RAISON d'ETRE

Pada suatu saat, pernah terbetik suatu keinginan dari berbagai pihak, terutama para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), agar lembaga legislatif di republik kita ini memiliki hak untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana halnya lembaga eksekutif.

Pada suatu saat lain, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terpaksa harus menginap di ’hotel prodeo’, karena oleh para penegak hukum di republik ini telah dinyatakan melakukan korupsi berjama’ah. Padahal, berbagai keputusan yang dituduhkan kepada para anggota dewan yang terhormat tersebut ternyata diputuskan bersama-sama lembaga eksekutif dalam suatu forum sakral dan dituangkan dalam dokumen resmi yang disebut dengan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kemudian, banyak pihak dipaksa untuk mengernyitkan keningnya ketika mengetahui seorang petinggi pemerintahan dan juga seorang pejabat suatu perusahaan negara yang bergerak di bidang perbankan dituduh telah merugikan keuangan negara, padahal masyarakat menyang-sikan bahwa uang tersebut memang uang Negara dalam arti sebenarnya.

Sementara itu, para birokrat di berbagai lembaga pemerintah merasa ragu dalam mengambil keputusan, ataupun bahkan menolak menduduki jabatan tertentu terkait dengan pengelolaan keuangan negara, karena kurang memahami berbagai konsep (baru) keuangan Negara, sehingga khawatir tertimpa musibah.

Di lain pihak, karena ilmu keuangan negara yang disoroti dari berbagai dimensi keilmuan kurang berkembang di Indonesia, para cerdik pandai merasa ragu memasuki wilayah keilmuan ini, dan hanya sekedar mencoba meraba-raba dan membuat tafsiran dari sudut pandang keilmuan yang dimilikinya.

Itulah kira-kira sebagian alasan dibukanya BLOG yang khusus untuk mendiskusikan masalah-masalah keuangan Negara di Indonesia.

Partisipasi semua pihak dalam mendiskusikan berbagai permasalahan keuangan negara di republik ini akan merupakan usaha bersama untuk melakukan studi tentang konsepsi keuangan negara dan memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat.

Perlu disampaikan bahwa konsep baru keuangan negara yang dikembangkan oleh para pemikir yang kemudian dituangkan dalam paket undang-undang bidang keuangan negara maupun ketentuan derivasi lainnya, memang belum dapat dikatakan sempurna.

Namun bagaimanapun, lahirnya paket undang-undang tersebut di atas merupakan kenyataan bahwa Indonesia kini telah memiliki sistem keuangan negara sendiri, sehingga terlepas dari berbagai pengaruh ketentuan keuangan kolonial yang antara lain bertahun 1800-an.

Oleh sebab itu, sudah selayaknya bila semua pihak memberi apresiasi dan berusaha memahami sebaik-baiknya, seperti ungkapan bahasa Prancis di bawah ini :

----SI ON A PAS CE QUE L’ON AIME, IL FAUT AIMER CE QUE L’ON A ---

Salam

(SS)

Catatan :

Dalam rangka memenuhi saran dan pendapat berbagai pihak, artikel dalam Blog ini dikategorikan dalam :

* RUBRIK, yaitu artikel yang ditulis sesuai dengan design topik yang telah ditetapkan dalam blog ini.

* INTERMEZZO, yaitu artikel yang membahas masalah-masalah keuangan negara yang bersifat actual.

* TANGGAPAN, yaitu artikel yang berisi respons terhadap pertanyaan atau komentar pembaca yang, karena sifatnya, perlu dijelaskan secara lebih detail.



- - - - - -



Wednesday, December 25, 2013


                         MEMPERTAHANKAN SEBUAH KONSEPSI 

Untuk kesekian kalinya
Undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
harus diuji di depan sidang Mahkamah Konstitusi.
Tidak tanggung-tanggung,
kali ini permohonan pengujian dilakukan oleh sekelompok cendekiawan  
yang berafiliasi pada sebuah universitas milik Pemerintah 
yang konon,
merupakan salah satu universitas yang terkenal di republik ini.
Disamping itu, juga dilakukan oleh sekelompok ahli hukum
yang justru bernaung di bawah sebuah Kementerian Negara.
Terlepas dari substansi yang dijadikan landasan
untuk mengajukan pengujian tersebut oleh keduanya,
 terasa ada yang ‘kurang elok’ dipandang
dari sudut tata krama penyelenggaraan pemerintahan
yang seharusnya dipahami oleh kelompok-kelompok tersebut.  
Yaitu, sebagai kelompok yang berafiliasi pada Lembaga Pemerintah
justru melakukan tuntutan 
kepada Pemerintah.

------

Yang Mulia Ketua dan para Hakim Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi. Pemohon,  Termohon I, Termohon II, Para Ahli, dan Hadirin sekalian yang dimuliakan.

Assalamualaikum warrahmatullahi wa barakatuh. Selamat siang dan salam sejahtera bagi kita semua.

