RAISON d'ETRE

Pada suatu saat, pernah terbetik suatu keinginan dari berbagai pihak, terutama para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), agar lembaga legislatif di republik kita ini memiliki hak untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana halnya lembaga eksekutif.

Pada suatu saat lain, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terpaksa harus menginap di ’hotel prodeo’, karena oleh para penegak hukum di republik ini telah dinyatakan melakukan korupsi berjama’ah. Padahal, berbagai keputusan yang dituduhkan kepada para anggota dewan yang terhormat tersebut ternyata diputuskan bersama-sama lembaga eksekutif dalam suatu forum sakral dan dituangkan dalam dokumen resmi yang disebut dengan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kemudian, banyak pihak dipaksa untuk mengernyitkan keningnya ketika mengetahui seorang petinggi pemerintahan dan juga seorang pejabat suatu perusahaan negara yang bergerak di bidang perbankan dituduh telah merugikan keuangan negara, padahal masyarakat menyang-sikan bahwa uang tersebut memang uang Negara dalam arti sebenarnya.

Sementara itu, para birokrat di berbagai lembaga pemerintah merasa ragu dalam mengambil keputusan, ataupun bahkan menolak menduduki jabatan tertentu terkait dengan pengelolaan keuangan negara, karena kurang memahami berbagai konsep (baru) keuangan Negara, sehingga khawatir tertimpa musibah.

Di lain pihak, karena ilmu keuangan negara yang disoroti dari berbagai dimensi keilmuan kurang berkembang di Indonesia, para cerdik pandai merasa ragu memasuki wilayah keilmuan ini, dan hanya sekedar mencoba meraba-raba dan membuat tafsiran dari sudut pandang keilmuan yang dimilikinya.

Itulah kira-kira sebagian alasan dibukanya BLOG yang khusus untuk mendiskusikan masalah-masalah keuangan Negara di Indonesia.

Partisipasi semua pihak dalam mendiskusikan berbagai permasalahan keuangan negara di republik ini akan merupakan usaha bersama untuk melakukan studi tentang konsepsi keuangan negara dan memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat.

Perlu disampaikan bahwa konsep baru keuangan negara yang dikembangkan oleh para pemikir yang kemudian dituangkan dalam paket undang-undang bidang keuangan negara maupun ketentuan derivasi lainnya, memang belum dapat dikatakan sempurna.

Namun bagaimanapun, lahirnya paket undang-undang tersebut di atas merupakan kenyataan bahwa Indonesia kini telah memiliki sistem keuangan negara sendiri, sehingga terlepas dari berbagai pengaruh ketentuan keuangan kolonial yang antara lain bertahun 1800-an.

Oleh sebab itu, sudah selayaknya bila semua pihak memberi apresiasi dan berusaha memahami sebaik-baiknya, seperti ungkapan bahasa Prancis di bawah ini :

----SI ON A PAS CE QUE L’ON AIME, IL FAUT AIMER CE QUE L’ON A ---

Salam

(SS)

Catatan :

Dalam rangka memenuhi saran dan pendapat berbagai pihak, artikel dalam Blog ini dikategorikan dalam :

* RUBRIK, yaitu artikel yang ditulis sesuai dengan design topik yang telah ditetapkan dalam blog ini.

* INTERMEZZO, yaitu artikel yang membahas masalah-masalah keuangan negara yang bersifat actual.

* TANGGAPAN, yaitu artikel yang berisi respons terhadap pertanyaan atau komentar pembaca yang, karena sifatnya, perlu dijelaskan secara lebih detail.



- - - - - -



Friday, March 28, 2008

PEMBUKTIAN UNSUR KERUGIAN NEGARA DAN PERHITUNGANNYA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

(INTERMEZZO).

INTRODUKSI

Bila diamati dari perkembangan usaha para pakar dalam menyusun undang-undang tentang pengelolaan keuangan negara di Republik Indonesia, perdebatan tentang cakupan/ lingkup keuangan negara di Indonesia telah berlangsung sangat lama, yaitu beberapa saat setelah Indonesia merdeka dengan dibentuknya Panitia Achmad Natanegara pada tahun 1945 yang bertugas menyusun RUU Keuangan Republik Indonesia (UKRI). Bahkan, ada suatu masa, diskusi para pakar hukum dan administrasi keuangan pada saat itu justru menghasilkan suatu kesepakatan untuk tidak saling bersepakat terhadap lingkup keuangan negara.

Saling ketidaksepakatan para pakar dalam masalah lingkup keuangan negara dimaksud, disamping menunjukkan bukti betapa luasnya dimensi keuangan negara, juga beragamnya aspek pendekatan keuangan negara sebagai suatu cabang keilmuan.

Hal tersebut di atas sebenarnya sudah sangat lama disadari oleh para ahli di negara Eropa tempat lahirnya keuangan negara sebagai suatu ilmu. Para ahli keuangan negara Prancis bahkan mengatakan bahwa Finance Publique est une science de carrefour, artinya suatu ilmu yang berada di persimpangan jalan. Persimpangan antara ilmu-ilmu politik, hukum, administrasi, ekonomi, aritmatik, statistik, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila ketidakluasan wawasan dalam memandang keuangan negara sebagai suatu ilmu akan menyebabkan debat berkepanjangan yang tidak menghasilkan suatu kesepahaman.

Lahirnya Undang-undang Keuangan Negara pada tahun 2003, yang diikuti dengan Undang-undang Perbendaharaan Negara dan Undang-undang Pemeriksaan Tanggungjawab Pengelolaan Keuangan Negara pada tahun 2004, memberikan cakrawala pandang yang lebih jelas terhadap keuangan negara di Indonesia. Dan sejak itulah lahir era baru dalam pengelolaan keuangan negara di Indonesia.


KONSEPSI DASAR KEUANGAN NEGARA

Diskusi tentang keuangan negara seharusnya dimulai dari negara sebagai subyek. Menurut para ahli keuangan klasik, dimana negara merupakan penyedia layanan dasar kepada masyarakat dalam bentuk pertahanan, kesehatan keadilan, pendidikan, dan pekerjaan umum lainnya, negara dipersepsikan sebagai pemegang kekuasaan (otoritas- authority) yang mendapat mandat dari rakyat dan harus membela kepentingan masyarakat (public interest).Pada era 1900-an, dimana negara memulai perannya yang cukup signifikan di bidang perekonomian, negara tidak lagi hanya dipandang sebagai otoritas. Seringkali, tindakan ataupun langkah-langkah pemerintah di bidang ekonomi melalui system pengeluarannya tidak dapat dibedakan lagi dengan individu pada umumnya.

