RAISON d'ETRE

Pada suatu saat, pernah terbetik suatu keinginan dari berbagai pihak, terutama para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), agar lembaga legislatif di republik kita ini memiliki hak untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana halnya lembaga eksekutif.

Pada suatu saat lain, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terpaksa harus menginap di ’hotel prodeo’, karena oleh para penegak hukum di republik ini telah dinyatakan melakukan korupsi berjama’ah. Padahal, berbagai keputusan yang dituduhkan kepada para anggota dewan yang terhormat tersebut ternyata diputuskan bersama-sama lembaga eksekutif dalam suatu forum sakral dan dituangkan dalam dokumen resmi yang disebut dengan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kemudian, banyak pihak dipaksa untuk mengernyitkan keningnya ketika mengetahui seorang petinggi pemerintahan dan juga seorang pejabat suatu perusahaan negara yang bergerak di bidang perbankan dituduh telah merugikan keuangan negara, padahal masyarakat menyang-sikan bahwa uang tersebut memang uang Negara dalam arti sebenarnya.

Sementara itu, para birokrat di berbagai lembaga pemerintah merasa ragu dalam mengambil keputusan, ataupun bahkan menolak menduduki jabatan tertentu terkait dengan pengelolaan keuangan negara, karena kurang memahami berbagai konsep (baru) keuangan Negara, sehingga khawatir tertimpa musibah.

Di lain pihak, karena ilmu keuangan negara yang disoroti dari berbagai dimensi keilmuan kurang berkembang di Indonesia, para cerdik pandai merasa ragu memasuki wilayah keilmuan ini, dan hanya sekedar mencoba meraba-raba dan membuat tafsiran dari sudut pandang keilmuan yang dimilikinya.

Itulah kira-kira sebagian alasan dibukanya BLOG yang khusus untuk mendiskusikan masalah-masalah keuangan Negara di Indonesia.

Partisipasi semua pihak dalam mendiskusikan berbagai permasalahan keuangan negara di republik ini akan merupakan usaha bersama untuk melakukan studi tentang konsepsi keuangan negara dan memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat.

Perlu disampaikan bahwa konsep baru keuangan negara yang dikembangkan oleh para pemikir yang kemudian dituangkan dalam paket undang-undang bidang keuangan negara maupun ketentuan derivasi lainnya, memang belum dapat dikatakan sempurna.

Namun bagaimanapun, lahirnya paket undang-undang tersebut di atas merupakan kenyataan bahwa Indonesia kini telah memiliki sistem keuangan negara sendiri, sehingga terlepas dari berbagai pengaruh ketentuan keuangan kolonial yang antara lain bertahun 1800-an.

Oleh sebab itu, sudah selayaknya bila semua pihak memberi apresiasi dan berusaha memahami sebaik-baiknya, seperti ungkapan bahasa Prancis di bawah ini :

----SI ON A PAS CE QUE L’ON AIME, IL FAUT AIMER CE QUE L’ON A ---

Salam

(SS)

Catatan :

Dalam rangka memenuhi saran dan pendapat berbagai pihak, artikel dalam Blog ini dikategorikan dalam :

* RUBRIK, yaitu artikel yang ditulis sesuai dengan design topik yang telah ditetapkan dalam blog ini.

* INTERMEZZO, yaitu artikel yang membahas masalah-masalah keuangan negara yang bersifat actual.

* TANGGAPAN, yaitu artikel yang berisi respons terhadap pertanyaan atau komentar pembaca yang, karena sifatnya, perlu dijelaskan secara lebih detail.



- - - - - -



Thursday, March 21, 2013



Tinjauan Kerugian Negara dari sudut
Undang-Undang Keuangan Negara dalam Penyelesaian Kasus Korupsi [1]
INTRODUKSI
Mengapa kasus korupsi harus selalu dikaitkan dengan terjadinya kerugian Negara ? Apakah tanpa didukung oleh adanya bukti bahwa telah terjadi kerugian negara, suatu kasus tidak dapat dinyatakan sebagai kasus korupsi ?