Pertama-tama, perkenankanlah saya menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Hakim Panel Mahkamah Konsitusi yang telah mengijinkan saya sebagai Ahli Hukum Keuangan Negara dari pihak Termohon  (Pemerintah) untuk menyampaikan penjelasan saya dalam kasus pengujian materi (judicial review) terhadap Undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya terkait dengan pasal 2 huruf g, yaitu mengenai cakupan Keuangan Negara yang antara lain meliputi kekayaan Negara yang dipisahkan, yang diajukan oleh pihak Pemohon (Pusat Pengkajian Masalah Strategis-Universitas Indonesia), dan terkait dengan pasal 2 huruf i, yaitu tentang kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan oleh Pemerintah yang diajukan oleh Forum Hukum Badan Usaha Milik Negara selaku pihak Pemohon.

Yang Mulia Ketua dan para Hakim Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati

Permohonan dimaksud, bila dicermati, pada intinya memiliki semangat yang sama. Yaitu menginginkan independensi pengelolaan keuangan pada instansi-instansi Pemerintah yang bersangkutan – dalam hal ini universitas dan BUMN --, dan  keinginan agar keuangan instansi-instansi tersebut  tidak berada dalam lingkup keuangan Negara.

Dalam kaitan ini, perlu saya sampaikan bahwa kasus yang terjadi antara para Pemohon dan Termohon  adalah sebuah  kasus yang terjadi dalam lingkup Hukum Keuangan Negara. Yaitu merupakan kasus yang terjadi dalam rangka pengelolaan Keuangan Negara. Khususnya, terkait dengan cara bagaimana Pemerintah menyediakan layanan kepada masyarakat, dan bagaimana teknik pembiayaan yang harus dilakukan oleh Pemerintah dalam penyediaan layanan tersebut.

Oleh karena itu, tanpa memiliki pretensi yang berlebihan, dan mengurangi arti penjelasan dari sudut disiplin ilmu lainnya, sebagaimana berkali-kali saya sampaikan dalam forum seperti ini ketika saya diminta sebagai Ahli, saya berpendapat bahwa penjelasan dari sudut Ilmu Hukum Keuangan Negara sudah selayaknya dipandang memiliki relevansi yang relatif tinggi dibandingkan dengan penjelasan dari sudut disiplin ilmu lainnya. Hal ini tentunya dengan mengacu pada azas proporsionalitas, yaitu dengan menempatkan disiplin Ilmu Hukum Keuangan Negara sebagai instrumen untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang timbul dalam bidang Hukum Keuangan Negara.

Dalam praktek selama ini, mengingat disiplin Ilmu Hukum Keuangan Negara di Indonesia belum berkembang, sekedar untuk mencari pembenaran bahwa masalah-masalah Keuangan Negara telah dianalisis dari aspek hukum, kasus-kasus yang terjadi dalam lingkup Keuangan Negara seringkali dianalisis oleh berbagai pihak dengan menggunakan sudut pandang dari berbagai disiplin ilmu hukum, misalnya : Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum  Bisnis, Hukum Pidana, dan juga Hukum Perdata. Padahal, ini adalah satu pemahaman yang kurang tepat atau kalau boleh dikatakan, keliru. Penggunaan sudut pandang dimaksud, sebagaimana tampak dalam berbagai kasus yang diajukan, akan menghasilkan kesimpulan yang bias.

Sehubungan dengan itu, perkenankanlah saya menyampaikan penjelasan kasus tersebut dari sudut Ilmu Hukum Keuangan Negara sebagaimana yang telah saya pelajari di beberapa universitas baik di Indonesia maupun di negara lain, dan saya dalami selama ini, baik sebagai akademisi maupun sebagai praktisi.  Sebagai praktisi, yaitu ketika saya selaku pejabat pemerintah yang ditunjuk sebagai Ketua Tim Kecil Penyusunan Rancangan Undang-undang Bidang Keuangan Negara yang kemudian menjadi Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.

Yang Mulia Ketua dan para Hakim Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati

Dalam kaitan ini, sekedar menyegarkan ingatan berbagai pihak perlu pada kesempatan ini saya sampaikan bahwa, pada prinsipnya, suatu produk perundang-undangan terdiri dari dua unsur. Yaitu, pertama, unsur frame atau wadhah, yang lebih dikenal dengan aspek hukum; kedua, unsur content atau isi, yang merupakan substansi atau materi yang akan dituangkan dalam produk perundang-undangan itu sendiri.

Oleh sebab itu, dalam penyusunan ketentuan perundang-undangan diperlukan pemahaman yang mendasar terhadap dasar-dasar filosofi keilmuan substansi yang bersangkutan sebagai content. Dasar-dasar pemikiran filosofis (philosophy grondslag) inilah yang kemudian dituangkan dalam Penjelasan Umum yang kemudian menjiwai pasal-pasal ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan.

Atas dasar pemikiran di atas, ketika melakukan analisis terhadap pasal-pasal suatu ketentuan perundang-undangan harus didasarkan pada pemikiran filosofis keilmuan yang bersangkutan. Bukan dengan melakukan analisis dengan menggunakan peralatan disiplin ilmu lain.

