RAISON d'ETRE

Pada suatu saat, pernah terbetik suatu keinginan dari berbagai pihak, terutama para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), agar lembaga legislatif di republik kita ini memiliki hak untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana halnya lembaga eksekutif.

Pada suatu saat lain, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terpaksa harus menginap di ’hotel prodeo’, karena oleh para penegak hukum di republik ini telah dinyatakan melakukan korupsi berjama’ah. Padahal, berbagai keputusan yang dituduhkan kepada para anggota dewan yang terhormat tersebut ternyata diputuskan bersama-sama lembaga eksekutif dalam suatu forum sakral dan dituangkan dalam dokumen resmi yang disebut dengan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kemudian, banyak pihak dipaksa untuk mengernyitkan keningnya ketika mengetahui seorang petinggi pemerintahan dan juga seorang pejabat suatu perusahaan negara yang bergerak di bidang perbankan dituduh telah merugikan keuangan negara, padahal masyarakat menyang-sikan bahwa uang tersebut memang uang Negara dalam arti sebenarnya.

Sementara itu, para birokrat di berbagai lembaga pemerintah merasa ragu dalam mengambil keputusan, ataupun bahkan menolak menduduki jabatan tertentu terkait dengan pengelolaan keuangan negara, karena kurang memahami berbagai konsep (baru) keuangan Negara, sehingga khawatir tertimpa musibah.

Di lain pihak, karena ilmu keuangan negara yang disoroti dari berbagai dimensi keilmuan kurang berkembang di Indonesia, para cerdik pandai merasa ragu memasuki wilayah keilmuan ini, dan hanya sekedar mencoba meraba-raba dan membuat tafsiran dari sudut pandang keilmuan yang dimilikinya.

Itulah kira-kira sebagian alasan dibukanya BLOG yang khusus untuk mendiskusikan masalah-masalah keuangan Negara di Indonesia.

Partisipasi semua pihak dalam mendiskusikan berbagai permasalahan keuangan negara di republik ini akan merupakan usaha bersama untuk melakukan studi tentang konsepsi keuangan negara dan memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat.

Perlu disampaikan bahwa konsep baru keuangan negara yang dikembangkan oleh para pemikir yang kemudian dituangkan dalam paket undang-undang bidang keuangan negara maupun ketentuan derivasi lainnya, memang belum dapat dikatakan sempurna.

Namun bagaimanapun, lahirnya paket undang-undang tersebut di atas merupakan kenyataan bahwa Indonesia kini telah memiliki sistem keuangan negara sendiri, sehingga terlepas dari berbagai pengaruh ketentuan keuangan kolonial yang antara lain bertahun 1800-an.

Oleh sebab itu, sudah selayaknya bila semua pihak memberi apresiasi dan berusaha memahami sebaik-baiknya, seperti ungkapan bahasa Prancis di bawah ini :

----SI ON A PAS CE QUE L’ON AIME, IL FAUT AIMER CE QUE L’ON A ---

Salam

(SS)

Catatan :

Dalam rangka memenuhi saran dan pendapat berbagai pihak, artikel dalam Blog ini dikategorikan dalam :

* RUBRIK, yaitu artikel yang ditulis sesuai dengan design topik yang telah ditetapkan dalam blog ini.

* INTERMEZZO, yaitu artikel yang membahas masalah-masalah keuangan negara yang bersifat actual.

* TANGGAPAN, yaitu artikel yang berisi respons terhadap pertanyaan atau komentar pembaca yang, karena sifatnya, perlu dijelaskan secara lebih detail.



- - - - - -



Saturday, May 19, 2018

PIUTANG BUMN BUKAN PIUTANG NEGARA ? : sebuah analisis kritis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi nomor 77/PUU-IX/2011 tanggal 17 September 2012.






Polemik tentang apakah piutang BUMN merupakan piutang Negara ataukah bukan, pada akhirnya terhenti dengan lahirnya keputusan Mahkamah Konstitusi dengan register nomor 77/PUU-IX/2011 tanggal 17 September 2012.

