PEMBUKTIAN UNSUR KERUGIAN NEGARA DAN PERHITUNGANNYA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
(INTERMEZZO).
INTRODUKSI
Bila diamati dari perkembangan usaha para pakar dalam menyusun undang-undang tentang pengelolaan keuangan negara di Republik Indonesia, perdebatan tentang cakupan/ lingkup keuangan negara di Indonesia telah berlangsung sangat lama, yaitu beberapa saat setelah Indonesia merdeka dengan dibentuknya Panitia Achmad Natanegara pada tahun 1945 yang bertugas menyusun RUU Keuangan Republik Indonesia (UKRI). Bahkan, ada suatu masa, diskusi para pakar hukum dan administrasi keuangan pada saat itu justru menghasilkan suatu kesepakatan untuk tidak saling bersepakat terhadap lingkup keuangan negara.
Saling ketidaksepakatan para pakar dalam masalah lingkup keuangan negara dimaksud, disamping menunjukkan bukti betapa luasnya dimensi keuangan negara, juga beragamnya aspek pendekatan keuangan negara sebagai suatu cabang keilmuan.
Hal tersebut di atas sebenarnya sudah sangat lama disadari oleh para ahli di negara Eropa tempat lahirnya keuangan negara sebagai suatu ilmu. Para ahli keuangan negara Prancis bahkan mengatakan bahwa Finance Publique est une science de carrefour, artinya suatu ilmu yang berada di persimpangan jalan. Persimpangan antara ilmu-ilmu politik, hukum, administrasi, ekonomi, aritmatik, statistik, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila ketidakluasan wawasan dalam memandang keuangan negara sebagai suatu ilmu akan menyebabkan debat berkepanjangan yang tidak menghasilkan suatu kesepahaman.
Lahirnya Undang-undang Keuangan Negara pada tahun 2003, yang diikuti dengan Undang-undang Perbendaharaan Negara dan Undang-undang Pemeriksaan Tanggungjawab Pengelolaan Keuangan Negara pada tahun 2004, memberikan cakrawala pandang yang lebih jelas terhadap keuangan negara di Indonesia. Dan sejak itulah lahir era baru dalam pengelolaan keuangan negara di Indonesia.
KONSEPSI DASAR KEUANGAN NEGARA
Diskusi tentang keuangan negara seharusnya dimulai dari negara sebagai subyek. Menurut para ahli keuangan klasik, dimana negara merupakan penyedia layanan dasar kepada masyarakat dalam bentuk pertahanan, kesehatan keadilan, pendidikan, dan pekerjaan umum lainnya, negara dipersepsikan sebagai pemegang kekuasaan (otoritas- authority) yang mendapat mandat dari rakyat dan harus membela kepentingan masyarakat (public interest).Pada era 1900-an, dimana negara memulai perannya yang cukup signifikan di bidang perekonomian, negara tidak lagi hanya dipandang sebagai otoritas. Seringkali, tindakan ataupun langkah-langkah pemerintah di bidang ekonomi melalui system pengeluarannya tidak dapat dibedakan lagi dengan individu pada umumnya.
Sejak saat itu, keuangan negara (terutama melalui segi pengeluarannya) mulai dilihat dari pendekatan sosio-ekonomis. Melalui serangkaian tindakan pengeluarannya, mulailah dibedakan peran negara sebagai otoritas, dan peran negara sebagai individu pada umumnya. Secara ringkas, kemudian dapat dilihat bahwa peran pemerintah sebagai otoritas selalu berorientasi kepada pemenuhan layanan publik yang dibiayai melalui sector perpajakan atau penerimaan lainnya. Oleh karena dibiayai melalui sector perpajakan, layanan tersebut diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat dalam bentuk barang kebutuhan umum (public goods). Sebaliknya, peran negara sebagai homo-economis selalu berorientasi kepada pemupukan keuntungan (profit motive).
Dalam kesehariannya, pelaksanaan kedua peran dimaksud dengan mudah dapat dibedakan. Secara teori, sebagai otoritas, kewenangan pemerintah dilakukan secara unilateral, karena didasarkan pada kepentingan publik. Sementara, sebagai individu, setiap tindakan terkait dengan pihak lain selalu dilakukan melalui perundingan yang bersifat bilateral.
Perbedaan peran tersebut kemudian berakibat pada penataan pola pengelolaan keuangan negara itu sendiri. Dengan mendasarkan pada kewajiban dan motif tindakan pemerintah, keuangan negara kemudian dibedakan antara keuangan yang ditujukan untuk kegiatan-kegiatan pemerintah dalam perannya sebagai otoritas dan pemerintah dalam perannya sebagai individu.