Beranjak dari hal-hal tersebut di atas,  pasal 2 huruf g Undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya terkait dengan cakupan Keuangan Negara yang antara lain meliputi kekayaan Negara yang dipisahkan, dan pasal 2 huruf i, tentang kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan oleh Pemerintah harus dianalisis dari sudut pandang pemikiran filosofis (Hukum) Keuangan Negara. Harus dilihat dari sudut pandang hubungan antara Pemerintah dan rakyatnya (gouvernant et gouvernes), baik dari segi politis, ekonomis, dan hukum, khususnya terkait dengan pengertian hubungan hukum antara Negara/ Pemerintah dengan rakyat.
Yang Mulia Ketua dan para Hakim Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati
Menurut  studi Ilmu Keuangan Negara, dengan mengacu pada hak-hak azasi masyarakat yang secara rinci dituangkan dalam Declaration of Human Right yang kemudian dimuat dan dijadikan landasan  Konstitusi berbagai Negara di dunia, secara konstitusional Pemerintah berkewajiban untuk menjamin kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan barang dan jasa publik. Sebagaimana kemudian disadari, penyediaan barang dan jasa publik dimaksud dapat dibiayai melalui sistem perpajakan maupun melalui sistem ‘sharing’ tergantung dari sifat barang dan jasa publik yang bersangkutan.
Hal-hal, yang pada hakekatnya mencakup cara penyediaan barang dan jasa publik dimaksud, yang meliputi bagaimana pendanaan harus dicari, dialokasikan, dan kemudian digunakan itulah  yang kemudian merupakan obyek tata kelola keuangan rumah tangga Negara yang dikenal dengan tata kelola Keuangan Negara. Oleh karena itu, pengelolaan keuangan Negara, sesuai dengan peran Negara pada zamannya, hanya terfokus pada  keuangan rumah tangga Negara, yang dikenal dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kendati kewajiban Pemerintah untuk menjamin kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan barang dan jasa publik dalam rangka menjamin kesejahteraan masyarakat sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi tidak berubah,  peran Negara di era modern berkembang secara signifikan seiring dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Bentuk, cara, dan pola penyediaan layanan dimaksud kemudian berpengaruh terhadap cara atau model pembiayaannya. Hal-hal tersebut pada gilirannya melahirkan lembaga-lembaga sebagai unsur Pemerintah dalam pengambilan keputusan di bidang keuangan Negara.
Pemikiran di era modern tersebut membawa konsekuensi dalam bentuk perubahan terhadap konsepsi Keuangan Negara yang semula sempit ke arah pengertian yang lebih  luas. Yaitu, yang semula menempatkan Pemerintah sebagai subyek, yang semata-mata mengelola keuangan Negara untuk memenuhi layanan publik  melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, kemudian berkembang menjadi Pemerintah dalam peran barunya yang mencakup semua unsur Pemerintah yang memiliki kewenangan pengambilan keputusan keuangan dalam rangka pelaksanaan perannya dalam arti luas. Konsepsi baru Keuangan Negara ini kemudian dikenal dengan Keuangan Sektor Publik.
Konsekuensi perubahan terhadap konsepsi Keuangan Negara menjadi Keuangan Sektor Publik tersebut, secara substansi, merubah cakupan keuangan negara yang kemudian meliputi keuangan :
-       Unit-unit Pemerintah sebagai penghasil barang/ jasa publik, yaitu: kementerian/ lembaga Negara, dan unit nir laba;
-       perusahaan Negara di bawah kementerian yang anggarannya dikelola dalam APBN yang diserahi tugas untuk menghasilkan barang dan jasa publik;
-       perusahaan Negara dengan penganggaran tersendiri yang diserahi tugas untuk menghasilkan barang dan jasa publik;
-       lembaga keuangan Pemerintah, termasuk bank sentral, bank umum, dan lembaga asuransi.