Namun demikian, berbagai pihak justru berpendapat bahwa lahirnya keputusan itu sendiri telah memancing lahirnya polemik baru.  Kalau saja pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang dijadikan alas keputusan dimaksud kemudian dilaksanakan oleh pihak-pihak tertentu, sebut saja direksi BUMN,  apakah mereka dijamin terbebas dari  perbuatan melawan hukum yang merugikan negara ?  Inilah antara lain pertanyaan yang harus dijawab oleh berbagai pihak.

Mengganggu kinerja keuangan

Mengapa timbul polemik tentang piutang BUMN di masa lalu ?  Alasan yang utama adalah karena piutang BUMN, khususnya di sektor perbankan,  yang tidak tertagih dirasakan sangat mengganggu kinerja perusahaan. Khususnya, kinerja keuangan perusahaan. Hal ini karena perusahaan berkewajiban menyediakan sejumlah cadangan di dalam sistem pembukuannya untuk jangka waktu yang relatif lama.

Mengapa situasi seperti ini bisa terjadi ?  Jawabannya sangat sederhana. Bila diamati, berbagai perusahaan negara (baca: Bank BUMN) ternyata telah terjebak dalam sebuah proses birokrasi. Sebuah proses yang berbelit dan lamban. Walaupun dari segi konsep, sebenarnya sangat sederhana.

Menurut Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960, ketika terjadi piutang yang tidak tertagih, perusahaan negara cukup menyerahkan piutang-piutang tersebut kepada Panitia Urusan Piutang Negara. Kemudian tunggu, sampai Panitia Urusan Piutang Negara memutuskan status piutang-piutang dimaksud. Menurut kenyataan, proses ini bisa berjalan dalam kurun waktu yang  relatif lama. Bisa bertahun-tahun.

Kewajiban untuk mencadangkan sejumlah dana inilah yang kemudian merupakan  hambatan tersendiri bagi perusahaan. Sehingga, dalam posisinya sebagai bagian (instansi) dari negara, Bank-bank BUMN justru  memiliki kelemahan yang mendasar (natural disadvantage).

Sementara itu, kondisi yang demikian tidak terjadi di perusahaan-perusahaan swasta. Di perbankan swasta, misalnya, mereka memiliki mekanisme yang relatif sederhana yang digunakan dalam sistem pengelolaan piutang-piutang yang tidak tertagih (non performing loan –NPL). Yaitu, dengan mengklasifikasikan piutang-piutang tak tertagih tersebut sesuai dengan kemungkinannya piutang dimaksud dapat ditagih. Kemudian menghapuskannya, bila benar-benar piutang tersebut tidak akan tertagih.

Proses perubahan dari piutang yang tidak tertagih hingga menjadi piutang yang dihapuskan memakan waktu yang relatif tidak terlalu lama. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan swasta tidak terlalu terbebani dengan penciptaan cadangan bagi piutang tak tertagih. Ini adalah suatu mekanisme yang umum dilakukan. Dan ini membuat perusahaan-perusahaan swasta memiliki kemudahan (advantage) dalam pengelolaan keuangannya, dibandingkan dengan bank-bank BUMN.

Antara Hapus Buku dan Hapus Tagih

Terlepas dari apa yang sebenarnya berada dibalik pengujian terhadap Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara oleh para pihak, kendala yang menghambat kinerja keuangan itulah konon yang merupakan alasan yang selama ini mengedepan.

Oleh karena itu, ketika Mahkamah konstitusi memberikan pertimbangan bahwa Piutang Bank BUMN  bukan lagi merupakan piutang negara yang harus dilimpahkan penyelesaiannya ke PUPN, dan dapat diselesaikan sendiri berdasarkan prinsip-prinsip yang sehat oleh  masing-masing Bank BUMN, berbagai pihak merasa lega. Artinya, bahwa terhitung mulai saat dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 77/PUU-IX/2011 di atas, setiap bank BUMN dapat memutuskan sendiri status piutangnya. Tanpa harus menunggu keputusan dari Menteri Keuangan  (cq. PUPLN).

Kembali pada maksud yang terkandung dalam Undang No. 49 Prp. Tahun 1960, seharusnya Bank-bank BUMN tidak terjebak pada pemikiran yang sempit dalam masalah pengelolaan piutangnya. Undang-undang tersebut, pada prinsipnya, adalah mengatur tentang pembentukan sebuah panitia, termasuk tugas yang harus dilaksanakannya. Bukan mengatur tentang substansi piutang yang harus ditagihnya.

