RAISON d'ETRE

Pada suatu saat, pernah terbetik suatu keinginan dari berbagai pihak, terutama para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), agar lembaga legislatif di republik kita ini memiliki hak untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana halnya lembaga eksekutif.

Pada suatu saat lain, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terpaksa harus menginap di ’hotel prodeo’, karena oleh para penegak hukum di republik ini telah dinyatakan melakukan korupsi berjama’ah. Padahal, berbagai keputusan yang dituduhkan kepada para anggota dewan yang terhormat tersebut ternyata diputuskan bersama-sama lembaga eksekutif dalam suatu forum sakral dan dituangkan dalam dokumen resmi yang disebut dengan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kemudian, banyak pihak dipaksa untuk mengernyitkan keningnya ketika mengetahui seorang petinggi pemerintahan dan juga seorang pejabat suatu perusahaan negara yang bergerak di bidang perbankan dituduh telah merugikan keuangan negara, padahal masyarakat menyang-sikan bahwa uang tersebut memang uang Negara dalam arti sebenarnya.

Sementara itu, para birokrat di berbagai lembaga pemerintah merasa ragu dalam mengambil keputusan, ataupun bahkan menolak menduduki jabatan tertentu terkait dengan pengelolaan keuangan negara, karena kurang memahami berbagai konsep (baru) keuangan Negara, sehingga khawatir tertimpa musibah.

Di lain pihak, karena ilmu keuangan negara yang disoroti dari berbagai dimensi keilmuan kurang berkembang di Indonesia, para cerdik pandai merasa ragu memasuki wilayah keilmuan ini, dan hanya sekedar mencoba meraba-raba dan membuat tafsiran dari sudut pandang keilmuan yang dimilikinya.

Itulah kira-kira sebagian alasan dibukanya BLOG yang khusus untuk mendiskusikan masalah-masalah keuangan Negara di Indonesia.

Partisipasi semua pihak dalam mendiskusikan berbagai permasalahan keuangan negara di republik ini akan merupakan usaha bersama untuk melakukan studi tentang konsepsi keuangan negara dan memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat.

Perlu disampaikan bahwa konsep baru keuangan negara yang dikembangkan oleh para pemikir yang kemudian dituangkan dalam paket undang-undang bidang keuangan negara maupun ketentuan derivasi lainnya, memang belum dapat dikatakan sempurna.

Namun bagaimanapun, lahirnya paket undang-undang tersebut di atas merupakan kenyataan bahwa Indonesia kini telah memiliki sistem keuangan negara sendiri, sehingga terlepas dari berbagai pengaruh ketentuan keuangan kolonial yang antara lain bertahun 1800-an.

Oleh sebab itu, sudah selayaknya bila semua pihak memberi apresiasi dan berusaha memahami sebaik-baiknya, seperti ungkapan bahasa Prancis di bawah ini :

----SI ON A PAS CE QUE L’ON AIME, IL FAUT AIMER CE QUE L’ON A ---

Salam

(SS)

Catatan :

Dalam rangka memenuhi saran dan pendapat berbagai pihak, artikel dalam Blog ini dikategorikan dalam :

* RUBRIK, yaitu artikel yang ditulis sesuai dengan design topik yang telah ditetapkan dalam blog ini.

* INTERMEZZO, yaitu artikel yang membahas masalah-masalah keuangan negara yang bersifat actual.

* TANGGAPAN, yaitu artikel yang berisi respons terhadap pertanyaan atau komentar pembaca yang, karena sifatnya, perlu dijelaskan secara lebih detail.



