Tinjauan Kritis Pelaksanaan Penyelesaian TuntutanGanti Kerugian oleh Majelis Tuntutan Ganti Rugimenurut Undang-Undang
Keuangan Negara
INTRODUKSI
Tugas pokok dan tanggung jawab Majelis Tuntutan Ganti
Rugi di tingkat Pemerintah Daerah pada hakekatnya adalah memutuskan dan
menetapkan kerugian (Pemerintah) Daerah atas dasar Laporan Hasil Pemeriksaan
(LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Ini adalah pendapat yang pada umumnya berkembang, bukan saja di dalam pemikiran
para pejabat di Pemerintahan daerah, akan tetapi juga para pejabat di
lingkungan Badan Pemeriksa Keuangan.
Oleh sebab itu, salah satu tolok ukur terselesaikannya
temuan BPK yang mengandung unsur kerugian daerah adalah berupa ditetapkannya
penggantian kerugian dimaksud kepada pegawai yang dianggap bersalah oleh Majelis
Tuntutan Ganti Rugi.
Bila demikian halnya, mengacu pada pandangan yang
selama ini berkembang, dapat dipersepsikan bahwa Majelis Tuntutan Ganti Rugi
hanyalah merupakan sebuah lembaga pelaksana (eksekutor) di tingkat Pemerintah
(daerah) yang bekerja atas dasar arahan/ rekomendasi (auditor) Badan Pemeriksa
Keuangan.
Pada kesempatan ini, dalam rangka memposisikan
kedudukan lembaga Tuntutan Ganti Rugi yang kini mulai dikembangkan di berbagai
tingkatan Pemerintah (Daerah), pandangan sebagaimana tersebut di atas perlu
diluruskan dengan melakukan kajian secara lebih komprehensif. Namun demikian,
bila dicermati, kajian yang komprehensif tersebut sebenarnya berakar dari satu
pertanyaan yang sifatnya mendasar yang
kemudian melahirkan berbagai pertanyaan turunan. Pertanyaan dasar tersebut
adalah : mengapa lembaga Tuntutan Ganti
Rugi tersebut perlu diadakan di tingkat Pemerintah, termasuk pada Pemerintah
Daerah ?
TATA KELOLA KEUANGAN
NEGARA SEBAGAI DASAR PIJAK
Kegiatan pengelolaan
Keuangan Negara, ditinjau dari aspek administratif , yaitu yang terkait dengan pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, secara prinsip dibedakan ke dalam dua
kelompok kegiatan dengan karakter yang berbeda. Yaitu, pertama, kelompok kegiatan
dalam rangka pengambilan keputusan; dan kedua, kelompok kegiatan yang berkaitan
dengan pembayaran.
Kelompok pertama, yang
dalam tata kelola keuangan Negara dikenal dengan kelompok kegiatan
(pengelolaan) administratif (administrative
beheer), terdiri dari tiga sub kegiatan. Sub kegiatan pertama merupakan
kegiatan pengambilan keputusan dalam rangka
pengeluaran Negara; sub kegiatan kedua berupa kegiatan verifikasi atau
pengujian dan pembebanan kepada alokasi anggaran yang tersedia; dan sub
kegiatan ketiga berupa kegiatan penerbitan surat perintah membayar.
Kelompok kedua, yang
dikenal dengan kelompok kegiatan pengelolaan kebendaharaan (comptabel beheer) terdiri dari dua sub kegiatan, yaitu sub
kegiatan verifikasi atau pengujian terhadap bukti tagihan, dan sub kegiatan
penerbitan surat perintah pembayaran.
Kendati dalam kelompok
kegiatan pengelolaan administratif dilakukan berbagai keputusan yang dapat
mengakibatkan terjadinya pengeluaran Negara, kelompok ini sama sekali tidak melakukan pengelolaan uang.
Pengelolaan uang dalam arti sebenarnya
dilakukan oleh kelompok kegiatan pengelolaan kebendaharaan.