Oleh sebab itu, dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa, Panitia Urusan Piutang Negara hanya mengurus piutang yang telah diserahkan kepadanya. [1]   Bila dicermati, penyerahan kepada Panitia Urusan Piutang Negara adalah sebuah privilege bagi Bank-bank milik Negara. Pemerintah, pada prinsipnya, memberikan kemudahan kepada instansi miliknya (dalam hal ini: Bank-bank milik Pemerintah) untuk tidak terlalu terbebani dengan masalah-masalah penagihan. Khususnya bila harus menggunakan upaya paksa. Ini adalah bentuk dari tanggungjawab Negara.

Terkait dengan itu, pada prinsipnya, semua keputusan tentang piutang yang tidak tertagih sangat tergantung pada Direksi. Apakah piutang yang dikategorikan sebagai piutang tak tertagih akan diserahkan kepada panitia ataukah akan dikelola sendiri karena masih mengandung kemungkinan untuk dapat ditagih, adalah murni keputusan internal Bank yang bersangkutan. Inilah seharusnya yang dipahami oleh berbagai pihak.

Bila diperhatikan, perubahan status sementara piutang tak tertagih yang kemudian diserahkan kepada Panitia, secara akuntansi telah mampu meringankan beban perusahaan. Setidak-tidaknya, dengan penyerahan kepada Pemerintah, pihak Bank telah dimungkinkan untuk menghapuskan piutang tersebut, terutama dari sisi pembukuan.

Terkait dengan hal itu, sekedar untuk menyegarkan kembali ingatan kita  bahwa, keputusan untuk melakukan hapus buku adalah sebuah skenario akuntansi, sedangkan keputusan untuk melakukan hapus tagih adalah terkait dengan kepemilikan asset (ownership). Dari sudut substansi, ini adalah dua hal yang berbeda. Dalam hal keputusan hapus tagih, keterlibatan pihak pemilik (Pemerintah) adalah mutlak, karena akan mengakibatkan berkurangnya asset si pemilik.



Kurang Cermat

Dengan merujuk pada alur pikir yang disampaikan di atas, keberatan yang disampaikan oleh berbagai pihak (baca: Bank-bank BUMN) terkait dengan cara penagihan piutang yang tak tertagih melalui Panitia Urusan Piutang Negara hampir dapat dipastikan tidak berdasar. Berbagai permasalahan yang terjadi dalam hal ini, kemungkinan besar dipicu oleh penafsiran yang kurang tepat, terutama di tingkat Pemerintah, yang kemudian dituangkan dalam berbagai ketentuan pelaksanaan.

Konkritnya, mungkin saja terjadi penafsiran bahwa tindakan hapus buku baru dapat dilakukan ketika status piutang tersebut benar-benar tidak tertagih. Alur pikir seperti ini sangat mungkin digunakan bilamana tindakan hapus buku dinyatakan sebagai sebuah langkah awal dalam sebuah rangkaian tindakan (sequence) penghapusan.

Namun, terlepas dari spekulasi tersebut di atas, agaknya ketentuan dalam Undang-undang  No. 49 Prp. Tahun 1960  yang menugaskan Panitia untuk memastikan bahwa pemberian kredit oleh Bank sesuai dengan maksud dan tujuan penggunaannya [2], sangat mempengaruhi keputusan direksi untuk menyerahkan atau tidak menyerahkan  piutang tak tertagihnya kepada Panitia.

Sudah barang tentu, akan sangat sulit bagi direksi Bank BUMN untuk menyerahkan piutang tak tertagihnya yang disebabkan karena berbagai keputusan internal yang menyalahi ketentuan kepada Panitia Urusan Piutang Negara. Ini sama saja dengan merintis terbukanya penyelidikan terhadap terjadinya kerugian Negara di instansinya.

Oleh karena itu, keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 77/PUU-IX/2011 tanggal 17 September 2012 adalah secercah harapan. Pertimbangan dalam keputusan tersebut yang menyatakan bahwa, BUMN adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum perseroan terbatas berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, tampak sebagai sebuah mantra sakti (magic word) bagi penyelesaian piutang tak tertagih di Bank-bank BUMN.