- - - - - -



Wednesday, April 22, 2020


BEBERAPA ASPEK PENGELOLAAN KEKAYAAN NEGARA YANG DIPISAHKAN (BUMN)

DITINJAU DARI SUDUT HUKUM KEUANGAN NEGARA DI INDONESIA

(lanjutan)



B.    Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah


Satu hal yang harus diperhatikan oleh berbagai pihak, bahwa pada dasarnya pelaksanaan Anggaran Belanja Negara hanya dapat dilakukan melalui sebuah perikatan. Tidak peduli apa pun bentuknya. Perikatan dimaksud dapat berbentuk kontrak dengan pihak lain, perintah kerja, ataupun perjanjian utang-piutang. Namun, apa pun bentuknya, perikatan dimaksud hanyalah merupakan alat pemerintah sebagai pemicu lahirnya kewajiban pemerintah/ Negara. Dus,  semata mata hanya sebagai sarana atau alas pengeluaran negara. Perikatan dimaksud tidaklah serta merta menempatkan para pihak dalam kesetaraan kedudukan  , yaitu antara pemerintah dengan rekanan. Hal yang selama ini selalu diperjuangkan oleh berbagai pihak.

Secara formil, perikatan tersebut tentunya terikat pada kaidah-kaidah yang berlaku dalam hukum perjanjian, akan tetapi secara materiil, perikatan dimaksud harus tunduk pada kaidah-kaidah baku yang berlaku dalam Hukum Keuangan Negara. Oleh karena itu, sebagai contoh, hampir dapat dipastikan tidak akan pernah diketemukan adanya perikatan yang berdurasi satu tahun atau kurang yang dimulai pada suatu bulan tertentu dan berakhir pada bulan tertentu setelah bulan Desember pada tahun anggaran berjalan.

Mengapa demikian ?

Karena sesuai dengan azas periodisitas anggaran, Indonesia menetapkan periode anggaran yang dimulai pada bulan Januari hingga akhir Desember pada tahun yang sama. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pembayaran yang dilakukaan setelah berakhirnya tahun anggaran, yaitu pada akhir bulan Desember, tidak dapat dilakukan. Dan, kalaupun pembayarannya dipaksakan, pengeluaran dimaksud, menurut Hukum Keuangan Negara, dinyatakan sebagai pengeluaran yang bersifat illegal.

1)      Konsepsi dasar pengeluaran negara

Menurut Hukum Keuangan Negara, pemikiran utama yang harus dijadikan landasan bagi para pejabat / pengelola keuangan negara dalam melakukan tindakan pengeluaran negara adalah menghindarkan terjadinya kerugian negara.

Tindakan tersebut diawali dengan terjaminnya mekanisme saling uji (check and balance) diantara para pemegang kewenangan agar dapat dilaksanakan pengujian- pengujian yang harus dilakukan. Yaitu: pengujian dari aspek wet matigheid, recht matigheid dan doel matigheid
.
Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan pengujian wet matigheid pada prinsipnya adalah mempertanyakan dasar hukum pengeluaran negara yang akan dilakukan.


Konkritnya, pengujian  ini mempertanyakan  ketersediaan alokasi anggaran dalam UU APBN yang kemudian dituangkan dalam Dokumen pelaksanaan Anggaran (DIPA). Bila dicermati, pengujian dimaksud adalah merupakan operasionalisasi dari azas prealabel/ azas anterioritas yang menjadi kunci lembaga legislative dalam mengawasi kegiatan pemerintah yang tertuang dalam Political Control Tools. Yaitu, yang berupa Azas-azas Dasar dalam Pengelolaan Keuangan Negara (Golden Principles of the Government Budget).

Pengujian berikutnya adalah pengujian rechtmatigheid. Pengujian ini, pada hakekatnya mempertanyakan mengapa pihak ke tiga (rekanan)  melakukan penagihan kepada negara. Pengujian dimaksud, bila diperhatikan, ingin memastikan :

a. Pertama, adanya kesepakatan antara pemerintah dengan pihak ketiga, penyerahan barang/jasa yang diperjanjikan, dan besaran biaya/harga yang ditagih kan atas dasar perjanjian tersebut.

b. Kedua, bahwa didalam pengeluaran tersebut harus dipertimbangkan untuk dapat memperoleh barang / jasa dengan kualitas yang bagus dengan harga yang wajar

c.   Ketiga, bahwa pembayaran harus dilakukan pada saat barang telah diterima oleh negara.