Yang Mulia Ketua dan para Hakim Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati
Dengan mengadopsi pengertian ‘Pemerintah’ dalam arti luas sebagaimana dikemukakan di atas, dilihat dari sudut konsepsi, Keuangan Negara Indonesia, merupakan Keuangan Negara dalam arti luas yang lebih dikenal dengan terminologi Keuangan Sektor Publik.
Pemilihan keluasan cakupan keuangan Negara tersebut tampaknya telah difikirkan secara matang dan telah disengaja oleh para penyusun ketika menyampaikan konsep (draft) Rancangan Undang-Undang Keuangan Negara kepada Lembaga Legislatif untuk dilakukan pembahasan.
Oleh sebab itu, Undang-undang No. 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dalam konsiderans ‘Mengingat’ nya dengan jelas menyebutkan Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, disamping pasal  23, Pasal 23A, Pasal 23B, Pasal 23C, Pasal 23D, dan Pasal 23E.
Dalam kaitan ini, pencantuman  Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 mengandung dua pengertian yang mendasar, sebagai berikut :
Pertama, bahwa lingkup keuangan Negara Indonesia mencakup pengelolaan cabang cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Artinya, berbagai kewenangan pengambilan keputusan keuangan Pemerintah mencakup pula keputusan dalam bidang pengelolaan cabang cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak atau badan usaha milik Negara.
Kedua, bahwa hak Negara yang dicakup dalam Undang-undang No. 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara mencakup pula hak Negara yang masih bersifat potensial, sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 45, disamping hak Negara yang bersifat operasional yang dituangkan dalam pasal 23.
Pemikiran tersebut di atas secara eksplisit dituangkan dalam Penjelasan Undang-undang Keuangan Negara angka 2 alinea pertama yang menyatakan bahwa :
Hal-hal baru  dan/ atau perubahan mendasar dalam ketentuan keuangan Negara yang diatur dalam undang-undang ini meliputi pengertian dan ruang lingkup keuangan Negara, ……
Untuk selanjutnya, pernyataan pada angka 2 di atas diirinci dengan jelas dalam penjelasan angka 3 sebagai berikut :
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan.
Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki Negara, dan/ atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/ Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan Negara.
Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban.
Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Negara.
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan.
Gagasan pemikiran dalam Penjelasan Umum dimaksud selanjutnya, diekspresikan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 sebagai berikut :
Pasal 1 angka 1,
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Pasal 2
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :
a. hak Negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
b. kewajiban Negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum Pemerintahan Negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c.  Penerimaan Negara;
d.  Pengeluaran Negara;
e.  Penerimaan Daerah;
f.   Pengeluaran Daerah;
g. kekayaan Negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara/ perusahaan daerah;
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas Pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i.  kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan Pemerintah.
Yang Mulia Ketua dan para Hakim Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati
Sebagaimana dikemukakan, menyadari luasnya bidang pengelolaan keuangan Negara, para penyusun Undang-undang Keuangan Negara kemudian mengelompokkan pengelolaan keuangan Negara ke dalam tiga sub bidang. Oleh karena itu, dalam Undang-undang No. 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dikenal sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan.
Kendati pengelolaan keuangan Negara dikelompokkan ke dalam tiga sub bidang tersebut di atas, pemikiran dichotomis dalam bentuk kekayaan Negara yang tidak dipisahkan dengan yang dipisahkan tetap didasarkan pada konsepsi sebagaimana telah dijelaskan di atas, yaitu terkait dengan jenis produk atau layanan yang dihasilkan subyek yang bersangkutan dalam bentuk public goods atau semi public goods yang terkadang cenderung merupakan private goods.
Dalam hal ini, pemikiran dichotomis tersebut tidak mengabaikan kenyataan bahwa otoritas keuangan independen (lembaga-lembaga pemegang kebijakan nasional, seperti bank sentral, dlsb) merupakan lembaga Negara yang secara konsepsi menyusun dan melaksanakan kebijakan untuk kepentingan (perekonomian) nasional yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat secara luas. Produk-produk yang dihasilkan oleh otoritas tersebut bukanlah merupakan produk yang hanya dapat dinikmati oleh sekelompok masyarakat yang bersifat eksklusif. Pemisahan kekayaan dimaksud semata-mata untuk menjamin kemampuannya untuk mengelola kebijakan yang bersifat spesifik, sehingga tidak terkendala oleh pola baku pengelolaan anggaran Pemerintah.
Oleh sebab itu, anggaran otoritas keuangan, baik yang tidak dipisahkan maupun yang dipisahkan dimaksud tetap dibawah pengawasan lembaga legislatif (DPR) dan diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Yang Mulia Ketua dan para Hakim Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati
Mengamati ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945 maupun dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2003  Tentang  Keuangan Negara, model kelembagaan pengelola keuangan Negara di Indonesia, tampaknya tidak dapat terlepas dari ide dasar sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan di atas. Sehubungan dengan itu, dalam pengelolaan keuangan Negara di Indonesia dikenal adanya beberapa jenis lembaga.
Walaupun ternyata tidak sepenuhnya dikukuhi, secara prinsip, pembedaan lembaga pengelola tersebut terutama didasarkan pada motif atau tujuan pengelolaan keuangan Negara sebagai obyek, yang kemudian berpengaruh pada sistem tata kelolanya.
Bila diperhatikan dengan seksama, kendati pengelolaan keuangan Negara dikelompokkan ke dalam tiga sub bidang tersebut di atas, para penyusun undang-undang Keuangan Negara hanya mengelompokkan lembaga pengelola keuangan Negara ke dalam  dua kelompok besar, yaitu lembaga pengelola kekayaan Negara yang tidak dipisahkan dan lembaga pengelola kekayaan Negara yang dipisahkan.
Pemikiran dichotomis dalam bentuk lembaga pengelola kekayaan Negara yang tidak dipisahkan dengan yang dipisahkan, pada hakekatnya, tetap didasarkan pada konsepsi sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian terdahulu, yaitu terkait dengan jenis produk atau layanan yang dihasilkan subyek yang bersangkutan (dalam hal ini Pemerintah) dalam bentuk public goods atau private goods.
Namun demikian, pembedaan dimaksud tidak dapat dilakukan secara jelas (clear cut), karena menurut  kenyataan bahwa lembaga pengelola kekayaan Negara yang dipisahkan dimaksud juga merupakan lembaga Negara yang secara konsepsi turut menyusun dan melaksanakan kebijakan untuk kepentingan (perekonomian) nasional yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat secara luas. Demikian pula, bahwa menurut kenyataan, produk-produk yang dihasilkan oleh lembaga tersebut bukanlah merupakan produk yang hanya dapat dinikmati oleh sekelompok masyarakat yang bersifat eksklusif, tetapi dinikmati oleh masyarakat secara keseluruhan. 
Dengan menyimak pola pikir para penyusun Undang-undang Keuangan Negara tentang prinsip pemisahan kekayaan Negara tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam kelompok lembaga pengelola kekayaan Negara yang dipisahkan terdapat dua sub kelompok. Yaitu, pertama, sub kelompok lembaga penyelenggara kebijakan Negara yang keberadaannya dilakukan atas dasar undang-undang dasar atau undang-undang; dan kedua, sub kelompok lembaga yang diciptakan dengan tujuan mencari keuntungan (profit oriented).
Penting untuk digarisbawahi dalam hal ini bahwa, kendati status kekayaan Negara lembaga sub kelompok pertama tersebut dipisahkan dari APBN, pemisahan dimaksud tidak seperti halnya pemisahan yang dilakukan oleh Negara untuk tujuan mencari keuntungan (profit oriented) seperti halnya pada lembaga-lembaga yang tergolong dalam sub kelompok kedua, yang dalam hal ini adalah badan usaha milik Negara.
Dengan demikian, sesuai dengan uraian di atas, terdapat dua kutub ekstrim dalam pola kelembagaan yang dianut dalam Undang-undang Keuangan Negara. Yaitu lembaga/ instansi yang melakukan pengelolaan kekayaan yang tidak dipisahkan dan lembaga/ instansi yang melakukan pengelolaan kekayaan yang dipisahkan.
Yang Mulia Ketua dan para Hakim Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati
Dengan memperhatikan pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan Negara dari sisi subyek, obyek, proses, dan tujuan yang hendak dicapai, bentuk Lembaga/ Instansi Pengelola Kekayaan Negara Yang Tidak Dipisahkan dengan jelas tergambar dalam Undang-undang Keuangan Negara.
Dari pengungkapan tentang kewenangan subyek pengelola keuangan Negara, sebagaimana dituangkan dalam pasal 6 Undang-undang Keuangan Negara, secara eksplisit dapat dipahami bahwa Lembaga/ Instansi Pengelola Kekayaan Negara Yang Tidak Dipisahkan adalah Pemerintah. Dalam hal ini, Pemerintah  dimaksud direpresentasikan oleh lembaga birokrasi penyelenggara Pemerintahan Negara. Termasuk dalam hal ini adalah Pemerintahan Daerah.
Secara konkrit, lembaga dimaksud di tingkat Pemerintah Pusat adalah Kementerian/ Lembaga, sedangkan di tingkat Pemerintah Daerah, lembaga tersebut adalah seluruh instansi yang dikenal sebagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD).
Selanjutnya, mengacu pada ketentuan pasal 7 Undang-undang Keuangan Negara dapat dilihat bahwa berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Instansi Pengelola Kekayaan Negara Yang Tidak Dipisahkan ditujukan untuk mencapai tujuan berNegara, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terkait dengan itu, pembiayaannya dilakukan melalui sistem perpajakan, dan semua kegiatan Pemerintah melalui lembaga dimaksud dikelola melalui sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dalam kaitan ini, perlu dipahami, bahwa pengertian ‘dikelola melalui sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)’ adalah bahwa pengelolaan anggaran dimaksud harus tunduk pada prinsip-prinsip (azas) pengelolaan anggaran Negara, yaitu prinsip anterioritas, periodisitas, unitas, universalitas, dan juga prinsip spesialitas.
Secara konkrit, pengertian ‘dikelola melalui sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)’ harus diartikan bahwa rencana kegiatan yang disusun dan akan dilakukan oleh Pemerintah (eksekutif) tersebut harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari lembaga legislatif, dituangkan dalam suatu dokumen tertentu (APBN atau yang disetarakan), dilaksanakan dengan berpatokan pada kaidah baku tata kelola keuangan Negara, dan dilaporkan serta diaudit sebagaimana ditetapkan menurut perundang-undangan bidang Keuangan Negara.