Sejak saat itu, dikenallah istilah kekayaan negara yang tidak dipisahkan, yaitu kekayaan negara yang digunakan untuk mendukung kegiatan pemerintah sebagai otoritas, dan kekayaan negara yang dipisahkan, yaitu kekayaan negara yang digunakan dalam rangka pelaksanaan peran selaku individu pada umumnya.Sesuai dengan tujuannya, kekayaan negara yang tidak dipisahkan harus dikelola sedemikian rupa, antara lain melalui suatu pembahasan untuk memperoleh persetujuan rakyat yang direpresentasikan oleh lembaga legislative. Oleh karena itulah, kekayaan negara yang tidak dipisahkan harus dikelola dalam suatu system APBN. Artinya, pengelolaan dimaksud harus dimulai dengan perencanaan oleh pemerintah, dibahas, dan kemudian disetujui oleh lembaga legislative. Untuk selanjutnya, dituangkan dalam undang-undang.
Oleh karena itu, dengan mengacu pada uraian diatas, pemahaman terhadap pasal 1 (1) Undang-undang Keuangan Negara yang memberikan definisi tentang Keuangan negara harus dilakukan secara utuh sesuai konteksnya dan landasan pemikiran yang melatarbelakangi kelahiran pasal dimaksud, dan dengan mengkaitkannya dengan pasal 2 dan pasal 7 maupun pasal-pasal terkait lainnya.
IMPLIKASI PERAN MELALUI PENDEKATAN SOSIO-EKONOMIS
Dengan adanya perbedaan tersebut, suatu tindakan pemerintah benar-benar harus dilihat secara cermat apakah dilakukan dalam kapasitasnya sebagai otoritas ataukah sebagai individu. Namun demikian, masyarakat pada umumnya tidak dapat dengan mudah membedakan kapan pemerintah bertindak sebagai otoritas, dan kapanbertindak sebagai individu.
Dengan mengacu pada uraian di atas, pembedaan tersebut dapat dengan mudah dilakukan sebagai berikut: Semua tindakan/ keputusan yang dilakukan oleh pemerintah melalui kementrian lembaga yang ditujukan untuk menyediakan layan kepada masyarakat merupakan tindakan pemerintah dalam kapasitasnya selaku otoritas. Dalam hal ini, semua tindakan tersebut dituangkan dalam suatu rencana kerja pemerintah dan dibiayai melalui APBN.Sedangkan tindakan pemerintah melalui organnya untuk tujuan ekonomis dengan motif keuntungan yang dilakukan oleh organ-organ pemerintah lainnya di luar kementrian/ lembaga merupakan tindakan pemerintah selaku individu. Dalam hal ini, semua tindakan tersebut tidak dituangkan dalam APBN melainkan dituangkan dalam dokumen tersendiri sesuai rezim yang berlaku pada umumnya, dalam hal ini misalnya Undang-undang BUMN atau lainnya.
Perbedaan peran negara tersebut di atas memiliki berbagai implikasi baik secara organisasi, administrasi, yuridis, maupun personnel.Dalam melakukan tindakan dalam kapasitasnya sebagai otoritas, pemerintah diwakili oleh para pejabatnya yang lebih dikenal dengan nama birokrat yang terikat dengan aturan yang berlaku dalam birokrasi. Segala tindakan didasarkan pada rule and regulation yang berlaku dalam birokrasi. Demikian pula pengertian efisiensi, efektifitas penggunaan dana memiliki ukuran tersendiri. Dalam hal ini, pengertian keuntungan lebih didasarkan pada arti manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat sebagai akibat layanan yang diberikan oleh pemerintah daripada nilai uang sebagai imbalan kepada pemerintah yang diterima dan dicatat dalam neraca pemerintah.
Dalam pemikiran seperti ini, seorang pejabat pemerintah tidak dapat dipersalahkan dalam melakukan suatu tindakan sepanjang tindakan tersebut telah sesuai dengan rule and regulation yang ada. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pemerintah tidak perlu memperhitungkan keuntungan maupun kerugian dalam arti uang dalam melaksanakan tindakannya.
