa.

Untuk menjaga obyektifitas yang memadai dalam pengambilan keputusan, PPK dibantu oleh pejabat pengadaan, panitia pengadaan barang dan jasa yang dibentuk sesuai kebutuhan, dan juga oleh pejabat penerima barang/ jasa. Untuk menjaga terselenggaranya tata kelola yang baik (good governance) dalam pengelolaan keuangan negara, keputusan PPK tersebut kemudian diuji secara substantif oleh PPSPM.

Pengujian yang dilakukan oleh PPSPM pada prinsipnya lebih bersifat administratif yang meliputi pengujian wetmatigheid, rechtmatigheid, dan doelmatigheid. Memang pengujian dimaksud akan meliputi hal-hal terkait dengan substansi yang menyebabkan terjadinya pengeluaran negara, akan tetapi pejabat PPSPM tidak pernah memiliki kewajiban untuk melakukan pengecekan apakah kontrak yang asli tersebut tidak dipalsukan, atau apakah berita acara penyerahan barang yang dijadikan dasar penagihan kepada negara tersebut memang didasarkan pada bukti penyerahan barang sesuai dengan perikatan yang telah dilakukan oleh PPK. Ujung dari seluruh pengujian yang dilakukan oleh PPSPM tersebut adalah terbitnya Surat Perintah Membayar (SPM). Hal ini dilakukan bilamana PPSPM meyakini bahwa pembayaran tersebut memang dapat dilakukan. Keyakinan ini perlu dimiliki oleh PPSPM, karena benteng terakhir terjadinya pengeluaran negara di tingkat kementrian/ lembaga adalah PPSPM. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan dalam kepustakaan lama tentang pengelolaan keuangan negara, peran ini, yang dulu dikenal sebagai pemegang kewenangan ordonnansering, merupakan peran yang sangat strategis.


Keywords