RAISON d'ETRE

Pada suatu saat, pernah terbetik suatu keinginan dari berbagai pihak, terutama para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), agar lembaga legislatif di republik kita ini memiliki hak untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana halnya lembaga eksekutif.

Pada suatu saat lain, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terpaksa harus menginap di ’hotel prodeo’, karena oleh para penegak hukum di republik ini telah dinyatakan melakukan korupsi berjama’ah. Padahal, berbagai keputusan yang dituduhkan kepada para anggota dewan yang terhormat tersebut ternyata diputuskan bersama-sama lembaga eksekutif dalam suatu forum sakral dan dituangkan dalam dokumen resmi yang disebut dengan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kemudian, banyak pihak dipaksa untuk mengernyitkan keningnya ketika mengetahui seorang petinggi pemerintahan dan juga seorang pejabat suatu perusahaan negara yang bergerak di bidang perbankan dituduh telah merugikan keuangan negara, padahal masyarakat menyang-sikan bahwa uang tersebut memang uang Negara dalam arti sebenarnya.

Sementara itu, para birokrat di berbagai lembaga pemerintah merasa ragu dalam mengambil keputusan, ataupun bahkan menolak menduduki jabatan tertentu terkait dengan pengelolaan keuangan negara, karena kurang memahami berbagai konsep (baru) keuangan Negara, sehingga khawatir tertimpa musibah.

Di lain pihak, karena ilmu keuangan negara yang disoroti dari berbagai dimensi keilmuan kurang berkembang di Indonesia, para cerdik pandai merasa ragu memasuki wilayah keilmuan ini, dan hanya sekedar mencoba meraba-raba dan membuat tafsiran dari sudut pandang keilmuan yang dimilikinya.

Itulah kira-kira sebagian alasan dibukanya BLOG yang khusus untuk mendiskusikan masalah-masalah keuangan Negara di Indonesia.

Partisipasi semua pihak dalam mendiskusikan berbagai permasalahan keuangan negara di republik ini akan merupakan usaha bersama untuk melakukan studi tentang konsepsi keuangan negara dan memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat.

Perlu disampaikan bahwa konsep baru keuangan negara yang dikembangkan oleh para pemikir yang kemudian dituangkan dalam paket undang-undang bidang keuangan negara maupun ketentuan derivasi lainnya, memang belum dapat dikatakan sempurna.

Namun bagaimanapun, lahirnya paket undang-undang tersebut di atas merupakan kenyataan bahwa Indonesia kini telah memiliki sistem keuangan negara sendiri, sehingga terlepas dari berbagai pengaruh ketentuan keuangan kolonial yang antara lain bertahun 1800-an.

Oleh sebab itu, sudah selayaknya bila semua pihak memberi apresiasi dan berusaha memahami sebaik-baiknya, seperti ungkapan bahasa Prancis di bawah ini :

----SI ON A PAS CE QUE L’ON AIME, IL FAUT AIMER CE QUE L’ON A ---

Salam

(SS)

Catatan :

Dalam rangka memenuhi saran dan pendapat berbagai pihak, artikel dalam Blog ini dikategorikan dalam :

* RUBRIK, yaitu artikel yang ditulis sesuai dengan design topik yang telah ditetapkan dalam blog ini.

* INTERMEZZO, yaitu artikel yang membahas masalah-masalah keuangan negara yang bersifat actual.

* TANGGAPAN, yaitu artikel yang berisi respons terhadap pertanyaan atau komentar pembaca yang, karena sifatnya, perlu dijelaskan secara lebih detail.



- - - - - -



Monday, January 18, 2010

ILMU KEUANGAN NEGARA : implementasinya dalam Pemerintahan Daerah di Indonesia ? [1] (Rubrik)


INTRODUKSI

Bila dicermati, berbagai kasus penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan keuangan daerah oleh para pejabat di pemerintahan daerah yang ujung-ujungnya dapat dikategorikan sebagai perbuatan korupsi, antara lain disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap konsepsi pengelolaan keuangan negara oleh para pejabat yang bersangkutan. Di sisi lain, kurangnya pemahaman tersebut justru disebabkan oleh ketidakjelasan konsep pengelolaan keuangan yang dimplementasikan pada pemerintahan daerah.