Hal yang sebaliknya terjadi pada organ-organ pemerintah yang memerankan pemerintah sebagai individu yang memiliki motif mencari keuntungan. Contoh konkrit dalam hal ini adalah BUMN. BUMN dikelola oleh para professional yang bekerja dengan rule and regulation tertentu. Langkah usaha dalam bentuk mencari keuntungan in money term, tidak terbebas dari adanya risiko dalam bentuk kemungkinan menanggung kerugian. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tindakannya para professional selalu dihadapkan pada kemungkinan memperoleh keuntungan atau menderita kerugian. Kerugian yang terjadi dalam pengambilan keputusan professional tidak boleh dianggap sebagai suatu tindakan sengaja yang setara dengan melakukan financial fraud.
PENGERTIAN KERUGIAN NEGARA
Kewajiban negara untuk menyediakan layanan dasar kepada masyarakat sebagaimana dikemukakan di atas membawa konsekwensi pada lahirnya hak pemerintah untuk dapat memungut sejumlah dana secara paksa dari masyarakat yang kemudian dikenal dengan nama pajak. Atau bila direverse, hak pemerintah memungut pajak dikaitkan dengan kewajiban pemerintah untuk menyediakan layanan dasar kepada masyarakat.
Terkait dengan kewajiban tersebut, dalam pengelolaan keuangan negara pemerintah selalu berusaha menghindarkan terjadinya kekurangan kekayaan karena alasan apapun yang disebabkan kesalahan dalam pengelolaan oleh pejabatnya, agar pemerintah tetap dapat menyediakan layanan kepada masyarakat sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
Beranjak dari konsep dasar seperti tersebut di atas, dalam setiap kejadian kekurangan kekayaan negara, baik dalam bentuk uang maupun barang, yang kemudian dikenal dengan istilah kerugian negara, pemerintah hanya mewajibkan langkah-langkah pemulihan kemampuan keuangan negara, agar pemerintah tetap dapat memenuhi kewajibannya untuk menyediakan layanan kepada masyarakat.
Terkait dengan pandangan di atas, UU Keuangan Negara maupun UU Perbendaharaan Negara hanya menuntut agar semua kekayaan yang berkurang sebagai akibat kesalahan pengelolaan dipulihkan kembali.Namun demikian, dalam masalah kerugian negara tersebut harus dibedakan antara kerugian negara sebagai akibat kesalahan dalam pengelolaan, dan kerugian negara sebagai akibat tindakan kecurangan/ penyalahgunaan kewenangan pejabat pengelola keuangan (financial fraud).
Dalam hal yang terakhir ini, pemulihan terhadap kekayaan negara saja dirasakan tidak cukup adil. Tindakan kecurangan yang dapat menimbulkan kerugian negara dimaksud telah menghambat pemerintah untuk dapat melaksanakan kewajibannya. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan yang merugikan kepentingan umum ataupun bersifat melawan hukum. Atas dasar hal tersebut, tindakan curang yang merugikan keuangan negara disamping diwajibkan memulihkan kerugian yang terjadi masih pula dikenakan sanksi lain dalam bentuk sanksi administratif, perdata, ataupun pidana.
PENGHITUNGAN KERUGIAN NEGARA
Terjadinya kerugian negara dalam pengelolaan keuangan negara yang dilakukan oleh pejabat pengelola keuangan negara, sebagaimana dikemukakan di atas, dapat disebabkan karena ketidaksengajaan atau karena penyalahgunaan kewenangan (perbuatan melawan hukum).Kerugian negara sebagai akibat perbuatan melawan hukum itu sendiri dapat berupa berkurangnya sejumlah kekayaan (uang/ barang) yang berada dalam pengelolaan seorang pejabat pengelola keuangan atau dapat pula berupa tidak diterimanya sejumlah uang atau barang yang seharusnya menjadi hak negara.
Oleh karena kerugian negara dihitung atas dasar kenyataan yang ada atas hak pemerintah atau yang seharusnya menjadi hak pemerintah, besarnya kerugian negara dihitung dengan perhitungan yang sangat sederhana, yaitu membandingkan kekayaan yang menjadi hak negara dengan kekayaan yang hilang (berkurang) karena akibat pengelolaan ataupun perbuatan melawan hukum.
Untuk kerugian negara, misalnya dalam bentuk uang yang kurang distorkan ke Kas Negara yang dilakukan secara sengaja, formula tersebut harus lebih disempurnakan. Pertama, harus diperhatikan landasan hukum pemungutannya; kedua, cara menginformasikan; dan ketiga, besaran jumlah yang dipungut dari masyarakat. Setelah ketiga unsur tersebut diteliti, kemudian dengan menghitung banyaknya transaksi yang terjadi dalam suatu periode akan dihasilkan jumlah yang seharusnya diterima oleh negara.
