RAISON d'ETRE

Pada suatu saat, pernah terbetik suatu keinginan dari berbagai pihak, terutama para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), agar lembaga legislatif di republik kita ini memiliki hak untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana halnya lembaga eksekutif.

Pada suatu saat lain, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terpaksa harus menginap di ’hotel prodeo’, karena oleh para penegak hukum di republik ini telah dinyatakan melakukan korupsi berjama’ah. Padahal, berbagai keputusan yang dituduhkan kepada para anggota dewan yang terhormat tersebut ternyata diputuskan bersama-sama lembaga eksekutif dalam suatu forum sakral dan dituangkan dalam dokumen resmi yang disebut dengan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kemudian, banyak pihak dipaksa untuk mengernyitkan keningnya ketika mengetahui seorang petinggi pemerintahan dan juga seorang pejabat suatu perusahaan negara yang bergerak di bidang perbankan dituduh telah merugikan keuangan negara, padahal masyarakat menyang-sikan bahwa uang tersebut memang uang Negara dalam arti sebenarnya.

Sementara itu, para birokrat di berbagai lembaga pemerintah merasa ragu dalam mengambil keputusan, ataupun bahkan menolak menduduki jabatan tertentu terkait dengan pengelolaan keuangan negara, karena kurang memahami berbagai konsep (baru) keuangan Negara, sehingga khawatir tertimpa musibah.

Di lain pihak, karena ilmu keuangan negara yang disoroti dari berbagai dimensi keilmuan kurang berkembang di Indonesia, para cerdik pandai merasa ragu memasuki wilayah keilmuan ini, dan hanya sekedar mencoba meraba-raba dan membuat tafsiran dari sudut pandang keilmuan yang dimilikinya.

Itulah kira-kira sebagian alasan dibukanya BLOG yang khusus untuk mendiskusikan masalah-masalah keuangan Negara di Indonesia.

Partisipasi semua pihak dalam mendiskusikan berbagai permasalahan keuangan negara di republik ini akan merupakan usaha bersama untuk melakukan studi tentang konsepsi keuangan negara dan memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat.

Perlu disampaikan bahwa konsep baru keuangan negara yang dikembangkan oleh para pemikir yang kemudian dituangkan dalam paket undang-undang bidang keuangan negara maupun ketentuan derivasi lainnya, memang belum dapat dikatakan sempurna.

Namun bagaimanapun, lahirnya paket undang-undang tersebut di atas merupakan kenyataan bahwa Indonesia kini telah memiliki sistem keuangan negara sendiri, sehingga terlepas dari berbagai pengaruh ketentuan keuangan kolonial yang antara lain bertahun 1800-an.

Oleh sebab itu, sudah selayaknya bila semua pihak memberi apresiasi dan berusaha memahami sebaik-baiknya, seperti ungkapan bahasa Prancis di bawah ini :

----SI ON A PAS CE QUE L’ON AIME, IL FAUT AIMER CE QUE L’ON A ---

Salam

(SS)

Catatan :

Dalam rangka memenuhi saran dan pendapat berbagai pihak, artikel dalam Blog ini dikategorikan dalam :

* RUBRIK, yaitu artikel yang ditulis sesuai dengan design topik yang telah ditetapkan dalam blog ini.

* INTERMEZZO, yaitu artikel yang membahas masalah-masalah keuangan negara yang bersifat actual.

* TANGGAPAN, yaitu artikel yang berisi respons terhadap pertanyaan atau komentar pembaca yang, karena sifatnya, perlu dijelaskan secara lebih detail.



- - - - - -



Friday, March 25, 2016



PEMIKIRAN TENTANG DISKRESI MENURUT UU NO. 30 TAHUN 2014 DALAM PELAKSANAAN PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA: Sebuah analisis praktis[1]

INTRODUKSI

Dapatkah kebijakan publik yang diambil oleh para pejabat publik dipidanakan ? Jawabannya adalah ‘ Dapat ‘. Bahkan, ‘ Harus ‘.  Ini adalah sebuah perdebatan yang berkembang pasca merebaknya kasus Bank Century. Ternyata bukan saja sekedar perdebatan, melainkan berujung pada kenyataan.

Padahal, bila mengacu pada konsep teori, jawabannya seharusnya adalah ‘ Tidak ‘. Mengapa ?  Karena, kebijakan publik yang diambil oleh seorang pejabat publik, pada hakekatnya, adalah ekspresi untuk mewujudkan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, tidak seharusnya pejabat publik tersebut dipidanakan. Itulah kira-kira dasar pernyataan Presiden SBY ketika menyampaikan agar berbagai pihak mampu menahan diri dan melindungi para pejabat publik agar tidak dikriminalisasi. Ini adalah sebuah konsepsi idealis. [2]

Namun, seorang advocat senior (+) di negeri ini, dalam suatu kesempatan menyatakan bahwa,  “Nanti dulu, harus dilihat substansinya !” “Jangan kemasannya !” “Bungkusnya sih dapat saja merupakan kepentingan masyarakat, tetapi adakah hal lain behind the policy ?”

Bila dicermati, diskursus tersebut adalah sebuah contoh sempurna. Sebuah contoh yang membandingkan antara pemikiran konsepsional dengan kenyataan yang terjadi dalam praktek sehari-hari. Pembandingan antara Das Sollen dan Das Sein. Tapi bukan pembandingan antara teori dan praktek. Melainkan antara formalitas legal dengan substansi keputusan dalam suatu keputusan pejabat Administrasi Negara. Atau, lebih jelasnya, mencoba menelusuri motif atau niat dalam pengambilan keputusan itu sendiri.

Kejadian di atas adalah sebuah potret nyata untuk dijadikan acuan ketika hari ini semua pihak dihadapkan pada sebuah situasi yang hampir tidak berbeda. Yaitu, ketika harus mengimplementasikan UU no. 30 tahun 2014 dikaitkan dengan instruksi Presiden. Khususnya, bila harus bersinggungan dengan keputusan dalam pengelolaan keuangan negara.

Bagaimana sikap ketentuan tentang tata kelola penyelenggaraan pemerintahan (government administration) pada umumnya bila dihadapkan dengan pengelolaan keuangan negara yang didasarkan pada Hukum Keuangan Negara yang memiliki kaidah baku ?  Bagaimana istilah yang memiliki arti harafiah sama, padahal  memiliki pengertian substansi yang berbeda harus digunakan dalam pelaksanaan agar tidak terjadi pembiasan pengertian dan salah dalam pengambilan keputusan ? Hal-hal inilah, antara lain, yang merupakan materi yang perlu diungkapkan dalam diskusi ini.