Dengan merujuk pada  keputusan tersebut di atas, berbagai pihak kemudian  berpendapat bahwa penyelesaian piutang tak tertagih pada Bank-bank BUMN tidak lagi dapat dikaitkan dengan kasus-kasus korupsi. Ini adalah murni masalah BUMN. Yaitu badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara.

Benarkah demikian ?

Sebagaimana dikemukakan di bagian awal tulisan ini, berbagai pihak justru berpendapat bahwa lahirnya keputusan itu sendiri telah memancing lahirnya polemik baru.

Bila diamati secara teliti, keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 77/PUU-IX/2011 tanggal 17 September 2012 mengandung ketidakcermatan yang dapat mengakibatkan terjadinya pembiasan penafsiran oleh berbagai pihak terhadap materi yang diuji.

Pertama, pernyataan bahwa, BUMN adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara[3] , pada hakekatnya, merupakan sebuah definisi baru. Pernyataan tersebut, bila dicermati, ternyata tidak sejalan dengan makna yang terkandung dalam Undang-undang No. 19 tahun 2003 tentang BUMN.[4]  Bila demikian halnya, sudah pasti tidak sejalan pula dengan maksud Undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menjadi acuan lahirnya Undang-undang no. 19 tahun 2003 itu sendiri.

Pernyataan dimaksud akan membawa berbagai pihak pada sebuah simpulan bahwa, berbagai keputusan yang dilakukan oleh para pengelola (direksi) BUMN tidak memiliki keterkaitan dengan pengelolaan Keuangan Negara. Padahal, Undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara tidak pernah menyatakan seperti itu.

Menurut kenyataan, Undang-undang No. 17 tahun 2003 menyatakan bahwa Kekayaan Negara yang Dipisahkan (baca: antara lain BUMN) merupakan bagian dari Keuangan Negara yang,  karena alasan tujuan atau motif keberadaannya, dikelola dengan cara tersendiri. Artinya, Kekayaan Negara yang Dipisahkan tidak dikelola melalui sistem APBN, melainkan menggunakan sistem tersendiri. Namun demikian, dalam kedudukannya sebagai unsur Keuangan Negara, kesalahan dalam pengelolaan yang dilakukan di luar pola baku dalam sistem yang dianutnya yang kemudian mengakibatkan kerugian, akan merupakan kerugian negara.

Ini adalah konsekuensi dari sebuah pernyataan/ tuntutan yang dicanangkan di awal kelahiran Undang-undang bidang Keuangan Negara. Yaitu, good governance and clean government. Pengelolaan yang baik dan benar dalam sub-sub bidang Keuangan negara – sub bidang fiskal, sub bidang moneter, dan sub bidang kekayaan negara yang dipisahkan—untuk mencapai pemerintahan yang bersih. Ini adalah sesuatu yang mutlak harus dilakukan !

Kedua, Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut bukan saja memutuskan tentang cara penyelesaian piutang, khususnya piutang yang tak tertagih, tetapi, bila dicermati, sudah memasuki wilayah substansi.  Yaitu tentang kepemilikan piutang itu sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dengan mengamati secara utuh pertimbangan yang disampaikan dalam keputusan dimaksud sebagai berikut :

1.      BUMN adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum perseroan terbatas berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

2.      Piutang negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat, sehingga piutang badan atau BUMN bukan merupakan piutang negara.

3.      Piutang Bank BUMN  bukan lagi merupakan piutang negara yang harus dilimpahkan penyelesaiannya ke PUPN.

4.      Piutang Bank-Bank BUMN dapat diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing Bank BUMN berdasarkan prinsip-prinsip yang sehat di masing-masing Bank BUMN.

Apa yang dapat disimpulkan ketika kita mencermati pertimbangan angka 2 di atas ?  Kendati dari sudut redaksional  kalimat tersebut tampaknya tidak ada yang salah, tetapi dari sudut linguistik, kalimat yang menampilkan sebuah konklusi tersebut tampak disusun tidak mengikuti kaidah, dan terkesan sekedar asal-asalan. Kurangnya premise yang dijadikan elemen dalam penyusunan kesimpulan dalam sebuah sylogisme tersebut, menyebabkan kesimpulan -- sehingga piutang badan atau BUMN bukan merupakan piutang negara --, terasa dipaksakan.