Pertanyaan tersebut diajukan oleh seorang peserta, yang kebetulan seorang penegak hukum, dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Palangka Raya beberapa waktu lalu.
Ketika menghadapi pertanyaan seperti itu,  terdapat dua kesan yang mungkin terkilas dalam pemikiran kita. Pertama, pertanyaan dimaksud diajukan oleh orang yang tidak memahami konteks korupsi sebagai suatu kasus, terutama dengan memperhatikan definisi korupsi. Kedua, pertanyaan dimaksud justru diajukan oleh seseorang dengan pemikiran yang jauh ke depan. Artinya, pemikiran yang mendorong agar  semua pihak tidak sekedar membatasi diri pada doktrin bahwa terjadinya korupsi hanya akan dikaitkan dengan terjadinya kerugian negara ?
Bila diperhatikan, sebenarnya hal tersebut adalah ajakan untuk berpikir dalam konteks yang lebih luas. Memang, semua itu sangat tergantung pada semua pihak, terutama ketika melihat kenyataan dalam masyarakat. Apakah akan menerapkan suatu definisi secara sempit, ataukah akan memperluas pengertian yang ada pada definisi tersebut untuk mengakomodasi kepentingan yang dianggap sangat penting yang berkembang di masyarakat.
KERUGIAN NEGARA SEBAGAI UNSUR KORUPSI
Dalam suatu kepustakaan tentang Pengelolaan Keuangan Negara, seorang ahli menyatakan bahwa … corruption is a mis-used of public fund…
Dari pernyataan tersebut terdapat dua unsur yang dapat digunakan sebagai acuan dalam mendefinisikan korupsi. Pertama adalah adanya public fund; kedua adalah adanya suatu keadaan/ akibat, yaitu mis-used. Dalam kaitan ini, yang dimaksud dengan publik fund adalah anggaran negara. Bukan ‘dana masyarakat’ sebagaimana berbagai pihak mengartikannya. Hal ini terkait dengan kedalaman makna dan akibat yang diderita oleh negara sebagai penanggungjawab kepentingan rakyat. Sedangkan kata ‘mis-used’ kemudian dapat diartikan secara harafiah  dengan penggunaan ‘secara salah’ yang kemudian dipertajam menjadi istilah ‘abuse’.
Dalam kepustakaan lain, yang diterbitkan pada awal kemerdekaan terkait dengan pengelolaan anggaran negara, dikutipkan pasal 74 Indische Comptabiliteits Wet (ICW) yang berbunyi sebagai berikut :
" semua pegawai negeri, yang dalam jabatannya dan dengan tidak komptabel untuk itu, oleh karena perbuatan2 yang bertentangan dengan hukum atau oleh karena melalaikan kewajiban yang harus dipenuhinya, langsung atau tidak langsung merugikan negara, adalah berkewajiban untuk mengganti kerugian itu “.
Dari pernyataan tersebut di atas tampak dengan jelas bahwa perbuatan melawan hukum yang merugikan negara terjadi dalam pengelolaan anggaran negara. Dus, dengan demikian, dari kedua pernyataan di atas, dapat ditarik sebuah simpulan bahwa korupsi selalu dikaitkan dengan ketersediaan dana dalam anggaran negara, yang kemudian dipergunakan secara tidak sesuai dengan ketentuan.
Bila demikian halnya, korupsi hanya dapat terjadi dalam lingkup pelaksanaan anggaran negara. Atau, secara spesifik dalam bahasa Hukum Keuangan Negara, terjadi pada sisi Administratif dalam pengelolaan Keuangan Negara. Bukan pada sisi Politis pengelolaan Keuangan Negara. Yaitu, pada sisi ketika terjadi interaksi antara dua lembaga  politis,--eksekutif dan legislatif--, dalam rangka penyusunan dan penetapan anggaran dan belanja negara
.
Terkait dengan pengertian kerugian Negara tersebut, Undang-undang bidang Keuangan Negara, khususnya Undang-undang No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, menuangkan dalam suatu definisi yang kurang lebih berupa berkurangnya asset/ kekayaan Negara karena suatu perbuatan melanggar/ melawan hukum, lalai, ataupun karena force majeur.
Dalam kaitan dengan rumusan di atas, terdapat alternatif  penyebab berkurangnya asset/ kekayaan Negara. Pertama, berkurangnya asset/ kekayaan ini dapat terjadi karena uang yang seharusnya disetor, tidak disetor ke Kas Negara; atau karena kekayaan yang seharusnya menjadi milik Negara, beralih  menjadi milik pihak lain. Kedua, berkurangnya asset dapat pula terjadi, karena uang atau asset yang sudah menjadi milik/ hak Negara terlepas dari kepemilikan Negara.
Dalam perspektif kerugian Negara, kejadian berkurangnya asset tersebut di atas selalu dikaitkan dengan suatu perbuatan  melanggar/ melawan hukum para pengelola keuangan Negara, atau karena kelalaian mereka. Di luar perbuatan para pengelola keuangan Negara, kerugian Negara dapat pula terjadi karena berbagai sebab di luar kemampuan para pengelola.
Bila dicermati, kerugian Negara secara substansi adalah ekspresi atau perwujudan terjadinya selisih kurang. Yaitu, selisih kurang pada aset Negara dalam suatu pertanggungjawaban para pengelola keuangan Negara. Sementara itu, selisih kurang itu sendiri terjadi karena catatan dalam pembukuan aset tersebut ternyata lebih besar dibandingkan dengan keadaan nyata aset itu sendiri.     
MENGAPA HARUS DARI SUDUT PANDANG HUKUM KEUANGAN NEGARA  ?
Dalam berbagai kesempatan diskusi, pertanyaan seperti di atas selalu hangat diperdebatkan. Para ahli hukum cenderung berpendapat bahwa masalah korupsi adalah masalah terkait dengan lingkup hukum pidana. Sementara itu, demi untuk mencari kebenaran, para ahli hukum selalu menekankan bahwa tidak ada satu ketentuan pun yang mengharuskan  terfokus pada satu sudut pandang.
Padahal, sebenarnya harus dipahami oleh semua pihak – tentunya termasuk para ahli hukum – bahwa  masalah terjadinya perbuatan melawan hukum dan akibatnya (kerugian negara) berada di ranah Hukum Keuangan Negara yang memiliki kaidah tersendiri. Dikaitkannya masalah yang terjadi dalam pengelolaan keuangan negara ke dalam ranah  hukum, baik perdata maupun pidana, adalah masalah lain.
Oleh karena itu, sesuai dengan azas proporsionalitas, sudah selayaknya bahwa masalah-masalah yang terkait dengan Keuangan Negara harus ditinjau dan dianalisis dari sudut pandang Hukum Keuangan Negara.
Disamping itu, penggunaan sudut pandang dari disiplin ilmu lain, disamping akan menimbulkan efek tidak fokus atau bahkan bias, justru akan dapat berakibat pada hilangnya arti kebenaran dari permasalahan yang dibahas itu sendiri.
Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini suatu kasus yang pernah terjadi, yaitu tentang penempatan uang APBD pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) oleh seorang Bupati (Kepala Daerah). Oleh karena suatu alasan tertentu, BPR tersebut secara hukum dinyatakan pailit. Apakah keadaan pailitnya BPR  tersebut telah menimbulkan kerugian Negara/ Daerah ?  Bagaimana hal tersebut dilihat dari berbagai sudut pandang ? Ini adalah sebuah kasus nyata yang dapat dijadikan contoh yang sangat baik (excelence example).
Seorang ahli Hukum Administrasi Negara yang dihadirkan oleh pengacara, menjelaskan dalam persidangan bahwa keputusan Bupati tersebut ditinjau dari sudut hukum Administrasi Negara, khususnya terkait dengan kewenangan Kepala Daerah tidak ada yang salah. Menurut si Ahli,  hal tersebut bahkan dapat dibaca dengan jelas dalam salah satu pasal dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara yang menyatakan bahwa penempatan uang Daerah di Bank merupakan kewenangan Kepala Daerah. Tambahan lagi tindakan dimaksud sudah sejalan dengan hak dan kewenangan seorang Kepala Daerah menurut ketentuan.
Belum lagi ditambah dengan kebijakan yang dilakukan yang sejalan dengan tugas dan fungsinya selaku Kepala Daerah dalam bentuk keputusan Bupati yang konon begitu populis. Yaitu dengan cara mendedikasikan hasil bunga yang diperoleh untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya di bidang pendidikan. Itu sebabnya keputusan Bupati tersebut, ditinjau dari sudut Hukum Administrasi Negara, ketika menempatkan uang di BPR adalah sah, dan sama sekali tidak mengandung kesalahan. Bila demikian halnya, mengapa harus dipidanakan ?
Sementara itu, seorang ahli ekonomi dan juga ahli perbankan yang dihadirkan memberikan analisis yang hampir serupa dari sudut disiplin ilmunya masing-masing. Singkatnya, menurut sudut pandang ilmu ekonomi dan juga ilmu perbankan, bahwa penempatan uang Daerah di BPR yang kemudian dinyatakan pailit, belum atau tidak mengakibatkan kerugian Daerah.
Ditinjau dari sudut pandang kedua disiplin ilmu tersebut, kejadian itu hanya merubah bentuk aset Negara/ Daerah, yaitu dari bentuknya yang semula berupa uang kas menjadi piutang. Namun,  peristiwa kepailitan itu sendiri tidak mengakibatkan hilangnya aset negara yang kemudian menimbulkan kerugian Negara/ Daerah. Pandangan tersebut bahkan memperoleh penguatan dari sudut hukum perdata dengan adanya privilege terhadap Negara. Artinya, bahwa dengan hak privelege tersebut Negara akan mendapatkan pembayaran terlebih dahulu dibandingkan kreditor-kreditor lainnya.
Sedangkan, ditinjau dari sudut disiplin ilmu Akuntansi, kerugian negara/ daerah, dengan mengacu pada  konsep keuangan negara, berkurangnya aset/ uang negara dari kepemilikan negara/ daerah harus ditunjukkan dengan dihapuskannya aset itu sendiri dari pembukuan negara/ daerah. Oleh karena itu, sepanjang aset tersebut masih tercantum dalam neraca pemerintah/ daftar inventaris, dapat dinyatakan bahwa aset tersebut tidak berkurang.
Bila dicermati, dari sudut pandang tersebut terdapat dua alasan saling terkait yang dikemukakan. Pertama, uang dimaksud  belum benar-benar hilang dan masih tercatat dalam pembukuan sebagai asset yang masih dapat ditagih. Kedua, Pemerintah akan memperoleh hak privelege (hak mendahulu) dalam pelaksanaan tindak lanjut kepailitan Artinya, utang kepada pemerintah akan diselesaikan terlebih dahulu sebelum utang-utang lainnya.
Mendahulukan hak atau kepentingan Negara adalah kewajiban semua pihak.  Dan, ini dapat dibaca dalam berbagai ketentuan perundang-undangan. Tidak terkecuali perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan Negara.
Nah, ini adalah sebuah bangunan pernyataan yang tersusun rapi yang didasarkan dari sudut pandang disiplin ilmu di luar disiplin Ilmu Hukum Keuangan Negara.  Para Ahli yang dihadirkan, bila diperhatikan, telah menyampaikan pandangan atas dasar   keahlian yang dimilikinya. Dan, secara akademis, pandangan tersebut dapat diuji kebenarannya. Artinya, mereka telah menyampaikan pendapatnya sebenar-benarnya, tiada lain kecuali yang benar. Persis seperti sumpah yang mereka ucapkan di awal persidangan.
Padahal, pandangan dari sudut Hukum Keuangan Negara membuktikan hal yang lain yang secara substansi berlawanan. Dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip anterioritas, anualitas, dan spesialitas, alokasi anggaran yang dipersiapkan untuk tujuan sebagaimana dituangkan dalam APBD, jelas telah kehilangan manfaat yang sudah ditetapkan. Dari sudut pandang Hukum Keuangan Negara, hilangnya aset (dalam hal ini, uang) Daerah tersebut, secara nyata dapat dilihat dari ketidakmampuan Pemerintah merealisasikan/ membiayai kegiatan yang telah direncanakan dan dituangkan dalam APBD, karena ketidaktersediaan pendanaan.
KEUANGAN NEGARA SEBAGAI PERSPEKTIF
Sebagai sebuah perspektif, Keuangan Negara mendasarkan dirinya pada suatu pernyataan yang kemudian dijadikan kata kunci (key word), yaitu bahwa yang dimaksud dengan Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinyatakan dalam bentuk uang.
Pernyataan dimaksud, bila dicermati, mengandung empat unsur, yaitu: subyek (SIAPA), obyek (APA), tujuan (UNTUK APA), dan tata kelola (BAGAIMANA). Artinya, bila Keuangan Negara akan digunakan sebagai suatu perspektif dalam melakukan analisis terhadap suatu kasus tindak pidana korupsi, empat unsur dimaksud harus dijadikan acuan secara keseluruhan.
Sebagaimana dituangkan dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2004 Tentang Keuangan Negara, subyek yang melakukan pengelolaan keuangan negara adalah Pemerintah. Namun demikian, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan Pemerintah ? Apakah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau semua instansi dengan karakter pemerintah ? Bagaimana dengan BUMN, BUMD, BHMN, atau yang sejenisnya. Semua itu harus mampu dijawab dengan jelas sebelum suatu keputusan benar-benar diambil.