Pengujian terakhir yang harus dilakukan adalah pengujian doelmatigheid. Pengujian ini, pada dasarnya, mempertanyakan kelayakan / tujuan penggunaan dana yang tersedia dalam anggaran belanja negara.

Dengan berbagai pengujian seperti tersebut di atas dipastikan akan dapat dihindarkan terjadinya kerugian Negara, dan penggunaan dana pemerintah dapat dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan. Atau dengan kata lain, akuntabilitas tindakan para pengelola keuangan Negara dapat diwujudkan sesuai dengan tata kelola pemerintahan yang baik (Good Government Governance).



1)      Teknik pengadaan barang dan jasa pemerintah

Sejalan dengan pemikiran bahwa didalam pengeluaran tersebut harus dipertimbangkan untuk dapat memperoleh barang / jasa dengan kualitas yang bagus dengan harga yang wajar, sehingga dapat dihindarkan terjadinya kerugian negara, secara prinsip,  setiap kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah harus dilakukan melalui system perbandingan antar para penyedia jasa. Sistem inilah yang kemudian dikenal dengan terminologi lelang.

Dalam praktek, system perbandingan antar penyedia jasa tersebut, mengalami berbagai variasi atau bahkan gradasi, karena adanya berbagai faktor yang mempengaruhinya. Misalnya, lahirnya pemikiran tentang lelang terbatas, pemilihan langsung, ataupun bahkan, karena keterbatasan penyedia jasa, kemudian muncul pemikiran tentang penunjukan langsung.

Bila dicermati, berbagai pemikiran yang dijadikan landasan pengeluaran negara, khususnya dalam rangka pengadaan barang dan jasa tersebut di atas, bukanlah merupakan monopoli pemerintah. Pemikiran tentang menghindarkan terjadinya kerugian, sehingga setiap pengeluaran harus efektif dan efisien adalah merupakan cara berfikir yang bersifat universal di bidang pengelolaan keuangan, baik pemerintah maupun swasta (korporasi).

Dalam hal ini, satu faktor yang perlu dicermati yang sangat berpengaruh dalam teknik pengadaan barang dan jasa antara pemerintah dan korporasi adalah adanya perbedaan pendekatan (approach) yang digunakan dalam pengelolaan birokrasi dan korporasi dalam menilai akuntaabilitas.

Kenyataan menunjukkan bahwa Pemerintah dalam pengelolaan institusinya yang bersifat birokratis lebih cenderung menggunakan  pendekatan proses (process based approach). Sesuai denga pendekatan tersebut, semua kegiatan yang dilakukan oleh para pejabat birokrasi harus mengikuti tata aturan yang telah dituangkan dalam ketentuan yang telah disusun sebagai panduan operasional, yang pada umumnya lebih dikenal dengan standar operasi tata kerja -SOTK (standard operating procedure-SOP). Sementara itu, dengan dilaksanakannya proses kegiatan tersebut dengan baik, maka diasumsikan akan memberikan hasil yang baik (optimal). Oleh karena itu, masalah hasil akhir tidak perlu diragukan lagi. 

Namun, salah satu kelemahan pendekatan model ini adalah bahwa pengadaan bartang dan jasa  akan membutuhkan waktu yang relatif lama.

Berbeda dengan institusi sektor pemerintah yang dikelola secara birokrasi, sektor swasta yang dikelola secara korporasi lebih cenderung menggunakan pendekatan atas dasar hasil (result based approach). Korporasi lebih memandang bagaimana caranya rencana yang telah ditata dengan baik dapat diwujudkan dengan cepat, dan memberikan hasil yang optimal.

Pertimbangan tersebut tentunya terkait dengan sifat korporasi yang membutuhkan langkah-langkah yang serba cepat dalam menghadapi persaingan di dunianya. Dalam hal ini, bukan berarti proses ataupun prosedur pelaksanaan kegiatan tersebut lantas diabaikan. Melainkan dilaksanakan secara fleksibel dan ditata sedemikian rupa menjadi lebih ringkas (accelerated), tanpa menghilangkan arti atau makna setiap langkah (step) yang seharusnya dilalui dalam prosedur yang seharusnya dilaksanakan.

