RAISON d'ETRE

Pada suatu saat, pernah terbetik suatu keinginan dari berbagai pihak, terutama para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), agar lembaga legislatif di republik kita ini memiliki hak untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana halnya lembaga eksekutif.

Pada suatu saat lain, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terpaksa harus menginap di ’hotel prodeo’, karena oleh para penegak hukum di republik ini telah dinyatakan melakukan korupsi berjama’ah. Padahal, berbagai keputusan yang dituduhkan kepada para anggota dewan yang terhormat tersebut ternyata diputuskan bersama-sama lembaga eksekutif dalam suatu forum sakral dan dituangkan dalam dokumen resmi yang disebut dengan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kemudian, banyak pihak dipaksa untuk mengernyitkan keningnya ketika mengetahui seorang petinggi pemerintahan dan juga seorang pejabat suatu perusahaan negara yang bergerak di bidang perbankan dituduh telah merugikan keuangan negara, padahal masyarakat menyang-sikan bahwa uang tersebut memang uang Negara dalam arti sebenarnya.

Sementara itu, para birokrat di berbagai lembaga pemerintah merasa ragu dalam mengambil keputusan, ataupun bahkan menolak menduduki jabatan tertentu terkait dengan pengelolaan keuangan negara, karena kurang memahami berbagai konsep (baru) keuangan Negara, sehingga khawatir tertimpa musibah.

Di lain pihak, karena ilmu keuangan negara yang disoroti dari berbagai dimensi keilmuan kurang berkembang di Indonesia, para cerdik pandai merasa ragu memasuki wilayah keilmuan ini, dan hanya sekedar mencoba meraba-raba dan membuat tafsiran dari sudut pandang keilmuan yang dimilikinya.

Itulah kira-kira sebagian alasan dibukanya BLOG yang khusus untuk mendiskusikan masalah-masalah keuangan Negara di Indonesia.

Partisipasi semua pihak dalam mendiskusikan berbagai permasalahan keuangan negara di republik ini akan merupakan usaha bersama untuk melakukan studi tentang konsepsi keuangan negara dan memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat.

Perlu disampaikan bahwa konsep baru keuangan negara yang dikembangkan oleh para pemikir yang kemudian dituangkan dalam paket undang-undang bidang keuangan negara maupun ketentuan derivasi lainnya, memang belum dapat dikatakan sempurna.

Namun bagaimanapun, lahirnya paket undang-undang tersebut di atas merupakan kenyataan bahwa Indonesia kini telah memiliki sistem keuangan negara sendiri, sehingga terlepas dari berbagai pengaruh ketentuan keuangan kolonial yang antara lain bertahun 1800-an.

Oleh sebab itu, sudah selayaknya bila semua pihak memberi apresiasi dan berusaha memahami sebaik-baiknya, seperti ungkapan bahasa Prancis di bawah ini :

----SI ON A PAS CE QUE L’ON AIME, IL FAUT AIMER CE QUE L’ON A ---

Salam

(SS)

Catatan :

Dalam rangka memenuhi saran dan pendapat berbagai pihak, artikel dalam Blog ini dikategorikan dalam :

* RUBRIK, yaitu artikel yang ditulis sesuai dengan design topik yang telah ditetapkan dalam blog ini.

* INTERMEZZO, yaitu artikel yang membahas masalah-masalah keuangan negara yang bersifat actual.

* TANGGAPAN, yaitu artikel yang berisi respons terhadap pertanyaan atau komentar pembaca yang, karena sifatnya, perlu dijelaskan secara lebih detail.



- - - - - -



Tuesday, December 31, 2019


KEDALUARSAAN DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA 
DI INDONESIA [1]