Undang-undang Keuangan Negara membedakan Pemerintah sebagai Otoritas dan Pemerintah sebagai Individu. Peran Pemerintah sebagai Otoritas  direpresentasikan oleh Kementerian/ Lembaga. Sedangkan peran Pemerintah sebagai Individu direpresentasikan oleh BUMN.
Dari pemikiran inilah kemudian lahir terminologi Kekayaan Negara Yang Tidak Dipisahkan, yang artinya dikelola oleh Kementerian/ Lembaga, dan Kekayaan Negara Yang Dipisahkan yang berarti kekayaan yang dikelola oleh BUMN atau lembaga sejenisnya.
Unsur yang mempertanyakan tentang APA, yang merupakan obyek Keuangan Negara yang dikelola oleh subyek (Pemerintah) baik dalam perannya selaku Otoritas maupun sebagai Individu pada hakekatnya tidak berbeda. Yaitu: semua hak (aset) dan kewajiban (liability) yang merupakan semua unsur yang ada dalam Neraca.
Sedangkan motif atau tujuan kegiatan Pemerintah terlihat dengan jelas terkait dengan perannya. Artinya, ketika Pemerintah merupakan Otoritas fokus kegiatannya terarah pada penyediaan layanan yang dibutuhkan oleh masyarakat luas (public service). Oleh sebab itu, semua kegiatan kementerian/ lembaga bila dicermati merupakan cerminan usaha pemerintah dalam menyediakan layanan kepada masyarakat. Dan yang perlu diperhatikan adalah bahwa penyediaan layanan tersebut, pada prinsipnya tidak dipungut bayaran, karena dibiayai melalui sektor perpajakan.
Hal tersebut berbeda ketika Pemerintah berperan sebagai Individu.  Sebagaimana layaknya individu, Pemerintah, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh BUMN, lebih memfokuskan dirinya untuk mencari keuntungan (profit oriented).
Unsur yang terakhir terkait dengan tata kelola. Dalam hal ini ketika Pemerintah berperan sebagai Otoritas, pengelolaan obyek untuk mencapai tujuan yang telah ditetpkan dilakukan melalui sistem APBN. Sedangkan dalam perannya selaku Individu, pengelolaan obyeknya tidak dilakukan melalui sistem APBN, melainkan melalui suatu sistem sebagaimana layaknya individu/ korporasi pada umumnya.
Dalam kaitan ini, yang perlu diperhatikan adalah bahwa pengertian dikelola melalui sistem APBN adalah dikelola dengan melibatkan dua lembaga politik negara (eksekutif dan legislatif), dituangkan dalam dokumen politik (UU APBN), serta dilaksanakan menurut kaidah baku dalam pengelolaan keuangan negara.
Pengujian dengan menggunakan unsur dimaksud, akan dapat diperoleh kepastian apakah suatu kasus merupakan kasus yang merugikan negara, dus merupakan kasus korupsi, ataukah merupakan kasus pidana biasa.
Kerugian yang diderita oleh Negara dalam perannya selaku otoritas akan memiliki dampak langsung yang sangat luas, yaitu kepada rakyat. Misalnya, tindakan dalam menggelapkan dana-dana yang ditujukan untuk kepentingan pertahanan dan keamanan, pendidikan, kesehatan, dlsb yang pada hakekatnya dikelola oleh kementrian/ lembaga akan menurunkan kemampuan pemerintah dalam memberikan layanan kepada masyarakat yang secara langsung akan berakibat terhadap penderitaan masyarakat. Pemikiran inilah yang kemudian dijadikan alas dalam penindakan kasus penggelapan atas asset Negara yang kemudian lebih dikenal sebagai kasus korupsi.
Yang menarik adalah bila kasus kerugian terjadi dalam pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan (BUMN). Kerugian Pemerintah dalam perannya selaku Individu tersebut  tidak selalu merupakan kerugian Negara sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang Keuangan Negara. Kerugian dalam pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan harus dipandang sebagai suatu akibat tindakan professional dalam mencapai tujuan, yaitu mencari keuntungan.
Oleh karena itu, kerugian yang terjadi dalam pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan akan merugikan individu, yaitu perusahaan yang kebetulan pemiliknya adalah Negara. Kerugian dimaksud akan menurunkan kemampuan usahanya dalam mencari keuntungan. Penilaian terhadap tindakan yang merugikan dimaksud harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip profesionalitas yang berlaku.
Namun demikian, kerugian yang terjadi dalam pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan dapat merupakan kerugian Negara sebagaimana dimaksudkan oleh Undang-undang Keuangan Negara. Yaitu, bilamana kerugian dimaksud terjadi bukan karena keputusan atau kebijakan dalam pelaksanakan tujuan, melainkan karena tindakan melawan hukum lain, misalnya karena kecurangan dan kelalaian dalam pengelolaan keuangan (financial fraude), termasuk pengelolaan asset yang dapat dinilai dengan uang.
BAGAIMANA MENGHITUNG KERUGIAN NEGARA ?
Dari perspektif Keuangan Negara, penghitungan kerugian dilakukan dengan cara yang sangat sederhana. Beranjak dari sifat kerugian negara yang nyata dan pasti, perhitungan kerugian negara dibuat atas dasar berkurangnya aset negara.
Berkurangnya aset tersebut dapat terjadi antara lain karena uang yang seharusnya disetor, tidak disetor; kekayaan yang seharusnya menjadi milik Negara, tidak menjadi milik Negara; atau dapat juga antara lain, karena uang yang berada di kas Negara berkurang secara melanggar/ melawan hukum; atau aset yang menjadi milik Negara terlepas dari kepemilikan Negara secara melanggar/ melawan hukum.
Sifat nyata dan pasti dari kerugian negara dimaksud mengharuskan perhitungan dilakukan dengan menggunakan real cost based. Oleh karena itu, perhitungan kerugian negara tidak dilakukan dengan menggunakan asumsi yang berujung pada diperolehnya jumlah kerugian atas dasar opportunity.
Satu hal lain yang juga sngat penting dalam masalah penghitungan kerugian negara adalah penerapan azas manfaat. Seringkali azas tersebut tidak digunakan sebagaimana mestinya, sehingga menghasilkan perhitungan yang bias. Dalam konteks keuangan negara, penggunaan azas manfaat selalu dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai ketika suatu alokasi ditetapkan dalam UU APBN. Jadi bukan karena pertimbangan bahwa pada kenyataannya barang atau jasa telah diberikan oleh rekanan, walaupun tidak sesuai dengan tujuan pengalokasian dana dalam APBN.
                                                     Lampung, 20 Maret 2013.
*
*        *