Sejak saat itu, keuangan negara (terutama melalui segi pengeluarannya) mulai dilihat dari pendekatan sosio-ekonomis. Melalui serangkaian tindakan pengeluarannya, mulailah dibedakan peran negara sebagai otoritas, dan peran negara sebagai individu pada umumnya. Secara ringkas, kemudian dapat dilihat bahwa peran pemerintah sebagai otoritas selalu berorientasi kepada pemenuhan layanan publik yang dibiayai melalui sector perpajakan atau penerimaan lainnya. Oleh karena dibiayai melalui sector perpajakan, layanan tersebut diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat dalam bentuk barang kebutuhan umum (public goods). Sebaliknya, peran negara sebagai homo-economis selalu berorientasi kepada pemupukan keuntungan (profit motive).

Dalam kesehariannya, pelaksanaan kedua peran dimaksud dengan mudah dapat dibedakan. Secara teori, sebagai otoritas, kewenangan pemerintah dilakukan secara unilateral, karena didasarkan pada kepentingan publik. Sementara, sebagai individu, setiap tindakan terkait dengan pihak lain selalu dilakukan melalui perundingan yang bersifat bilateral.


Perbedaan peran tersebut kemudian berakibat pada penataan pola pengelolaan keuangan negara itu sendiri. Dengan mendasarkan pada kewajiban dan motif tindakan pemerintah, keuangan negara kemudian dibedakan antara keuangan yang ditujukan untuk kegiatan-kegiatan pemerintah dalam perannya sebagai otoritas dan pemerintah dalam perannya sebagai individu.

Sejak saat itu, dikenallah istilah kekayaan negara yang tidak dipisahkan, yaitu kekayaan negara yang digunakan untuk mendukung kegiatan pemerintah sebagai otoritas, dan kekayaan negara yang dipisahkan, yaitu kekayaan negara yang digunakan dalam rangka pelaksanaan peran selaku individu pada umumnya.Sesuai dengan tujuannya, kekayaan negara yang tidak dipisahkan harus dikelola sedemikian rupa, antara lain melalui suatu pembahasan untuk memperoleh persetujuan rakyat yang direpresentasikan oleh lembaga legislative. Oleh karena itulah, kekayaan negara yang tidak dipisahkan harus dikelola dalam suatu system APBN. Artinya, pengelolaan dimaksud harus dimulai dengan perencanaan oleh pemerintah, dibahas, dan kemudian disetujui oleh lembaga legislative. Untuk selanjutnya, dituangkan dalam undang-undang.

Oleh karena itu, dengan mengacu pada uraian diatas, pemahaman terhadap pasal 1 (1) Undang-undang Keuangan Negara yang memberikan definisi tentang Keuangan negara harus dilakukan secara utuh sesuai konteksnya dan landasan pemikiran yang melatarbelakangi kelahiran pasal dimaksud, dan dengan mengkaitkannya dengan pasal 2 dan pasal 7 maupun pasal-pasal terkait lainnya.


IMPLIKASI PERAN MELALUI PENDEKATAN SOSIO-EKONOMIS

Dengan adanya perbedaan tersebut, suatu tindakan pemerintah benar-benar harus dilihat secara cermat apakah dilakukan dalam kapasitasnya sebagai otoritas ataukah sebagai individu. Namun demikian, masyarakat pada umumnya tidak dapat dengan mudah membedakan kapan pemerintah bertindak sebagai otoritas, dan kapanbertindak sebagai individu.


Dengan mengacu pada uraian di atas, pembedaan tersebut dapat dengan mudah dilakukan sebagai berikut: Semua tindakan/ keputusan yang dilakukan oleh pemerintah melalui kementrian lembaga yang ditujukan untuk menyediakan layan kepada masyarakat merupakan tindakan pemerintah dalam kapasitasnya selaku otoritas. Dalam hal ini, semua tindakan tersebut dituangkan dalam suatu rencana kerja pemerintah dan dibiayai melalui APBN.Sedangkan tindakan pemerintah melalui organnya untuk tujuan ekonomis dengan motif keuntungan yang dilakukan oleh organ-organ pemerintah lainnya di luar kementrian/ lembaga merupakan tindakan pemerintah selaku individu. Dalam hal ini, semua tindakan tersebut tidak dituangkan dalam APBN melainkan dituangkan dalam dokumen tersendiri sesuai rezim yang berlaku pada umumnya, dalam hal ini misalnya Undang-undang BUMN atau lainnya.


Perbedaan peran negara tersebut di atas memiliki berbagai implikasi baik secara organisasi, administrasi, yuridis, maupun personnel.Dalam melakukan tindakan dalam kapasitasnya sebagai otoritas, pemerintah diwakili oleh para pejabatnya yang lebih dikenal dengan nama birokrat yang terikat dengan aturan yang berlaku dalam birokrasi. Segala tindakan didasarkan pada rule and regulation yang berlaku dalam birokrasi. Demikian pula pengertian efisiensi, efektifitas penggunaan dana memiliki ukuran tersendiri. Dalam hal ini, pengertian keuntungan lebih didasarkan pada arti manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat sebagai akibat layanan yang diberikan oleh pemerintah daripada nilai uang sebagai imbalan kepada pemerintah yang diterima dan dicatat dalam neraca pemerintah.

Dalam pemikiran seperti ini, seorang pejabat pemerintah tidak dapat dipersalahkan dalam melakukan suatu tindakan sepanjang tindakan tersebut telah sesuai dengan rule and regulation yang ada. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pemerintah tidak perlu memperhitungkan keuntungan maupun kerugian dalam arti uang dalam melaksanakan tindakannya.


Hal yang sebaliknya terjadi pada organ-organ pemerintah yang memerankan pemerintah sebagai individu yang memiliki motif mencari keuntungan. Contoh konkrit dalam hal ini adalah BUMN. BUMN dikelola oleh para professional yang bekerja dengan rule and regulation tertentu. Langkah usaha dalam bentuk mencari keuntungan in money term, tidak terbebas dari adanya risiko dalam bentuk kemungkinan menanggung kerugian. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tindakannya para professional selalu dihadapkan pada kemungkinan memperoleh keuntungan atau menderita kerugian. Kerugian yang terjadi dalam pengambilan keputusan professional tidak boleh dianggap sebagai suatu tindakan sengaja yang setara dengan melakukan financial fraud.


PENGERTIAN KERUGIAN NEGARA


Kewajiban negara untuk menyediakan layanan dasar kepada masyarakat sebagaimana dikemukakan di atas membawa konsekwensi pada lahirnya hak pemerintah untuk dapat memungut sejumlah dana secara paksa dari masyarakat yang kemudian dikenal dengan nama pajak. Atau bila direverse, hak pemerintah memungut pajak dikaitkan dengan kewajiban pemerintah untuk menyediakan layanan dasar kepada masyarakat.