Intro
Karena ditolak pembayaran hak pensiunnya setelah diabaikannya untuk masa beberapa tahun, seorang pensiunan Pegawai Negeri Sipil  di sekitar awal tahun  2017 telah menggugat Negara ke Mahkamah Konstitusi. 
Materi yang diusung dalam gugatan tersebut tergolong tidak main-main, karena ternyata sangat mendasar. Yaitu, mempertanyakan apakah, ditinjau dari segi konstitusi,  Negara pantas memperlakukan kedaluarsaan terhadap hak masyarakat ? [2]   Dalam hal apa sajakah Negara dapat memperlakukan daluarsa terhadap hak masyarakat ? Apakah terhadap semua utang Negara ?
Pada kesempatan lain, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mempertanyakan kejelasan tentang kedaluarsaan piutang Negara yang diatur dalam Undang-undang no. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Apa pasalnya ? Karena, menurut BPK, berbagai aspek tentang kedaluarsaan dimaksud tidak diatur dan dijelaskan dalam undang tersebut. Akibatnya, masih menurut BPK, hal tersebut akan dapat melahirkan multi tafsir dalam pelaksanaan daluarsa itu sendiri.
Kenyataan di atas merupakan masalah dua sisi dari salah satu aspek pengelolaan Keuangan Negara. Yaitu terkait dengan masalah hak dan kewajiban negara.
Perkembangan Pemikiran tentang Kedaluarsaan
Bila dicermati, pemikiran tentang kedaluarsaan dalam Hukum Keuangan Negara lahir dari gagasan yang dikembangkan oleh Hukum Perdata. Oleh karena itu, sebagaimana dinyatakan dalam Hukum Perdata, daluarsa dalam Hukum Keuangan Negara, juga didefinisikan sebagai  suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Atas dasar hal tersebut, seperti halnya dalam Hukum Perdata, daluarsa dalam Hukum Keuangan Negara pun dibedakan ke dalam daluarsa yang bersifat akuisitif (acquisitive verjaring) dan daluarsa yang bersifat ekstintif (extinctieve verjaring) 
Daluarsa yang bersifat akuisitif (acquisitive verjaring), pada prinsipnya,  merupakan daluarsa (lewat waktu) yang mengakibatkan diperolehnya hak oleh Negara atau dibebaskannya  Negara dari kewajiban tertentuSementara itu, pengertian daluarsa yang bersifat ekstintif (extinctieve verjaring) merupakan daluarsa yang, pada prinsipnya, mengakibatkan hilangnya hak tertentu Negara.
Di masa lalu, sejak masa kolonial Belanda hingga lahirnya Undang-undang bidang Keuangan Negara pada sekitar tahun 2003, masalah kedaluarsaan dalam pengelolaan keuangan negara di Indonesia, khususnya yang bersifat akuisitif di atur dalam pasal 60 Indonesische Comptabiliteits Wet (ICW).
Dalam versi Bahasa Indonesia pasal 60 ICW tersebut berbunyi sebagai berikut :
“ Menyimpang dari pasal-pasal 1954 dan 1967 buku undang-undang hukum sipil di Hindia Belanda, maka tagihan-tagihan atas negara karena hutang-hutang uang atas beban Hindia Belanda, tanpa diperhatikan bangsa apa penagih hutang, kedaluarsa dalam jangka waktu lima tahun setelah 31 Desember tahun hutang itu timbul, kecuali bilamana hutang itu telah terkena kedaluarsa yang jangka waktunya lebih pendek. “
Sementara itu, tidak seperti halnya yang selama ini diperkirakan oleh semua pihak, bahwa daluarsa yang bersifat ekstintif dalam pengelolaan keuangan pada masa Hindia Belanda ternyata tidak diatur berdasarkan ICW.  Dari penelusuran terhadap kepustakaan lama tentang Thesauri Negara (Perbendaharaan Negara) masalah daluarsa ekstintif, yang pada umumnya terjadi terhadap ganti rugi oleh para pegawai negeri, baik dalam statusnya sebagai administrator maupun sebagai bendaharawan,  pengaturannya didasarkan pada pasal 9 Staatsblad (Lembaran Negara) Tahun 1904 No. 241.


 ------------------- desole, pas encore fini ------



[1] Dirangkum dari Penjelasan sebagai Ahli Hukum Keuangan Negara di hadapan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Juli 2017 dan diskusi di Auditorat BinBangkum BPK RI tanggal 17 Desember 2019
[2] Gugatan dimaksud, yang dalam bahasa populernya dikenal dengan istilah Judicial Review, menyangkut konstitusionalitas Undang-undang No 1 tahun 2014 tentang Perbendaharaan Negara, khususnya pasal 40.


Thursday, May 16, 2019




INVESTASI PEMERINTAH DITINJAU DARI SUDUT PANDANG UNDANG-UNDANG BIDANG KEUANGAN NEGARA
(intermezzo)



Intro

Betapa pun gigihnya Menteri Keuangan menyatakan bahwa keputusan Pemerintah melakukan investasi dalam rangka divestasi PT Newmont Nusa Tenggara Barat telah didasarkan pada berbagai ketentuan yang tertuang dalam Undang-undang Keuangan Negara maupun Undang-undang Perbendaharaan Negara, nyatanya,  Pemerintah harus membatalkan keputusan investasinya sebagai akibat putusan Mahkamah Konstitusi. 
Ini adalah sebuah keputusan yang dirasakan oleh Pemerintah, khususnya Menteri Keuangan, sebagai putusan yang sangat sulit untuk dapat diterima. Namun, mengingat putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, maka tidak ada jalan lain yang memungkinkan Pemerintah untuk melakukan upaya banding, kecuali, patuh dan taat menerima putusan tersebut, dan membatalkan seluruh upaya yang telah dilakukan untuk melakukan pembelian saham dalam rangka program divestasi pada PT Newmont Nusa Tenggara Barat.    
Putusan Mahkamah Konstitusi yang terjadi sekitar enam tahun lalu tersebut, tak urung menyisakan berbagai tanda tanya pada berbagai pihak. Khususnya, di kalangan para pejabat di Kementerian Keuangan.
Benarkah bahwa Menteri Keuangan tidak dibenarkan melakukan investasi ? Atau apakah terdapat pemaknaan yang keliru terhadap pasal-pasal dalam Undang undang Keuangan Negara maupun Undang undang Perbendaharaan Negara yang telah disampaikan dalam berbagai kesempatan persidangan di Mahkamah Konsitusi ?
Bagaimana sebenarnya peran Menteri Keuangan dalam sistem pengelolaan keuangan di berbagai negara. Apakah Menteri Keuangan sebagai pemegang kewenangan pengelolaan keuangan negara memiliki kewenangan untuk melakukan investasi ?
Beberapa pertanyaan tersebut di atas akan memandu kita pada penjelasan sebagaimana di bawah ini

