RAISON d'ETRE

Pada suatu saat, pernah terbetik suatu keinginan dari berbagai pihak, terutama para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), agar lembaga legislatif di republik kita ini memiliki hak untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana halnya lembaga eksekutif.

Pada suatu saat lain, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terpaksa harus menginap di ’hotel prodeo’, karena oleh para penegak hukum di republik ini telah dinyatakan melakukan korupsi berjama’ah. Padahal, berbagai keputusan yang dituduhkan kepada para anggota dewan yang terhormat tersebut ternyata diputuskan bersama-sama lembaga eksekutif dalam suatu forum sakral dan dituangkan dalam dokumen resmi yang disebut dengan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kemudian, banyak pihak dipaksa untuk mengernyitkan keningnya ketika mengetahui seorang petinggi pemerintahan dan juga seorang pejabat suatu perusahaan negara yang bergerak di bidang perbankan dituduh telah merugikan keuangan negara, padahal masyarakat menyang-sikan bahwa uang tersebut memang uang Negara dalam arti sebenarnya.

Sementara itu, para birokrat di berbagai lembaga pemerintah merasa ragu dalam mengambil keputusan, ataupun bahkan menolak menduduki jabatan tertentu terkait dengan pengelolaan keuangan negara, karena kurang memahami berbagai konsep (baru) keuangan Negara, sehingga khawatir tertimpa musibah.

Di lain pihak, karena ilmu keuangan negara yang disoroti dari berbagai dimensi keilmuan kurang berkembang di Indonesia, para cerdik pandai merasa ragu memasuki wilayah keilmuan ini, dan hanya sekedar mencoba meraba-raba dan membuat tafsiran dari sudut pandang keilmuan yang dimilikinya.

Itulah kira-kira sebagian alasan dibukanya BLOG yang khusus untuk mendiskusikan masalah-masalah keuangan Negara di Indonesia.

Partisipasi semua pihak dalam mendiskusikan berbagai permasalahan keuangan negara di republik ini akan merupakan usaha bersama untuk melakukan studi tentang konsepsi keuangan negara dan memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat.

Perlu disampaikan bahwa konsep baru keuangan negara yang dikembangkan oleh para pemikir yang kemudian dituangkan dalam paket undang-undang bidang keuangan negara maupun ketentuan derivasi lainnya, memang belum dapat dikatakan sempurna.

Namun bagaimanapun, lahirnya paket undang-undang tersebut di atas merupakan kenyataan bahwa Indonesia kini telah memiliki sistem keuangan negara sendiri, sehingga terlepas dari berbagai pengaruh ketentuan keuangan kolonial yang antara lain bertahun 1800-an.

Oleh sebab itu, sudah selayaknya bila semua pihak memberi apresiasi dan berusaha memahami sebaik-baiknya, seperti ungkapan bahasa Prancis di bawah ini :

----SI ON A PAS CE QUE L’ON AIME, IL FAUT AIMER CE QUE L’ON A ---

Salam

(SS)

Catatan :

Dalam rangka memenuhi saran dan pendapat berbagai pihak, artikel dalam Blog ini dikategorikan dalam :

* RUBRIK, yaitu artikel yang ditulis sesuai dengan design topik yang telah ditetapkan dalam blog ini.

* INTERMEZZO, yaitu artikel yang membahas masalah-masalah keuangan negara yang bersifat actual.

* TANGGAPAN, yaitu artikel yang berisi respons terhadap pertanyaan atau komentar pembaca yang, karena sifatnya, perlu dijelaskan secara lebih detail.