Terkait dengan kewajiban tersebut, dalam pengelolaan keuangan negara pemerintah selalu berusaha menghindarkan terjadinya kekurangan kekayaan karena alasan apapun yang disebabkan kesalahan dalam pengelolaan oleh pejabatnya, agar pemerintah tetap dapat menyediakan layanan kepada masyarakat sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.


Beranjak dari konsep dasar seperti tersebut di atas, dalam setiap kejadian kekurangan kekayaan negara, baik dalam bentuk uang maupun barang, yang kemudian dikenal dengan istilah kerugian negara, pemerintah hanya mewajibkan langkah-langkah pemulihan kemampuan keuangan negara, agar pemerintah tetap dapat memenuhi kewajibannya untuk menyediakan layanan kepada masyarakat.

Terkait dengan pandangan di atas, UU Keuangan Negara maupun UU Perbendaharaan Negara hanya menuntut agar semua kekayaan yang berkurang sebagai akibat kesalahan pengelolaan dipulihkan kembali.Namun demikian, dalam masalah kerugian negara tersebut harus dibedakan antara kerugian negara sebagai akibat kesalahan dalam pengelolaan, dan kerugian negara sebagai akibat tindakan kecurangan/ penyalahgunaan kewenangan pejabat pengelola keuangan (financial fraud).

Dalam hal yang terakhir ini, pemulihan terhadap kekayaan negara saja dirasakan tidak cukup adil. Tindakan kecurangan yang dapat menimbulkan kerugian negara dimaksud telah menghambat pemerintah untuk dapat melaksanakan kewajibannya. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan yang merugikan kepentingan umum ataupun bersifat melawan hukum. Atas dasar hal tersebut, tindakan curang yang merugikan keuangan negara disamping diwajibkan memulihkan kerugian yang terjadi masih pula dikenakan sanksi lain dalam bentuk sanksi administratif, perdata, ataupun pidana.


PENGHITUNGAN KERUGIAN NEGARA


Terjadinya kerugian negara dalam pengelolaan keuangan negara yang dilakukan oleh pejabat pengelola keuangan negara, sebagaimana dikemukakan di atas, dapat disebabkan karena ketidaksengajaan atau karena penyalahgunaan kewenangan (perbuatan melawan hukum).Kerugian negara sebagai akibat perbuatan melawan hukum itu sendiri dapat berupa berkurangnya sejumlah kekayaan (uang/ barang) yang berada dalam pengelolaan seorang pejabat pengelola keuangan atau dapat pula berupa tidak diterimanya sejumlah uang atau barang yang seharusnya menjadi hak negara.


Oleh karena kerugian negara dihitung atas dasar kenyataan yang ada atas hak pemerintah atau yang seharusnya menjadi hak pemerintah, besarnya kerugian negara dihitung dengan perhitungan yang sangat sederhana, yaitu membandingkan kekayaan yang menjadi hak negara dengan kekayaan yang hilang (berkurang) karena akibat pengelolaan ataupun perbuatan melawan hukum.


Untuk kerugian negara, misalnya dalam bentuk uang yang kurang distorkan ke Kas Negara yang dilakukan secara sengaja, formula tersebut harus lebih disempurnakan. Pertama, harus diperhatikan landasan hukum pemungutannya; kedua, cara menginformasikan; dan ketiga, besaran jumlah yang dipungut dari masyarakat. Setelah ketiga unsur tersebut diteliti, kemudian dengan menghitung banyaknya transaksi yang terjadi dalam suatu periode akan dihasilkan jumlah yang seharusnya diterima oleh negara.


PENETAPAN KERUGIAN NEGARA


Pada masa Hindia Belanda, kerugian negara dibedakan dalam kerugian negara yang terjadi sebagai akibat kelalaian ataupun kesengajaan pejabat sebagai pegawai negeri biasa, dan kerugian negara yang terjadi sebagai akibat kelalaian atau kesengajaan pegawai negeri dalam kedudukannya selaku bendahara (comptabel).

Kerugian negara yang terjadi sebagai akibat kelalaian/ kesengajaan pejabat dalam kapasitasnya sebagai pegawai negeri biasa cukup diputuskan oleh majelis yang terdiri dari unsur pimpinan di instansinya. Sementara itu, besarnya kerugian yang diakibatkan oleh pegawai negeri dalam kedudukannya selaku bendahara ditetapkan oleh Algemene Rekenkammer. Perlu diperhatikan dalam hal ini, bahwa Algemene Rekenkammer pada masa itu merupakan lembaga yang bersifat quasi judiciair, yang khusus mengadili rekening seperti halnya Cour des Comptes di Prancis.


Hingga saat ini, kendati Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak lagi merupakan lembaga peradilan yang bersifat quasi, kerugian negara yang diakibatkan oleh kelalaian atau tindakan kesengajaan seorang bendahara tetap ditetapkan oleh BPK. Sedangkan kerugian negara oleh pegawai lainnya yang bukan bendahara dilakukan oleh majelis di masing-masing instansi.


Dengan demikian, dari praktek yang terjadi selama ini dapat ditarik suatu kesimpulan yang ternyata tidak berbeda dengan prinsip dalam hukum keuangan negara yang menyatakan bahwa besarnya kerugian negara harus ditetapkan oleh suatu majelis (hakim) baik secara administrative maupun yudisial. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa kemampuan untuk menetapkan kerugian negara yang dimiliki oleh para anggota majelis tersebut merupakan kemampuan institusi, sehingga para anggota majelis pada hakekatnya secara individu tidak memliki kemampuan dimaksud, karena setiap keputusan hanya dilakukan untuk dan atas nama institusi, baik adminstratif maupun quasi judiciair.


SAKSI AHLI DALAM PENGADILAN KORUPSI


Kebutuhan terhadap seorang ahli dalam suatu persidangan pada umumnya, tidak terkecuali pada pengadilan TIPIKOR, terletak pada kemampuan memaparkan latar belakang filosofis bidang keilmuan yang dimilikinya, yang pada saat itu dijadikan uji materi dalam persidangan, disamping kemampuan analisisnya terhadap suatu kejadian terkait dengan bidang keahliannya.

Ahli semacam ini merupakan ahli yang diharapkan untuk mampu membantu para pihak dalam forum persidangan untuk mengklarifikasi permasalahan yang menjadi kunci pengambilan keputusan hakim. Mampu menunjukkan titik strategis di mana keputusan hakim akan diletakkan.

Ahli dalam kategori seperti ini, sejak awal terjadinya penyelidikan maupun penyidikan polisi/ kejaksaan harus sudah menjadi ‘penasehat’ untuk menguak misteri permasalahan yang sedang ditangani.Dalam suatu kasus korupsi, misalnya, seorang ahli (di bidang keuangan negara) dibutuhkan untuk meyakinkan bahwa memang telah terjadi suatu perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara.