[1] Disampaikan dalam diskusi panel bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Agung (MA) dalam Seminar yang bertajuk ‘TIPIKOR DAN KERUGIAN NEGARA DALAM PERSPEKTIF KEUANGAN NEGARA’ yang diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kanwil Propinsi Lampung pada tanggal 20 Maret 2013 di Sheraton Hotel, Bandar Lampung.

Friday, March 15, 2013


Tinjauan Kritis Pelaksanaan Penyelesaian TuntutanGanti Kerugian oleh Majelis Tuntutan Ganti Rugimenurut Undang-Undang Keuangan Negara [1]



INTRODUKSI

Tugas pokok dan tanggung jawab Majelis Tuntutan Ganti Rugi di tingkat Pemerintah Daerah pada hakekatnya adalah memutuskan dan menetapkan kerugian (Pemerintah) Daerah atas dasar Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ini adalah pendapat yang pada umumnya berkembang, bukan saja di dalam pemikiran para pejabat di Pemerintahan daerah, akan tetapi juga para pejabat di lingkungan Badan Pemeriksa Keuangan.

Oleh sebab itu, salah satu tolok ukur terselesaikannya temuan BPK yang mengandung unsur kerugian daerah adalah berupa ditetapkannya penggantian kerugian dimaksud kepada pegawai yang dianggap bersalah oleh Majelis Tuntutan Ganti Rugi.

Bila demikian halnya, mengacu pada pandangan yang selama ini berkembang, dapat dipersepsikan bahwa Majelis Tuntutan Ganti Rugi hanyalah merupakan sebuah lembaga pelaksana (eksekutor) di tingkat Pemerintah (daerah) yang bekerja atas dasar arahan/ rekomendasi (auditor) Badan Pemeriksa Keuangan.

Pada kesempatan ini, dalam rangka memposisikan kedudukan lembaga Tuntutan Ganti Rugi yang kini mulai dikembangkan di berbagai tingkatan Pemerintah (Daerah), pandangan sebagaimana tersebut di atas perlu diluruskan dengan melakukan kajian secara lebih komprehensif. Namun demikian, bila dicermati, kajian yang komprehensif tersebut sebenarnya berakar dari satu pertanyaan  yang sifatnya mendasar yang kemudian melahirkan berbagai pertanyaan turunan. Pertanyaan dasar tersebut adalah :  mengapa lembaga Tuntutan Ganti Rugi tersebut perlu diadakan di tingkat Pemerintah, termasuk pada Pemerintah Daerah ?

TATA KELOLA KEUANGAN NEGARA SEBAGAI DASAR PIJAK

Kegiatan pengelolaan Keuangan Negara, ditinjau dari aspek administratif  , yaitu yang terkait dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, secara prinsip dibedakan ke dalam dua kelompok kegiatan dengan karakter yang berbeda. Yaitu, pertama, kelompok kegiatan dalam rangka pengambilan keputusan; dan kedua, kelompok kegiatan yang berkaitan dengan pembayaran.

Kelompok pertama, yang dalam tata kelola keuangan Negara dikenal dengan kelompok kegiatan (pengelolaan) administratif (administrative beheer), terdiri dari tiga sub kegiatan. Sub kegiatan pertama merupakan kegiatan pengambilan keputusan dalam rangka  pengeluaran Negara; sub kegiatan kedua berupa kegiatan verifikasi atau pengujian dan pembebanan kepada alokasi anggaran yang tersedia; dan sub kegiatan ketiga berupa kegiatan penerbitan surat perintah membayar.