- - - - - -



Monday, February 1, 2010

PSIKOLOGIS vs PSIKOLOGIS : solusi rasional dalam penyelesaian kasus Bank Century. (Intermezzo)

INTRODUKSI

Terlepas dari sikap pro kontra para pakar ekonomi dan perbankan tentang kondisi sistemik atau tidak sistemik, menarik kiranya untuk disimak pendapat seorang pakar ekonomi dalam memandang cara penyelesaian kasus yang oleh Menteri Keuangan pada saat itu dianggap sebagai the only and the best solution, yaitu bail-out. Menurut pakar ekonomi tersebut, dan mungkin juga beberapa lainnya yang tentu saja berseberangan, langkah Menteri Keuangan selaku Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) dianggap kurang berdasar, dan bahkan dinyatakan sebagai tindakan yang aneh.

Namun demikian, tentunya kita tak boleh buru-buru bersikap a priori terhadap pandangan tersebut. Terlebih bila kita dapat meyakini bahwa pendapat tersebut dikemukakan oleh pakar yang profesionalitasnya tak lagi diragukan, dan satu lagi, tidak memiliki kepentingan yang bersifat pribadi. Hal yang terakhir ini tampaknya sangat penting, terutama untuk menjamin nilai obyektifitas pandangan yang dikemukakan.

TIDAK TERUKUR

Dalam skandal Bank Century, kalaupun kita dapat menyebutnya seperti itu, masyarakat memang tidak dapat merasakan seberapa besar kekhawatiran yang sebenarnya berkecamuk di benak para pejabat Bank Indonesia ketika mengamati perkembangan situasi perekonomian yang terjadi ketika itu, dikaitkan dengan kondisi kritis beberapa bank. Bahkan, seorang Burhanudin Abdullah yang mantan Gubernur Bank Indonesia, maupun Anwar Nasution yang mantan Deputi Senior pun dianggap tidak lagi memiliki kepekaan untuk mampu merasakan kekhawatiran dimaksud. Perasaan khawatir para petinggi Bank Indonesia inilah yang tampaknya mampu dihayati oleh Menteri Keuangan yang ketika itu juga menjabat sebagai Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK).

Namun, bila kita semua kembali secara lebih teliti mencermati alasan Bank Indonesia untuk menyelamatkan Bank Century, ternyata dasar pijaknya hanyalah tertumpu pada satu faktor dari lima faktor yang dijadikan alat ukur, yaitu faktor psikologis. Faktor ini pada hakekatnya merupakan sikap atau perilaku masyarakat yang diperkirakan akan termanifestasi sebagai akibat meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan yang bisa saja disebabkan karena faktor ekonomi maupun sebagai akibat keputusan otoritas. Sikap masyarakat inilah yang dikhawatirkan oleh Bank Indonesia maupun Menteri Keuangan, yang diyakini akan mampu menjadi pemantik terjadinya kekacauan ekonomi yang, menurut mereka, telah berada pada kondisi sangat sensitif terhadap krisis.

Alasan yang tidak terukur inilah yang kemudian menimbulkan berbagai keraguan di benak masyarakat. Masyarakat merasa sekedar diajak berandai-andai. Dan masyarakat dipaksa untuk dapat memahami berbagai kemungkinan yang menjadi skenario atau diskenariokan oleh para pejabat Bank Indonesia, dan juga Menteri Keuangan. Keraguan masyarakat seperti itu memang tidak dapat dihindarkan. Bukan hanya para pakar ekonomi dan keuangan, masyarakat awam pun mulai merasakan ada yang tampaknya kurang wajar.

Sementara itu, situasi tampaknya bertambah runyam, ketika terjadi perang skenario yang tidak ada habisnya, karena semua pihak dapat saja menyusun berbagai kemungkinan yang dapat terjadi ataupun membantah bahwa yang diskenariokan pemerintah melalui Menteri Keuangan ataupun Bank Indonesia dapat saja tidak akan terjadi.

Padahal, semua pihak menyadari bahwa di bidang ekonomi, penilaian benar-salahnya suatu kebijakan hanya dapat dilakukan secara counter factual, artinya pembuktian baru dapat dilakukan bila semuanya telah terjadi. Lihat saja, misalnya kejadian krisis pada tahun 1997-98, yaitu ketika Bank Indonesia menaikkan suku bunga kredit hingga mencapai tingkat 70%.