Sementara itu, dengan mengacu pada pandangan berbagai ahli ekonomi, terutama ditinjau dari sudut sosio-ekonomis, Indonesia pun menganut paham bahwa Negara dipersepsikan sebagai pelaku ekonomi dengan perilaku sebagaimana layaknya pelaku ekonomi lainnya.
Perilaku dimaksud dalam hal ini didorong adanya motif ekonomis (mencari keuntungan) yang mendasari berbagai pengambilan keputusan. Walaupun tidak diingkari bahwa, dalam beberapa hal, Negara sebagai pelaku ekonomi memiliki kekhususan dibandingkan dengan pelaku ekonomi pada umumnya.
Kekhususan Negara sebagai pelaku ekonomi muncul dari kenyataan, yang kemudian dijadikan acuan para ahli Keuangan Negara, bahwa kebutuhan masyarakat terhadap layanan publik (Pemerintah) ternyata tidak seluruhnya dapat disediakan melalui system yang melibatkan lembaga-lembaga Pemerintah yang bersifat struktural dengan menggunakan mekanisme penetapan harga atas dasar sistem non pasar (non market pricing mechanism).
Dari sisi lain, disamping pendekatan melalui kebutuhan masyarakat tersebut di atas, secara makro, ternyata peran Pemerintah diperlukan pula dalam mendorong perkembangan perekonomian nasional melalui system distribusi dan stabilisasi. Sementara itu, secara khusus, dilihat dari sisi keuangan Negara, kegiatan-kegiatan lembaga Pemerintah non struktural tersebut diharapkan akan dapat merupakan sumber penerimaan Negara.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, kemudian Pemerintah pun membentuk institusi dengan karakter seperti layaknya insitusi swasta. Institusi inilah yang kemudian dikenal luas dengan istilah badan usaha milik Negara (public enterprise) dalam berbagai kepustakaan tentang keuangan Negara.
Dalam perkembangannya, sesuai dengan perkembangan peran Pemerintah dalam sektor perekonomian, khususnya melalui kebijakan non fiskal, Pemerintah dapat melakukan kerjasama dengan pihak swasta murni dalam bentuk penyertaan modal ataupun sejenisnya.
Dengan mencermati pemikiran di atas dan sejalan dengan konsep Keuangan Negara yang selama ini dilaksanakan di Indonesia sejak kemerdekaan, Undang-undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara mengelompokkan badan-badan usaha milik Negara dimaksud ke dalam lembaga pengelola kekayaan Negara yang dipisahkan.
Namun demikian, mengingat sifat maupun tujuan keberadaan lembaga tersebut, pengaturannya dilakukan dalam ketentuan tersendiri, yaitu dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Pengaturan dalam undang-undang tersendiri tersebut dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan dalam pengelolaan (manajemen) yang berbeda dengan pengelolaan kekayaan Negara yang tidak dipisahkan.
Yang Mulia Ketua dan para Hakim Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati
Dari penjelasan tersebut diatas dapat kiranya disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1.    Perkembangan yang terjadi di masyarakat yang menyangkut, baik nilai maupun kualitas kehidupan, telah menyebabkan perkembangan peran Pemerintah;
2.    Perkembangan peran Pemerintah dimaksud mengakibatkan perkembangan institusi kelembagaan Pemerintah dalam penyediaan layanan kepada masyarakat;
3.    Perkembangan peran Pemerintah dimaksud pada gilirannya berpengaruh pada konsep tata kelola keuangan negara yang semula sempit menjadi semakin meluas;
4.    Agar pengelolaan keuangan negara dapat dilakukan secara  lebih efektif dan lebih efisien kemudian dilakukan pengelompokkan (clustering);
5.    Perkembangan konsepsi Keuangan Negara dimaksud dianut pula di Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
6.    Oleh karena itu, Keuangan Negara Indonesia adalah Keuangan Sektor Publik;
7.    Dengan mengacu pada konsepsi Keuangan Sektor Publik, Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menempatkan Pemerintah sebagai subyek dari setiap unsur/ bidang pengelolaan yang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan keuangan sesuai dengan bidangnya.
8.    Pemisahan kekayaan di luar bidang fiskal semata-mata untuk menjamin kemampuan masing-masing bidang untuk mengelola kebijakan yang bersifat spesifik, sehingga tidak terkendala oleh pola baku pengelolaan anggaran pemerintah.
9.    Secara teknis, pengelolaan keuangan negara di setiap unsur/ bidang dilakukan sesuai norma yang disusun sedemikian rupa untuk setiap bidang.
Selanjutnya, atas dasar simpulan dimaksud perkenankanlah saya menyampaikan pendapat terhadap kasus yang sedang disengketakan sebagai berikut :
Terlepas dari kenyataan bahwa pada saat ini banyak pejabat di Universitas maupun BUMN yang terjerat kasus korupsi di instansi masing-masing, yang menurut pendapat saya sebagai Ahli Hukum Keuangan Negara di lembaga peradilan ketika mendampingi Jaksa Penuntut Umum, lebih banyak disebabkan karena tindakan mereka  yang tidak dapat dikategorikan profesional sesuai dengan norma profesionalitas di bidang tata kelola keuangan yang berterima umum (general accepted financial management), dari sudut materi, tampak bahwa  Kelompok  yang mengajukan pengujian undang-undang tersebut    tidak/ kurang memahami konsepsi  tentang Keuangan Negara  yang dianut oleh Undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Majelis Hakim Yang Mulia, demikianlah keterangan saya. Semoga keterangan ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya dan dapat menjadi masukan serta  pertimbangan bagi Para Yang Mulia dalam memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa ini dengan seadil-adilnya.