Oleh karena itu, dalam pengadaan barang dan jasa, walaupun tentunya tidak diabaikan,  perusahaan-perusahaan swasta tidak menempatkan  proses pemilihan penyedia seperti layaknya pemerintah. Artinya, cara mereka melakukan pelelangan tidak harus dilakukan dalam bentuk formal melalui suatu proses yang berbelit dan terkesan rumit yang bisa memakan waktu relatif lebih lama.

Demikian juga, perusahaan-perusahaan swasta tidak terlalu terikat dengan prosedur yang telah dijadikan acuan. Mereka sangat fleksibel ketika menghadapi berbagai hambatan yang mungkin terjadi dalam suatu proses pengadaan.

Dari semua itu,  yang paling penting untuk diperhatikan adalah bahwa, di perusahaan-perusahaan swasta, kegiatan pengadaan barang dan jasa tersebut tidak mendorong lahirnya benturan kepentingan (conflict of interest) para pejabatnya. Yaitu, kepentingan yang melahirkan sebuah keinginan untuk memperoleh keuntungan pribadi dalam proses pengadaan tersebut.
    
Dari kenyataan di atas, bila dicermati, adalah  ternyata lebih diakibatkan oleh cara pandang terhadap pengertian akuntabilitas dalam kegiatan itu sendiri.  Dalam kaitan ini, sebagaimana telah dikemukakan di atas ternyata perusahaan-perusahaan di sektor swasta lebih melihat akuntabilitas pengadaan barang dan jasa tersebut dalam kaitannya dengan hasil (result). Bukan akuntabilitas terhadap proses pengadaan itu sendiri. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran, bahwa hasil dari pengadaan barang dan jasa tersebut sangat mudah dikuantifisir dengan melihat akibatnya terhadap keuntungan perusahaan secara keseluruhan. Hal yang tentunya tidak mudah atau bahkan hampir tidak mungkin dilakukan di sektor pemerintah. Hal itu karena adanya perbedaan sifat (nature) dan motif kegiatan atau misi yang sangat mendasar di antara keduanya.
    
Dalam kaitan ini, yang juga harus dipahami adalah bahwa ternyata pemikiran di atas di dasarkan pula pada kriteria ekonomis yang sangat erat hubungannya dengan kriteria efektifitas dan efisiensi  yang dalam hal ini terkait dengan biaya produksi. Maksudnya adalah, kendati barang dan jasa yang diadakan telah memenuhi kriteria dari sisi harga yang relatif murah, tetapi bila tidak memberikan kontribusi untuk menghasilkan produk secara efisien, pengadaan barang dan jasa dimaksud tidak memberikan manfaat ditinjau dari sisi kriteria ekonomis. Ini adalah sudut pandang yang menjadi perhatian para pengusaha di sektor swasta.

2)      Teknik pengadaan barang dan jasa pada BUMN/ BUMD

Dengan melihat kenyataan bahwa pada dasarnya BUMN ataupun BUMD adalah merupakan lembaga pengelola kekayaan yang dipisahkan yang dikelola secara korporatif, apa yang seharusnya dilakukan dalam pengadaan barang dan jasa ?

Dengan mengingat sifat institusi badan usaha milik negara ataupun milik daerah di mana berbagai keputusan dilakukan dengan pola korporatif, analisis terkait pengadaan barang dan jasa seharusnya dilakukan secara lebih mendalam seperti layaknya pada korporasi pada umumnya.

Dalam kaitan ini, tidak seperti halnya pada sektor pemerintah (birokrasi) yang hanya menilai keberhasilan pengadaan barang dan jasa tersebut dari ketepatan waktu dan kualitas barang dan jasa yang bagus dibandingkan dengan biaya yang wajar,  BUMN/ BUMD seharusnya juga melakukan analisis terhadap kontribusinya untuk menghasilkan produk secara efektif dan efisien,  sehingga menghasilkan peningkatan keuntungan. Konkritnya,  pengadaan barang dan jasa yang tidak memberikan manfaat untuk menghasilkan produk secara efektif dan efisien, bagi BUMN/ BUMD dipandang tidak memiliki nilai dari sisi ekonomis.