Terkait dengan itu, untuk dapat menjawab pertanyaan di atas, perlu kiranya disampaikan terlebih dahulu secara ringkas pemikiran konsepsional yang terkandung dalam Hukum Keuangan Negara. Kemudian, selanjutnya, dilakukan penelaahan terhadap UU no. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, khususnya terkait dengan ketentuan tentang diskresi. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah menganalisa berbagai akibat yang mungkin terjadi dalam upaya penerapan gagasan tentang diskresi tersebut ditinjau dari sudut Hukum Keuangan Negara.
A.    KARAKTER SPESIFIK HUKUM KEUANGAN NEGARA
Hukum Keuangan Negara, secara teori, mengkhususkan pembahasannya pada dua aspek dari disiplin Keuangan Negara, yaitu aspek politik dan aspek administratif.
Sudut pandang dari dua aspek sebagaimana tersebut di atas ditrapkan pula di Indonesia. Bahkan, di Indonesia pemisahan dimaksud diwujudkan secara tegas dengan menempatkan kedua aspek pengelolaan keuangan negara tersebut  dalam undang-undang yang berbeda. Yaitu, aspek politis pengelolaan keuangan negara dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, sedangkan aspek administratifnya dalam Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
a. Aspek Politis
1.      Anggaran Negara merupakan kesepakatan politik.    
Dalam kajian Ilmu Hukum Keuangan Negara, aspek politik keuangan negara ini  secara substansi mengatur hubungan hukum antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dalam rangka penyusunan dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).  
Secara konkrit, aspek politis keuangan negara tersebut terkait dengan pelaksanaan pemikiran/ ide yang terkandung dalam undang-undang dasar. Yakni, mengatur bagaimana amanah undang-undang dasar yang meliputi penyelenggaraan pemerintahan negara dan pemenuhan hak-hak azasi warga negara harus diwujudkan.
Amanah undang-undang dasar dimaksud  diwujudkan dalam bentuk kegiatan pengelolaan rumah tangga negara, baik dari aspek kegiatan yang akan dilaksanakan maupun dari aspek  pembiayaannya (financing). Dari aspek pembiayaan, pada hakekatnya, menjawab pertanyaan bagaimana pemerintah dapat membiayai kegiatan pemerintah dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan dan pemenuhan hak-hak azasi warga negara.
Di negara demokratis, peran rakyat melalui sistem perwakilannya (lembaga legislatif) dalam pelaksanaan aspek politis keuangan negara ini sangat dominan dibandingkan peran pemerintah (lembaga eksekutif) yang pada prinsipnya hanya merupakan pelaksana. Mewakili rakyat, setiap tahun, lembaga legislatif membuat kesepakatan dengan lembaga eksekutif mengenai rencana kerja yang harus dilakukan dalam rangka mewujudkan amanah undang-undang dasar tersebut di atas. Kesepakatan tersebut bukan saja berisi kegiatan-kegiatan yang harus dan akan dilaksanakan, akan tetapi juga berisi bagaimana cara pembiayaannya. Dalam arti, dari mana pendanaan untuk membiayai kegiatan tersebut dapat diperoleh. Kesepakatan inilah yang kemudian dikenal secara luas dengan istilah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Dengan demikian, secara politis, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara adalah suatu bentuk kesepakatan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif yang berisi rencana kegiatan dan cara pembiayaannya. Dalam kesepakatan tersebut lembaga legislatif memberikan kewenangan sepenuhnya kepada lembaga eksekutif untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang tertuang didalamnya, di satu sisi, dan memberikan kewenangan untuk mengupayakan pendanaan dalam rangka membiayai kegiatan tersebut. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah autorisation parlementaire. 
Konsekuensi logis dari kesepakatan tersebut adalah :
Lembaga legislatif memiliki hak untuk melakukan pengawasan agar kesepakatan tersebut dilaksanakan dengan baik dan benar. Dalam arti bahwa seluruh rencana kegiatan yang tertuang dalam kesepakatan dimaksud harus dapat diwujudkan. Disamping itu, lembaga legislatif memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban terhadap realisasi kesepakatan dimaksud.
Sedangkan lembaga eksekutif memiliki  kewajiban untuk melaksanakan dan mewujudkan program kerja sesuai dengan rencana yang telah disepakati, serta menyampaikan pertanggungjawaban baik dari segi kinerja maupun keuangan. Sementara itu, hak yang dimiliki oleh lembaga eksekutif berupa kewenangan untuk mengupayakan pendanaan dalam koridor kebijakan umum yang telah disepakati bersama.
Untuk dapat melakukan pengawasan secara efektif dan efisien terhadap pengelolaan anggaran negara yang dilaksanakan oleh lembaga eksekutif, lembaga legislatif memiliki peralatan ataupun prinsip-prinsip yang dikenal sebagai Golden Principles Of Budget Execution, yang terdiri dari: prinsip-prinsip anterioritas, annualitas, spesialitas, universalitas, dan prinsip unitas,
Prinsip anterioritas atau prinsip prealable menegaskan bahwa anggaran negara baru dapat dinyatakan sah dan dapat dilaksanakan bilamana terlebih dahulu memperoleh pengesahan/ persetujuan dari lembaga legislatif. Dalam praktek, prinsip ini kemudian diwujudkan dalam berbagai ketentuan yang menyatakan, misalnya bahwa Anggaran Negara (APBN) merupakan dasar bagi pengeluaran negara, atau adanya larangan bagi pejabat pemerintah untuk membuat perikatan bilamana tidak tersedia/ tidak cukup tersedia dana dalam APBN untuk suatu kegiatan tertentu. Bila diperhatikan, prinsip ini merupakan prinsip yang paling penting di antara prinsip yang ada, karena menyangkut pemberian persetujuan lembaga legislatif kepada lembaga eksekutif.
Prinsip annualitas menyatakan bahwa anggaran negara berlaku dalam suatu periode tertentu, misalnya satu tahun. Prinsip tersebut bukan hanya sekedar pernyataan tentang periode berlakunya suatu anggaran negara, akan tetapi memiliki konsekuensi bahwa semua pengeluaran yang dilakukan oleh pihak eksekutif di luar periode yang telah ditetapkan merupakan pengeluaran yang tidak sah.
Prinsip spesialitas yang pada prinsipnya menjaga agar anggaran digunakan khusus untuk kegiatan-kegiatan yang telah ditetapkan ini pada prinsipnya akan memudahkan lembaga legislatif mendeteksi apakah program-program yang telah diputuskan dilaksanakan sesuai tujuan, dan tidak digeserkan sesuai dengan kehendak lembaga eksekutif dalam pelaksanaan. Sesuai dengan maksudnya, prinsip ini lebih ditekankan pada fungsi-fungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yakni antara lain, fungsi pemerintahan negara, fungsi keamanan, fungsi kesejahteraan rakyat, dlsb. Selanjutnya, dalam penyusunan anggaran negara ditambahkan unsur organisasi sebagai subyek (pelaksana) yang merupakan penanggungjawab kegiatan. Terkait dengan itu, dalam praktek kemudian dikenal pengeluaran untuk fungsi tertentu yang dilaksanakan oleh kementerian/ satuan kerja tertentu.