                              I.        Budget is an economic tool of the government
Anggaran Negara merupakan sarana pemerintah untuk mempengaruhi perekonomian nasional. Konsep pemikiran ini sejak dimulainya keterlibatan pemerintah di bidang perekonomian nasional hingga saat ini masih tetap diakui oleh para ahli ekonomi di berbagai belahan dunia.
Pemerintah mengambil berbagai keputusan yang mempengaruhi perekonomian nasional melalui kebijakan fiscal. Yaitu, melalui kebijakan di bidang pengeluaran negara ataupun di bidang penerimaan negara. 
Melalui kebijakan tersebut berbagai elemen ekonomi makro yang merupakan sektor privat, yang bersifat internal, seperti misalnya, konsumsi (C), Investasi (I), Saving (S), maupun yang bersifat eksternal, seperti :Export (X), dan Import (M) dapat dipengaruhi.
Dalam sebuah konstelasi rumusan ekonomi makro tentang pendapatan nasional, baik yang menggunakan pendekatan pengeluaran (expenditure approach), yaitu:   Y= C+I+G+(X-M) ataupun yang menggunakan pendekatan penerimaan (income approach) Y= C+S+T+(X-M) keterpisahan peran sektor pemerintah dan sektor swasta adalah sebuah kenyataan. 
Bila diamati, keterpisahan tersebut dipicu antara lain oleh adanya motif yang berbeda antara keduanya. Yaitu, motif kepentingan publik atau lebih konkritnya motif untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat untuk negara, dan motif mencari keuntungan bagi sektor swasta.
Namun, kini banyak pihak mulai berpaling. Dengan menggunakan berbagai pemikiran baru tentang negara yang kemudian meletakkan negara pada posisi yang tidak berbeda dengan sector swasta. Antara lain melalui konsep government engineering, ataupun melalui konsep efisiensi, maupun analisis benefit and cost yang dulunya lebih cenderung diterapkan pada sector swasta. Padahal, dulu semua pihak sepakat bahwa konsep efisiensi maupun analisis terhadap benefit and cost sebuah kegiatan di sector pemerintah adalah berbeda dengan konsep yang digunakan di sector swasta. 
Pemerintah kini berlomba dengan sektor swasta untuk membiayai rumah tangga dirinya, yaitu rumah tangga negara. Kita bisa saksikan bagaimana di beberapa negara produk-produk yang pada dasarnya merupakan layanan public tidak lagi dapat diperoleh secara cuma-cuma oleh masyarakat. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan milik negara berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan milik swasta dalam area yang tiada batas. 
Pemerintah, tentunya melalui Menteri Keuangan sebagai pengelola keuangan negara, dapat melakukan investasi untuk dan atas nama keuntungan (profit) sebagaimana layaknya perusahaan swasta. Keuntungan, adalah merupakan sumber yang sah bagi negara dalam konsep Ilmu Keuangan Negara. Jadi, apanya yang salah ?
Kita memang sedang tidak mendikotomikan antara negara dengan pemikiran kapitalis dengan negara yang bersifat sosialis.
Namun demikian, sekedar menyegarkan kembali ingatan kita bahwa dalam negara yang mendasarkan pada konsep welfare state mengarahkan semua sumber dayanya untuk sebesar besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, berbagai kebijakan pemerintah di bidang fiskal harus ditujukan untuk mengendalikan sektor swasta untuk menuju terwujudnya kemakmuran rakyat.
Inilah sebenarnya inti yang membedakan tindakan pemerintah dan swasta di bidang perekonomian. Pemerintah adalah regulator, pemberi arah. Dus, pemerintah tidak bergerak di area yang sama dengan sektor swasta.
Hal ini seharusnya secara konsisten tetap dipertahankan. Terkait dengan itu dapat dicermati, misalnya dalam kebijakan pinjaman luar negeri maupun perdagangan internasional. Dalam kebijakan pinjaman luar negeri, pemerintah lebih cenderung melakukannya dengan membuat kesepakatan antar pemerintah (G to G) ataupun dengan organisasi/ Lembaga keuangan internasional. Kalaupun terpaksa dilakukan dengan sektor swasta (P to G) tentunya pemerintah tidak melakukan di pasar bebas seperti halnya sektor swasta.
Demikian pula seharusnya dalam keputusan-keputusan untuk melakukan investasi. Berbagai keputusan investasi seharusnya tetap didasarkan pada motif kesejahteraan yang ditujukan semata mata untuk kepentingan publik (masyarakat)
Hal ini dapat dilihat, antara lain, bahwa program investasi pemerintah terkait dengan divestasi saham perusahaan swasta bukanlah semata-mata didasarkan pada keputusan untuk mencari untung, melainkan bagaimana kepemilikan saham tersebut akan memberikan manfaat kepada masyarakat secara luas. Dan, divestasi itu sendiri, bila dicermati adalah hanya pada bidang tertentu yang menguasai hajad hidup rakyat. Sementara itu, penyertaan modal pada perusahaan-perusahaan swasta terutama hanya ditujukan dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat antara lain investasi pada sektor perbankan yang sebenarnya hanya merupakan tindakan bail out pemerintah agar bank tersebut tidak menimbulkan ancaman terhadap perekonomian negara. 
Sementara itu, berbagai investasi pemerintah lainnya merupakan investasi langsung yang pada umumnya memiliki ciri2 khusus: long lasting, capital intensive, low return, dan lain sebagainya. Yaitu merupakan investasi di area yang tidak menarik minat sektor swasta.
Hal-hal tersebut merupakan contoh nyata dalam kehidupan pengelolaan keuangan negara di berbagai negara dengan ciri sosialis atau yang mendasarkan pada konsep welfare state, termasuk tentunya Indonesia, yang kemudian dijadikan sebagai best practice
Dalam kaitan ini, perlu dipahami bahwa penggunaan kebijakan fiscal tersebut bukanlah merupakan sebuah kebijakan yang bersifat tunggal, melainkan kebijakan yang didukung oleh berbagai kebijakan pendukungnya. Kebijakan pendukung tersebut antara lain, kebijakan terkait dengan pengelolaan perusahaan negara, pengelolaan utang,  penyediaan infra struktur dan lain sebagainya.
Uraian tersebut di atas, khususnya, terkait berbagai keputusan investasi adalah dilakukan oleh pemerintah dalam kewenangannya selaku pengambil kebijakan.   
Disamping itu, dalam tataran teknis operasional pelaksanaan anggaran negara, Menteri Keuangan merupakan pengelola uang negara. Dalam kedudukannya selaku demikian, Menteri Keuangan bertanggungjawab terhadap ketersediaan uang secara tepat waktu. Dalam kaitan ini, kebijakan teknis dalam mengatasi mismatch antara penerimaan dan pengeluaran kas ataupun menghindarkan terjadinya idle cash memerlukan kebijakan tersendiri baik dalam melakukan pinjaman ataupun dalam kegiatan berinvestasi.   