Terima kasih, Yang Mulia.

 Wassalammualaikum wr wb.




[1] Disajikan dalam Sidang Mahkamah Konstitusi tanggal 24 September 2013 dalam rangka Judicial Review terhadap Undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 

Tuesday, December 10, 2013


LANGKAH-LANGKAH AKHIR TAHUN : sebuah kebijakan teknis penyelamat kegiatan Pemerintah (lanjutan…)

(Intermezzo)
KOREKSI
Beranjak dari diskusi itulah saya baru menyadari, bahwa sistem tata kelola yang ada dapat menciptakan sebuah situasi yang sangat dilematis bagi para pejabat pengelola Keuangan Negara. Lebih dari itu, dari apa yang telah disampaikan oleh kawan saya bersama stafnya di atas tadi, ternyata  situasi itu sendiri dapat memunculkan beragam pertanyaan. Yang ujung-ujungnya, bila ditarik suatu simpulan akan dapat menghasilkan akibat yang sangat membahayakan bagi para pejabat itu sendiri.
Diskusi yang berkembang pada hari itu kemudian menghasilkan sebuah gagasan. Sebuah keinginan untuk menciptakan ketentuan sebagai sebuah koreksi terhadap ketidaksempurnaan sebuah sistem.
Satu pemikiran strategis yang harus menjadi titik utama perhatian saya adalah, menghilangkan kecurigaan para penyidik bahwa dana APBN dapat dicairkan dengan cara ilegal dan konspiratif. Artinya, dapat dicairkan dengan cara sengaja memalsukan data-data proyek oleh Pimpro atau Bendahara. Dan, di sisi lain, menghilangkan tuduhan terhadap KPPN  yang seolah berpura-pura tidak mengetahui situasi yang terjadi di berbagai Satuan Kerja ketika menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D).
Langkah koreksi tersebut harus mampu menghilangkan kecurigaan atau fitnah secara tuntas. Tentunya, tanpa harus mengabaikan konsep dasar tata kelola Keuangan Negara yang sehat (sound practice). Pernyataan yang terakhir ini adalah sebuah keharusan. ‘ C’est obligatoire’, kata orang Perancis. Dan, harus pula memperhatikan pesan orang bijak. Yaitu, ‘jangan menyelesaikan masalah dengan masalah’.
Secara pribadi, saya sangat memahami mengapa para Pimpro atau Bendahara menempatkan uang yang ditarik dari KPPN pada rekening-rekening pribadi mereka. Mereka tampaknya sangat memahami aturan Keuangan Negara. Yaitu, bahwa pada akhir tahun anggaran, semua  uang yang belum digunakan dan masih berada di rekening Bendahara Satuan kerja wajib disetorkan ke Kas Negara. Itu adalah doktrin yang terpatri di benak mereka.
Ini sesuai dengan dalil tata kelola Keuangan Negara tentang saldo kas. Yaitu, mencakup seluruh saldo di semua satuan kerja, disamping saldo yang berada di tangan Bendahara Umum Negara sendiri.
Itulah rahasianya ! Sehingga, mereka harus mengusahakan agar uang yang telah ditarik dari rekening Kas Negara tersebut tetap aman untuk digunakan. Bukan harus disetorkan kembali ke Kas Negara menjelang tutup tahun.
Dari sisi teknis pencairan dananya, para Pimpro ataupun Bendahara tersebut sebenarnya sangat menyadari bahwa uang yang ditarik tersebut merupakan uang milik rekanan. Itulah sebabnya, bagi mereka yang cukup teliti, uang tersebut kemudian ditempatkan pada sebuah rekening bersama. Sebuah rekening yang hanya dapat dicairkan bila kedua belah pihak setuju, dan masing-masing membubuhkan tanda tangannya. Inilah yang dalam istilah kerennya dinamakan escrow account.
Jadi, dengan mengamati bahwa batas akhir pembayaran tersebut merupakan ketentuan yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan, menurut hemat saya, Kementerian Keuangan harus mampu menangkal akibat yang ditimbulkannya. Artinya, Kementerian Keuangan harus mampu menyatakan bahwa hal-hal yang selama ini dipersepsikan oleh berbagai pihak sebagai perbuatan ilegal, pada hakekatnya, merupakan perbuatan yang sah atau legal.
Satu hal yang harus tetap menjadi pertimbangan utama dalam hal ini adalah, tetap menjaga agar akibat dari tindakan yang akan dituangkan dalam keputusan mengenai hal tersebut tidak akan merugikan negara. Ini merupakan hal yang tidak bisa ditawar. 
PENGGANTI PRESTASI
Mungkinkah kegiatan/ proyek yang belum selesai dan belum diserahkan kepada negara dapat dilakukan pembayaran sebesar  seratus persen dari sisa nilai kontrak ? Kalau mungkin, bagaimana caranya ? Inilah pertanyaan kunci yang harus dijawab.