Ahli dimaksud disamping mampu membuktikan terjadinya kerugian negara karena perbuatan melawan hukum seorang tersangka, juga harus mampu, bilamana diperlukan, menciptakan formula yang dapat membimbing penyidik untuk menetapkan besaran kerugian yang mungkin terjadi.


Selanjutnya, untuk memperoleh kepastian tentang besaran kerugian negara yang akan ditetapkan dalam tuntutan, penyidik kemudian dapat meminta bantuan seorang praktisi di bidang audit agar penghitungannya dapat dilakukan lebih cermat.


Dengan mengacu pada paradigma yang telah dikemukakan dalam uraian terdahulu, lembaga peradilan umum maupun peradilan korupsi, dalam menangani kasus-kasus tertentu terkait dengan kerugian negara, berwenang menetapkan besaran kerugian negara melalui keputusan majelis hakim. Dan tidak perlu menunggu keputusan pihak lain, karena tidak memiliki relevansi.


*

* *



1) Disampaikan dalam workshop yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 11 Desember 2007 di Jakarta.

Thursday, January 31, 2008

HAK BUDGET DAN KETERBATASAN LEMBAGA LEGISLATIF

(RUBRIK)

Haruskah lembaga legislatif (DPR) melakukan pembahasan rancangan undang-undang anggaran yang diajukan oleh pemerintah hingga pada substansi yang demikian rinci ? Perlukah ada pembatasan terhadap kewenangan lembaga legislatif dalam pembahasan rancangan undang-undang anggaran ?

Pertanyaan semacam ini sering berkecamuk di benak masyarakat luas, ketika masyarakat melihat bahwa DPR mengajukan berbagai pertanyaan kepada kementrian/ lembaga yang sangat detil, atau bahkan ketika DPR tidak dapat menepati batas waktu pembahasan yang telah tersedia, sehingga penetapan Undang-undang APBN melampaui batas tanggal yang telah ditetapkan. Akibatnya, sudah dapat diperkirakan, yaitu bahwa pemerintah tidak lagi memiliki waktu yang cukup untuk dapat melaksanakan berbagai kegiatan yang telah tertuang dalam Undang-undang APBN .


OTORISASI PARLEMENTER

Hak lembaga legislatif di bidang keuangan negara, , pada prinsipnya, meliputi 2 (dua) aspek, yaitu pertama, berupa pemberian persetujuan kepada pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran negara dan untuk memungut penerimaan (pajak maupun penerimaan lainnya) yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran yang telah disetujui dalam pembahasan bersama pemerintah; kedua, berupa pemberian kewenangan kepada pemerintah untuk melaksanakan keputusan yang telah ditetapkan.

Aspek pertama, yang kemudian dikenal dengan nama otorisasi parlementer (l’autorisation parlementaire) menampilkan karakteristik yang berbeda di sisi penerimaan dan di sisi pengeluaran negara. Di bidang penerimaan negara, persetujuan yang diberikan oleh undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara merupakan pemberian kewenangan kepada pemerintah dalam arti sebenarnya, yaitu kewenangan untuk melaksanakan pemungutan penerimaan negara.

Dalam hal ini, sesuai sifatnya, dibedakan antara kewenangan pemungutan penerimaan yang berasal dari pajak dan pemungutan penerimaan yang berasal dari penerimaan bukan pajak. Pemungutan pajak merupakan kewenangan yang bersifat imperatif, karena sebagaimana dipahami bahwa pajak merupakan pungutan yang sifatnya memaksa dan tidak disertai dengan imbalan (tegen prestage). Sementara itu, pemungutan penerimaan bukan pajak dapat dikatakan tidak sepenuhnya merupakan kewenangan yang bersifat imperatif, mengingat pungutan tersebut, dalam beberapa hal, sangat tergantung pada kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyediaan layanan kepada masyarakat.

Di sisi pengeluaran, kewenangan yang diberikan oleh undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara kepada pemerintah (dalam hal ini para menteri) pada hakekatnya bukan bersifat imperatif, kecuali untuk beberapa jenis pengeluaran wajib seperti, misalnya: gaji. Artinya, kendati alokasi anggaran untuk suatu kementrian telah ditetapkan oleh lembaga legislatif, menteri keuangan, karena alasan ekonomi (penghematan), dapat saja menetapkan agar sebagian dana kementrian tersebut tidak digunakan.

Terkait dengan makna yang tersirat dalam hak budget tersebut di atas, otorisasi parlementer kepada pemerintah selalu bersifat prealable (mendahulu). Artinya, pemerintah tidak dapat melakukan pengeluaran maupun penerimaan negara tanpa terlebih dahulu memperoleh ijin dari lembaga legislatif yang dituangkan dalam undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara. Pemikiran inilah yang kemudian melahirkan prinsip anterioritas dalam pengeluaran negara. Dalam kehidupan sehari-hari, prinsip dimaksud selanjutnya mendasari lahirnya berbagai ketentuan dalam pengelolaan keuangan negara, seperti misalnya, larangan bagi semua pihak untuk melakukan pengeluaran bila tidak tersedia alokasi anggaran dalam undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara.

Hak parlemen di bidang keuangan negara, dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Pada awal kelahiran hak tersebut, lembaga legislatif memiliki kebebasan yang sangat luas dalam pembahasan dan penetapan anggaran yang diusulkan oleh pemerintah. Kebebasan tersebut tercermin dalam bentuk kewenangan lembaga legislatif untuk menetapkan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara kapan saja mereka pandang telah siap. Tanpa terikat pada batas waktu. Para anggota lembaga legislatif berwenang untuk meminta penjelasan dalam bentuk apa pun kepada pemerintah, bila penjelasan dimaksud dipandang akan diperlukan dalam rangka pengambilan keputusan untuk menetapkan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara yang sedang dalam pembahasan. Bahkan, para anggota legislatif dapat saja tidak menyetujui alokasi anggaran yang diusulkan oleh pemerintah, walaupun hal ini akan berakibat terhadap batalnya kegiatan yang telah direncanakan oleh pemerintah.

KETERBATASAN LEMBAGA LEGISLATIF

Dewasa ini, kebebasan lembaga legislatif dalam pembahasan dan penetapan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara secara signifikan telah semakin berkurang. Karena berbagai keterbatasan, kebebasan lembaga legislatif cenderung mengalami kemerosotan.

Menurut teori, bila diamati, keterbatasan dimaksud dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, keterbatasan waktu (time constraint), kedua, keterbatasan kompetensi (competency constraint), dan ketiga, keterbatasan pendidikan (educational constraint).