                            II.        Implementasinya dalam UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara

Memahami undang undang bukanlah hanya memahami narasi tekstualnya, melainkan dan terutama harus memahami dari aspek kontekstualnya. Hal tersebut perlu dilakukan, mengingat bahwa pembuatan undang undang pada hakekatnya adalah mewadahi kaidah kaidah substantif suatu disiplin ilmu ke dalam wadah naratif yang bersifat legalistik.
Terkait dengan itu, penuangan gagasan tersebut di atas ke dalam Undang-undang Keuangan Negara dan Undang undang Perbendaharaan Negara tampak sebagai berikut di bawah ini.

1.    Antara placement dan investment

Baik Undang-undang Keuangan Negara maupun Undang undang Perbendaharaan Negara, walaupun menggunakan istilah yang sama yaitu investasi, pada hakekatnya membedakan pengertian investasi dalam arti yang sebenarnya yang berasal dari istilah aslinya investment, dan penempatan uang atau placement
Secara sederhana, pengertian investment mengandung makna perubahan wujud atau setidaknya terjadi perpindahan unsur keuangan dari sub bidang keuangan negara yang satu kepada sub bidang yang lain. Pada umumnya, pengertian investasi selalu dikaitkan dengan kondisi yang tidak selalu likuid. Sedangkan istilah penempatan/ placement lebih diartikan pada tindakan-tindakan dalam pengelolaan keuangan yang tidak merubah wujud dan pada umumnya bersifat likuid.
Perlu dipahami bahwa dalam konsep pengelolaan keuangan negara perpindahan/ mutasi unsur-unsur keuangan negara dari sub bidang yang satu ke sub bidang yang lain, yang secara konkrit atau dalam konteks umum dikenal dengan istilah investasi atau penyertaan modal, terlebih kepada sub bidang dengan karakter swasta, harus mendapat ijin DPR.
Alasan utama yang dapat dikemukakan adalah bahwa mutasi akan mengurangi kemampuan pemerintah untuk membiayai kegiatannya bagi penyelenggaraan layanan kepada masyarakat yang pada hakekatnya merupakan kewajiban pemerintah. Di sisi lain, bahwa mutasi dimaksud dapat mengandung risiko dalam bentuk berkurangnya kekayaan negara karena akibat kerugian yang terjadi dalam pengelolaan.
Terkait dengan masalah investasi, Undang-undang Keuangan Negara maupun Undang undang Perbendaharaan Negara menggunakan terminology ‘Pemerintah’ dan ‘Menteri Keuangan’
Terminology ‘Pemerintah’ digunakan ketika tindakan/ keputusan di bidang keuangan negara tersebut dilakukan oleh Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku Menteri Teknis yang menangani masalah-masalah keuangan negara atau oleh Menteri lainnya. Hal ini merupakan kewenangan yang berkaitan dengan kebijakan. Dari sifatnya, investasi atau penyertaan modal ini sangat berbeda dengan penempatan uang (placement of fund). Undang-undang Keuangan Negara, secara khusus, mengatur masalah investasi/ penyertaan modal ini dalam Bab VI pasal 24. Sedangkan, pengaturan secara operasionalnya  diatur  dalam Bab VI pasal 41.

Bila tindakan investasi memerlukan keterlibatan pihak Lembaga legislatif, penempatan uang (placement of fund) mutlak merupakan kewenangan pemerintah (baca: Bendahara Umum Negara), karena merupakan bagian dari strategi dalam pengelolaan kas (cash management). Tindakan penempatan uang dapat dikategorikan murni sebagai tindakan administratif, khususnya administrasi pengelolaan keuangan (financial administratif management). Oleh karena itu, masalah penempatan uang ini hanya diatur dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara, yaitu dalam Bab IV tentang Pengelolaan Uang. 
Dalam hal ini, Undang-undang Perbendaharaan Negara menggunakan terminology ‘Menteri Keuangan’ , karena tindakan/ keputusan di bidang keuangan negara tersebut dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.

2.    Penyusunan ayat dalam pasal-pasal 
Sebagaimana umumnya dalam penyusunan perundang-undangan, Undang-undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara disusun dengan mengikuti pola baku yaitu, setiap ketentuan yang memiliki pengecualian dituangkan dalam pasal dengan pola sebagai berikut :

1)    Pasal tersebut dirinci dalam ayat;
2)    Ayat yang pertama dan beberapa ayat berikutnya berisi ketentuan yang bersifat normatif (baku);
3)    Ketentuan yang bersifat pengecualian (eksepsi) ditempatkan pada ayat terakhir/ menjelang terakhir pasal yang bersangkutan.
Dengan mengacu pada pola tersebut di atas pemahaman terhadap pasal 24 Undang-undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dapat dilakukan sebagai berikut  :
Ayat
(1)  Pemerintah dapat memberikan pinjaman/ hibah/ penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/ hibah dari perusahaan negara/ daerah.

(2)  Pemberian pinjaman/ hibah/ penyertaan modal kepada dan penerimaan pinjaman/ hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/ APBD.
Untuk dapat memahami makna yang terkandung dalam kedua ayat tersebut di atas perlu pemahaman terhadap konsepsi bahwa :
·         Perusahaan negara/ daerah merupakan suatu institusi pemerintah dengan karakter khusus yang dibutuhkan dalam rangka layanan kepada masyarakat maupun tujuan tertentu;
·         Pemerintah memiliki kewajiban untuk menyalurkan dana yang dibutuhkan dalam  penyelenggaraan perusahaan negara/ daerah dimaksud;
·         Pemerintah berkewajiban menuangkan alokasi dana yang akan diberikan kepada perusahaan negara/ daerah tersebut dalam APBN/ APBD. Hal ini terkait dengan prinsip anterioritas, yaitu memerlukan persetujuan DPR/ DPRD.
·         Pemberian ini dilakukan secara terencana (dalam kondisi normal), karena mengikuti prosedur baku. Namun demikian, pemberian tersebut dapat pula dilakukan dalam kondisi luar biasa (tertentu), karena pengertian ‘dituangkan dalam APBN/ APBD’ dapat diartikan secara luas, yaitu dalam APBN-P/ APBD-P.