Dengan mencermati pemikiran yang dikemukakan di atas jelas bahwa, bila mengacu pada sifat (nature) kegiatan operasi dan motivasi institusi pada badan usaha milik negara ataupun badan usaha milik daerah, tidak seharusnya ketentuan terkait pengadaan barang dan jasa yang diperuntukkan bagi institusi pemerintah diperuntukkan pula bagi badan usaha milik negara (BUMN) maupun badan usaha milik daerah (BUMD).

Oleh sebab itu, dalam praktek diketemukan adanya ketentuan yang memberikan kelonggaran kepada badan usaha milik negara (BUMN) maupun badan usaha milik daerah (BUMD). untuk menyusun sendiri ketentuan terkait pengadaan barang dan jasa pada instansinya masing-masing. Oleh karena memang diperlukan adanya system operating prosedure (SOP) yang berbeda dibandingkan system yang berlaku bagi Pemerintah.
  
Namun demikian, aturan dimaksud harus pula mencermati makna yang terkandung dalam tujuan pendirian BUMN sebagaimana terkandung dalam UU tentang BUMN. Artinya, kendati BUMN diberikan kelonggaran untuk menyusun sendiri aturan tentang pengadaan barang dan jasa bagi instansinya masing-masing, bukanlah berarti bahwa BUMN dapat begitu saja mengadopsi berbagai pemikiran yang digunakan oleh korporasi di sektor swasta. Hal ini, tentunya termasuk pula BUMD.

Dalam kaitan ini haruslah diingat, bahwa sebebas-bebasnya BUMN maupun BUMD, sifat atau karakter pengelolanya tidaklah sepadan dengan pengelola korporasi di sektor swasta. Konkritnya, pengelola korporasi di sektor swasta pada hakekatnya adalah para pemilik yang memiliki sense of belonging yang lebih tingkatannya dibandingkan para pengelola BUMN ataupun BUMD. Ini adalah sebuah sikap yang mau- tidak mau harus diakui.

Pada akhirnya, dengan memperhatikan penjelasan di atas, pada prinsipnya, pemikiran dasar tentang konsep pengadaan barang dan jasa di sektor pemerintah ternyata juga digunakan sebagai landasan bagi korporasi. Bahkan, dengan ciri korporatif dengan motivasi untuk mencari keuntungan, kriteria ekonomis (efektif dan efisien) dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pada korporasi harus lebih menonjol. Inilah yang seharusnya dilaksanakan pada badan usaha milik negara maupun pada badan usaha milik daerah.


*
*        *




BEBERAPA ASPEK PENGELOLAAN KEKAYAAN NEGARA YANG DIPISAHKAN (BUMN)

DITINJAU DARI SUDUT HUKUM KEUANGAN NEGARA DI INDONESIA


Tanggapan

Dari segi substansi, paparan berikut  sudah seringkali 
diungkapkan dalam blog ini. 
Namun karena permintaan berbagai pihak, 
baik yang disampaikan secara langsung maupun melalui email,
dengan alasan dan tujuan tertentu,
beberapa materi disajikan dalam satu kesatuan
yang utuh, sehingga mudah
dipahami alur logikanya.

A.    Kedudukan BUMN Dalam Keuangan Negara

Secara filosofis, lahirnya institusi pemerintah yang kini dikenal dengan nama BUMN,  adalah karena kebutuhan masyarakat terhadap layanan pemerintah pada hakekatnya tidak seluruhnya dapat disediakan melalui system yang melibatkan lembaga-lembaga pemerintah yang bersifat structural dengan menggunakan mekanisme penetapan harga atas dasar non pasar (non market pricing mechanism).