Kelompok kedua, yang dikenal dengan kelompok kegiatan pengelolaan kebendaharaan (comptabel beheer) terdiri dari dua sub kegiatan, yaitu sub kegiatan verifikasi atau pengujian terhadap bukti tagihan, dan sub kegiatan penerbitan surat perintah pembayaran.

Kendati dalam kelompok kegiatan pengelolaan administratif dilakukan berbagai keputusan yang dapat mengakibatkan terjadinya pengeluaran Negara, kelompok ini  sama sekali tidak melakukan pengelolaan uang. Pengelolaan uang dalam  arti sebenarnya dilakukan oleh kelompok kegiatan pengelolaan kebendaharaan.

Konsekuensi adanya pengelompokan kegiatan dalam pengelolaan keuangan Negara tersebut, di satu sisi,  secara organisatoris menimbulkan pula pengelompokan para pejabat pelaksana, di sisi lain. Oleh sebab itu, kemudian dikenal kelompok Administrator, yaitu para pejabat yang melaksanakan kegiatan pengelolaan di bidang administrasi keuangan, dan kelompok Bendahara, yang merupakan kelompok pejabat yang melakukan kegiatan dalam bentuk penerimaan, penyimpanan, dan pembayaran atau pengeluaran uang ataupun barang milik Pemerintah.

Di masa lalu, pada zaman Hindia Belanda, kegiatan maupun kewenangan kedua kelompok tersebut diatur secara terpisah dalam ketentuan yang berbeda. Kegiatan dan kewenangan kelompok Administrator diatur dalam ketentuan yang dikenal dengan nama Regelen voor het Administratief Beheer (RAB) yang ditetapkan pada tahun 1933. Sementara itu, kegiatan dan kewenangan kelompok Bendahara diatur dalam Indische Comptabiliteits Wet (ICW) yang secara resmi ditetapkan pada tahun 1925, khususnya dalam pasal 77.

Dalam ICW tersebut, tuntutan kepada Bendahara yang dinyatakan telah melakukan perbuatan melanggar hukum yang merugikan negara dilakukan atas dasar pasal 79 dan pasal-pasal selanjutnya. Sementara itu, sekedar membedakan pegawai negeri pada umumnya dengan Bendahara, dalam hal pengaturan tentang kewajiban mengganti kerugian negara diatur pula terhadap pengawai negeri non Bendahara dalam pasal 74. Dalam pasal ini, mengingat pengaturannya menyangkut semua pegawai negeri yang bukan dalam kedudukannya selaku Bendahara, tentunya termasuk pula pejabat yang memiliki kualifikasi sebagai Administrator.

BERKURANGNYA ASET NEGARA SEBAGAI KERUGIAN NEGARA

Dalam pengelolaan Keuangan Negara yang dilakukan oleh para pejabat Pemerintah atau pegawai negeri, tidak tertutup kemungkinan terjadi kesalahan pengelolaan yang kemudian mengakibatkan berkurangnya aset Pemerintah dalam bentuk uang ataupun barang. Kesalahan pengelolaan dimaksud dapat terjadi baik pada kelompok kegiatan administratif maupun pada kelompok kegiatan kebendaharaan. Sedangkan kesalahan itu sendiri dapat disebabkan karena adanya unsur kesengajaan ataupun karena kelalaian dari pejabat atau pegawai negeri yang diserahi tugas pengelolaan.

Suatu tindakan dinyatakan sebagai kesengajaan bilamana pejabat yang bersangkutan nyata-nyata tidak mematuhi ketentuan yang seharusnya dilakukan dalam tata kelola keuangan negara. Dalam terminologi baku Hukum Administrasi Keuangan Negara, ketidakpatuhan terhadap ketentuan tersebut dikenal dengan pelanggaran hukum.

Ketidakpatuhan tersebut dapat berupa antara lain pengabaian (negligence) terhadap prosedur tata kelola yang seharusnya diterapkan. Sebagai contoh konkrit, misalnya: diabaikannya pengecekan perhitungan kembali jumlah tagihan kepada negara yang kemudian mengakibatkan negara membayar lebih kepada pihak rekanan, tidak dilakukannya konfirmasi kepada penerbit surat jaminan (Bank) yang di kemudian hari ternyata jaminan tersebut palsu.

Sedangkan kelalaian, sebagaimana dipahami secara umum mengandung unsur ketidaksengajaan. Yaitu berupa perbuatan pelanggaran terhadap norma umum yang tidak tercantum secara eksplisit dalam prosedur tata kelola baku pengelolaan Keuangan Negara. Dalam hal ini, misalnya: perbuatan seorang Bendahara yang karena tergesa-gesa tidak menutup pintu ruang tempat penyimpanan uang (kluis), sehingga memudahkan  pencuri melaksanakan niat jahatnya, atau tindakan seorang pejabat yang memarkir kendaraan dinasnya di car port rumahnya yang memudahkan seseorang untuk mencurinya.

Dalam penyelenggaraan kegiatan  pengelolaan uang maupun barang yang dilakukan oleh Bendahara, kekurangan perbendaharaan (comptabel tekort) baik dalam bentuk uang kas ataupun barang persediaan dibandingkan catatan pembukuannya, menurut kenyataannya, lebih merupakan tindakan kesengajaan.

Kekurangan aset negara karena hal-hal tersebut di atas kemudian dinyatakan sebagai kerugian negara yang merupakan akibat perbuatan pejabat atau pegawai negeri yang bersangkutan. Oleh karena itu, pejabat atau pegawai negeri yang bersangkutan berkewajiban mengganti atau memulihkan aset tersebut.

