PENGHITUNGAN
KERUGIAN NEGARA: PERAN BPK
DAN BPKP
Akhir-akhir ini penanganan kasus korupsi dihadapkan pada sebuah tantangan baru.
Mempertentangkan kewenangan BPK dan BPKP dalam penghitungan kerugian negara
dijadikan modus
untuk dapat terhindar
dari kasus korupsi.
Kini, para pelaku
korupsi membawa pertentangan tersebut
ke hadapan Majelis
Hakim Tata Usaha Negara sebagai upaya untuk menggagalkan usaha para penyidik
membawa mereka ke hadapan Majelis Hakim Tipikor.
Tulisan di bawah
ini merupakan 'catatan' yang disampaikan
kepada Majelis Hakim
Tata Usaha Negara sebagai
pendapat Ahli dalam
persidangan.
Intro
Benarkah Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan lembaga
yang paling berhak menghitung kerugian negara dibandingkan dengan Badan Pengawas Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) ataupun lembaga auditor Pemerintah
lainnya ? Ini adalah sebuah pertanyaan yang selalu diajukan oleh berbagai
pihak, khususnya, dalam penanganan kasus korupsi.
Dari pengalaman saya sebagai Ahli Hukum Keuangan Negara, yang
telah menjadi Ahli dalam ratusan kasus korupsi, baik yang
ditangani oleh KPK, Kejaksaan Agung maupun Mabes Polri beserta jajarannya di
seluruh Indonesia, pertanyaan tersebut ternyata bukan hanya ditanyakan oleh
para pengacara, akan tetapi juga di antaranya oleh para Majelis Hakim Yang
Mulia dalam berbagai persidangan. Pada kenyataannya,
pertanyaan di atas bukan saja diajukan oleh Majelis
Hakim Yang Mulia dalam
kasus pidana korupsi, melainkan juga dalam kasus perdata, maupun kasus dalam
hal sengketa administrasi negara (Tata Usaha Negara-TUN). Bahkan, dalam
beberapa kesempatan, juga dalam kasus terkait dengan pengujian undang-undang (judicial review) yang
ditangani oleh Mahkamah Konstitusi.
Terkait dengan itu,
penjelasan yang bersifat kontekstual yang didasarkan pada kaidah-kaidah baku
Hukum Keuangan Negara perlu kiranya disampaikan untuk memberikan pemahaman
kepada berbagai pihak agar terhindar dari perdebatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara keilmuan, karena tidak didasarkan pada konsepsi
ilmiah (grand
theory/ basic scientific)
Ranah terjadinya
kerugian negara
Sebagai unsur dalam
penanganan tindak pidana korupsi, kerugian negara memiliki peran yang relative
penting. Dalam kenyataannya, tidak dapat dinyatakan terjadi perbuatan tindak
pidana korupsi, sepanjang tidak dapat dibuktikan terjadinya kerugian negara.
Oleh karena itu, pembuktian terjadinya kerugian negara dimaksud menjadi sangat
penting dan seolah menjadi kata kunci (key point) dalam
penanganan kasus korupsi.
Sementara itu, dari
sudut substansi, kerugian negara itu sendiri hanyalah merupakan sebuah akibat.
Oleh karena itu, per definisi, yang dimaksud dengan kerugian negara adalah
merupakan kekurangan asset negara yang disebabkan karena perbuatan melawan
hokum para pejabat pengelola keuangan negara ataupun pihak-pihak lain. Ini
adalah merupakan definisi aktif. Sedangkan, dalam definisi pasif dinyatakan
bahwa kerugian negara dimaksud merupakan akibat dari terjadinya kondisi darurat (force majeur).
Menilik kejadiannya,
perbuatan melawan hokum tersebut dapat
terjadi di 2 (dua) ranah yang berbeda. Yaitu, ranah administrasi dan ranah non
administrasi.
Dalam hal
ini, pengertian
‘administrasi’ lebih cenderung diartikan sebagai suatu proses tata kerja penyelenggaraan
atau sebagai suatu proses teknis. Dengan demikian, dalam hal
keuangan negara perbuatan yang termasuk dalam ranah administrasi adalah
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu proses penyelenggaraan
pengelolaan keuangan negara atau merupakan tindakan terkait dengan teknis
operasional pengelolaan keuangan negara.
Di dalam
ranah administrasi, perbuatan dibedakan atas dasar pelaku. Yaitu, perbuatan
yang dilakukan oleh pejabat pengelola keuangan negara yang bertindak sebagai
administrator, dan pejabat pengelola keuangan negara yang bertindak selaku
bendahara.