Prinsip universalitas merupakan prinsip yang mewajibkan adanya kas tunggal dalam pengelolaan keuangan negara. Selanjutnya, prinsip ini mengharuskan agar semua penerimaan di setor ke Kas Negara dan semua pengeluaran dilakukan melalui Kas Negara. Dengan prinsip ini lembaga legislatif akan mudah mengendalikan pengelolaan kas pemerintah untuk menghindarkan pemborosan ataupun fraude yang mungkin terjadi.
Prinsip unitas yang menyatakan bahwa APBN yang disepakati dan harus dilaksanakan oleh lembaga eksekutif harus tertuang dalam satu dokumen, bukan terpisah-pisah dalam berbagai dokumen. Tujuan penempatan anggaran negara dalam satu dokumen ini adalah agar lembaga legislatif dengan mudah dapat mengendalikan seluruh anggaran yang telah disepakati dan ditetapkannya, sehingga terhindar terjadinya fraude dalam pengelolaan keuangan negara.
2.      Materi yang terkandung dalam Anggaran Negara
Secara sederhana penyusunan anggaran negara dilakukan dengan cara mencari titik temu antara keinginan yang tidak terbatas dengan ketersediaan dana yang terbatas. Pada titik temu tersebut kemudian disusunlah skala prioritas.
Oleh sebab itu, dengan tetap memperhatikan skala prioritas yang disusun, sepanjang tidak bertentangan dengan amanah undang-undang dasar yang secara rinci dituangkan dalam berbagai ketentuan (undang-undang) sebagai  pelaksanaan, di satu sisi, dan terdapat kemungkinan untuk menyediakan pendanaan untuk membiayai kegiatan yang direncanakan dimaksud, di sisi lain, lembaga legislatif bersama lembaga eksekutif, secara prinsip, memiliki kebebasan menuangkan  berbagai rencana kegiatannya dalam anggaran negara sesuai kebutuhan.
Kendati, kalau diamati dari sudut teori, fungsi-fungsi penyelenggaraan pemerintahan di berbagai negara tidak banyak berbeda, kandungan yang termuat dalam setiap fungsi maupun teknik pengelompokan kegiatan dari negara yang satu dengan lainnya ternyata sangat bervariasi. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor politis dan faktor ekonomis negara yang bersangkutan.
Oleh karena itu, dalam kenyataan, dapat dilihat adanya variasi dalam pengelompokan penerimaan maupun pengeluaran dalam sistem anggaran berbagai negara. Namun demikian, agar analisis terhadap anggaran suatu negara dapat dilakukan sesuai alur pikir yang disepakati secara internasional, kemudian disusunlah suatu acuan yang diterbitkan oleh lembaga internasional (IMF) yang dituangkan dalam Government Financial Statistics (GFS).
Sejalan dengan pemikiran tersebut, di lembaga Eksekutif, setiap tahun, Pemerintah mengumpulkan rencana kerja berbagai kementerian/ lembaga dalam suatu dokumen yang disusun atas dasar Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Ini adalah suatu bentuk perencanaan fisik terkoordinasikan yang nantinya digunakan untuk menyusun kebutuhan dana anggaran. Itulah sebabnya, setiap tahun, semua kementerian/ lembaga, tanpa kecuali, diwajibkan menyusun Rencana Kerja dan Anggaran untuk disampaikan kepada Pemerintah, cq. Menteri Keuangan, selaku Pengelola Fiskal. Dokumen tersebut, pada saat ini, dikenal dengan nama RKA-K/L.
Dengan demikian, ditinjau dari sudut substansi, dokumen RKA-K/L mengandung dua unsur yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain yaitu, Rencana Kerja dan Rencana Anggaran. Sebagaimana dikemukakan di atas, Rencana Kerja Kementerian/Lembaga tersebut kemudian dihimpun oleh Pemerintah (dilakukan oleh Bappenas) dan disusun menjadi Rencana Kerja Tahunan Pemerintah. Sementara itu, Rencana Anggarannya, dihimpun oleh Menteri Keuangan, selaku Pengelola Fiskal, untuk kemudian disusun menjadi dokumen Rancangan Undang-Undang APBN (RUU-APBN).
b.     Aspek Administratif 
Bila aspek politik keuangan negara secara substansi mengatur hubungan hukum antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dalam rangka penyusunan dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), aspek administratifnya mengatur hubungan hukum antar instansi dalam lembaga eksekutif dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN)
Dalam aspek administratif pengelolaan keuangan negara terdapat serangkaian tindakan (sequential act)  yang diawali dengan pemberian kewenangan oleh Presiden sebagai Kepala Pemerintahan kepada para pembantunya, penerbitan dokumen yang dijadikan dasar dalam melaksanakan UU APBN, dan pelaksanaan kegiatan.
1.      Otorisasi Presiden
Pemberian otorisasi parlementer dalam bentuk pengesahan dan penetapan Undang-undang APBN, menandai berakhirnya tahapan politis dalam pengelolaan keuangan Negara. Selanjutnya, pengelolaan keuangan Negara memasuki tahapan administratif.
Secara konkrit, aspek administratif keuangan negara tersebut terkait dengan teknik bagaimana Undang-undang APBN dilaksanakan. Yakni, mengatur bagaimana kesepakatan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang telah dituangkan dalam Undang-undang APBN dapat diwujudkan oleh berbagai instansi di dalam Kementerian/ Lembaga.
Mengawali tahapan administratif tersebut, sebagai tindak lanjut dari pemberian otorisasi parlementer yang diberikan kepada Pemerintah, Pemerintah, dalam hal ini Presiden, kemudian menerbitkan Otorisasi Presiden (Presidential Authorization)  yang ditujukan kepada para Menteri/ Pimpinan Lembaga sebagai pengguna anggaran (budget user).
Secara substansi, Otorisasi Presiden tersebut berupa pemberian mandat/ kuasa kepada para Menteri/ Pimpinan Lembaga untuk melaksanakan berbagai kegiatan beserta alokasi dana sebagaimana telah dituangkan dalam Undang-undang APBN. Di dalam system pengelolaan keuangan Negara Indonesia, Otorisasi Presiden dimaksud diwujudkan dengan peraturan presiden yang mengatur tentang rincian APBN.
Bila dicermati dengan saksama, lahirnya Otorisasi Presiden tersebut mengandung dua makna penting. Pertama, di pihak Kementerian Keuangan dan, kedua, di pihak Kementerian/ Lembaga.
Di pihak Kementerian Keuangan keputusan Presiden tersebut menandai: pertama, berakhirnya peran Menteri Keuangan yang selama pembahasan bersama DPR bertindak mewakili Presiden  dan berperan selaku Penguasa Fiscal (Fiscal Authority); dan kedua, menandai dimulainya peran Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (Treasurer) yang mengendalikan pengeluaran berbagai kementerian/ lembaga agar bertindak sesuai UU APBN dan mematuhi aturan dalam tata kelola administrasi Keuangan Negara.
Sedangkan di pihak Kementerian/ Lembaga, membebankan kewajiban kepada para Menteri  untuk melaksanakan kesepakatan yang telah disetujui antara Pemerintah dengan DPR sesuai bidangnya masing-masing.
Dengan demikian, terkait dengan makna kelahiran Otorisasi Presiden tersebut --khususnya makna kedua--, berbagai tindakan para pejabat publik dalam pelaksanaan APBN (dalam tahapan administratif) hanya merupakan operasionalisasi keputusan politis. Dengan kata lain, berbagai tindakan/ keputusan para pejabat publik terkait dengan pelaksanaan APBN adalah sekedar membuat berbagai keputusan yang telah dituangkan dalam APBN menjadi sesuatu yang nyata.   Perubahan dalam bentuk apa pun, kecuali telah diberikan mandat sebelumnya oleh Lembaga Legislatif, ditinjau dari sudut Hukum Keuangan Negara, merupakan suatu bentuk pelanggaran. Hal ini karena setiap perubahan yang terjadi sebagai akibat keputusan pejabat public dapat  dipastikan akan melanggar prinsip pengelolaan Keuangan Negara (Golden Principles) sebagaimana dikemukakan di atas.