Sedangkan terhadap ayat
(7) Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/ atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR. 
Secara mudah sebenarnya dapat ditangkap adanya nuansa ‘darurat’ (sense of crisis) yang dicerminkan oleh ayat tersebut di atas. Oleh sebab itu, ayat ini dimulai dengan frasa ‘dalam keadaan tertentu’ yang sekaligus merupakan pengingkaran (pengecualian) terhadap situasi yang dicerminkan oleh ayat (1) dan ayat (2) di atas.
Frasa ‘dalam keadaan tertentu’ tidak dapat dijelaskan dengan baik, karena bersifat undetermined. Oleh karena itu, frasa tersebut membutuhkan penjelasan. Penjelasan tersebut dilakukan oleh anak kalimat yang berbentuk frasa lainnya, yaitu ‘untuk penyelamatan perekonomian nasional’. Dengan demikian, frasa pembuka dalam ayat tersebut merupakan kata kunci (keyword) terhadap pengecualian yang akan dilakukan oleh Pemerintah.
Selanjutnya, yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa secara prinsip Pemerintah tidak memiliki kepentingan secara langsung terhadap perusahaan swasta. Oleh sebab itu, Pemerintah tidak berkewajiban memberikan pinjaman/ menyertakan modal pada perusahaan-perusahaan swasta. 
Namun demikian, bila ternyata kondisi yang terjadi akan mengancam perekonomian nasional, Pemerintah tentunya berkepentingan melakukan penyelamatan perekonomian tersebut dengan cara memberikan pinjaman ataupun menyertakan modal kepada perusahaan-perusahaan swasta dimaksud. 
Keputusan seperti ini bukanlah semata-mata merupakan keputusan eksekutif, akan tetapi harus melibatkan seluruh rakyat melalui para wakilnya di lembaga legislative.


*
*         *

au mon jour special






Tuesday, April 16, 2019









PENGHITUNGAN KERUGIAN NEGARA: PERAN BPK DAN BPKP


Akhir-akhir ini penanganan kasus korupsi dihadapkan pada sebuah tantangan baru. Mempertentangkan kewenangan BPK dan BPKP dalam penghitungan kerugian negara dijadikan modus
untuk dapat terhindar dari kasus korupsi.
Kini, para pelaku korupsi membawa pertentangan tersebut
ke hadapan Majelis Hakim Tata Usaha Negara sebagai upaya untuk menggagalkan usaha para penyidik membawa mereka ke hadapan Majelis Hakim Tipikor.  
Tulisan di bawah ini  merupakan 'catatan' yang  disampaikan
kepada Majelis Hakim Tata Usaha Negara sebagai
pendapat Ahli dalam persidangan.

Intro
Benarkah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan lembaga yang paling berhak menghitung kerugian negara dibandingkan dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ataupun lembaga auditor Pemerintah lainnya ? Ini adalah sebuah pertanyaan yang selalu diajukan oleh berbagai pihak, khususnya, dalam penanganan kasus korupsi.
Dari pengalaman saya sebagai Ahli Hukum Keuangan Negara, yang telah menjadi Ahli dalam ratusan kasus korupsi, baik yang ditangani oleh KPK, Kejaksaan Agung maupun Mabes Polri beserta jajarannya di seluruh Indonesia, pertanyaan tersebut ternyata bukan hanya ditanyakan oleh para pengacara, akan tetapi juga di antaranya oleh para Majelis Hakim Yang Mulia dalam berbagai persidangan. Pada kenyataannya, pertanyaan di atas bukan saja diajukan oleh Majelis Hakim Yang Mulia dalam kasus pidana korupsi, melainkan juga dalam kasus perdata, maupun kasus dalam hal sengketa administrasi negara (Tata Usaha Negara-TUN). Bahkan, dalam beberapa kesempatan, juga dalam kasus terkait dengan pengujian undang-undang (judicial review) yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi.