Pembedaan
tersebut, bila diperhatikan, terkait dengan kewenangan lembaga peradilan di
ranah administrasi dalam mengadili dan memutuskan perkara yang ditangani.
Yaitu, Majelis Tuntutan Ganti Rugi pada Kementerian/ Lembaga sepanjang
menyangkut para pejabat yang bertindak sebagai administartor, dan Majelis
Tuntutan Perbendaharaan sepanjang menyangkut Bendahara.
Berbeda
dengan perbuatan melawan hukum di ranah administrasi, perbuatan melawan hukum
di ranah non administrasi dibedakan atas dasar sifat perbuatan itu sendiri.
Yaitu, dibedakan dalam perbuatan yang bersifat perdata dan perbuatan yang
bersifat pidana. Pembedaan dimaksud, seperti pula halnya di ranah administrasi,
semata-mata dikaitkan dengan masalah kewenangan lembaga peradilan dalam
menangani dan memutus perkara yang ditangani. Yaitu, untuk kasus-kasus yang
masuk di ranah perdata ditangani oleh Majelis Hakim Perdata, sedangkan untuk
kasus-kasus pidana, kini, ditangani oleh Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor).
Tiga
aspek kerugian negara
Dalam konteks
penanganan kasus korupsi yang merugikan negara terdapat 3 (tiga) aspek penting
yang harus dipahami terkait dengan masalah kerugian negara tersebut, yaitu :
· Pertama, siapa yang berhak
menyatakan terjadinya kerugian negara;
· Kedua, siapa yang
berhak menghitung kerugian negara, dan
· Ketiga, siapa yang
berhak menetapkan kerugian negara.
Dalam sebuah rangkaian
penyelidikan kasus, sebagaimana telah saya sampaikan dalam sebuah seminar
bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diselenggarakan di Jakarta pada
tahun 2007, bahwa kewenangan untuk menyatakan terjadinya kerugian negara adalah
di tangan penyelidik atau penyidik. Kewenangan ini sangat penting artinya, agar
para penyidik memiliki keyakinan bahwa kasus yang ditanganinya benar-benar
nyata dan dapat dibuktikan (on the right track).
Untuk itu, sejak awal
proses penyelidikan, seyogyanya para penyelidik tersebut harus sudah didampingi
oleh Ahli Hukum Keuangan Negara, mengingat hanya Ahli tersebut yang dapat
memberikan analisis terhadap terjadi atau tidaknya kerugian negara, dan
sekaligus memberikan arah ataupun formulasi dalam penghitungan kerugian negara
nantinya.
Sementara itu, besaran
kerugian negara itu sendiri dapat dihitung oleh seorang Ahli yang
memiliki kompetensi teknis di bidang audit atau yang lebih dikenal dengan nama
Auditor. Artinya, secara prinsip, berdasarkan kompetensi teknis, besaran
kerugian negara dimaksud dapat dihitung oleh setiap auditor. Namun demikian,
mengingat bahwa disiplin Ilmu Keuangan Negara yang berada di ranah sektor
public sangat berbeda dengan disiplin ilmu keuangan sektor privat, maka tidak
semua auditor memiliki kompetensi melakukan penghitungan kerugian negara.
Oleh karena itu, kerugian
negara hanya dapat dilakukan penghitungannya oleh auditor yang berkecimpung
dalam pengelolaan keuangan negara. Yaitu, oleh para auditor pada BPK, para
auditor BPKP, dan juga oleh para auditor yang bekerja pada Inspektorat di
sebuah Kementerian/ Lembaga, dan bahkan oleh para auditor yang tergabung dalam
instansi pengawas/ pemeriksa keuangan pada pemerintah daerah.
Sedangkan pertanyaan
terakhir, yaitu siapa yang berhak menetapkan besaran kerugian negara dapat
dijawab dengan mengacu pada penjelasan sebelumnya di bagian yang terdahulu.
Yaitu, Majelis Hakim.
Pemilahan terhadap
ranah terjadinya kerugian negara ke dalam ranah administrasi dan non
administrasi, yang kemudian dilanjutkan ke dalam pengelompokan yang lebih rinci
sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya, antara lain untuk
memberikan kepastian bahwa putusan terhadap besaran kerugian negara harus
dilakukan oleh sebuah Majelis yang berbeda sesuai dengan sifat ataupun kejadian
itu sendiri.