2.      Penerbitan Dokumen Pelaksanaan Anggaran
Dalam rangka mengoperasionalkan keputusan politik yang tertuang dalam UU APBN, setiap Kementerian/ lembaga kemudian wajib menyusun dokumen pelaksanaan.  Di dalam sistem tata kelola keuangan negara Indonesia -- menurut undang-undang bidang keuangan negara – dokumen dimaksud dikenal dengan nama Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).
Secara prinsip, sesuai alur pemikiran yang disampaikan di atas, DIPA suatu kementerian/ lembaga berisi segala rincian kegiatan dan sekaligus rincian pembiayaan (anggaran) yang diperlukan yang akan dilaksanakan selama satu tahun ke depan. Sebagai alat operasional, dokumen (DIPA) tersebut kemudian terbagi dalam unit-unit kerja kementerian/ lembaga yang dikenal dengan istilah Satuan Kerja (Satker). Artinya, setiap Satker akan memiliki dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA) sendiri-sendiri sebagai alat operasional dalam melaksanakan kegiatannya.
Bila dicermati, dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA) tersebut memiliki dua arti penting. Pertama, dilihat dari sudut Hukum Keuangan Negara; dan kedua, dilihat dari sudut manajemen, khususnya, manajemen keuangan negara.
Ditinjau dari sudut Hukum Keuangan Negara, DIPA merupakan dokumen yang memiliki karakter otorisasi yang dijadikan dasar bagi pelaksanaan pengeluaran negara. Bila diperhatikan dengan seksama, penerbitan DIPA tersebut merupakan bagian terakhir dari suatu rangkaian pemberian otorisasi (kewenangan). Yaitu, yang dimulai dengan Otorisasi Parlemen (otorisation parlementaire) dari lembaga legislatif kepada lembaga eksekutif  yang berupa UU APBN; kemudian diikuti dengan Otorisasi Pemerintah (Otorisation Gouvernementale) dari Presiden kepada setiap kementerian/lembaga yang diwujudkan dalam bentuk Peraturan Presiden tentang Rincian APBN;  dan terakhir, Otorisasi Kementerian (Otorisation Ministeriele) dari Kepala Kementerian/ Lembaga kepada para pejabat bawahannya (Kepala Satuan Kerja) dalam bentuk DIPA.
Terkait dengan itu, penerbitan berbagai (surat) keputusan oleh pejabat publik dalam pelaksanaan APBN bukan merupakan keputusan yang berdiri sendiri, melainkan merupakan akibat dari suatu keputusan politis yang telah diambil dalam rangka penyusunan dan penetapan Undang-undang APBN. Penerbitan surat keputusan oleh para Pejabat Publik dimaksud adalah suatu bentuk tindakan dalam pemenuhan unsur untuk melengkapi langkah operasionalisasi keputusan politis.
Sedangkan ditinjau dari sisi lainnya, yaitu dari sudut manajemen keuangan negara, DIPA merupakan sebuah dokumen acuan bagi pelaksanaan kegiatan dan anggaran untuk setiap satuan kerja sebuah kementerian/ lembaga. Dus, DIPA tersebut merupakan alat kendali (means of control). Yaitu, merupakan alat kendali operasional :
·         agar berbagai keputusan yang dilakukan oleh para pejabat publik di kementerian/ lembaga tetap mengacu dan sejalan dengan keputusan politik,
·         agar pelaksanaan kegiatan dan pelaksanaan pengeluaran anggarannya tetap memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan anggaran (keuangan negara), antara lain: prinsip annualitas, prinsip spesialitas, dlsb.
Kedua hal di atas itulah, pada hakekatnya, yang melandasi makna hubungan antara UU APBN dengan DIPA.
3.      Pelaksanaan Kegiatan
Satu hal yang menjadi kunci dalam pelaksanaan kegiatan terkait dengan alokasi pendanaan yang tercantum dalam UU APBN adalah, bahwa proses pelaksanaan pengeluaran negara untuk pembiayaan kegiatan dimaksud harus mengikuti prosedur baku dan berpatokan pada norma-norma pengelolaan keuangan negara. Keharusan tersebut merupakan kunci untuk  menghindarkan Negara dari kemungkinan  mengalami kerugian. 
Sejalan dengan itu, pemikiran utama yang harus dijadikan landasan bagi para pejabat / pengelola keuangan negara dalam melakukan tindakan pengeluaran negara adalah dengan menghindarkan terjadinya kerugian negara.
Tindakan tersebut diawali dengan memastikan terselenggaranya organisasi pengelolaan keuangan negara di semua unit jajarannya agar  mampu menjamin terselenggaranya mekanisme chek and balance diantara para pejabat pemegang kewenangan. Secara konkrit, tindakan tersebut dilakukan dengan cara memisahkan secara tegas pemegang fungsi pengambil keputusan yang dapat mengakibatkan pengeluaran negara degan pemegang fungsi perintah pembayaran.
Selanjutnya, adalah  menjamin bahwa terhadap keputusan pejabat pengambil keputusan yang dapat mengakibatkan pengeluaran negara tersebut harus dilakukan  pengujian-pengujian yang diperlukan, yaitu pengujian dari aspek wetmatigheid, rechtmatigheid dan doel matigheid. Maksud yang terkandung dalam tindakan pengujian dimaksud, pada prinsipnya, adalah memberikan jaminan atau kepastian bahwa pemerintah :
·         telah memperoleh haknya dalam perikatan yang dibuatnya dengan pihak lain (rekanan),
·         hanya akan membayar kepada pihak lain berdasarkan kesepakatan/ perikatan yang dibuatnya, dan
·         pembayaran tersebut sesuai dengan prestasi yang diterimanya dalam koridor perikatan yang ada.
Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan pengujian wetmatigheid pada prinsipnya adalah pengujian yang mempertanyakan dasar hukum pengeluaran negara yang akan dilakukan. Dalam hal ini, fokus pertanyaan adalah terkait dengan ketersediaan alokasi anggaran dalam APBN yang selanjutnya dituangkan dalam dokumen pelaksanaan Anggaran.
Pengujian rechtmatigheid pada hakekatnya mempertanyakan mengapa pihak lain (rekanan)  melakukan tagihan kepada negara. Secara prinsip, jawaban yang diharapkan adalah pengungkapkan tentang adanya kesepakatan antara pemerintah dengan pihak lain, penyerahan barang/jasa yang diperjanjikan, dan besaran biaya/harga yang ditagihkan atas dasar perjanjian tersebut.
Pengujian doelmatigheid pada dasarnya mempertanyakan kelayakan/ tujuan penggunaan dana yang dialokasikan dalam dokumen APBN.
Dengan mencermati uraian di atas, dapat disampaikan bahwa Pelaksanaan Anggaran, secara konkrit, adalah terkait dengan teknik bagaimana Undang-undang APBN dilaksanakan. Yakni, mengatur bagaimana kesepakatan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang telah dituangkan dalam Undang-undang APBN dapat diwujudkan oleh berbagai instansi di dalam Kementerian/ Lembaga.
Bila dicermati dengan saksama, pelaksanaan anggaran merupakan rangkaian tindakan yang dimulai dengan pemberian otorisasi oleh Presiden, yang berupa Peraturan Presiden tentang Rincian APBN, yang kemudian diikuti oleh lahirnya otorisasi Menteri, yang lebih dikenal dengan DIPA.