Berbagai kajian yang dilakukan oleh para pakar setelah kebijakan tersebut dilakukan oleh Bank Indonesia sesuai dengan saran dan pendapat IMF, justru menyimpulkan hal yang sebaliknya. Yaitu, bahwa bila saja Bank Indonesia ketika itu tidak mengikuti saran IMF untuk menaikkan tingkat suku bunga kredit hingga pada posisi yang demikian ekstrim, tentu tidak akan terjadi krisis yang sedemikian parah. Mengapa demikian? Karena para pakar ekonomi dan juga pakar keuangan mencermati bahwa kebijakan Bank Indonesia pada saat itu justru dianggap memiliki akibat pro siklus yang membuat krisis semakin menjadi-jadi. Dan ini semua baru dapat dibuktikan setelah semuanya berlalu. Setelah masyarakat demikian menderita. Dan setelah pemerintah menanggung kerugian negara triliunan rupiah sebagai akibat BLBI.

ISSU SENTRAL

Kini, dalam skala yang lebih kecil, perdebatan semacam itu pun kemudian muncul. Bagi pemerintah maupun para pakar yang pro pemerintah, rasionalitas pemikiran mereka diarahkan untuk membuktikan bahwa keberhasilan mempertahankan stabilitas di masa krisis keuangan global ini merupakan dampak positif dari kebijakan yang diambil dalam rangka menghindarkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi diklaim sebagai akibat kondisi perekonomian yang kondusif. Dan itu semua merupakan akibat diselamatkannya Bank Century yang langsung maupun tidak langsung, diakui ataupun tidak diakui mampu meredam gejolak masyarakat untuk tidak percaya kepada sistem perbankan yang nantinya diyakini akan mampu merusak sendi-sendi perekonomian negara.

Namun di pihak lain, para pakar ekonomi yang berseberangan justru menertawakan sikap pemerintah beserta para pakar ekonominya yang dipandang justru ingin membodohi masyarakat. Kemampuan perekonomian Indonesia untuk bertahan pada saat itu, menurut mereka, justru karena didukung oleh beberapa faktor. Yang pertama, adalah bahwa ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap ekspor sangat rendah bila dibandingkan dengan tetangga sekitar kita, misalnya Singapura, Thailand, maupun Malaysia. Kedua, kemampuan bertahan ekonomi kita pada saat itu ditopang oleh tingkat pembiayaan sektor pemerintah yang relatif tinggi. Hal ini bisa dilihat antara lain dari derasnya kucuran dana-dana APBN ke sektor-sektor yang langsung bersentuhan dengan ketahanan ekonomi masyarakat.

Namun terlepas dari adanya school of thinking yang berbeda antara Pemerintah (baca: Bank Indonesia dan Menteri keuangan) dan pihak-pihak yang pro maupun yang kontra terhadap situasi yang dinyatakan sistemik tersebut, yang tidak kalah pentingnya untuk disoroti adalah cara penanganan masalah itu sendiri.

Kini, berbagai pihak tampaknya hanya terjebak pada permasalahan uang siapa yang digelontorkan untuk menalangi agar Bank Century tidak kolaps. Berapa besarnya ? Siapa yang bertanggungjawab ? Apakah uang tersebut bisa kembali atau tidak ? Kalau bisa, kapan ? Dan masih seabrek pertanyaan yang tampaknya tidak mungkin dijawab oleh siapapun secara konprehensif dan memuaskan. Belum lagi DPR yang disamping mencoba menarik masalah tersebut ke ranah politik, juga mulai mengaburkan permasalahan pokok dengan menariknya ke berbagai kejadian jauh sebelum terjadinya skandal penggelontoran dana talangan ke Bank Century itu sendiri.