Terkait dengan itu, penjelasan yang bersifat kontekstual yang didasarkan pada kaidah-kaidah baku Hukum Keuangan Negara perlu kiranya disampaikan untuk memberikan pemahaman kepada berbagai pihak agar terhindar dari perdebatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan, karena tidak didasarkan pada konsepsi ilmiah (grand theory/ basic scientific)
Ranah terjadinya kerugian negara
Sebagai unsur dalam penanganan tindak pidana korupsi, kerugian negara memiliki peran yang relative penting. Dalam kenyataannya, tidak dapat dinyatakan terjadi perbuatan tindak pidana korupsi, sepanjang tidak dapat dibuktikan terjadinya kerugian negara. Oleh karena itu, pembuktian terjadinya kerugian negara dimaksud menjadi sangat penting dan seolah menjadi kata kunci (key point) dalam penanganan kasus korupsi.
Sementara itu, dari sudut substansi, kerugian negara itu sendiri hanyalah merupakan sebuah akibat. Oleh karena itu, per definisi, yang dimaksud dengan kerugian negara adalah merupakan kekurangan asset negara yang disebabkan karena perbuatan melawan hokum para pejabat pengelola keuangan negara ataupun pihak-pihak lain. Ini adalah merupakan definisi aktif. Sedangkan, dalam definisi pasif dinyatakan bahwa kerugian negara dimaksud merupakan akibat dari terjadinya kondisi darurat (force majeur).
Menilik kejadiannya, perbuatan melawan hokum tersebut dapat terjadi di 2 (dua) ranah yang berbeda. Yaitu, ranah administrasi dan ranah non administrasi. 
Dalam hal ini, pengertian ‘administrasi’ lebih cenderung diartikan sebagai suatu proses tata kerja penyelenggaraan atau  sebagai suatu proses teknis. Dengan demikian, dalam hal keuangan negara perbuatan yang termasuk dalam ranah administrasi adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu proses penyelenggaraan pengelolaan keuangan negara atau merupakan tindakan terkait dengan teknis operasional pengelolaan keuangan negara.
Di dalam ranah administrasi, perbuatan dibedakan atas dasar pelaku. Yaitu, perbuatan yang dilakukan oleh pejabat pengelola keuangan negara yang bertindak sebagai administrator, dan pejabat pengelola keuangan negara yang bertindak selaku bendahara.
Pembedaan tersebut, bila diperhatikan, terkait dengan kewenangan lembaga peradilan di ranah administrasi dalam mengadili dan memutuskan perkara yang ditangani. Yaitu, Majelis Tuntutan Ganti Rugi pada Kementerian/ Lembaga sepanjang menyangkut para pejabat yang bertindak sebagai administartor, dan Majelis Tuntutan Perbendaharaan sepanjang menyangkut Bendahara.
Berbeda dengan perbuatan melawan hukum di ranah administrasi, perbuatan melawan hukum di ranah non administrasi dibedakan atas dasar sifat perbuatan itu sendiri. Yaitu, dibedakan dalam perbuatan yang bersifat perdata dan perbuatan yang bersifat pidana. Pembedaan dimaksud, seperti pula halnya di ranah administrasi, semata-mata dikaitkan dengan masalah kewenangan lembaga peradilan dalam menangani dan memutus perkara yang ditangani. Yaitu, untuk kasus-kasus yang masuk di ranah perdata ditangani oleh Majelis Hakim Perdata, sedangkan untuk kasus-kasus pidana, kini, ditangani oleh Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). 
Tiga aspek kerugian negara
Dalam konteks penanganan kasus korupsi yang merugikan negara terdapat 3 (tiga) aspek penting yang harus dipahami terkait dengan masalah kerugian negara tersebut, yaitu :