Dengan mendasarkan pada prinsip periodisitas anggaran yang membatasi pelaksanaan anggaran pada umumnya hanya dalam kurun waktu satu tahun, dan prinsip anterioritas yang menegaskan bahwa pemerintah tidak dapat melakukan tindakan apapun dalam hal pengeluaran negara, kecuali telah ditetapkan dalam undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara, kini lembaga legislatif berkewajiban memutuskan dan menetapkan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara sesegera mungkin, sebelum tahun angaran dimulai.

Kewajiban tersebut telah menempatkan lembaga legislatif pada posisi yang sangat sulit. Bila rata-rata pemerintah memiliki waktu yang cukup longgar dalam penyusunan kegiatan dan kemudian menuangkannya dalam rancangan anggaran, yaitu kurang lebih sekitar satu tahun sebelum dokumen rancangan anggaran tersebut disampaikan kepada lembaga legislatif untuk dibahas, lembaga legislatif hanya memiliki waktu yang relatif lebih pendek, yaitu kurang lebih sekitar tiga bulan.

Kendati para anggota legislatif pada umumnya merasakan bahwa waktu yang disediakan untuk pembahasan terlalu pendek dan menginginkan keleluasaan seperti pada masa-masa lalu, ketertataan dalam jadual penyelenggaraan pemerintahan dan juga pemikiran-pemikiran yang berkembang tentang tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), termasuk dalam hal ini tata kelola keuangan negara, memaksa lembaga legislatif untuk mematuhi jadwal yang telah ditetapkan.

Dari hasil pengamatan, jadual pembahasan dan penetapan anggaran di berbagai negara, diatur dalam ketentuan yang berbeda. Di suatu negara ketentuan tentang jadual pembahasan dan penetapan anggaran negara dapat ditetapkan dalam undang-undang dasar, karena pengaturan tersebut merupakan pengaturan hubungan antar lembaga politik, yaitu legislatif dan eksekutif. Namun, di negara lain, termasuk Indonesia, karena dianggap lebih bersifat teknis pembagian waktu, hal tersebut cukup diatur dalam undang-undang. Setiap negara memiliki pertimbangan yang berbeda, tergantung pada situasi dan kondisi politik negara masing-masing.

Keterbatasan lain dalam pembahasan dan penetapan anggaran negara bagi lembaga legislatif adalah keterbatasan kompetensi (competency constraints). Bila time constraints merupakan keterbatasan institusional, keterbatasan kompetensi ini lebih merupakan keterbatasan yang dimiliki oleh para anggota lembaga legislatif. Hal ini tentunya bukan ingin mengatakan bahwa para anggota lembaga yang merupakan representasi rakyat tersebut tidak memiliki kompetensi untuk melakukan pembahasan terhadap program maupun kegiatan yang diusulkan pemerintah, akan tetapi kompetensi yang dimiliki tidaklah dapat disebandingkan dengan kompetensi para pejabat publik di lingkup pemerintahan.

Keterbatasan kompetensi tersebut antara lain disebabkan terutama karena para anggota legislatif adalah politisi yang tidak (secara intens) berkecimpung dalam bidang-bidang yang menjadi obyek pembahasan di lembaga tersebut. Sangat mungkin terjadi, karena penugasan partainya dalam komisi tertentu, seorang anggota legislatif baru mempelajari substansi yang kebetulan menjadi materi pokok yang harus dibahas dan diputuskan oleh komisi.

Hal itu, tentunya sangat berbeda dengan para pejabat di lembaga eksekutif yang pada hakekatnya ditugaskan dan berkecimpung langsung dalam bidang-bidang yang memang merupakan spesialisasinya. Para pejabat di lembaga eksekutif memang dipilih dengan latar belakang pendidikan dan keahlian tertentu untuk menangani bidang tugas dalam pemerintahan sesuai dengan keahliannya. Sebut saja misalnya, keahlian di bidang tenaga nuklir, di bidang kedirgantaraan, di bidang kedokteran, di bidang transportasi darat, laut, maupun udara, di bidang konstruksi, di bidang ekonomi, keuangan, perbankan, dlsb. Dan ini harus diakui bahwa para politisi dapat dikatakan sangat awam tentang masalah-masalah yang menjadi tanggungjawab pemerintah.

Selanjutnya, keterbatasan yang juga sering dipermasalahkan pada lembaga legislatif adalah keterbatasan di bidang pendidikan (educational constraint). Seperti halnya keterbatasan kompetensi, keterbatasan pendidikan ini juga terkait dengan kemampuan individu para anggota lembaga legislatif. Tentunya, sebagaimana telah dikemukakan di atas, sudah disadari bahwa para anggota legislatif merupakan politisi yang lebih memfokuskan perhatiannya pada masalah-masalah politik, hukum, maupun ketatanegaraan. Oleh sebab itu, pendidikan formal para anggota lembaga legislatif seringkali tidak sejalan dengan peran yang diemban para anggota lembaga legislatif yang bersangkutan, sehingga tidak menunjang tugas-tugasnya dalam pengambilan keputusan, terutama bila terkait dengan permasalahan teknis operasional yang terjadi di tingkat eksekutif.

Untuk itu, seringkali para anggota legislatif memerlukan sejumlah tenaga ahli (pendamping) yang dapat memberikan pertimbangan pada saat harus melakukan analisis terhadap usul yang disampaikan oleh lembaga eksekutif.

PRAKTEK DI INDONESIA.

HAK BUDGET DALAM UUD 45

Berbeda dengan undang-undang dasar beberapa negara (termasuk Republik Indonesia Serikat) yang mengatur hubungan politik antara lembaga legislatif dan eksekutif di bidang keuangan negara secara rinci, Undang Undang Dasar 1945 hanya mengatur masalah tersebut dalam satu ayat, yaitu dalam pasal 23 ayat (1) yang dituangkan dalam Bab VIII. Hal ini tampaknya terkait dengan pemikiran awal para penyusun bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun dalam format yang singkat, akan tetapi harus bersifat fleksibel. Oleh sebab itu, kendati Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengatur masalah hubungan politik antara lembaga legislatif dan eksekutif dalam bidang keuangan negara tersebut dalam format yang sangat ringkas, bila diperhatikan, telah mengandung prinsip dasar utama, yaitu prealable principle, yang seharusnya dimiliki lembaga legislatif yang intinya berupa pemberian otorisasi atau kewenangan kepada lembaga eksekutif.