Pembayaran yang dilakukan tanpa penyerahan barang secara nyata adalah sebuah pelanggaran terhadap prinsip tata kelola Keuangan Negara. Ini adalah praktek yang berbeda dengan orang pribadi.
‘Le payment doit etre fait apres le service est fait’, merupakan ungkapan yang dengan jelas dapat ditemukan dalam berbagai kepustakaan/ manual tentang pengelolaan keuangan negara di Perancis.   Pemerintah harus menerima barang/ jasa yang dibelinya terlebih dahulu sebelum pembayaran dilakukan.
Gagasan  tersebut ternyata diadopsi oleh Pemerintah kolonial dalam berbagai ketentuan Hindia Belanda. Hal ini harus dilakukan oleh pejabat pengelola Keuangan Negara untuk menghindarkan terjadinya kerugian negara.
Namun, prinsip tersebut harus memiliki eksepsi atau pengecualian. Kalau tidak, bagaimana caranya Pemerintah dapat membayar uang muka (down payment) ketika melakukan kesepakatan dengan pihak lain ? Inilah tampaknya model yang harus diadopsi.
Dalam konteks ini, kewajiban pemerintah dalam bentuk pembayaran uang muka kontrak hanya diimbangi dengan penyerahan garansi bank (borg) oleh pihak rekanan.  Dalam pola tersebut, alih-alih Pemerintah menerima barang/ jasa sebagai prestasi, Pemerintah hanya  menerima selembar kertas yang berisi jaminan.
Itulah sebabnya, jaminan ini harus benar-benar berupa jaminan yang seratus persen dapat diuangkan. Bukan sembarang jaminan yang dikeluarkan oleh suatu lembaga keuangan sebagai formalitas. Atau, untuk sekedar memenuhi ketentuan tata kelola keuangan negara.  Ini adalah sebuah prosedur baku untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya kerugian Negara !
Kalau begitu, apa dong bedanya antara pembayaran uang muka dengan pembayaran pada akhir tahun anggaran ? Menurut hemat saya, dari sudut esensi, sebenarnya sama sekali tidak mengandung perbedaan. Yaitu, sama-sama tidak diiringi dengan penyerahan prestasi kepada Pemerintah.
Dengan mengacu pada pola tersebut, saya berpendapat bahwa pembayaran pada akhir tahun untuk kegiatan/ proyek yang belum selesai dan belum diserahterimakan dapat dilakukan dengan jalan memberikan jaminan kepada negara. Sebuah solusi dengan logika yang sangat sederhana.  Tapi, dari segi yuridis, dapat dipertanggung jawabkan
P R O F O R M A
Dalam praktek, solusi masalah pembayaran pada akhir tahun yang kemudian dituangkan dalam ketentuan Kementerian Keuangan (baca: Peraturan Dirjen Perbendaharaan) tersebut ditafsirkan secara beragam.
Banyak pihak ternyata terjebak pada pernyataan bagaimana harus menghindarkan kerugian negara. Itu saja !  Oleh karena itu, mereka berpikir bahwa untuk permintaan pembayaran pada akhir tahun cukup melampirkan jaminan bank. Apa lagi yang harus dilampirkan, toh semuanya memang belum ada ?
Pemikiran seperti itu jelas-jelas keliru. Pembayaran hingga seratus persen sesuai nilai kontrak tersisa pada akhir tahun, pada hakekatnya, hanyalah merupakan kebijakan Pemerintah dalam pencairan dana (kas) sehubungan dengan ketentuan akuntansi. Bukan merupakan penyelesaian pembayaran kontrak dalam arti sebenarnya. 
Seharusnya, berbagai pihak memahami bahwa antara pembayaran yang dilakukan oleh Negara dan jaminan yang diberikan kepada Negara adalah dua hal yang berbeda.
Bagaimana suatu pembayaran dapat dilakukan oleh Negara,  tampaknya mereka lupakan. Padahal, sebagaimana telah diatur dalam Standard Operating Procedur (SOP), setiap pembayaran oleh Negara harus didasarkan pada bukti sebagai alat verifikasi (pengujian). Sementara itu, jaminan bank hanyalah sekedar menjamin bahwa uang negara tidak akan hilang dengan keputusan pembayaran yang dilakukan oleh Negara. Seharusnya hal ini disadari oleh berbagai pihak agar tidak rancu, sehingga akan menghindarkan dari sikap mereka yang  menyederhanakan masalah.
Lebih lanjut, terkait dengan keputusan pelaksanaan pembayaran yang menyimpang dari pola tatanan baku tersebut, mestinya ada satu hal yang juga perlu diperhatikan. Penyerahan barang/ jasa yang diperjanjikan, sebenarnya belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, Berita Acara yang dijadikan lampiran surat permintaan pembayaran oleh pihak rekanan hanyalah bersifat formalitas (pro forma).  Sekedar untuk memenuhi persyaratan. Itu saja ! Atau, ‘hanya ecek-ecek’ menurut istilah orang Betawi.  ( … )

*
*      *