Ketidakjelasan konsep pengelolaan keuangan yang diimplementasikan pada pemerintahan daerah berakibat pula pada ketidakmampuan pemerintah daerah dalam menyajikan laporan keuangan yang berkualitas dengan opini yang diharapkan, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian.

Terkait dengan itu, pada kesempatan ini disajikan tulisan dengan urutan sebagaimana di bawah ini.


1. DAERAH SEBAGAI MINIATUR NEGARA

Berbagai pemikiran yang menjadi dasar konsep studi tentang keuangan negara telah dikemukakan secara detail dalam beberapa bagian terdahulu. Selanjutnya, mengingat konsep-konsep dimaksud akan diterapkan pada lembaga, yaitu pemerintah, pertanyaan yang harus diklarifikasi pada kesempatan ini adalah siapa sebenarnya yang dimaksudkan dengan pemerintah ?

Dalam suatu kepustakaan yang diterbitkan oleh OECD yang berjudul Managing Public Expenditure - A Reference Book for Transition Countries dengan Richard Allen dan Daniel Tommasi sebagai editor, pemerintah didefinisikan sebagai suatu kelompok entitas atau unit yang, disamping melaksanakan kewajiban politik dan melaksanakan perannya di bidang perekonomian dan di bidang pengaturan kemasyarakatan, menyediakan layanan masyarakat untuk kepentingan warga negara, baik individu maupun kelompok, mendistribusikan kembali pendapatan dan menjamin kesejahteraan masyarakat.

Terkait dengan itu, selanjutnya dinyatakan bahwa dengan peran dan kewajiban seperti tersebut di atas, pemerintah memiliki kewenangan untuk memungut, baik secara langsung maupun tidak langsung, pajak-pajak dan pungutan lainnya yang bersifat memaksa tanpa memberikan imbalan secara langsung dan dalam bentuk apapun kepada masyarakat.

Konsepsi yang terkandung dalam definisi di atas, secara prinsip, tidak berbeda dengan konsepsi sejak lahirnya pemikiran tentang keuangan negara. Oleh sebab itu, definisi tentang pemerintah ataupun negara, yang dalam kepustakaan digunakan secara bergantian, terkait dengan studi keuangan negara dapat ditemukan dalam berbagai kepustakaan sejak zaman klasik.

Menurut para ahli, dalam konteks studi tentang keuangan negara, tidak dibedakan pengertian pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kecuali menyangkut kewilayahan. Hal ini dapat dilihat, misalnya dalam kepustakaan di atas, Richard Allen dan Daniel Tommasi menyatakan bahwa terminologi “Pemerintah” (General government) digunakan untuk mendeskripsikan entitas pemerintah pada tingkatan apa pun, baik untuk tingkat pusat, regional, maupun lokal.

Namun demikian, sekedar untuk mempertegas kedudukan pemerintah daerah dalam hubugannya dengan pemerintah pusat, dapat dilihat pendapatnya sebagai berikut, yaitu bahwa pemerintah daerah pada hakekatnya merupakan sekumpulan lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan atas suatu bagian tertentu dalam kawasan suatu negara. Dalam hal ini pemerintah daerah dapat berupa pemerintahan tingkat ketiga dalam suatu negara federal atau merupakan pemerintahan tingkat kedua atau ketiga dalam suatu negara kesatuan, yaitu, propinsi, kabupaten, maupun walikota.