Disamping itu, institusi BUMN tersebut ternyata diperlukan pula, mengingat adanya peran pemerintah dalam mendorong perkembangan perekonomian nasional melalui system distribusi dan stabilisasi. Di sisi lain, dari segi anggaran negara, pendirian BUMN juga diharapkan akan dapat dijadikan sumber penerimaan Negara.

Sejalan dengan pemikiran tersebut di atas, maka para penyusun undang-undang Keuangan Negara memasukkan unsur kekayaan negara yang dipisahkan, yang berada serta dikelola pada institusi BUMN tersebut sebagai unsur dari Keuangan Negara di Republik Indonesia.

Oleh karena itu, Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, membagi pengelolaan Keuangan Negara ke dalam tiga sub bidang, yaitu sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan.
Dengan demikian, uang Negara yang dipisahkan dan berada serta dikelola oleh BUMN termasuk dalam lingkup keuangan negara sebagaimana tertuang dalam penjelasan Undang-undang no. 17/ 2003 tentang Keuangan Negara, dan secara eksplisit selanjutnya dinyatakan dalam pasal 2 huruf g.


Berdasarkan hal-hal sebagaimana telah diuraikan di atas, dengan mendasarkan pada peran Negara dan motivasinya, Undang-undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara kemudian membedakan kekayaan yang dikelola ke dalam kekayaan Negara yang tidak dipisahkan dan kekayaan Negara yang dipisahkan.

Kekayaan Negara yang tidak dipisahkan merupakan kekayaan Negara yang dikelola oleh Negara selaku otoritas. Pengelolaan kekayaan yang tidak dipisahkan ini dilakukan melalui system APBN. Sedangkan kekayaan Negara yang dipisahkan dikelola oleh Negara dalam kapasitasnya selaku idividu dengan motivasi, antara lain mencari keuntungan, dengan pengelolaan yang dilakukan di luar system APBN.



Mengingat tata kelola dalam institusi pengelola kekayaan negara yang dipisahkan, yang dahulu dikenal dengan nama perusahaan negara, secara prinsip berbeda dengan tata kelola yang digunakan dalam institusi pemerintah pada umumnya yang bersifat birokratif, diperlukan adanya pengaturan tersendiri.

Itulah yang dijadikan dasar alasan mengapa tata kelola pada lembaga pengelola kekayaan negara yang dipisahkan tidak tunduk pada Undang-undang no. 17 tahun 2003 tentang Keuangan negara. Hal ini mengingat bahwa Undang-undang Keuangan Negara, secara khusus, hanya mengatur pengelolaan kekayaan Negara dalam lingkup bidang fiskal yang merupakan kekayaan Negara yang tidak dipisahkan.

Namun demikian, kendati dipisahkan pengelolaannya, kekayaan Negara yang dipisahkan dan dikelola oleh lembaga pengelola kekayaan negara yang dipisahkan (baca: BUMN), perkembangannya dilaporkan kepada lembaga legislative sebagai lampiran laporan keuangan pemerintah kepada lembaga legislative. Ditinjau dari segi makna, pelaporan kepada lembaga legislative dimaksud adalah untuk memberikan kesempatan kepada lembaga legislative memberikan penilaian atau untuk menilai apakah pengelolaan dimaksud telah sesuai dengan tujuan pembentukannya, yakni, terutama, mencari keuntungan, dan misi lainnya.



Atas dasar hal tersebut di atas, menyusul lahirnya Undang-undang Keuangan Negara pada tahun 2003, disusun pulalah undang-undang no. 19 tahun 2003, yaitu tentang Badan Usaha Milik Negara. Undang-undang inilah yang kemudian digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan Kekayaan Negara yang Dipisahkan.

Kendati tata kelola kekayaan negara yang dipisahkan, yang menganut pola korporatif, berbeda dengan tata kelola institusi pemerintah pada umumnya yang bersifat birokratif, pemikiran filosofis tentang keberadaan, dan peran institusi pengelola kekayaan negara yang dipisahkan tersebut dalam konstelasi kelembagaan keuangan negara tetap dipertahankan. Hal tersebut dapat dilihat sebagaimana dituangkan dalam pasal 2 Undang-undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, khususnya ayat 1 huruf a sampai dengan huruf e.