PENETAPAN KERUGIAN NEGARA
Pada masa Hindia Belanda, kerugian negara dibedakan dalam kerugian negara yang terjadi sebagai akibat kelalaian ataupun kesengajaan pejabat sebagai pegawai negeri biasa, dan kerugian negara yang terjadi sebagai akibat kelalaian atau kesengajaan pegawai negeri dalam kedudukannya selaku bendahara (comptabel).
Kerugian negara yang terjadi sebagai akibat kelalaian/ kesengajaan pejabat dalam kapasitasnya sebagai pegawai negeri biasa cukup diputuskan oleh majelis yang terdiri dari unsur pimpinan di instansinya. Sementara itu, besarnya kerugian yang diakibatkan oleh pegawai negeri dalam kedudukannya selaku bendahara ditetapkan oleh Algemene Rekenkammer. Perlu diperhatikan dalam hal ini, bahwa Algemene Rekenkammer pada masa itu merupakan lembaga yang bersifat quasi judiciair, yang khusus mengadili rekening seperti halnya Cour des Comptes di Prancis.
Hingga saat ini, kendati Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak lagi merupakan lembaga peradilan yang bersifat quasi, kerugian negara yang diakibatkan oleh kelalaian atau tindakan kesengajaan seorang bendahara tetap ditetapkan oleh BPK. Sedangkan kerugian negara oleh pegawai lainnya yang bukan bendahara dilakukan oleh majelis di masing-masing instansi.
Dengan demikian, dari praktek yang terjadi selama ini dapat ditarik suatu kesimpulan yang ternyata tidak berbeda dengan prinsip dalam hukum keuangan negara yang menyatakan bahwa besarnya kerugian negara harus ditetapkan oleh suatu majelis (hakim) baik secara administrative maupun yudisial. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa kemampuan untuk menetapkan kerugian negara yang dimiliki oleh para anggota majelis tersebut merupakan kemampuan institusi, sehingga para anggota majelis pada hakekatnya secara individu tidak memliki kemampuan dimaksud, karena setiap keputusan hanya dilakukan untuk dan atas nama institusi, baik adminstratif maupun quasi judiciair.
SAKSI AHLI DALAM PENGADILAN KORUPSI
Kebutuhan terhadap seorang ahli dalam suatu persidangan pada umumnya, tidak terkecuali pada pengadilan TIPIKOR, terletak pada kemampuan memaparkan latar belakang filosofis bidang keilmuan yang dimilikinya, yang pada saat itu dijadikan uji materi dalam persidangan, disamping kemampuan analisisnya terhadap suatu kejadian terkait dengan bidang keahliannya.
Ahli semacam ini merupakan ahli yang diharapkan untuk mampu membantu para pihak dalam forum persidangan untuk mengklarifikasi permasalahan yang menjadi kunci pengambilan keputusan hakim. Mampu menunjukkan titik strategis di mana keputusan hakim akan diletakkan.
Ahli dalam kategori seperti ini, sejak awal terjadinya penyelidikan maupun penyidikan polisi/ kejaksaan harus sudah menjadi ‘penasehat’ untuk menguak misteri permasalahan yang sedang ditangani.Dalam suatu kasus korupsi, misalnya, seorang ahli (di bidang keuangan negara) dibutuhkan untuk meyakinkan bahwa memang telah terjadi suatu perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara.
Ahli dimaksud disamping mampu membuktikan terjadinya kerugian negara karena perbuatan melawan hukum seorang tersangka, juga harus mampu, bilamana diperlukan, menciptakan formula yang dapat membimbing penyidik untuk menetapkan besaran kerugian yang mungkin terjadi.
Selanjutnya, untuk memperoleh kepastian tentang besaran kerugian negara yang akan ditetapkan dalam tuntutan, penyidik kemudian dapat meminta bantuan seorang praktisi di bidang audit agar penghitungannya dapat dilakukan lebih cermat.
Dengan mengacu pada paradigma yang telah dikemukakan dalam uraian terdahulu, lembaga peradilan umum maupun peradilan korupsi, dalam menangani kasus-kasus tertentu terkait dengan kerugian negara, berwenang menetapkan besaran kerugian negara melalui keputusan majelis hakim. Dan tidak perlu menunggu keputusan pihak lain, karena tidak memiliki relevansi.
*
* *
1) Disampaikan dalam workshop yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 11 Desember 2007 di
No comments:
Post a Comment