Prinsip dasar tersebut terungkap dalam penjelasan pasal 23 ayat (1) yang menyatakan bahwa kedudukan lembaga legislatif lebih kuat dibandingkan lembaga eksekutif dalam penetapan anggaran belanja negara. Pernyataan tersebut, dipandang dari sudut Hukum Keuangan Negara, pada hakekatnya, memiliki dua makna; pertama, bahwa pemerintah tidak dapat melaksanakan rencana anggaran belanjanya sebelum memperoleh persetujuan dari lembaga legislatif yang merupakan wakil rakyat; kedua, bahwa lembaga legislatif juga memiliki kewenangan untuk menerima atau tidak menerima rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh pemerintah. Bila diperhatikan, pernyataan tersebut tidak lain merupakan perwujudan dari penerapan prinsip prealable sebagaimana dikemukakan dalam bagian terdahulu dalam konteks Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, walaupun secara operasional sulit dilaksanakan dan memberikan penafsiran yang sangat beragam, pasal 23 ayat (1) tersebut juga menyatakan bahwa bila lembaga legislatif tidak dapat menerima usulan yang diajukan pemerintah, pemerintah diharuskan menggunakan anggaran tahun yang lalu. Artinya, pemerintah dipaksa untuk menjalankan program maupun kegiatan yang telah mendapatkan persetujuan lembaga legislatif berikut cara pembiayaannya.


IMPLEMENTASI HAK BUDGET DALAM UNDANG-UNDANG KEUANGAN NEGARA

Sebagai konsekuensi sifat UUD 45 yang singkat, khususnya dalam pengaturan masalah keuangan negara, mengharuskan adanya ketentuan lain yang tingkatannya lebih rendah yang mengatur secara lebih rinci berbagai prinsip maupun berbagai aspek dalam masalah tersebut. Disamping itu, tampaknya perlu pula dipahami bahwa secara prinsip undang-undang dasar hanya mengatur ketentuan dasar, dan tidak bersifat operasional. Oleh sebab itulah kemudian perlu disusun undang-undang yang khusus mengatur tentang pengelolaan keuangan negara, yaitu Undang-undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

Menilik dari maksud keberadaannya, Undang-Undang Keuangan Negara merupakan undang-undang yang mengatur hubungan hukum antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif dalam penetapan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara (UU APBN). Berkaitan dengan itu, substansi pokok yang menjadi obyek pengaturan undang-undang tersebut adalah hak dan kewajiban kedua belah pihak dalam penetapan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara. Sementara itu, perlu diketahui, mengingat sifat Undang-undang Dasar 45 yang hanya memuat hal-hal yang benar-benar bersifat sangat mendasar, berbagai prinsip dasar yang seharusnya menjadi muatan substantif undang-undang dasar menjadi cakupan Undang-undang Keuangan Negara. Prinsip dasar tersebut yang seringkali disebut dengan golden principles, yang diperlukan lembaga legislatif dalam penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara yang pada hakekatnya merupakan instrumen pengawasan terhadap lembaga eksekutif dalam pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, antara lain adalah : prinsip periodisitas, prinsip spesialitas, dan prinsip universalitas.


Mengenai hak lembaga legislatif dalam penetapan Undang-undang APBN (Hak Budget lembaga Legislatif), secara khusus Undang-undang Keuangan Negara menempatkannya dalam Bab III, yaitu tentang Penyusunan dan Penetapan APBN, yang selanjutnya dirinci dalam pasal 11 sampai dengan pasal 15. Namun demikian, bila diperhatikan secara seksama, hak budget lembaga legislatif tersebut hanya terkonsentrasi dalam pasal 15 ayat 1 sampai dengan 6, yang secara materi meliputi : penyerahan dokumen rancangan UU APBN oleh pemerintah kepada DPR, pembahasan di DPR, hak DPR untuk mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran, pengambilan keputusan oleh DPR, lingkup keputusan DPR, dan alternatif yang harus dilakukan oleh Pemerintah bilamana usul Rancangan APBN yang diajukan tidak disetujui oleh DPR. Sementara itu, pasal-pasal lainnya berisi hal-hal terkait dengan persiapan dalam pelaksanaan hak budget DPR, misalnya: tujuan disusunnya APBN, materi yang harus dimuat dalam APBN, jadwal penyampaian dan pembahasan, pembicaraan pendahuluan antara pemerintah dengan DPR, dlsb.


HAL-HAL YANG SEHARUSNYA TIDAK DILAKUKAN OLEH PARA ANGGOTA DPR.

Mengacu pada penjelasan pasal 23 UUD 45 yang menyatakan bahwa kedudukan DPR adalah lebih kuat daripada pemerintah dalam hal penetapan APBN, berbagai penafsiran yang kadang-kadang kurang proporsional dikembangkan oleh berbagai pihak di lembaga legislatif. Satu issu yang pernah dikembangkan dan hingga kini masih tetap diupayakan pelaksanaannya oleh para anggota DPR adalah keinginan agar lembaga legislatif dapat menyusun rancangan APBN yang nantinya akan dilaksanakan oleh pemerintah.

Keinginan semacam itu, disamping mengingkari fakta historis tentang lahirnya hak budget lembaga legislatif, fakta adanya kendala substantif yang dihadapi oleh para anggota lembaga legislatif dalam masalah penyusunan atau penetapan anggaran, juga bertentangan dengan teori/ konsep kebijakan publik. Disamping itu, keinginan tersebut tampaknya juga diperkuat oleh adanya kekurangpahaman para anggota DPR bahwa, kendati APBN merupakan produk legislatif dalam bentuk undang-undang ternyata memiliki karakter yang berbeda dibandingkan undang-undang pada umumnya. Undang- undang APBN bukanlah acte regle, melainkan acte condition.

Hal lain terkait hak budget DPR yang justru selalu memicu perdebatan internal antara Panitia Anggaran dan Komisi Sektoral adalah kewenangan lembaga legislatif untuk dapat mengajukan usul yang dapat mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan maupun pengeluaran dalam RUU APBN terkait dengan pembahasan program/ kegiatan bersama kementrian/ lembaga. Dua hal perlu diperhatikan oleh para anggota DPR dalam masalah ini, yaitu: pertama, perlu dipertimbangkan secara hati-hati bahwa setiap usul perubahan yang berakibat menambah pengeluaran negara, harus diimbangi dengan usul peningkatan penerimaan di sisi lain agar tidak mengganggu kegiatan lainnya yang telah disusun berdasarkan urutan prioritas; kedua, bahwa usul pendanaan dimaksud harus tidak dilakukan melalui peningkatan penerimaan dari sektor perpajakan yang nantinya justru meningkatkan beban masyarakat. Demikian pula sebaliknya, dengan usul penurunan pendapatan yang nantinya justru akan berakibat terhadap tidak terlaksananya kegiatan yang telah direncanakan.

Oleh karena itu, di beberapa negara, kewenangan lembaga legislatif untuk melakukan perubahan terhadap rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara yang diajukan oleh pemerintah dibatasi dengan menetapkan syarat-syarat tertentu.