Konsekuensi adanya
pengelompokan kegiatan dalam pengelolaan keuangan Negara tersebut, di satu
sisi, secara organisatoris menimbulkan
pula pengelompokan para pejabat pelaksana, di sisi lain. Oleh sebab itu,
kemudian dikenal kelompok Administrator, yaitu para pejabat yang melaksanakan
kegiatan pengelolaan di bidang administrasi keuangan, dan kelompok Bendahara,
yang merupakan kelompok pejabat yang melakukan kegiatan dalam bentuk
penerimaan, penyimpanan, dan pembayaran atau pengeluaran uang ataupun barang
milik Pemerintah.
Di masa lalu, pada zaman Hindia
Belanda, kegiatan maupun kewenangan kedua kelompok tersebut diatur secara
terpisah dalam ketentuan yang berbeda. Kegiatan dan kewenangan kelompok
Administrator diatur dalam ketentuan yang dikenal dengan nama Regelen voor
het Administratief Beheer (RAB) yang ditetapkan pada tahun 1933. Sementara
itu, kegiatan dan kewenangan kelompok Bendahara diatur dalam Indische
Comptabiliteits Wet (ICW) yang secara resmi ditetapkan pada tahun 1925,
khususnya dalam pasal 77.
Dalam ICW tersebut, tuntutan
kepada Bendahara yang dinyatakan telah melakukan perbuatan melanggar hukum yang
merugikan negara dilakukan atas dasar pasal 79 dan pasal-pasal selanjutnya.
Sementara itu, sekedar membedakan pegawai negeri pada umumnya dengan Bendahara,
dalam hal pengaturan tentang kewajiban mengganti kerugian negara diatur pula
terhadap pengawai negeri non Bendahara dalam pasal 74. Dalam pasal ini,
mengingat pengaturannya menyangkut semua pegawai negeri yang bukan dalam
kedudukannya selaku Bendahara, tentunya termasuk pula pejabat yang memiliki
kualifikasi sebagai Administrator.
BERKURANGNYA ASET NEGARA SEBAGAI
KERUGIAN NEGARA
Dalam pengelolaan Keuangan
Negara yang dilakukan oleh para pejabat Pemerintah atau pegawai negeri, tidak
tertutup kemungkinan terjadi kesalahan pengelolaan yang kemudian mengakibatkan
berkurangnya aset Pemerintah dalam bentuk uang ataupun barang. Kesalahan
pengelolaan dimaksud dapat terjadi baik pada kelompok kegiatan administratif
maupun pada kelompok kegiatan kebendaharaan. Sedangkan kesalahan itu sendiri
dapat disebabkan karena adanya unsur kesengajaan ataupun karena kelalaian dari
pejabat atau pegawai negeri yang diserahi tugas pengelolaan.
Suatu tindakan dinyatakan
sebagai kesengajaan bilamana pejabat yang bersangkutan nyata-nyata tidak
mematuhi ketentuan yang seharusnya dilakukan dalam tata kelola keuangan negara.
Dalam terminologi baku Hukum Administrasi Keuangan Negara, ketidakpatuhan
terhadap ketentuan tersebut dikenal dengan pelanggaran hukum.
Ketidakpatuhan tersebut dapat
berupa antara lain pengabaian (negligence) terhadap prosedur tata kelola
yang seharusnya diterapkan. Sebagai contoh konkrit, misalnya: diabaikannya
pengecekan perhitungan kembali jumlah tagihan kepada negara yang kemudian mengakibatkan
negara membayar lebih kepada pihak rekanan, tidak dilakukannya konfirmasi
kepada penerbit surat jaminan (Bank) yang di kemudian hari ternyata jaminan
tersebut palsu.
Sedangkan kelalaian,
sebagaimana dipahami secara umum mengandung unsur ketidaksengajaan. Yaitu
berupa perbuatan pelanggaran terhadap norma umum yang tidak tercantum secara
eksplisit dalam prosedur tata kelola baku pengelolaan Keuangan Negara. Dalam
hal ini, misalnya: perbuatan seorang Bendahara yang karena tergesa-gesa tidak
menutup pintu ruang tempat penyimpanan uang (kluis), sehingga
memudahkan pencuri melaksanakan niat
jahatnya, atau tindakan seorang pejabat yang memarkir kendaraan dinasnya di car
port rumahnya yang memudahkan seseorang untuk mencurinya.