Dalam masalah pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan hal yang sangat penting untuk diperhatikan adalah, bahwa  mengacu pada pemikiran yang telah disampaikan di atas tentang kelahiran institusi pemerintah pengelola keuangan negara yang dipisahkan, dan juga mengacu pada konsepsi yang tertuang dalam UUD 45, badan usaha milik negara, pada prinsipnya, adalah milik rakyat.
Atas dasar hal tersebut, pola kelembagaan badan usaha milik negara, sebagai suatu entitas public (baca: pemerintah), memiliki pola yang unik.

Dengan status sebagai milik rakyat, kewenangan terhadap kepemilikan assetnya berada sepenuhnya di tangan rakyat. Dalam hal ini, pengertian rakyat adalah lembaga legislative, yang secara konstitusi merupakan lembaga yang mewakili rakyat. Namun untuk alasan praktis, dalam hal tertentu, kewenangan dimaksud dapat dilaksanakan oleh Presiden.

Oleh karena itu, sesuai dengan pemikiran tersebut, di dalam organisasi pengelolaan BUMN kemudian dikenal adanya dua kelompok manajemen (two tiers system). Yaitu, pertama, merupakan kelompok pemilik; kedua, merupakan kelompok pengelola teknis. Dalam kelompok pertama hanya terdiri dari satu unsur yaitu pemerintah; sedangkan dalam kelompok kedua terdiri dari dua unsur, yaitu:  Negara/ Pemerintah sebagai wakil pemilik, dan unsur pelaksana (agent). Yaitu, Dewan Komisaris dan Dewan Direksi.

Atas dasar pemikiran di atas, dalam sistem pengelolaan Keuangan Negara di Indonesia, khususnya untuk BUMN, kemudian dikenal adanya peran dua Menteri. Yaitu, Menteri Keuangan dalam kedudukannya selaku Bendahara Umum Negara, sebagai  pemilik, dan Menteri Negara BUMN sebagai pengendali teknis mewakili pemilik. Pola pemikiran seperti tersebut di atas, yang pada prinsipnya didasarkan pada konsepsi yang tertuang dalam UUD 45, dicerminkan dalam UU no. 19 tahun 2003 tentang BUMN.



Bagaimana pemikiran tersebut diimplementasikan dalam Pengelolaan Keuangan Daerah   ?

Secara teoritis, pemikiran dan konsepsi  Keuangan Daerah merupakan adopsi pemikiran dari konsepsi Keuangan Negara yang diterapkan dalam wilayah yang lebih kecil. Atas dasar, pemikiran dimaksud Undang-Undang Keuangan Negara tidak membedakan konsep pemikiran antara Keuangan Negara dan Keuangan Daerah. Hal tersebut dapat dilihat, antara lain, pemikiran tentang lembaga eksekutif, lembaga legislative dan peran masing-masing dalam pengelolaan keuangan negara dan dalam pengelolaan keuangan daerah.



Sejalan dengan pemikiran tersebut pemikiran konsepsional yang dijadikan landasan lahirnya lembaga pengelola kekayaan daerah yang dipisahkan, yaitu BUMD, dalam konteks pengelolaan Keuangan Daerah,  tentunya tidak berbeda dengan pemikiran konsepsional lahirnya lembaga pengelola kekayaan negara yang dipisahkan, dalam hal ini BUMN. Yaitu, bahwa kebutuhan masyarakat terhadap layanan pemerintah, pada hakekatnya, tidak seluruhnya dapat disediakan melalui system yang melibatkan lembaga-lembaga pemerintah yang bersifat structural dengan menggunakan mekanisme penetapan harga atas dasar non pasar (non market pricing mechanism). Disamping itu, diperlukan pula peran pemerintah dalam mendorong perkembangan perekonomian daerah melalui system distribusi dan stabilisasi, Di sisi lain, pendirian BUMD juga diharapkan akan merupakan sumber penerimaan Daerah.


B. Pengadaan Barang dan jasa........