Padahal, bila diamati secara lebih cermat, permasalahan tersebut ternyata dapat lebih disederhanakan. Katakanlah semua pihak kemudian sepakat dengan pendapat Bank Indonesia maupun Ketua KSSK bahwa penutupan Bank Century akan berdampak sistemik yang akan mendorong perekonomian ke dalam lingkaran krisis keuangan global. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah cara yang diambil oleh Pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan, selaku Ketua KSSK, dalam menangani kasus tersebut sudah benar ?

Pertanyaan inilah yang seharusnya dijadikan issu sentral. Oleh karena keputusan yang merupakan kebijakan pejabat pemerintah inilah yang kemudian membawa akibat finansial yang berupa terjadinya pengeluaran uang, entah itu milik negara ataupun milik pihak lain yang berada di bawah kendali negara yang jumlahnya triliunan rupiah. Jumlah yang kemudian mungkin dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, sehingga mengakibatkan terjadinya kerugian negara ataupun pihak lainnya.

LEBIH RASIONAL

Terlepas dari apa yang disimpulkan BPK dalam pemeriksaan baik di Bank Indonesia maupun di Bank Century bahwa penetapan penggelontoran dana talangan tersebut tidak didasarkan pada suatu kriteria terukur, pada kenyataannya memang Sri Mulyani cenderung lebih mendasarkan tindakannya pada kekhawatirannya terhadap sikap psikologis masyarakat yang nantinya justru akan berpengaruh pada faktor-faktor yang terukur.
Sekedar menyegarkan kembali ingatan kita, keputusan Sri Mulyani dalam kapasitasnya sebagai ketua KSSK dalam mengucurkan dana talangan kepada Bank Century didasarkan pada 5 hal, yaitu bahwa bila dana talangan tidak diberikan dikahawatirkan :
o akan merusak lembaga keuangan, khususnya perbankan,
o akan menimbulkan dampak sistemik pada pasar uang,
o akan mengganggu sistem pembayaran karena melemahnya rupiah,
o akan mempengaruhi psikologi pasar, dan
o akan berpengaruh terhadap kegiatan sektor riil.

Hal ini konon tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh para petinggi Bank Indonesia yang intinya terfokus pada psikologi pasar.

Nah, inilah yang kemudian menjadi sangat menarik. Kalau memang psikologi pasar yang dijadikan alasan, kenapa keputusannya justru menggelontorkan dana talangan ?

Disinilah masyarakat mengamati bahwa tampaknya Sri Mulyani mulai kehilangan konsistensi berpikirnya. Berbagai pihak melihat bahwa analisis pemberian dana talangannya lebih didominasi oleh pertimbangan-pertimbangan logis-matematis. Menghitung triliunan kerugian yang mungkin terjadi bila saja keputusan pemberian dana talangan kepada Bank Century tidak dilakukan. Kerugian yang diukur dari besaran uang yang menurut perhitungan akan jauh lebih besar. Inilah konsep yang konon dikenal dengan istilah ‘too big to fail’. Konsep yang, menurut para akademisi, kini sudah mulai dipertanyakan kesahihannya. Bahkan, konon termasuk Lembaga Penjamin Simpanan di Amerika Serikat (FIDC).

Seharusnya, kata seorang pakar ekonomi, Pemerintah (baca: Ketua KSSK) melihat permasalahan dan solusinya secara proporsional. Permasalahan yang dikhawatirkan muncul karena akibat perubahan psikologi masyarakat seharusnya diselesaikan dengan tindakan-tindakan yang juga bersifat psikologis.