Dalam kenyataan, berkurangnya aset Pemerintah tersebut tidak selalu disebabkan karena perbuatan pejabat Pemerintah yang diserahi tugas pengelolaan. Kekurangan tersebut dapat pula terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang bukan pegawai negeri/ pejabat Pemerintah.

Terkait dengan itu, secara skematis, kerugian negara kemudian dapat diilustrasikan sebagai berikut: pertama, kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum atau lalai pejabat Pemerintah atau pegawai negeri; kedua, kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum atau lalai seseorang yang bukan dalam kedudukannya selaku pejabat Pemerintah atau pegawai negeri. Selanjutnya, dalam hal yang pertama, dibedakan dalam kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum atau lalai pejabat Pemerintah atau pegawai negeri dalam kedudukannya bukan sebagai Bendahara dan pejabat Pemerintah atau pegawai negeri dalam kedudukannya sebagai Bendahara.

MAJELIS PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA

Perbuatan para pelaku sebagaimana dikemukakan di atas, khususnya yang dilakukan oleh para pejabat Pemerintah atau pegawai negeri, yang mengakibatkan kerugian negara tersebut, pada hakekatnya, dilakukan dalam rangka melaksanakan tugas Pemerintahan di lingkup Administrasi Negara. Oleh karena itu, sepanjang tidak diketemukan unsur pidana dalam perbuatan tersebut, penyelesaian kerugian negara sebagai akibat perbuatan para pejabat Pemerintah atau pegawai negeri dimaksud harus dilakukan dengan mengikuti kaidah yang berlaku dalam Hukum Administrasi Negara.

Sementara itu, penyelesaian kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan pihak tertentu, yaitu selain pejabat Pemerintah atau pegawai negeri, karena terkait dengan hubungan perdata dilakukan menurut kaidah hukum perdata.

Di tingkat administrasi Pemerintahan, dengan mengacu pada pengelompokan pejabat atau pegawai negeri dengan karakteristik tugas dan tanggungjawab yang berbeda satu dengan lainnya, penyelesaian kerugian negara pun dilakukan secara berbeda pula. Dalam kaitan ini, perbedaan bukan hanya terjadi di sisi sistem dan prosedur penyelesaiannya, akan tetapi juga terkait dengan lembaga yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan kerugian negara tersebut.

Dalam praktek, kemudian dapat diketemukan dua jenis lembaga penyelesaian kerugian negara, yaitu: pertama, untuk kelompok   pegawai negeri pada umumnya atau lebih dikenal dengan nama pegawai negeri non Bendahara, dan yang kedua, untuk pegawai negeri yang memiliki status sebagai Bendahara.

Bila mengacu pada masa lalu, ketika zaman Hindia Belanda, kerugian negara yang terjadi sebagai akibat kelalaian/ kesengajaan pejabat dalam kapasitasnya sebagai pejabat Pemerintah atau pegawai negeri pada umumnya ditetapkan oleh pimpinan di instansi (departemen) masing-masing atas dasar keputusan sebuah Majelis. Sementara itu, kerugian yang diakibatkan oleh pegawai negeri dalam kedudukannya selaku bendahara ditetapkan hanya oleh Algemene Rekenkammer.

Dalam kaitan ini, perlu diperhatikan bahwa, baik Majelis di departemen Pemerintahan maupun Algemene Rekenkammer pada masa itu, pada hakekatnya, memilik kedudukan selaku peradilan administrasi atau merupakan lembaga yang bersifat quasi judiciaire.

Hingga saat ini, kendati Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak lagi terfokus pada kedudukannya selaku lembaga peradilan yang bersifat quasi, kerugian negara yang diakibatkan oleh kelalaian atau tindakan kesengajaan seorang bendahara tetap diselesaikan oleh BPK.

MAJELIS TUNTUTAN GANTI RUGI : konsep pemikiran dan implementasinya.

Praktek yang berlaku di masa lalu terkait lembaga tuntutan ganti rugi ternyata tetap dipertahankan hingga kini. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam hal lembaga penyelesaian kerugian negara yang kini ada untuk pegawai negeri pada umumnya dan untuk Bendahara, kendati keduanya sama-sama merupakan peradilan administratif adalah terdapatnya perbedaan mendasar di antara keduanya.

Perbedaan pertama terkait dengan status kelembagaan. Lembaga penyelesaian kerugian negara khusus untuk pegawai negeri yang berstatus sebagai Bendahara merupakan lembaga yang bersifat permanen. Lembaga tersebut adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang merupakan penjelmaan dari Algemene Rekenkamer pada masa Hindia Belanda. Sementara itu, Lembaga penyelesaian kerugian negara untuk pegawai negeri pada umumnya merupakan lembaga ad-hoc yang dibentuk sesuai kebutuhan di setiap kementerian/ lembaga. Status kelembagaan tersebut, selanjutnya berpengaruh pula terhadap kedudukan personalia yang duduk dalam keanggotaan Majelis.

Perbedaan kedua, menyangkut proses pembuktian terjadinya kerugian negara. Terkait dengan karakter tugas dan tanggungjawab para pegawai dengan status sebagai Bendahara, proses penetapan kerugian negara –dalam proses Tuntutan Perbendaharaan yang dilakukan oleh BPK -- dilakukan melalui sistem pembuktian terbalik. Artinya, Pemerintah, sebagai pihak yang menderita kerugian, tidak memiliki kewajiban untuk membuktikan bahwa telah terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang Bendahara yang dapat merugikan negara; akan tetapi, sebaliknya Bendahara yang bersangkutan lah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan perbuatan melanggar hukum yang dapat mengakibatkan kerugian negara.
  