Dalam penyelenggaraan kegiatan pengelolaan uang maupun barang yang dilakukan
oleh Bendahara, kekurangan perbendaharaan (comptabel tekort) baik dalam
bentuk uang kas ataupun barang persediaan dibandingkan catatan pembukuannya,
menurut kenyataannya, lebih merupakan tindakan kesengajaan.
Kekurangan aset negara
karena hal-hal tersebut di atas kemudian dinyatakan sebagai kerugian negara
yang merupakan akibat perbuatan pejabat atau pegawai negeri yang bersangkutan.
Oleh karena itu, pejabat atau pegawai negeri yang bersangkutan berkewajiban
mengganti atau memulihkan aset tersebut.
Dalam kenyataan,
berkurangnya aset Pemerintah tersebut tidak selalu disebabkan karena perbuatan
pejabat Pemerintah yang diserahi tugas pengelolaan. Kekurangan tersebut dapat pula
terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang bukan pegawai
negeri/ pejabat Pemerintah.
Terkait dengan itu, secara
skematis, kerugian negara kemudian dapat diilustrasikan sebagai berikut:
pertama, kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum atau
lalai pejabat Pemerintah atau pegawai negeri; kedua, kerugian negara yang
diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum atau lalai seseorang yang bukan dalam
kedudukannya selaku pejabat Pemerintah atau pegawai negeri. Selanjutnya, dalam
hal yang pertama, dibedakan dalam kerugian negara yang diakibatkan oleh
perbuatan melawan hukum atau lalai pejabat Pemerintah atau pegawai negeri dalam
kedudukannya bukan sebagai Bendahara dan pejabat Pemerintah atau pegawai negeri
dalam kedudukannya sebagai Bendahara.
MAJELIS PENYELESAIAN
KERUGIAN NEGARA
Perbuatan para pelaku
sebagaimana dikemukakan di atas, khususnya yang dilakukan oleh para pejabat Pemerintah
atau pegawai negeri, yang mengakibatkan kerugian negara tersebut, pada
hakekatnya, dilakukan dalam rangka melaksanakan tugas Pemerintahan di lingkup
Administrasi Negara. Oleh karena itu, sepanjang tidak diketemukan unsur pidana
dalam perbuatan tersebut, penyelesaian kerugian negara sebagai akibat perbuatan
para pejabat Pemerintah atau pegawai negeri dimaksud harus dilakukan dengan
mengikuti kaidah yang berlaku dalam Hukum Administrasi Negara.
Sementara itu,
penyelesaian kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan pihak tertentu,
yaitu selain pejabat Pemerintah atau pegawai negeri, karena terkait dengan
hubungan perdata dilakukan menurut kaidah hukum perdata.
Di tingkat administrasi Pemerintahan,
dengan mengacu pada pengelompokan pejabat atau pegawai negeri dengan
karakteristik tugas dan tanggungjawab yang berbeda satu dengan lainnya,
penyelesaian kerugian negara pun dilakukan secara berbeda pula. Dalam kaitan
ini, perbedaan bukan hanya terjadi di sisi sistem dan prosedur penyelesaiannya,
akan tetapi juga terkait dengan lembaga yang diberikan kewenangan untuk
menyelesaikan kerugian negara tersebut.
Dalam praktek, kemudian
dapat diketemukan dua jenis lembaga penyelesaian kerugian negara, yaitu:
pertama, untuk kelompok pegawai negeri
pada umumnya atau lebih dikenal dengan nama pegawai negeri non Bendahara, dan
yang kedua, untuk pegawai negeri yang memiliki status sebagai Bendahara.