Sementara itu, Schiavo Campo yang secara eksplisit mendeskripsikan tentang pemerintahan daerah dalam bukunya To Serve and To Preserve: Improving Public Administration in a Competitive World, yang diterbitkan oleh Asian Development Bank (ADB) menyatakan bahwa :
‘ Di bawah pemerintah pusat di setiap negara terdapat entitas pemerintahan daerah yang memiliki kewenangan hukum dan kewenangan administratif yang berbeda sesuai tingkatannya, dan memiliki sumber-sumber pendapatan yang dapat dipergunakan untuk menutup kebutuhannya. Entitas ini terdiri dari propinsi dan kabupaten di tingkat atas dan tingkat menengah. Kewenangan pemerintah daerah dapat berasal dari undang-undang dasar suatu negara atau dari perundang-undangan yang disusun oleh pemerintah pusat.’


Dari berbagai pendapat tersebut di atas, kemudian kita dapat menyusun sebuah pertanyaan untuk mengungkap logika di balik pernyataan yang dikemukakan oleh para ahli keuangan negara, yaitu mengapa mereka tidak membedakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah ?

Menurut kenyataan, para ahli tersebut mendasarkan pandangan mereka pada pemikiran yang bersifat analogik dalam masalah keuangan negara, yaitu bahwa setiap entitas pemerintahan (baik pusat maupun daerah) harus memiliki anggaran pendapatan dan belanja masing-masing yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam undang-undang atau undang-undang dasar.

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa keuangan negara merupakan permasalahan politik. Yaitu permasalahan bagaimana pemerintah mampu mengelola rumah tangga negara dengan baik sesuai kebutuhan warga negara. Dalam konsep ini kemudian lahir suatu bentuk kesepakatan antara yang memerintah (gouvernant) dan yang diperintah (gouverne). Dan ini terjadi pada berbagai tingkat pemerintahan. Tidak hanya di tingkat pemerintah pusat, tetapi juga di tingkat pemerintah daerah. Sementara itu, dalam kenyataan lainnya, mereka juga melihat bahwa pemerintah daerah juga memiliki sumber-sumber pendapatan yang dapat digunakan secara bebas untuk membiayai kebutuhan daerahnya.

Kenyataan seperti itulah yang kemudian membawa pemikiran logik mereka untuk kemudian berpendapat bahwa ‘daerah’, pada hakekatnya, adalah sebuah negara ‘mini’, karena memiliki kelengkapan kelembagaan politik dasar yang memegang fungsi eksekutif dan fungsi legislatif.


2. KONSEPSI DALAM IMPLEMENTASI


Dengan memperhatikan konsepsi maupun pandangan para ahli keuangan negara di atas, tidak seharusnya masih terdapat pihak-pihak tertentu yang berpandangan bahwa sistem pengelolaan keuangan pemerintah daerah berbeda dengan pemerintah pusat.

Seharusnya, semua pihak memahami apa yang dikatakan oleh Dominique FLECHER dan Henri FORT dalam bukunya Les Finances Locales, bahwa angaran pendapatan dan belanja pemerintah daerah tunduk pada prinsip-prinsip yang sama yang digunakan dalam anggaran pendapatan pemerintah pusat. Artinya bahwa pengelolaan keuangan daerah harus mengikuti prinsip universalitas, prinsip anualitas, prinsip spesialitas, dlsb yang merupakan golden principles dalam pengelolaan keuangan negara.

Hal tersebut di atas, sudah tentu akan berimplikasi terhadap masalah-masalah teknis-administratif pengelolaan keuangan itu sendiri di daerah. Tambahan lagi, sebagaimana dinyatakannya pula bahwa, walikota-seperti pula halnya propinsi menampilkan dua karakteristik, yaitu bahwa daerah tersebut merupakan wilayah suatu negara di mana dilaksanakan berbagai keputusan pemerintah pusat.

Pandangan tersebut tampaknya didukung pula oleh Richard Allen dan Daniel Tommasi yang menyatakan bahwa, oleh karena terdapat hubungan yang erat antara anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan juga mengingat bahwa pengeluaran daerah, pajak daerah, maupun kebijakan pinjaman daerah memiliki implikasi yang besar terhadap kinerja perekonomian dan fiskal suatu negara, desain dan penerapan kebijakan tersebut merupakan kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini menteri keuangan.