Pemerintah seharusnya mampu menemukan suatu cara yang jitu, yang tidak menimbulkan gejolak sosial maupun ekonomis masyarakat.Seorang pakar ekonomi yang pernah menjabat Menteri Keuangan dan juga pernah duduk sebagai Menteri Koordinator Perekonomian, Keuangan, dan Industri di masa lalu, dalam suatu wawancara dengan sebuah stasiun televisi swasta tanggal 21 Januari lalu pun juga membenarkan. Bahkan, dia pun sempat secara serius mempertanyakan, kenapa Pemerintah tidak belajar dari pengalaman masa lalu ?
Sekian tahun lalu, ketika terjadi kasus serupa pada suatu bank swasta dengan skala yang jauh lebih besar dari Bank Century, permainan psikologis oleh Pemerintah dalam meredam kemungkinan gejolak psikologis masyarakat yang dipastikan juga akan sangat berpengaruh terhadap kondisi perekonomian nasional telah sukses ditampilkan. Ketika itu, tiga aktor utama yang berperan mewakili Pemerintah --Menko Ekuin, Deputi Gubernur Bank Indonesia, dan seorang Direktur Utama sebuah bank BUMN terkemuka-- telah bersepakat bermain cantik dihadapan publik.
Deklarasi di hadapan publik yang memberikan jaminan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir uangnya akan hilang karena bank yang bersangkutan telah di-taken over oleh sebuah bank BUMN besar di republik ini, ternyata telah mampu meredam gejolak psikologis masyarakat. Masyarakat tidak melakukan rush. Padahal, masih kata bekas Menko Ekuin tersebut, Pemerintah tidak melakukan apa pun. Tidak sepeser pun uang digelontorkan. Bahkan setengah berkelakar dia mengatakan bahwa tindakan pemerintah itu hanya ’ecek-ecek’.
Memang itulah permainan psikologis. Dan pemerintah mampu memainkan perannya dengan baik. Yang pasti, itu semua karena kemampuan para aktornya untuk meyakinkan masyarakat.
Padahal, konon dalam rapat brainstorming sebelum keputusan penggelontoran dana kepada Bank Century, seorang nara sumber yang kebetulan juga seorang Direktur Utama Bank BUMN besar di Indonesia sempat juga menyampaikan usulan yang kurang-lebih hampir sama. Dia mengatakan bahwa perlu ditegaskan kembali kepada masyarakat bahwa simpanan sampai dengan dua miliar rupiah tetap dijamin pemerintah, sementara itu, deposan yang besar-besar nantinya 'diajak ngobrol'.
Bila dicermati, ini adalah ajakan untuk bermain psikologis seperti masa lalu. Tetapi toh tampaknya respon ke arah itu mungkin tidak cukup memadai.
Nah, akhirnya apa yang dapat dibandingkan dari dua kejadian tersebut ? Semua terserah kepada masyarakat untuk menilai. Yang pasti, Pemerintah akan tetap selalu mengatakan bahwa kondisi yang dihadapi oleh kedua kejadian tersebut sangat berbeda. Dan oleh karena itu, keputusan yang benar adalah yang telah dilakukan oleh Ketua KSSK, yaitu bail out.
Conditio sine qua non adalah jargon dalam ilmu ekonomi yang memang patut selalu dipertimbangkan bagi para pakar ekonomi untuk pengambilan suatu keputusan.
Lha kalau sudah begitu pendapatnya, ya sudahlah !!!

*
* *

3 comments:

djaz.djpb@gmail.com said...