Bila mengacu pada masa lalu, ketika zaman Hindia Belanda,
kerugian negara yang terjadi sebagai akibat kelalaian/ kesengajaan pejabat
dalam kapasitasnya sebagai pejabat Pemerintah atau pegawai negeri pada umumnya ditetapkan
oleh pimpinan di instansi (departemen) masing-masing atas dasar keputusan sebuah
Majelis. Sementara itu, kerugian yang
diakibatkan oleh pegawai negeri dalam kedudukannya selaku bendahara ditetapkan hanya
oleh Algemene Rekenkammer.
Dalam kaitan ini, perlu diperhatikan bahwa, baik Majelis
di departemen Pemerintahan maupun Algemene Rekenkammer pada masa itu, pada
hakekatnya, memilik kedudukan selaku peradilan administrasi atau merupakan
lembaga yang bersifat quasi judiciaire.
Hingga saat
ini, kendati Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak lagi terfokus pada
kedudukannya selaku lembaga peradilan yang bersifat quasi, kerugian negara yang
diakibatkan oleh kelalaian atau tindakan kesengajaan seorang bendahara tetap
diselesaikan oleh BPK.
MAJELIS TUNTUTAN GANTI
RUGI : konsep pemikiran dan implementasinya.
Praktek yang berlaku di masa lalu terkait lembaga tuntutan ganti rugi ternyata
tetap dipertahankan hingga kini. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam hal
lembaga penyelesaian kerugian negara yang kini ada untuk pegawai negeri pada
umumnya dan untuk Bendahara, kendati keduanya sama-sama merupakan peradilan
administratif adalah terdapatnya perbedaan mendasar di antara keduanya.
Perbedaan pertama terkait dengan status kelembagaan. Lembaga
penyelesaian kerugian negara khusus untuk pegawai negeri yang berstatus sebagai
Bendahara merupakan lembaga yang bersifat permanen. Lembaga tersebut adalah
Badan Pemeriksa Keuangan yang merupakan penjelmaan dari Algemene Rekenkamer
pada masa Hindia Belanda. Sementara itu, Lembaga penyelesaian kerugian negara
untuk pegawai negeri pada umumnya merupakan lembaga ad-hoc yang dibentuk
sesuai kebutuhan di setiap kementerian/ lembaga. Status kelembagaan tersebut,
selanjutnya berpengaruh pula terhadap kedudukan personalia yang duduk dalam
keanggotaan Majelis.
Perbedaan kedua, menyangkut proses pembuktian terjadinya kerugian
negara. Terkait dengan karakter tugas dan tanggungjawab para pegawai dengan
status sebagai Bendahara, proses penetapan kerugian negara –dalam proses
Tuntutan Perbendaharaan yang dilakukan oleh BPK -- dilakukan melalui sistem
pembuktian terbalik. Artinya, Pemerintah, sebagai pihak yang menderita
kerugian, tidak memiliki kewajiban untuk membuktikan bahwa telah terjadi
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang Bendahara yang dapat
merugikan negara; akan tetapi, sebaliknya Bendahara yang bersangkutan lah yang
harus membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan perbuatan melanggar hukum yang
dapat mengakibatkan kerugian negara.
Hal ini berbeda sekali dengan tuntutan kerugian negara yang dilakukan
oleh Pemerintah kepada para pejabat Pemerintah atau kepada pegawai negeri pada
umumnya. Dalam tuntutan ini, Pemerintah sebagai pihak penuntut berkewajiban
membuktikan bahwa telah terjadi perbuatan melanggar hukum yang berujung pada
terjadinya kerugian negara.
Oleh sebab itu, sebelum proses penuntutan dapat dimulai perlu dibuktikan
terlebih dahulu antara lain :
1. besarnya kerugian yang
diderita oleh Negara,
2. tingkat kesalahan atau
kelalaian pegawai yang akan dituntut, dan
3. hubungan sebab-akibat
antara kerugian Negara dengan perbuatan atau kelalaian pegawai yang
bersangkutan.
Dibalik perbedaan yang sangat mendasar antara keduanya, terdapat
kesamaan yang menunjukkan karakter independen sebagai suatu lembaga peradilan.