Kendatipun mereka mengakui bahwa ketentuan tentang proses penganggaran dan prosedur pengelolaan keuangan pada berbagai tingkatan daerah, maupun hubungan fiskal yang demikian kompleks antara pusat dan daerah harus diatur dalam perundang-undangan yang berbeda, undang-undang yang mengatur tentang anggaran pendapatan dan belanja negara harus pula mengatur berbagai ketentuan tentang :

· Prinsip-prinsip dasar pengelolaan keuangan, pengawasan dan audit eksternal, dan juga pengaturan tentang pembagian pendapatan, bila diperlukan.
· Pembatasan tentang pinjaman negara/ daerah
· Methode dan klasifikasi akuntansi anggaran yang memungkinkan koherensi dan berlaku bagi seluruh tingkat pemerintahan.

Namun demikian, diakui pula oleh para ahli bahwa penerapan konsep keuangan negara dalam wilayah pemerintahan daerah sebagai bagian dari suatu negara, membawa akibat terhadap fungsi anggaran pendapatan dan belanja negara yang kemudian berbeda dengan fungsi anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Sebagaimana dikemukakan dalam bagian sebelumnya bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara merupakan alat pemerintah dalam mengendalikan prekonomian nasional (budget is an economic tool of the government). Mekanisme pengendalian tersebut dilakukan melalui kebijakan anggaran defisit, berimbang, ataupun melalui kebijakan anggaran surplus, tergantung pada situasi perekonomian yang dihadapi pada suatu saat tertentu.

Sebagai instrumen pemerintah di bidang ekonomi, anggaran pendapatan dan belanja negara memiliki fungsi stabilisasi yang dapat mendorong ataupun menghambat laju pertumbuhan perekonomian nasional pada tingkatan yang diinginkan sesuai dengan konjungtur atau siklus global perekonomian.

Disamping itu, anggaran pendapatan dan belanja negara, juga memiliki fungsi pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat melalui kegiatan pengeluaran maupun kegiatan penerimaannya.

Oleh karena wilayah pemerintah daerah berada dalam lingkup negara, fungsi-fungsi tersebut tidak secara efektif dapat dilaksanakan oleh anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Dengan demikian, anggaran pemerintah daerah bukanlah alat kebijakan perekonomian daerah. Pemerintah daerah tidak memiliki alat untuk mengendalikan kemerosotan ataupun resesi ekonomi (nasional). Bila terjadi kemerosotan ataupun resesi perekonomian nasional, yang dapat dilakukan pemerintah daerah adalah sekedar mengurangi akibat kemerosotan ataupun resesi tersebut di wilayah itu sendiri sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat. Hal ini seperti dikemukakan oleh Jack Rabin, W. Bartley Hildreth, Gerald J Miller dalam bukunya Budgeting : Formulation and Execution ataupun oleh Dominique FLECHER dan Henri FORT.

Demikian pula halnya, dengan perbatasan wilayah yang terbuka (open boundary) pada kenyataannya berbagai kegiatan pengeluaran yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat yang dilakukan oleh suatu daerah, bukan hanya memberi manfaat atau kesejahteraan kepada penduduk setempat, tetapi juga kepada penduduk di wilayah sekitarnya. Hal yang demikian ini tentunya tidak akan terjadi pada konteks wilayah suatu negara.

Oleh karena itu, bila anggaran pendapatan dan belanja negara merupakan alat pemerintah untuk mengendalikan perekonomian nasional, anggaran pendapatan dan belanja pemerintah daerah lebih merupakan alat administrasi pemerintah daerah. Bila anggaran pendapatan dan belanja negara di bidang ekonomi mengandung kebijakan makro (macro policy oriented), anggaran pendapatan dan belanja pemerintah daerah lebih bersifat mikro-teknis, yaitu sebagai alat pembukuan/ akuntansi.