BPK adalah juga sebuah
lembaga quasi judiciare
Pernyataan bahwa
kewenangan BPK dalam penghitungan kerugian negara adalah karena BPK merupakan
sebuah lembaga konstitusional bukanlah sebuah
pernyataan yang dapat dibenarkan dalam konteks ini.
Secara historis
filiosofis kelahiran lembaga tersebut, yang di Indonesia kemudian dikenal
dengan nama Badan Pemeriksa Keuangan, adalah merupakan konsekuensi logis dari
hubungan antara rakyat, yang dalam hal ini diekspresikan sebagai lembaga
legislative, dengan Pemerintah, sebagai lembaga eksekutif, khususnya dalam hal
pertanggungjawaban terhadap penggunaan uang rakyat yang tercakup dalam dokumen
Anggaran Negara (APBN).
Peran strategis dalam
lingkup ketatanegaraan itulah yang kemudian menempatkan BPK di Indonesia
sebagai salah satu lembaga politik disamping lembaga legislative, lembaga
eksekutif, dan lembaga yudikatif yang dikenal oleh konstitusi (UUD 45). Dalam
konstelasi hubungan antar lembaga tinggi negara tersebut, di satu sisi, dan
peran sebagai pemberi pendapat kepada lembaga legislative terhadap kegiatan
pengelolaan keuangan negara yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah, di sisi
lain, telah menempatkan BPK sebagai lembaga dengan orientasi dan pendekatan
peran yang bersifat makro strategis.
Namun, di lain pihak,
dalam interaksinya dengan lembaga eksekutif dalam perannya sebagai pemeriksa di
dalam tata kelola keuangan negara, BPK memiliki kelengkapan atau organ dengan kemampuan
teknis pemeriksaan (audit). Kelengkapan teknis dimaksud untuk mendukung
berbagai keputusan strategis yang diambil oleh BPK selaku lembaga politis.
Selain itu, dalam interaksi tersebut, BPK juga memiliki peran sebagai lembaga
peradilan.
Sebagaimana layaknya di
negara asal lahirnya pemikiran tentang Hukum Keuangan Negara, yaitu Perancis,
BPK pun mengemban tugas sebagai Lembaga Peradilan yang bersifat quasi judiciaire.
Hal tersebut dapat dilihat dengan jelas dalam salah satu peran BPK yang diwarisi
dari zaman kolonial Belanda yang ketika itu bernama Algemeine Reken Kamer (ARK).
Sekedar untuk diketahui, bahwa Algemeine Reken Kamer (ARK)
itu sendiri, baik yang berada di negeri Belanda maupun yang ada di Hindia
Belanda (Indonesia pada masa penjajahan), merupakan turunan dari Cour des Comptes dalam
sistem tata kelola keuangan negara Perancis.
Dalam perkembangannya,
peran sebagai lembaga peradilan quasi dimaksud, diwujudkan dalam bentuk Majelis
Tuntutan Perbendaharaan (Majelis TP). Majelis inilah yang pada kenyataannya
memutuskan perkara-perkara terkait dengan pengelolaan uang dan barang yang
dilakukan oleh Bendahara. yang terjadi di ranah administrasi Hukum Keuangan
Negara. Yaitu, perkara-perkara di bidang pelaksanaan anggaran negara. Bukan di
sisi politis Hukum Keuangan Negara, ataupun di ranah perdata maupun di ranah
pidana. Putusan Majelis TP diambil dalam sebuah persidangan dengan mendasarkan
pada Indische
Comptabiliteits Wet 1925 (ICW 1925).
Sebagai lembaga
peradilan quasi, BPK memiliki peran yang bersifat mandiri. Kemandirian tersebut
diwujudkan dalam bentuk kemampuan menyatakan
terjadinya kerugian negara, kemampuan untuk melakukan tindakan penghitungan
kerugian negara, dan yang terakhir, adalah kemampuan untuk mengambil
putusan tentang besaran kerugian negara dan cara pemulihannya.
Artinya, bahwa dalam
proses penyelesaian perkara yang merugikan negara yang bersifat administrative
tersebut BPK tidak memerlukan bantuan atau peran pihak lain. Seluruh rangkaian
proses tersebut dilakukan secara internal. Baik dalam tahapan penyelidikan,
penyidikan, maupun penghitungan seluruhnya dilakukan oleh para
auditornya. Sedangkan putusan dilakukan oleh sebuah Majelis yang ditunjuk dan
ditetapkan oleh para anggota BPK.
Jayapura, 15 April 2019
No comments:
Post a Comment