·         Pertama, siapa yang berhak menyatakan terjadinya kerugian negara;
·         Kedua, siapa yang berhak menghitung kerugian negara, dan
·         Ketiga, siapa yang berhak menetapkan kerugian negara.
Dalam sebuah rangkaian penyelidikan kasus, sebagaimana telah saya sampaikan dalam sebuah seminar bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 2007, bahwa kewenangan untuk menyatakan terjadinya kerugian negara adalah di tangan penyelidik atau penyidik. Kewenangan ini sangat penting artinya,   agar para penyidik memiliki keyakinan bahwa kasus yang ditanganinya benar-benar nyata dan dapat dibuktikan (on the right track).
Untuk itu, sejak awal proses penyelidikan, seyogyanya para penyelidik tersebut harus sudah didampingi oleh Ahli Hukum Keuangan Negara, mengingat hanya Ahli tersebut yang dapat memberikan analisis terhadap terjadi atau tidaknya kerugian negara, dan sekaligus memberikan arah ataupun formulasi dalam penghitungan kerugian negara nantinya.
Sementara itu, besaran kerugian negara itu sendiri  dapat dihitung oleh seorang Ahli yang memiliki kompetensi teknis di bidang audit atau yang lebih dikenal dengan nama Auditor. Artinya, secara prinsip, berdasarkan kompetensi teknis, besaran kerugian negara dimaksud dapat dihitung oleh setiap auditor. Namun demikian, mengingat bahwa disiplin Ilmu Keuangan Negara yang berada di ranah sektor public sangat berbeda dengan disiplin ilmu keuangan sektor privat, maka tidak semua auditor memiliki kompetensi melakukan penghitungan kerugian negara.
Oleh karena itu, kerugian negara hanya dapat dilakukan penghitungannya oleh auditor yang berkecimpung dalam pengelolaan keuangan negara. Yaitu, oleh para auditor pada BPK, para auditor BPKP, dan juga oleh para auditor yang bekerja pada Inspektorat di sebuah Kementerian/ Lembaga, dan bahkan oleh para auditor yang tergabung dalam instansi pengawas/ pemeriksa keuangan pada pemerintah daerah.
Sedangkan pertanyaan terakhir, yaitu siapa yang berhak menetapkan besaran kerugian negara dapat dijawab dengan mengacu pada penjelasan sebelumnya di bagian yang terdahulu. Yaitu, Majelis Hakim.
Pemilahan terhadap ranah terjadinya kerugian negara ke dalam ranah administrasi dan non administrasi, yang kemudian dilanjutkan ke dalam pengelompokan yang lebih rinci sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya, antara lain untuk memberikan kepastian bahwa putusan terhadap besaran kerugian negara harus dilakukan oleh sebuah Majelis yang berbeda sesuai dengan sifat ataupun kejadian itu sendiri.
BPK adalah juga sebuah lembaga quasi judiciare
Pernyataan bahwa kewenangan BPK dalam penghitungan kerugian negara adalah karena BPK merupakan sebuah lembaga konstitusional bukanlah sebuah pernyataan yang dapat  dibenarkan  dalam konteks ini.
Secara historis filiosofis kelahiran lembaga tersebut, yang di Indonesia kemudian dikenal dengan nama Badan Pemeriksa Keuangan, adalah merupakan konsekuensi logis dari hubungan antara rakyat, yang dalam hal ini diekspresikan sebagai lembaga legislative, dengan Pemerintah, sebagai lembaga eksekutif, khususnya dalam hal pertanggungjawaban terhadap penggunaan uang rakyat yang tercakup dalam dokumen Anggaran Negara (APBN).  