Bahkan, walaupun dalam kalimat utamanya menyajikan kutipan definisi dari Undang-undang Keuangan Negara, tampilnya kalimat tersebut dalam pertimbangan keputusan Mahkamah Konstitusi tampak merupakan kejanggalan. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan materi Undang-undang yang sedang dilakukan pengujian (Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960).

Hal ini dilandaskan pada kenyataan bahwa Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 secara eksplisit pun sudah menyatakan bahwa Panitia Urusan Piutang Negara hanya melakukan penagihan terhadap semua piutang Negara yang telah diserahkan pengurusannya kepadanya oleh Pemerintah atau Badan-badan yang dimaksudkan dalam undang-undang tersebut. Sementara, pengertian piutang itu sendiri secara tegas juga telah dinyatakan sebagai piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum, akan tetapi yang menanggung hutangnya tidak melunasinya sebagaimana mestinya. 

Jadi, untuk apa kalimat tersebut disajikan sebagai sebuah pertimbangan ? Toh tidak memiliki relevansi yang cukup kuat. Hal yang sama, juga tampaknya untuk pertimbangan angka 3.

Selanjutnya, apa yang diinginkan dengan menampilkan pertimbangan angka 4  tersebut di atas ? Apakah pernyataan bahwa, piutang Bank-Bank BUMN dapat diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing Bank BUMN berdasarkan prinsip-prinsip yang sehat di masing-masing Bank BUMN mencakup pula kewenangan direksi untuk melakukan hapus tagih disamping hapus buku ? Bila itu yang dimaksudkan, disitulah tampaknya kesalahan besar yang telah  dilakukan oleh Majelis Hakim Konstitusi.

Bila diperhatikan, ketidakcermatan dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi di atas lah yang kini mendominasi pemikiran para direksi BUMN. Tampaknya, mereka pun menyadari bahwa implementasi keputusan tersebut akan menimbulkan permasalahan di lapangan.  Lebih dari itu pun, sebenarnya, mereka juga menyadari bahwa abuse of power ataupun mis-used of public treasury is a criminal act.

Dan, di mana pun akan dikenakan hukuman. Pilihannya hanya,  apakah tindakan tersebut dikategorikan sebagai tindakan kriminal di ranah pidana umum, atau di ranah pidana khusus (tipikor). Itu saja !  Yang pasti, tidak bisa dimasukkan dalam kategori perbuatan di ranah perdata ataupun administratif. Titik !





[1]  Lihat pasal …. Sementara itu, kriteria piutang itu sendiri sebagaimana dinyatakan dalam pasal … adalah bahwa, piutang tersebut adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum, sedangkan yang menanggung hutangnya tidak melunasinya sebagaimana mestinya
[2] melakukan pengawasan terhadap piutang-piutang/kredit-kredit yang telah dikeluarkan oleh Negara/Badan-badan Negara apakah kredit itu benar-benar dipergunakan seuai dengan permohonan dan/atau syarat-syarat pemberian kredit dan menanyakan keterangan-keterangan yang berhubungan dengan itu Kepada Bank-bank ….. (pasal 4 ayat 4).
[3]    BUMN adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum perseroan terbatas berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[4]  Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. (UU. No. 19 tahun 2003 psl 1 angka 1)

Un petit mot pour Nathalie





Je suis en train de traduire un document juridique et j'aurai besoin de vos lumières : comment différencier impôt et taxe en indonésien ?
Je ne trouve pas cette differenciation en indonésien.
Auriez-vous une idée ?

Nathalie

Bandung, le 18eme Mai 2018

A ma Chere Amie Nathalie a Paris.



Bravo Mlle, bien venue au Monde de 'bizarre'  !  

Mademoiselle, pour mieux comprendre le sujet   que vous m’aviez questione, je vous propos une petite etude comparee. Si vous voulez, je quote en peu de definition que vous l’avez citee concernant l’impot et la taxe dans le systeme de finances publiques francais, ci-desous :

…..  l’impôt s’effectue sans  lien avec le fonctionnement du service. L’impôt ne constitue pas le coût d’un service rendu et n’implique pas de contrepartie.  
Tandis que,
La taxe est intimement liée à une prestation de service (public). Elle est perçue lors du fonctionnement d’un service public ou de l’utilisation d’un ouvrage public.
Mais,
Parmis les impots (par definition) vous trouverez les taxes. Meme, vous avez aussi souligne que -- bien qu’elle porte le nom de taxe, est un impôt et non une taxe--.