Dalam hal ini, bila diamati, Indonesia memberikan keleluasaan tanpa batas kepada (para anggota) lembaga legislatif tanpa memperhatikan bahwa dana yang dapat dihimpun oleh pemerintah adalah sangat terbatas (scarce), dan kegiatan-kegiatan tertentu masuk dalam skala prioritas yang tinggi. Mengacu pada pernyataan bahwa kedudukan DPR adalah lebih kuat dari pemerintah, kendati dengan penafsiran yang kurang tepat, pemerintah adalah pihak yang selalu berada pada posisi yang kalah, dan segala perhitungan yang didasarkan pada berbagai pertimbangan rasio-logikal dapat saja tidak memiliki arti signifikan berhadapan dengan para anggota Dewan.


Sementara itu, perdebatan internal antara Panitia Anggaran dan Komisi Sektoral terkait dengan usul yang dapat mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan maupun jumlah pengeluaran yang pada hakekatnya mempermasalahkan kewenangan di antara keduanya, seharusnya tidak terjadi bila konsep dasar kelembagaan dan kedudukan masing-masing pihak dipahami.

Akhirnya, perlu diungkapkan dalam kesempatan ini bahwa merupakan suatu keharusan bila APBN yang disetujui oleh DPR harus dalam format yang cukup rinci. Hal ini didasarkan pada prinsip spesialitas anggaran yang pada hakekatnya memudahkan lembaga legislatif untuk mengendalikan pemerintah agar tidak melakukan penyimpangan terhadap pengunaan anggaran. Rinci atau tidaknya penetapan anggaran memang tergantung pada kebutuhan dan kultur masing-masing negara. Namun, sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa kemudahan pengawasan lembaga legislatif terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara berbanding terbalik dengan rinci-tidaknya anggaran yang ditetapkan.


Namun demikian, ketentuan dalam pasal 15 ayat (6) Undang-undang Keuangan Negara yang menyatakan bahwa ‘APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja’ tidaklah harus disambut dengan eforia yang berlebihan oleh para anggota DPR.


Dua hal perlu diperhatikan dalam masalah ini. Pertama, dari sudut kelembagaan, bahwa DPR merupakan lembaga pengambil kebijakan (policy making institution), bukan lembaga pelaksana (executing institution). Oleh karena itu, lembaga tersebut harus memiliki kemampuan mengambil keputusan yang bersifat makro-strategis. Untuk itu, lembaga tersebut harus didukung oleh para anggota yang mampu berfikir konsepsional dan bersifat makro-strategis. Kedua, dari sudut individu, bahwa dengan mengacu keterbatasan (constraint) para anggota DPR sebagaimana dikemukakan di atas, para anggota DPR bukanlah individu-individu yang memiliki kemampuan pemikiran yang bersifat mikro-teknis sebagaimana layaknya para pejabat di lembaga eksekutif.


Praktek yang selama ini dilakukan oleh para anggota DPR di berbagai Komisi Sektoral yang membahas rancangan anggaran kementrian/ lembaga hingga rincian yang paling detil, yaitu proyek maupun kegiatan, layaknya para budgeter (pejabat penyusun anggaran) adalah eforia yang selayaknya harus segera dihentikan. Eforia tersebut tampaknya bersumber dari ketidakpahaman yang dikombinasikan dengan kepentingan masing-masing individu ataupun fraksi dalam lembaga legislatif.

*

* *


Thursday, January 17, 2008

BANK SENTRAL DALAM KONSTELASI PEMIKIRAN KEUANGAN NEGARA
(TANGGAPAN)


Terkait dengan pertanyaan Saudara Aldiemas tentang status keuangan negara yang dipisahkan pada Bank Indonesia, dan juga status kekayaan badan hukum yang berada di bawah Bank Indonesia yang dananya berasal dari Bank Indonesia dapat kiranya saya sampaikan analisis seperti dibawah ini.

Agar alur pikir tentang permasalahan tersebut dapat dengan jelas diikuti, perlu kiranya dilakukan penelusuran terhadap konsep pemikiran yang kemudian melahirkan lembaga semacam itu di masa lalu.


OTORITAS KEUANGAN INDEPENDEN

Dari kepustakaan tentang perkembangan keuangan negara dapat dilihat bahwa kekuasaan di bidang keuangan negara pada awalnya terletak di tangan otoritas konstitusional (baca: lembaga legislatif) dan pemerintah, yang secara umum dikenal sebagai penguasa politik. Namun demikian, perkembangan ekonomi dan lahirnya aliran liberalisme yang mengimbas di bidang perekonomian, dan juga mulai terbukanya hubungan perekonomian dengan negara lain telah mendorong kemunculan berbagai otoritas (lembaga) keuangan yang bersifat independen. Peran lembaga-lembaga tersebut semakin lama semakin kuat dalam mendukung keuangan dan perekonomian nasional.

Sebagian di antara lembaga independen dimaksud dikualifikasikan sebagai lembaga yang memiliki kapasitas teknis yang bersifat spesifik di bidang pengelolaan keuangan negara. Terkait dengan kapasitasnya, lembaga-lembaga tersebut kemudian dikategorikan sebagai lembaga administratif independen yang kemudian merupakan lembaga pengawas atau merupakan lembaga yang memberikan dukungan kepada sektor tertentu. Dapat disebutkan dalam hal ini, misalnya: komisi pengawasan asuransi, komisi persaingan usaha. Dalam kategori ini, terdapat pula lembaga yang bergerak di bawah kendali menteri keuangan yang bertugas menerapkan berbagai ketentuan tentang pasar uang, bursa efek, dan lain sebagainya.

Namun demikian, di antara lembaga tersebut, terdapat lembaga-lembaga yang memiliki kapasitas dan independensi yang lebih luas dan bergerak di bidang keuangan sebagaimana layaknya otoritas keuangan negara. Dalam kategori ini dapat disebutkan antara lain, bank sentral dan pemerintah daerah. Kendati merupakan lembaga independen, pada hakekatnya lembaga-lembaga tersebut di atas merupakan lembaga negara. Independensi lembaga-lembaga tersebut, sesuai dengan tujuan pembentukannya, lebih ditekankan pada pelaksanaan fungsi masing-masing.


IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA


Mengamati ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945 maupun dalam berbagai ketentuan perundang-undangan lainnya, keberadaan otoritas keuangan yang independen di Indonesia, seperti bank sentral maupun lembaga-lembaga keuangan lainnya, tampaknya tidak bisa terlepas dari ide dasar sebagaimana dikemukakan di atas.

Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 23D UUD 45 bahwa ‘ Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensinya di atur dengan undang-undang.’ Pernyataan pasal ini memberikan ketegasan bahwa bank sentral Republik Indonesia merupakan suatu lembaga negara. Dalam kenyataannya, sesuai dengan ilustrasi di atas, bank sentral ini yang kemudian dinamakan Bank Indonesia merupakan lembaga negara yang memiliki kewenangan khusus dalam pengelolaan kebijakan moneter.