Hal ini dapat dilihat misalnya, bahwa posisi defisit, berimbang ataupun surplus dalam anggaran pendapatan dan belanja negara, secara teori, adalah suatu kondisi yang disengaja. Posisi tersebut merupakan kebijakan pemerintah untuk mempengaruhi elemen-elemen makro ekonomi lainnya agar berperilaku sesuai keinginan pemerintah.

Akan tetapi, posisi defisit dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan suatu keterpaksaan, karena posisi tersebut merupakan akibat dari situasi di mana pemerintah daerah tidak mampu menutupi pengeluarannya dari penerimaan yang diproyeksikan. Demikian pula halnya dengan posisi surplus. Bagi pemerintah daerah, yang paling ideal adalah bahwa setiap saat, posisi anggaran pendapatan dan belanjanya adalah berimbang.

3. PENGALAMAN INDONESIA

Impementasi konsep keuangan negara dalam pemerintahan daerah di Indonesia secara nyata mulai diwujudkan dalam tahun 2003, yaitu sejak lahirnya Paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara yang terdiri dari Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang No.15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Tanggungjawab Pengelolaan Keuangan Negara.

Undang-undang Keuangan Negara maupun Undang-undang Perbendaharaan Negara, secara khusus, telah mewadahi berbagai pemikiran yang berkembang dalam rangka penerapan konsepsi keuangan negara secara baik ke dalam sistem pemerintahan daerah. Lahirnya paket undang-undang yang monumental tersebut telah pula merubah beberapa undang-undang terkait dengan pemerintahan daerah, yaitu tentang perimbangan keuangan dan pemerintahan daerah.

Namun demikian, dalam kenyataannya berbagai pihak masih tetap berpendapat bahwa keuangan daerah merupakan bagian dari pengelolaan pemerintahan daerah.

Praktek lama yang selama ini dikukuhi sebagai suatu dalil bahwa pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah yang didasarkan pada Indische Comptabiliteits Wet tahun 1925 (ICW), yang dalam beberapa hal, ternyata berbeda dengan praktek pengelolaan keuangan pemerintah pusat, dijadikan sebagai pembenaran bagi pihak-pihak tertentu untuk menyatakan bahwa pengelolaan keuangan daerah pada hakekatnya memang berbeda dengan pengelolaan keuangan negara. Padahal, bila dirunut, praktek tersebut dalam banyak hal lebih disebabkan pada penafsiran yang kurang tepat terhadap ICW, atau kurangnya pemahaman terhadap konsep konsep baru tentang pengelolaan keuangan negara.

Egoisme kelembagaan ataupun egoisme individu yang tidak didasarkan pada kepentingan nasional tersebut justru akan sangat merugikan pemerintah.

Pedoman yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri selalu berubah karena tidak didasarkan pada konsep dasar yang mapan (solid). Salah satunya, sebagaimana disinyalir oleh Bank Dunia dalam laporannya pada tahun 2005 adalah pedoman yang mengatur ketentuan dan format anggaran bagi pemerintah daerah yang terbukti kurang sejalan dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan.

Faktor ini tampaknya merupakan salah satu penyebab lambannya implementasi aturan baru tentang keuangan negara di daerah, disamping menyebabkan kebingungan di antara praktisi di pemerintah daerah.

Demikian pula halnya dengan perbaikan sistem pelaporan keuangan daerah. Kegiatan yang dilakukan sejak lahirnya Paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara pada tahun 2003, hingga kini belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Permasalahan yang muncul di lapangan adalah karena konsep dasar pengelolaan keuangan yang digunakan kurang jelas. Aturan pelaporan keuangan yang disusun Kementerian Dalam Negeri dan dituangan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) sering berbeda dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) yang telah ditetapkan Kementrian Keuangan.

Padahal, berbagai pihak telah menyarankan, termasuk Bank Dunia, agar dalam kerangka peraturan nasional, pemerintah diharapkan menetapkan peraturan daerah yang mengadopsi peraturan nasional yang sudah ditetapkan dan lebih lanjut menetapkan peraturan pelaksanaannya. Artinya bahwa dalam penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pemerintah Daerah agar mengacu pada ketentuan yang telah disusun secara nasional oleh Departemen Keuangan selaku pemegang kewenangan dibidang pengelolaan keuangan negara.