Lahirnya Otorisasi Presiden tersebut mengandung dua makna penting. Yaitu, bagi Kementerian Keuangan dan, dan bagi Kementerian/ Lembaga.
Di pihak Kementerian Keuangan keputusan Presiden tersebut menandai: pertama, berakhirnya peran Menteri Keuangan yang selama pembahasan bersama Legislatif bertindak mewakili Presiden  dan berperan selaku Penguasa Fiscal (Fiscal Authority); dan kedua, menandai dimulainya peran Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (Treasurer) yang mengendalikan pengeluaran berbagai kementerian/ lembaga agar bertindak sesuai UU APBN dan mematuhi aturan dalam tata kelola administrasi Keuangan Negara.
Sedangkan di pihak Kementerian/ Lembaga, membebankan kewajiban kepada para Menteri  untuk melaksanakan kesepakatan yang telah disetujui antara Pemerintah dengan lembaga legislatif sesuai bidangnya masing-masing. Perubahan dalam bentuk apa pun, kecuali telah diberikan mandat sebelumnya oleh Lembaga Legislatif, ditinjau dari sudut Hukum Keuangan Negara, merupakan suatu bentuk pelanggaran. Hal ini karena setiap perubahan yang terjadi sebagai akibat keputusan pejabat publik dapat  dipastikan akan melanggar prinsip pengelolaan Keuangan Negara (The Golden Principles of the Budget).
Dari gambaran tersebut, tidaklah mengherankan bila berbagai prinsip tata kelola anggaran negara, hanya dapat dilanggar ketika terjadi situasi force majeur. Artinya, kecuali keadaan memaksa, anggaran negara harus dilaksanakan sesuai apa yang telah diputuskan oleh Lembaga Legislatif.
Bagi banyak pihak, rigiditas (kekakuan) dalam hal pelaksanaan anggaran negara ini justru menimbulkan pertanyaan bila dihadapkan dengan jargon ‘lets the manager manage’ yang selama ini diusung oleh para penyusun (inisiator) Undang-undang Bidang Keuangan Negara. Mereka justru menanyakan dimana letak kebebasan atau keleluasaan para manager, yang dalam hal ini maksudnya dahulu adalah para Menteri, dalam mengelola keuangan kementeriannya bila pelaksanaan anggaran negara harus dikunci dan selalu mengikuti patokan yang telah dituangkan dalam UU APBN.
Dalam kaitan ini perlu diperjelas maksud jargon itu sendiri agar tidak menimbulkan mis-persepsi. Gagasan tersebut bermula dari adanya keinginan untuk memberikan incentive bagi para Menteri yang dapat melaksanakan kegiatan dalam kementeriannya dengan menggunakan anggaran yang telah disediakan secara efektif dan efisien.
Kemampuan mengelola  anggaran secara efektif dan efisien untuk mencapai target kinerja yang telah ditetapkan akan menghasilkan sisa anggaran. Sisa anggaran inilah yang nantinya dapat digunakan untuk membiayai program-program baru di tahun anggaran mendatang. Tentu saja, angka-angka yang dituangkan dalam perencanaan harus merupakan angka yang dapat diuji kebenarannya. Bukan sekedar angka perkiraan yang tidak jelas perhitungannya.
Jadi, jargon tersebut tidak boleh diartikan bahwa setiap Menteri kemudian dapat membuat kebijakan dalam pengelolaan anggaran di kementeriannya masing-masing untuk sekedar dapat membiayai program baru yang dipikirkan dalam tahun berjalan atau yang sebelumnya belum terprogram.
c.       Diskresi dalam pengelolaan keuangan negara
Sebuah system pengelolaan keuangan pemerintah yang baik adalah bilamana system tersebut mampu mendukung kegiatan unit-unit pemerintahan dalam jajarannya, tanpa  menimbulkan kendala dalam situasi apa pun. Pemikiran inilah yang menjadi acuan para pejabat pengelola keuangan negara ketika berhadapan dengan berbagai ketentuan pengelolaan keuangan yang dirasakan demikian tidak fleksibel.  
Berbagai pihak berpendapat bahwa, sepanjang dananya tersedia dalam anggaran negara, atau terdapat keadaan yang membutuhkan suatu tindakan cepat pemerintah,  seharusnya pemerintah memiliki keleluasaan untuk menggunakan dana yang tersedia, atau setidak-tidaknya menggeserkan dana yang disediakan untuk kepentingan lain yang untuk sementara waktu belum digunakan. Pemikiran seperti inilah yang kemudian melahirkan gagasan tindakan yang bersifat diskretif.
Tentunya kita semua sependapat bahwa mengelola negara bukanlah sekedar menerapkan norma yang ada secara kaku. Namun, lebih dari itu. Mengelola negara, secara essensi, adalah menjamin negara mampu menyelenggarakan kewajibannya kepada rakyatnya dengan sebaik-baiknya.
Namun demikian, perlu disadari bahwa sebuah diskresi, menurut para ahli hukum, lahir karena adanya sebuah kekosongan aturan (regulasi). Kekosongan aturan itu  sendiri dipicu oleh adanya suatu keadaan yang memaksa (force  majeur).  Atau, dalam alur logika yang sangat sederhana  yang mudah dipahami oleh masyarakat awam adalah, bahwa lahirnya sebuah diskresi disebabkan karena keadaan yang sedang dihadapi bersifat sangat khusus, sehingga berbagai ketentuan yang ada tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahaan yang timbul. Dengan kata lain, bahwa diskresi akan menyebabkan terjadinya penyimpangan atau pelanggaran terhadap ketentuan yang ada. Hal yang demikian sangat logis, mengingat ketentuan yang ada, pada hakekatnya hanya diciptakan untuk mengatur keadaan yang biasa (normal). 
Berdasarkan pemikiran seperti itulah kemudian para ahli hukum berpendapat  bahwa lahirnya sebuah diskresi harus memenuhi dua persyaratan, yaitu, pertama, terjadi keadaan yang memaksa; dan kedua, terdapat kekosongan aturan hukum.
Ternyata, persyaratan lahirnya sebuah diskresi dalam pengelolaan keuangan negara, secara prinsip, tidak berbeda dengan konsep tersebut di atas.
Prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara sebagaimana disampaikan di atas, terutama tiga prinsip pertama   -- anterioritas, annualitas, dan spesialitas/ spesifitashanya dapat dilanggar ketika terjadi situasi yang memaksa (force majeur). Hal ini  bukan karena alasan bahwa secara formal  APBN merupakan sebuah undang-undang, melainkan karena APBN, pada hakekatnya, adalah sebuah kesepakatan antara rakyat dan pemerintah. Diskresi di tingkat ini merupakan diskresi  terkait dengan keputusan yang dapat mengakibatkan terjadinya pengeluaran negara. Diskresi semacam ini dapat dinamakan diskresi substansial.
Di sisi pelaksanaan anggaran, berbagai keputusan yang bersifat diskretif harus dilakukan dengan tetap mengacu pada paradigma yang menyatakan bahwa pelaksanaan anggaran adalah merupakan operasionalisasi sebuah keputusan politik. Terkait dengan itu, diskresi yang mungkin dilakukan adalah hanya mencakup  bagaimana operasi  pelaksanaan kegiatan penerimaan dan pengeluaran negara  dapat tetap dilaksanakan ketika terjadi situasi yang tidak seperti biasanya. Namun dalam hal ini, langkah-langkah diskretif yang diambil harus tetap berpatokan pada prinsip kehati-hatian (prudential principle) untuk menghindarkan terjadinya kerugian negara. Diskresi di tingkat ini merupakan diskresi formal atau operasional. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam system pembayaran pada akhir tahun.