Kata orang rasanya "mak nyus" tatkala membaca tulisan Pas Sis "Psikologis Vs Psikologis" pada awalnya, tapi menjadi buyar tatkala membaca endingnya karena kalimat "ya sudahlah".
Memang, analisis pertama bahwa Bank Century harus diselamatkan karena faktor psikologis bisa diterima masyarakat awam tapi tidak oleh yang berbeda cara pandang. Kita yang belum lupa bahwa krisis 1998 yang menyebabkan kita terpuruk dan rasanya belum hilang dari ingatan kita, apalagi sudah jauh hari diprediksi akan ada krisis global, karena kalau,...sekali lagi...kalau waktu itu tidak diselamatkan, apa yang akan terjadi sekarang... wallahualam. Hal ini sebagaimana diungkap petinggi Partai Demokrat dalam diskusi pada salah satu TV Nasional, diumpamakan pada sebuah acara yang sedang berlangsung, tiba2 cuaca gelap akan turun hujan, orang yang bertanggung jawab thd acara tsb lalu memanggil pawang hujan dan tentu dibutuhkan ongkos untuk mendatangkan pawang tersebut, eh.. ternyata tidak jadi hujan, dan karena sudah dibayar dianggap merugikan, orang pada bilang, tidak ada apa2 koq membayar pawang hujan, dan sekarang pawang tersebut diadili.
Analisis kedua, justru mengesampingkan sama sekali faktor psikologis dan ukuran yang diambil adalah dari kondisi saat ini yang sudah terhindar dari krisis global, apakah kondisi sekarang adalah akibat dari keputusan "bail out" yang diambil atau bukan menjadi debatable. Menurut pandangan saya, "ecek-ecek" dari trio pejabat disebut berhasil karena faktor "untung" saja. Lagian waktu itu BI masih menjadi bagian dari pemerintah dan mungkin saja belum pernah menghadapi langsung dahsyatnya badai 1998. Kalau... sekali lagi kalau kondisinya sama (sudah diprediksi akan ada krisis global) saya kira siapapun tidak berani ambil resiko sebagaimana yang telah diambil Menteri Keuangan sekarang.

Siswo Suyanto said...

Pak Djazuli, terima kasih atas komentarnya. Memang ending tulisan di atas menggambarkan ketidakberdayaan masyarakat atas sikap otoritas yang maunya menang sendiri. Menghadapi kritik ataupun pendapat masyarakat, termasuk para pakar ekonomi dan keuangan, pemerintah terasa memaksakan hanya satu solusi, yaitu bail out. Pokoke.
Lihat saja bagaimana berbagai pihak (pemerintah, dan para ahli pendukung kebijakan tersebut) sering menyampaikan sikap-sikap yang kurang rasional/ professional, misalnya dengan menyatakan bahwa BPK berisi orang-orang politik, sehingga hasil auditnya bisa dilakukan sesuai pesanan, etc, etc. Lho, ini kan sudah tidak proporsional dalam mencari penyelesaian.
Terkait dengan keputusan tersebut, masyarakat mempertanyakan, lha kalau pemerintah khawatir terjadi rush, ya yakinkan masyarakat bahwa hal tersebut tidak perlu. Untuk apa wong uangnya di bank itu aman. Langkah melakukan rush oleh masyarakat adalah suatu tindakan yang dilatarbelakangi oleh sikap psikologis, yaitu ketidakpercayaan. Seharusnya, jawaban pemerintah adalah memberikan keyakinan kepada masyarakat. Dan ini dapat dilakukan dengan cara psikologis seperti yang terjadi di masa lalu. Pemerintah tampil dengan meyakinkan, bahwa rakyat harus percaya kepada pemerintah bahwa itu tidak akan terjadi. Lha kalau ternyata kekhawatiran masyarakat waktu itu tidak dapat dibendung, kata taken-over itu akan menjadi kenyataan. Artinya bank BUMN yang dimaksudkan akan mengambil alih segala permasalahan.
Langkah penyelesaian ini, bila diperhatikan, sekaligus memiliki alternative. Dan kata ‘ecek-ecek’ mengandung pengertian bahwa sikap masyarakat yang mengandung ketidakpastian dihadapi dengan langkah meyakinkan kepada masyarakat bahwa kekhawatiran itu pasti tidak akan terjadi. Sebenarnya yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah ketegasan pemerintah bahwa kekhawatiran masyarakat tersebut memang tidak akan pernah terjadi. Dan pemerintah menjawab dengan benar dengan cara seolah melakukan taken over. Tapi itu kan kepakatan di antara unsure pemerintah. Itulah makna ‘ecek-ecek’.
Sementara itu, pendapat bahwa ada factor luck yang terjadi pada tahun 1998 itu kayaknya harus disingkirkan jauh-jauh. Mengapa demikian ? Kita harus ingat bahwa mengelola Negara tidak boleh dilakukan dengan cara gambling. Semua harus dilakukan dengan sikap berhati-hati dan mengandung kepastian yang tinggi. Semua harus dibuatkan scenario dengan berbagai alternative kemungkinan. Ini ibarat permainan bridge, langkah yang diambil selalu penuh ketidakpastian, karena menyangkut future. Namun, seorang pemain bridge yang handal selalu menyiapkan beberapa langkah yang didasarkan berbagai kemungkinan yang disusun atas dasar scenario imaginair. Langkah tersebut selalu disusun berlapis-lapis. Dari yang paling sangat mungkin sesuai dengan pertimbangan logika, sampai dengan langkah yang keberhasilannya sangat tergantung pada pihak-pihak lain dan invisible hand, yaitu tergantung pada factor luck. Dan yang pasti, langkah tersebut tidak boleh mengakibatkan kerugian yang besar, kalau kondisinya memang tidak memungkinkan. (....)