Hal ini berbeda sekali dengan tuntutan kerugian negara yang dilakukan oleh Pemerintah kepada para pejabat Pemerintah atau kepada pegawai negeri pada umumnya. Dalam tuntutan ini, Pemerintah sebagai pihak penuntut berkewajiban membuktikan bahwa telah terjadi perbuatan melanggar hukum yang berujung pada terjadinya kerugian negara.

Oleh sebab itu, sebelum proses penuntutan dapat dimulai perlu dibuktikan terlebih dahulu antara lain :
1.   besarnya kerugian yang diderita oleh Negara,
2.   tingkat kesalahan atau kelalaian pegawai yang akan dituntut, dan
3.   hubungan sebab-akibat antara kerugian Negara dengan perbuatan atau kelalaian pegawai yang bersangkutan.

Dibalik perbedaan yang sangat mendasar antara keduanya, terdapat kesamaan yang menunjukkan karakter independen sebagai suatu lembaga peradilan. Dengan mendasarkan pada aksioma bahwa tuntutan terhadap penggantian kerugian negara harus didasarkan pada hal yang bersifat pasti dan tidak dapat dilakukan atas dasar sangkaan atau praduga, pembuktian terjadinya ‘perbuatan melanggar hukum’, pada hakekatnya, tidak perlu menunggu keputusan hakim pidana pada Pengadilan Negeri.

Oleh sebab itu, sepanjang menurut pemeriksaan yang dilakukan oleh atasan terhadap pegawai negeri yang bersangkutan berdasarkan peraturan-peraturan administrasi, ataupun hasil pemeriksaan pihak yang berwenang (BPK) dalam hal terkait dengan Bendahara sudah dapat dibuktikan dengan jelas terjadinya kesalahan atau kelalaian, yang secara langsung ataupun tidak langsung mengakibatkan terjadinya kerugian negara, tuntutan terhadap kerugian negara dapat segera dilakukan. Tanpa harus memperhatikan hasil pemeriksaan pihak kepolisian ataupun keputusan hakim Pengadilan Negeri. Dan,  keputusan lembaga tersebut memiliki kekuatan pelaksanaan ( executoriale kracht) yang memiliki derajat sama dengan keputusan Pengadilan pada umumnya.

Bila diperhatikan, berbagai pemikiran konsepsional tentang masalah tuntutan ganti rugi sebagaimana dikemukakan di atas, pada dasarnya, secara keseluruhan diakomodasi oleh Undang-undang Bidang Keuangan Negara. Hal tersebut dapat dilihat dengan jelas dari berbagai pengaturan yang tertuang dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan masalah kerugian negara, baik dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Undang-undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, maupun dalam Undang-undang No.15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.

Namun sayangnya, implementasi pemikiran konsep penyelenggaraan tuntutan ganti rugi dimaksud dalam pelaksanaan, menurut pengamatan, masih jauh dari memuaskan.  Hal ini dapat dilihat bukan saja, antara lain, dari keberadaan lembaga tuntutan ganti rugi (Majelis Tuntutan Ganti Rugi) di berbagai kementerian/ lembaga di tingkat Pemerintah Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah yang terkesan terabaikan, lembaga itu sendiri pun cenderung kehilangan derajat kompetensi sebagai lembaga peradilan.

Hilangnya derajat kompetensi tersebut, bila dicermati, terutama disebabkan karena faktor kompetensi sumber daya manusianya.  Hal tersebut bukan saja di tingkat operasional, tetapi juga di tingkat pengambil kebijakan.

Di tingkat kebijakan, rendahnya kompetensi tercermin dari lahirnya berbagai keputusan yang  kurang mampu memberikan arah yang tegas tentang sikap dan peran lembaga tuntutan ganti rugi, sehingga menimbulkan keraguan di sisi pelaksanaan.

Sementara itu, rendahnya kompetensi di tingkat operasional, dipicu antara lain oleh kebijakan yang menggariskan bahwa pemilihan keanggotaan Majelis lebih didasarkan pada kedudukan/ jabatan seseorang (ex-officio), dibandingkan dengan kompetensinya, baik teknis maupun akademis, terutama dalam bidang pengelolaan Keuangan Negara.

Pada gilirannya, kombinasi kedua hal tersebut mengakibatkan ketidakmampuan lembaga penuntutan ganti rugi menghasilkan keputusan yang layak sesuai yang seharusnya dilakukan. Sebagaimana diungkapkan di awal makalah ini, keputusan yang dilakukan oleh Majelis hanya ‘melegitimasi’ rekomendasi BPK. Bila tidak, berbagai keputusan yang seharusnya dilakukan oleh Majelis Tuntutan Ganti Rugi justru menunggu hasil keputusan hakim di Pengadilan Negeri atau mengikuti hasil penyidikan kepolisian. Padahal, sebenarnya sesuai kompetensi atau kewenangan, hal tersebut tidak seharusnya dilakukan.

                                                                                                                                              Makassar, 15 Maret 2013


*

*       *




[1]  Disampaikan dalam Diskusi Panel bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Regional Sulawesi  dengan Tema :  ‘ Peningkatan Kompetensi di bidang Manajerial Keuangan Aparatur Pemda guna Meminimalkan Terjadinya Korupsi’ yang diselenggarakan oleh Universitas Patria Artha tanggal 15 Maret 2009 di Hotel Sahid Jaya, Makassar.