B.  PEMIKIRAN DALAM UU 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

Sebagaimana diungkapkan dalam pasal 1 angka 1, bahwa materi utama undang-undang tersebut adalah pengaturan tentang tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.

Sejalan dengan itu, dalam pasal selanjutnya, yaitu pasal 4, kemudian diatur lingkup penerapan undang-undang tersebut yang pada prinsipnya meliputi semua aktivitas Lembaga dan/ atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan fungsi Pemerintahan dalam lingkup berbagai lembaga, baik lembaga politik maupun lembaga lainnya yang disebutkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang.

Bila diperhatikan secara lebih cermat, dari hal-hal yang secara keseluruhan diatur dalam undang-undang no.30 tahun 2014, dapat dikatakan bahwa tampaknya undang-undang tersebut berusaha mewadahi berbagai ketentuan yang selama ini telah dilaksanakan dalam praktek ke dalam sebuah dokumen hukum. Tujuannya adalah agar terdapat kepastian hukum dan keseragaman dalam penafsiran. Dengan lahirnya Undang-undang tersebut, berbagai pihak kini memiliki kepastian tentang pengertian administrasi pemerintahan, pejabat pemerintahan, maupun tindakan yang dilakukannya.

Yang sangat menarik untuk diperhatikan adalah bahwa, para penyusun benar-benar berusaha membatasi pengertian ‘administrasi’ sebagai ‘tata laksana pengambilan keputusan’ dalam aktivitas penyelenggaraan fungsi pemerintahan. Tanpa memasuki substansi kegiatan itu sendiri.

Bila dicermati Undang-Undang no. 30 tahun 2014 tersebut juga mengatur masalah DISKRESI untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi. Namun demikian, tampaknya diskresi yang dimaksud di dalam undang-undang tersebut memiliki batasan-batasan yang secara rinci sudah sangat jelas. Yaitu, bilamana dalam penyelenggaraan pemerintahan para pejabat dihadapkan pada kemungkinan terjadinya stagnasi pemerintahan karena adanya peraturan perundang-undangan:
1.      yang memberikan pilihan,
2.      tidak mengatur,
3.      tidak lengkap atau tidak jelas,.

Hal ini sejalan dengan maksud disusunnya diskresi  dalam UU tersebut yang pada intinya ditujukan untuk :
a.   Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
b.   Mengisi kekosongan hukum; dan
c.   Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.