Karakter sebagai lembaga negara ini secara jelas juga dinyatakan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia misalnya dalam pasal 4 yang menyatakan bahwa ‘ Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah …..’ . Selanjutnya, adanya kewajiban Bank Indonesia untuk menyampaikan anggarannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan kepada Pemerintah setelah ditetapkan oleh Gubernur Bank Indonesia, maupun peran Badan Pemeriksa Keuangan dalam melakukan pemeriksaan memberikan indikasi bahwa secara kelembagaan Bank Indonesia tidak berbeda dengan lembaga negara lainnya. Independensi lembaga tersebut, bila diperhatikan ilustrasi yang telah diberikan di atas, terletak pada pengambilan keputusan dalam melaksanakan kebijakan moneter yang menjadi tanggungjawabnya.

Sementara itu, dari sudut pandang keuangan negara, disamping mengacu pada ketentuan yang termaktub dalam UUD 45, ide dasar sebagaimana ilustrasi di atas telah mewarnai pemikiran para penyusun Undang-undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

Hal tersebut di atas dapat dilihat, antara lain dalam ‘Naskah Akademis’ RUU Keuangan Negara yang menyangkut landasan pemikiran dari aspek teori, maupun dalam konsep pendelegasian kewenangan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dalam bidang keuangan negara yang kemudian diwujudkan dalam pasal 6 UU Keuangan Negara.


PEMISAHAN KEKAYAAN NEGARA DALAM UU KEUANGAN NEGARA

Memperhatikan pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 17 Tentang Keuangan Negara, dengan mudah masyarakat memahami bahwa yang dimaksud dengan keuangan negara pada prinsipnya adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Lebih lanjut dalam pasal 2 huruf g dinyatakan bahwa keuangan negara tersebut meliputi kekayaan negara/ daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain.

Hingga disini, masyarakat mulai mempertanyakan apakah kekayaan negara yang dikelola oleh lembaga-lembaga keuangan independen merupakan bagian keuangan negara ataukah merupakan kekayaan negara yang dipisahkan sebagaimana halnya kekayaan pada perusahaan-perusahaan negara/ daerah.

Bila ditelusuri pengertian dan ruang lingkup keuangan negara sebagaimana dituangkan dalam penjelasan Undang-undang Keuangan Negara dapat diperoleh penjelasan bahwa pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara bersifat multi dimensi dengan melihat dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan yang hendak dicapai. Menyadari luasnya bidang pengelolaan keuangan negara, Undang-undang Keuangan Negara mengelompokkan ke dalam tiga sub bidang pengelolaan, yaitu sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.

Kendati pengelolaan keuangan negara dikelompokkan ke dalam tiga sub bidang tersebut di atas, pemikiran dichotomis dalam bentuk kekayaan negara yang tidak dipisahkan dengan yang dipisahkan tetap didasarkan pada konsepsi sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel terdahulu, yaitu terkait dengan jenis produk atau layanan yang dihasilkan subyek yang bersangkutan dalam bentuk public goods atau private goods.

Pemikiran dimaksud didasarkan pada suatu kenyataan bahwa otoritas keuangan independen merupakan lembaga negara yang secara konsepsi menyusun dan melaksanakan kebijakan untuk kepentingan (perekonomian) nasional yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat secara luas. Produk-produk yang dihasilkan oleh otoritas tersebut bukanlah merupakan produk yang hanya dapat dinikmati oleh sekelompok masyarakat yang bersifat eksklusif.

Pemisahan kekayaan dimaksud semata-mata untuk menjamin kemampuannya untuk mengelola kebijakan yang bersifat spesifik, sehingga tidak terkendala oleh pola baku pengelolaan anggaran pemerintah. Oleh sebab itu, anggaran otoritas keuangan independen dimaksud tetap dibawah pengawasan lembaga legislatif (DPR) dan diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Mendasarkan pada pola pikir di atas, dan memperhatikan trend yang mulai berkembang pada saat itu, para penyusun Undang-undang Keuangan Negara, mengelompokkan pemerintah daerah, yang secara konsep merupakan otoritas keuangan independen, ke dalam kelompok subyek yang mengelola kekayaan negara yang tidak dipisahkan. Pemikiran tersebut diperkuat pula oleh adanya pendapat para ahli keuangan negara bahwa ditinjau dari segi pengelolaan keuangan, pemerintah daerah merupakan ‘miniatur’ negara. Hal ini jelas terlihat dari peran eksekutif dan legislatif dalam penetapan anggaran pemerintah daerah, maupun dalam struktur organisasi kelembagaan yang memiliki kemiripan.


Dengan mengurai pola pikir para penyusun Undang-undang Keuangan Negara tentang prinsip pemisahan kekayaan negara tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kekayaan Bank Indonesia merupakan bagian keuangan negara. Kendati status kekayaan negara tersebut dipisahkan dari APBN, pemisahan dimaksud tidak seperti halnya pemisahan yang dilakukan oleh negara untuk tujuan mencari keuntungan (profit oriented) seperti halnya pada perusahaan-perusahaan negara.

Bila diperhatikan, kedudukan Bank Indonesia dalam konstelasi kelembagaan negara memang unik. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter juga merupakan lender of the last resort yang pada hakekatnya bertindak sebagai banker’s bank. Itu sebabnya, antara lain, yang menyebabkan Bank Indonesia harus memiliki status badan hukum dan juga memerlukan sejumlah modal dalam operasinya yang berasal dari Pemerintah.

Terkait dengan modal tersebut, sesuai ketentuan pemerintah berhak memperoleh bagian atas keuntungan yang diperoleh dari hasil operasi yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Namun sebaliknya, pemerintah mempunyai kewajiban untuk memenuhi modal hingga jumlah yang telah ditetapkan, bila ternyata modal tersebut berkurang.

Dalam kedudukannya sebagai lembaga negara, Bank Indonesia tentunya terikat pada ketentuan pada umumnya ketika membuat keputusan untuk memisahkan kekayaannya, misalnya dengan membentuk yayasan ataupun perusahaan/ perseroan. Dan seperti perusahaan milik negara pada umumnya, kerugian yang mungkin terjadi dalam pengelolaan bukan merupakan kerugian negara sebagai otoritas.


KEY WORDS :

• Dalam Keuangan Negara dikenal otoritas keuangan independen yang menyusun dan/ melaksanakan kebijakan dalam rangka mendukung perekonomian nasional.
• Otoritas keuangan independen tersebut merupakan lembaga negara, yang karena sifat dari tugas dan kewenangannya, diberikan kewenangan untuk mengelola kekayaan negara yang dipisahkan.
• Alasan pemisahan kekayaan negara pada otoritas keuangan independen tidak sama dengan alasan yang digunakan untuk unit-unit usaha pemerintah yang mencerminkan pemerintah sebagai individu dengan motivasi memperoleh keuntungan.



*
* *