Dans d’autre cas, vous trouvez , la taxe sur la valeur ajoutée (TVA) qui ne constitue pas une taxe, mais c’est un impôt.

Voila, c’est mélange !

C’est pour ca, mon Professeur (de Finances Publics) nous a dit que les termes ‘impot’ et ‘fiscale’ sont utilises de maniere interchangeable. Il n’y a pas de coherence. Vraiment, c’est une condition difficile a prendre ! 
Dans le systeme francais de finances publiques je peut ajouter, si vous voulez, la taxe parafiscale  qui est egalement bien connue comme la taxe administrative. C’est une taxe percue ou liee au service public administrative, par example au service public de l’universite. Bien sur, cette taxe ainsi retenu a partir de service rendu par l’administration de l’universite, et doit etre payee par les etudiants.

COMMENT cette idee est applique dans le systeme indonesien de finances publiques ?
Par rapport au systeme francais, notre system est beaucoup plus claire. Vous trouverez dans notre systeme,  la terme PAJAK  est utilise strictement pour le prelevement ayant de caracters :
  • pécuniaire. 
  •  effectué par voie d’autorité – c.a.d. force
  • sert à financer les charges publiques de l’Etat. 
  • s’effectue sans  lien avec le fonctionnement du service—c.a.d  ne constitue pas de coût d’un service rendu, et 
  • sans contrepartie

On peut trouver pour le PAJAK, entre outre, sont : Pajak Penghasilan (PPH) – impot sur le Revenu--, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) – la TVA--.

D’autre part, nous avons la terme RETRIBUSI. En effet, le Retribusi est un prelevement, qui dans quelque parts,  similair a la taxe dans le  systeme francais. Dans ce cas la, cet prelevement est:
  • intimement liées à une prestation de service public (notamment le service public local), c.a.d. avec une contrepartie
  •  perçue, pour cela, lors du fonctionnement d'un service public ou de l'utilisation d'un ouvrage public. ,
  •  le montant de cet prelevement n’est pas proportionnel au service rendu. 
  •  Le contribuable est beneficiair du service rendu.*
*ce dernier caracter fait different, dans quelque part,  avec celle de la France
Dans notre systeme de finances publiques, si les PAJAK sont preleves pour le benefit du Gouvernement Central (l’Etat), les RETRIBUSI sont preleves par l’ Administration Locale (Propinsi, Kabupaten, et Kotamadya). Vous trouverez comme les Retribusi, entre outre : Retribusi parkir (le prelevement pour le parking), retribusi sampah (prelevement sur l’enlèvement des ordures ménagères).
L’autre que les deux prelevements mentionnes ci-dessus, nous avons dans notre systems le prelevement ce qu’on appel le PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK ou le PNBP. A ma connaissance, le PNBP, par la substance, est similair au RETRIBUSI. La notion de PNBP elle-meme  a été défini  grâce à la Loi numero 20 Annee 1997 concernant le PNBP.
Ce quit fait la difference entre les deux est : si le RETRIBUSI  est percue lors du fonctionnement d’un service public a caractere physique (reel) ou de l’utilisation d’un ouvrage public applique au niveau du Governement Local, le PNBP est percue lors du fonctionnement d’un service public a caractere administratif ou de l’utilisation d’un ouvrage public de l’Etat  egalement du Governement Local, c.a.d. pour les deux niveux de l’Administration.
A mon avis, au niveau de l’idee, le PNBP est similair  a la Taxe Administrative (Tax parafiscale) dans le systeme francais.
Cependant, dans la pratique vous trouverez quelques condition exceptionnelle ci-dessous :
-    Vous trouverez PAJAK BANDARA qui est exactement le PNBP. Le nom Pajak vient de traduction direct de l’Airport Tax (la Taxe aerienne).
-   Au niveau Local, c.a.d dans le Budget Local, le rubrique d’ IMPOT LOCAL, par la substance, n’est rien que le RETRIBUSI, sauf PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (La Taxe d’habitation). 
Car, en principe, les impots sont preleves par l’Etat.

Voila ma Chere Amie, j’espere que cette explication vous donnera une idee claire pour faciliter votre bullot.



Merci. Bonne chance !