Satu hal lain yang tampaknya juga sangat menarik adalah, bahwa ketika mengatur tentang diskresi, undang-undang tersebut dengan tegas menyerahkan hal-hal yang terkait dengan Keuangan Negara pada undang-undang lain. Yaitu, tentunya kepada undang-undang  Bidang Keuangan Negara, khususnya Undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pengaturan tersebut termaktub dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2). [3]  

Dalam kaitan ini, yang tampaknya perlu dikoreksi adalah adanya pernyataan dalam ayat (2) yang mengatakan bahwa ‘diskresi memerlukan persetujuan Atasan bila menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara’.  Artinya, dengan menggunakan argument a contra rio, bila diskresi yang diputuskan yang berpotensi mengubah alokasi anggaran tidak menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara, maka diskresi tersebut tidak perlu memperoleh persetujuan dari Atasan Pejabat.

C.     PENERAPAN DISKRESI DAN IMPLIKASINYA

a.      Arahan Presiden

Menghadapi situasi yang cukup sulit dalam pelaksanaan anggaran, khususnya terkait dengan penyerapan dana anggaran yang relatif rendah oleh hampir seluruh Kementerian/ Lembaga,  beberapa waktu lalu Pemerintah telah menerbitkan arahan yang terdiri dari  lima butir. Bila diperhatikan secara seksama, arahan dimaksud, pada prinsipnya, menegaskan bahwa berbagai pihak harus dengan cermat membedakan perbuatan salah dalam pengelolaan keuangan negara yang bersifat administratif dan bersifat non-administratif beserta penanganan penyelesaian kerugian negaranya.

Yang menarik adalah bahwa dalam arahan dimaksud terdapat pernyataan yang dapat menimbulkan salah pemahaman berbagai pihak. Bukan saja para pejabat pengelola keuangan, tetapi juga para auditor, maupun para penegak  hukum. Pernyataan dimaksud terdapat dalam butir satu yang menyatakan bahwa ‘ diskresi keuangan tidak bisa dipidanakan’.

Dengan mengacu  pada uraian sebagaimana disampaikan dalam angka romawi 2 di atas, makna yang terkandung dalam arahan tersebut harus dipahami secara komprehensif, dan perlu disikapi dengan bijak. Kecuali dalam keadaan force majeur, pengertian diskresi keuangan di atas harus dimaknai sebagai diskresi operasional  atau hanya bersifat  administratif.  Oleh sebab itu, arahannya jelas. Yaitu,  tidak  layak  untuk dipidanakan !

b.      Implikasi

Menyikapi arahan tersebut berbagai pihak kini telah menyiapkan  atau bahkan telah mengambil langkah-langkah  dengan menyusun ketentuan pelaksanaan. Namun sayangnya, berbagai langkah yang dipersiapkan tampaknya  cenderung tidak sejalan dengan konsepsi pengelolaan keuangan negara.

Di sisi  lain, pihak aparat penegak hukum menjadi ragu ketika mengambil langkah dalam menangani kasus-kasus yang merugikan negara. Keraguan dimaksud dipicu pula oleh langkah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang merekomendasikan agar kerugian negara yang terjadi di berbagai unit satuan kerja untuk dikembalikan kepada negara dalam tempo 60 hari. Padahal,dalam kenyataan, tidak semua kejadian kerugian negara dimaksud terjadi di ranah administratif.  Lagi pula, pernyataan ‘untuk dikembalikan kepada negara dalam tempo 60 hari’  tampaknya sekedar mengadopsi penyelesaian administrasi yang selama ini menjadi patokan keputusan BPK yang sebenarnya memerlukan proses dan prosedur berbeda. Bukan semuanya digebyah seperti itu.

K E S I M P U L A N
Dari pembahasan di atas kiranya dapat disimpulkan sebagai berikat :
1.        APBN merupakan sebuah kesepakatan politik yang dituangkan dalam bentuk undang-undang.
2.        Pelaksanaan APBN merupakan operasionalisasi dari sebuah keputusan politik.
3.      Diskresi dalam pengelolaan keuangan negara dapat berupa substansial dan formal/ operasional
4.       Diskresi substansial, secara prinsip, hanya dapat dilakukan bila terjadi situasi force majeur.
5.    Diskresi yang termaktub dalam UU no. 30 tahun 2014 hanya terkait dengan tindakan-tindakan administratif para Pejabat Pemerintahan.
6.      Diskresi yang termaktub dalam UU no. 30 tahun 2014 tidak mencakup diskresi dalam hal keuangan negara.
*
*          *









[1] Disampaikan dalam Workshop yang diselenggarakan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan di Jakarta tanggal 22 Maret 2016
[2] Hal ini  dengan jelas dinyatakan dalam teori kebijakan publik yang dapat dibaca dalam berbagai kepustakaan. 
[3] Pasal 25 UU No. 30 tahun 2014
(1) Penggunaan Diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari Atasan Pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
  (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan Pasal 23 huruf a, huruf b, dan huruf c serta d menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara.  

Tuesday, February 16, 2016

       
PENGADAAN BARANG DAN JASA PADA BUMN
(Intermezzo)
Perlukah BUMN mengikuti aturan baku tentang pengadaan barang dan jasa yang dirancang untuk instansi pemerintah ? Ini adalah pertanyaan yang selalu memicu perdebatan bukan saja dalam persidangan berbagai kasus korupsi,  tetapi juga dalam praktek keseharian.
Terhadap pertanyaan tersebut, ternyata jawabannya sangat beragam. Yang jelas, terdapat dua kutub dengan argumennya masing-masing dengan landasan pikir yang, menurut mereka masing-masing tentunya, sangat kuat dan mendasar. Alhasil, karena perdebatan tersebut pada umumnya dilakukan di ruang sidang pengadilan, keputusannya sangat tergantung pada Yang Mulia Majelis Hakim.