Dengan mendasarkan pada aksioma bahwa tuntutan terhadap penggantian kerugian
negara harus didasarkan pada hal yang bersifat pasti dan tidak dapat dilakukan
atas dasar sangkaan atau praduga, pembuktian terjadinya ‘perbuatan melanggar
hukum’, pada hakekatnya, tidak perlu menunggu keputusan hakim pidana pada
Pengadilan Negeri.
Oleh sebab itu, sepanjang menurut pemeriksaan yang dilakukan oleh atasan terhadap
pegawai negeri yang bersangkutan berdasarkan peraturan-peraturan administrasi,
ataupun hasil pemeriksaan pihak yang berwenang (BPK) dalam hal terkait dengan
Bendahara sudah dapat dibuktikan dengan jelas terjadinya kesalahan atau
kelalaian, yang secara langsung ataupun tidak langsung mengakibatkan terjadinya
kerugian negara, tuntutan terhadap kerugian negara dapat segera dilakukan.
Tanpa harus memperhatikan hasil pemeriksaan pihak kepolisian ataupun keputusan
hakim Pengadilan Negeri. Dan, keputusan lembaga tersebut memiliki kekuatan pelaksanaan ( executoriale kracht)
yang memiliki derajat sama dengan keputusan Pengadilan pada umumnya.
Bila diperhatikan, berbagai pemikiran konsepsional tentang masalah
tuntutan ganti rugi sebagaimana dikemukakan di atas, pada dasarnya, secara
keseluruhan diakomodasi oleh Undang-undang Bidang Keuangan Negara. Hal tersebut
dapat dilihat dengan jelas dari berbagai pengaturan yang tertuang dalam pasal-pasal
yang berkaitan dengan masalah kerugian negara, baik dalam Undang-undang No. 17
Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Undang-undang No. 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara, maupun dalam Undang-undang No.15 Tahun 2004 Tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.
Namun sayangnya, implementasi pemikiran konsep penyelenggaraan tuntutan
ganti rugi dimaksud dalam pelaksanaan, menurut pengamatan, masih jauh dari
memuaskan. Hal ini dapat dilihat bukan
saja, antara lain, dari keberadaan lembaga tuntutan ganti rugi (Majelis
Tuntutan Ganti Rugi) di berbagai kementerian/ lembaga di tingkat Pemerintah
Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah yang terkesan terabaikan, lembaga itu
sendiri pun cenderung kehilangan derajat kompetensi sebagai lembaga peradilan.
Hilangnya derajat kompetensi tersebut, bila dicermati, terutama
disebabkan karena faktor kompetensi sumber daya manusianya. Hal tersebut bukan saja di tingkat
operasional, tetapi juga di tingkat pengambil kebijakan.
Di tingkat kebijakan, rendahnya kompetensi tercermin dari lahirnya
berbagai keputusan yang kurang mampu
memberikan arah yang tegas tentang sikap dan peran lembaga tuntutan ganti rugi,
sehingga menimbulkan keraguan di sisi pelaksanaan.
Sementara itu, rendahnya kompetensi di tingkat operasional, dipicu
antara lain oleh kebijakan yang menggariskan bahwa pemilihan keanggotaan Majelis
lebih didasarkan pada kedudukan/ jabatan seseorang (ex-officio),
dibandingkan dengan kompetensinya, baik teknis maupun akademis, terutama dalam
bidang pengelolaan Keuangan Negara.
Pada gilirannya, kombinasi kedua hal tersebut mengakibatkan ketidakmampuan
lembaga penuntutan ganti rugi menghasilkan keputusan yang layak sesuai yang
seharusnya dilakukan. Sebagaimana diungkapkan di awal makalah ini, keputusan
yang dilakukan oleh Majelis hanya ‘melegitimasi’ rekomendasi BPK. Bila tidak,
berbagai keputusan yang seharusnya dilakukan oleh Majelis Tuntutan Ganti Rugi
justru menunggu hasil keputusan hakim di Pengadilan Negeri atau mengikuti hasil
penyidikan kepolisian. Padahal, sebenarnya sesuai kompetensi atau kewenangan,
hal tersebut tidak seharusnya dilakukan.
Makassar, 15 Maret 2013
*
* *
No comments:
Post a Comment