Peran strategis dalam lingkup ketatanegaraan itulah yang kemudian menempatkan BPK di Indonesia sebagai salah satu lembaga politik disamping lembaga legislative, lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif yang dikenal oleh konstitusi (UUD 45). Dalam konstelasi hubungan antar lembaga tinggi negara tersebut, di satu sisi, dan peran sebagai pemberi pendapat kepada lembaga legislative terhadap kegiatan pengelolaan keuangan negara yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah, di sisi lain, telah menempatkan BPK sebagai lembaga dengan orientasi dan pendekatan peran yang bersifat makro strategis.
Namun, di lain pihak, dalam interaksinya dengan lembaga eksekutif dalam perannya sebagai pemeriksa di dalam tata kelola keuangan negara, BPK memiliki kelengkapan atau organ dengan  kemampuan teknis pemeriksaan (audit). Kelengkapan teknis dimaksud untuk mendukung berbagai keputusan strategis yang diambil oleh BPK selaku lembaga politis. Selain itu, dalam interaksi tersebut, BPK juga memiliki peran sebagai lembaga peradilan.
Sebagaimana layaknya di negara asal lahirnya pemikiran tentang Hukum Keuangan Negara, yaitu Perancis, BPK pun mengemban tugas sebagai Lembaga Peradilan yang bersifat quasi judiciaire. Hal tersebut dapat dilihat dengan jelas dalam salah satu peran BPK yang diwarisi dari zaman kolonial Belanda yang ketika itu bernama Algemeine Reken Kamer (ARK). Sekedar untuk diketahui, bahwa Algemeine Reken Kamer (ARK) itu sendiri, baik yang berada di negeri Belanda maupun yang ada di Hindia Belanda (Indonesia pada masa penjajahan), merupakan turunan dari Cour des Comptes dalam sistem tata kelola keuangan negara Perancis.
Dalam perkembangannya, peran sebagai lembaga peradilan quasi dimaksud, diwujudkan dalam bentuk Majelis Tuntutan Perbendaharaan (Majelis TP). Majelis inilah yang pada kenyataannya memutuskan perkara-perkara terkait dengan pengelolaan uang dan barang yang dilakukan oleh Bendahara. yang terjadi di ranah administrasi Hukum Keuangan Negara. Yaitu, perkara-perkara di bidang pelaksanaan anggaran negara. Bukan di sisi politis Hukum Keuangan Negara, ataupun di ranah perdata maupun di ranah pidana. Putusan Majelis TP diambil dalam sebuah persidangan dengan mendasarkan pada Indische Comptabiliteits Wet 1925 (ICW 1925).
Sebagai lembaga peradilan quasi, BPK memiliki peran yang bersifat mandiri. Kemandirian tersebut diwujudkan  dalam bentuk kemampuan menyatakan terjadinya kerugian negara, kemampuan untuk melakukan tindakan penghitungan kerugian negara, dan yang terakhir, adalah kemampuan  untuk mengambil putusan tentang besaran kerugian negara dan cara pemulihannya.
Artinya, bahwa dalam proses penyelesaian perkara yang merugikan negara yang bersifat administrative tersebut BPK tidak memerlukan bantuan atau peran pihak lain. Seluruh rangkaian proses tersebut dilakukan secara internal. Baik dalam tahapan penyelidikan, penyidikan, maupun penghitungan  seluruhnya dilakukan oleh para auditornya. Sedangkan putusan dilakukan oleh sebuah Majelis yang ditunjuk dan ditetapkan oleh para anggota BPK.

                                                   Jayapura, 15 April 2019