Akibat dari keadaan tersebut sangat jelas terlihat sebagaimana dikemukakan oleh Prof. DR. Anwar Nasution, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam ’papernya’ yang berjudul Perbaikan Pengelolaan Keuangan Negara dan Keuangan Daerah. Dari 459 laporan Keuangan pemerintah Daerah (LKPD) yang disajikan oleh 33 Propinsi dan 426 Kabupaten/ Kota pada tahun 2006, BPK hanya dapat memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap 3 LKPD. Sisanya, 326 LKPD dengan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), 102 LKPD dengan opini Disclaimer (Tidak Memberikan Pendapat), dan 28 LKPD dengan opini Tidak Wajar.

Sementara itu, dari hasil penelitian, perkembangan opini pemeriksaan BPK terhadap LKPD dalam kurun waktu tahun 2004 sampai dengan tahun 2006 menunjukkan kecenderungan yang relatif mengecewakan dengan semakin menurunnya persentase LKPD yang memperoleh opini WTP dan WDP. Sebaliknya, opini Tidak Memberikan Pendapat justru sangat menonjol.

Dalam menanggapi kenyataan seperti itu, Sri Mulyani, sebagai Menteri Keuangan, pada suatu kesempatan memberikan pengarahan menyampaikan agar dilakukan sosialisasi kepada seluruh Pemerintah Daerah tentang rezim pengelolaan keuangan negara baru yang didasarkan pada Undang-undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, dan Undang-undang No.1 Tahun 2004 Tentang perbendaharaan negara, dan juga Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Tanggungjawab Pengelolaan Keuangan Negara. Disamping itu, ketidakmampuan berbagai pemerintah daerah untuk menyusun laporan keuangannya yang disebabkan karena kurangnya tenaga teknis (akuntan), perlu disikapi dengan merekrut dan mendidik tenaga di bidang akuntansi.

Dengan mencermati uraian dalam bagian sebelumnya, arahan Menteri Keuangan tersebut dapat dipastikan tidak akan memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Menteri Keuangan tampaknya cenderung terjebak pada pemikiran/ penyelesaian yang bersifat teknis-administratif. Bukan bersifat konsepsional. Langkah yang dilakukan seharusnya fokus pada dua hal. Pertama, bersifat konsepsional, yaitu terkait dengan kejelasan tentang konsepsi keuangan daerah; kedua, bersifat teknis-administratif, yaitu yang terkait dengan ketersediaan aturan pelaksanaan di bidang keuangan daerah, dan ketersediaan tenaga pelaksana.

KESIMPULAN

Dari pembahasan yang telah kita cermati bersama, kemudian dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :

Bahwa pemikiran untuk meletakkan pengelolaan keuangan daerah ke dalam wilayah administrasi pemerintahan daerah akan cenderung menempatkan keuangan daerah sebagai cabang studi administrasi negara.

Padahal, sisi politis dan sisi hukum keuangan daerah itu sendiri, sejak lahirnya studi keuangan negara, merupakan sisi yang paling menonjol yang justru menjadi alas penyelenggaraan pemerintahan.

Sejak kelahirannya studi tentang keuangan negara berakar pada ilmu politik dan ilmu hukum. Sementara itu, aspek teknis-administratifnya (tata kelolanya) memang mengikuti prinsip ilmu administrasi, sehingga masuk dalam ranah studi administrasi negara.

Keuangan daerah, seperti pula halnya keuangan negara yang merupakan induk bidang studi, bukanlah suatu alat administrasi bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah, melainkan harus merupakan landasan bagi terselenggaranya kegiatan pemerintahan di daerah.


*

* *
[1] Artikel ini merupakan bagian dari Orasi Ilmiah yang disampaikan pada Dies Natalies Universitas Patria Artha, Makassar tanggal 28 Desember 2009 yang disajikan dengan perubahan seperlunya.