Oleh karena itu, tanpa adanya pretensi untuk membandingkan keputusan Majelis yang satu dengan yang lainnya yang ternyata bisa saja tidak sama, tampaknya perlu diperoleh landasan pikir yang sama yang dapat dijadikan acuan.
a.       Beda sudut pandang
Dalam konteks kelembagaan, yaitu antara pemerintah dan swasta, berbagai pihak selalu menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang sangat mendasar dalam proses pengadaan barang dan jasa. Namun demikian, ketika mereka diminta untuk menjelaskan, mereka hanya terjebak pada pernyataan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara tata kelola di korporasi dan di instansi pemerintah yang pada umumnya sangat birokratif. Oleh karena itu, perlu system operating prosedure (SOP) yang berbeda di antara keduanya. Ini adalah sebuah jawaban yang masih dapat menimbulkan perdebatan yang semakin panjang.
Pada kenyataannya bahwa, walaupun tentunya tidak diabaikan,  perusahaan-perusahaan swasta tidak menempatkan  proses pemilihan penyedia seperti layaknya pemerintah. Artinya, cara mereka melakukan pelelangan tidak harus dilakukan dalam bentuk formal melalui suatu proses yang berbelit dan terkesan rumit yang bisa memakan waktu relatif lebih lama. Demikian juga, perusahaan-perusahaan swasta tidak terlalu terikat dengan prosedur yang telah dijadikan acuan. Mereka sangat fleksibel ketika menghadapi berbagai hambatan yang mungkin terjadi dalam suatu proses pengadaan.
Dari semua itu,  yang paling penting untuk diperhatikan adalah bahwa, di perusahaan-perusahaan swasta, kegiatan pengadaan barang dan jasa tersebut tidak mendorong lahirnya benturan kepentingan (conflict of interest) para pejabatnya. Yaitu, kepentingan yang melahirkan sebuah keinginan untuk memperoleh keuntungan pribadi dalam proses pengadaan tersebut.
Sementara itu, di sektor pemerintah, para pejabat pengadaan barang dan jasa pemerintah lebih diarahkan untuk mengikuti tata aturan baku yang telah dituangkan dalam berbagai aturan.  Ini adalah suatu kewajiban yang tidak bisa dilanggar. Hal ini mengingat bahwa aturan yang tertuang dalam ketentuan dimaksud diharapkan mampu menjamin perlakuan yang adil dan jujur kepada semua pihak. Yaitu, para penyedia barang dan jasa.
Satu hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah anggapan bahwa dengan mengikuti tata aturan baku yang telah ditetapkan akan mampu membuat para pelaku pengadaan barang dan jasa pemerintah terhindar dari perbuatan fraude. Hal lainnya yang perlu mendapat perhatian para pejabat pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah, bahwa pengadaan barang dan jasa tersebut selalu mendapat sorotan dari pihak legislatif. Ini adalah sesuatu yang sangat logis, mengingat pengadaan barang dan jasa, pada hakekatnya, merupakan realisasi dari pengeluaran negara yang menjadi obyek legislatif. 
Dari kenyataan di atas, bila dicermati, perbedaan mendasar yang terjadi antara keduanya ternyata lebih diakibatkan oleh cara pandang terhadap pengertian akuntabilitas dalam kegiatan itu sendiri.  Dalam kaitan ini, ternyata perusahaan-perusahaan di sektor swasta lebih melihat akuntabilitas pengadaan barang dan jasa tersebut dalam kaitannya dengan hasil (result). Bukan akuntabilitas terhadap proses pengadaan itu sendiri. Mengapa demikian ? Jawabannya ternyata cukup sederhana. Yaitu, bahwa hasil dari pengadaan barang dan jasa tersebut sangat mudah dikuantifisir dengan melihat akibatnya terhadap keuntungan perusahaan secara keseluruhan. Hal yang tentunya tidak mudah atau bahkan hampir tidak mungkin dilakukan di sektor pemerintah. Hal itu karena adanya perbedaan sifat (nature) dan motif kegiatan atau misi yang sangat mendasar di antara keduanya.
Alasan itulah yang mungkin kemudian dijadikan dasar oleh para perumus ketentuan bahwa dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah lebih  cenderung digunakan akuntabilitas proses sebagai ukuran. Walaupun tentunya, assumsi tersebut perlu dibuktikan.
b.      Aspek ekonomis sebagai ukuran
Tidak dapat disangkal bahwa kriteria ekonomi dalam suatu kegiatan pengadaan barang dan jasa adalah sangat penting. Ini bukan saja untuk sektor swasta, tetapi juga untuk sektor pemerintah. Bagi pemerintah,  penilaian keberhasilan pengadaan barang dan jasa adalah terletak pada kinerja fungsi pengadaan itu sendiri. Yaitu, apakah para pejabat pengadaan barang dan jasa tersebut mampu atau tidak untuk mengadakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh unit-unit pemerintahan secara tepat waktu dan dengan biaya yang serendah-rendahnya.
Padahal, yang juga harus dipahami adalah bahwa ternyata pemikiran tentang kriteria ekonomis dimaksud sangat erat hubungannya dengan kriteria efisiensi  yang dalam hal ini terkait dengan biaya produksi. Maksudnya adalah, kendati barang dan jasa yang diadakan telah memenuhi kriteria dari sisi harga yang relatif murah, tetapi bila tidak memberikan kontribusi untuk menghasilkan produk secara efisien, pengadaan barang dan jasa dimaksud tidak memberikan manfaat ditinjau dari sisi kriteria ekonomis. Ini adalah sudut pandang yang menjadi perhatian para pengusaha di sektor swasta.
Sebaliknya, pemikiran semacam itu tampaknya jauh dari para pengelola institusi di sektor pemerintah. Hal ini dapat dibuktikan dari pernyataan atau penjelasan tentang kriteria ekonomis yang dituangkan dalam berbagai ketentuan tentang pengelolaan keuangan negara di sektor pemerintah.

Jadi …..
Dengan mencermati pemikiran yang dikemukakan di atas dapat kiranya ditarik sebuah simpulan bahwa, bila mengacu pada sifat (nature) kegiatan operasi dan motivasi institusi pada badan usaha milik negara (BUMN), tentunya kita semua sepakat bahwa tidak seharusnya ketentuan terkait pengadaan barang dan jasa yang diperuntukkan bagi institusi pemerintah diperuntukkan pula bagi badan usaha milik negara (BUMN).  Oleh sebab itu, kemudian dapat diketemukan dalam praktek adanya ketentuan yang memberikan kelonggaran kepada BUMN tersebut untuk menyusun sendiri ketentuan terkait pengadaan barang dan jasa pada instansinya masing-masing.
Namun demikian, aturan dimaksud harus pula mencermati makna yang terkandung dalam uraian di atas. Artinya, kendati BUMN diberikan kelonggaran untuk menyusun sendiri aturan tentang pengadaan barang dan jasa bagi instansinya masing-masing, bukanlah berarti bahwa BUMN dapat begitu saja mengadopsi berbagai pemikiran yang digunakan oleh korporasi di sektor swasta.
Dalam kaitan ini haruslah diingat, bahwa sebebas-bebasnya BUMN, sifat atau karakter pengelolanya tidaklah sepadan dengan pengelola korporasi di sektor swasta. Konkritnya, pengelola korporasi di sektor swasta pada hakekatnya adalah para pemilik yang memiliki sense of belonging yang lebih tingkatannya dibandingkan para pengelola BUMN. Ini adalah sebuah sikap yang mau-tidak mau harus diakui.
*
*      *