Siswo Suyanto said...

Pak Djazuli,(....lanjutan)

Mengenai pernyataan anda bahwa pada saat itu (1998) BI dan Pemerintah merupakan satu kesatuan dalam pengelolaan moneter, dan sekarang terpisah, memang benar. Pemisahan ini dilakukan berdasarkan fungsi agar terjadi kejelasan peran (clarity of role), dan tidak terjadi kooptasi. Tapi dalam pengelolaan perekonomian nasional, bukan berarti mereka sendiri-sendiri. Pengelola kebijakan moneter (BI) boleh kemana, sementara pengelola kebijakan fiskal ke arah yang lain.
Berbicara perekonomian nasional, sementara ahli, menyatakan kita berbicara ekonomi makro dengan unsur kebijakan fiscal dan kebijakan moneter, (dan sedikit tentang kebijakan mikro). Oleh sebab itu, kita lihat saling keterpengaruhan antara ketiganya. (Lihat besaran2 ekonomi makro !). Perhatikan pula bagaimana pemerintah menyusun anggarannya setiap tahun. Unsur-unsur apa yang menjadi perhatian ? Yaitu, kondisi ekonomi makro, ekonomi moneter, etc.
Jadi jelas bahwa untuk menangani kondisi perekonomian yang di depan kita dua unsur tersebut harus tampil di depan. Ini tambah jelas bagaimana pemerintah melalui Menteri Keuangan merupakan leader dalam penyelesaian masalah-masalah perekonomian nasional. Kalau sudah begini, sebenarnya bukan Menteri Keuangan, melainkan Ekuin. Oleh sebab itu, di Prancis tugas Minister des Finances adalah Ekuin di Indonesia. Sedangkan tugas Pengelola Fiskal berada di tangan Minister du Budget.
Kalau dikatakan bahwa kondisi hari ini adalah buah dari keputusan pemerintah terhadap keputusan melakukan bail-out, ya silahkan. Tapi kan pendapat lain yang bisa dibuktikan menunjukkan bahwa hal tersebut bisa di counter dengan baik oleh berbagai pihak. Mari kita amati dengan cermat, dan silahkan semua pihak berbagi pendapat. Tapi jangan pakai kata ‘pokoke’, sebab nanti yang dapat dilakukan oleh masyarakat hanyalah bilang ‘ya sudahlah kalau begitu maunya’.
Satu lagi hal yang agak sulit dipahami oleh masyarakat adalah, mestinya bila suatu bank dalam pengawasan, konon pemiliknya tidak boleh mencairkan dana miliknya dan aturan lain menyebutkan bahwa pola pencairan untuk deposan-deposan besar harus mengikuti tahap kesehatan bank yang sedang ‘sakit’ tersebut. Kenyataannya ? Lihat saja apa yang dilansir di berbagai media massa, yang konon didasarkan pada hasil investigasi BPK. Gimana dong ini penjelasannya ?
Nah, kalau begini, kata para pemain golf, wong hujan kok yang didatangkan pawang ular, bukan pawang hujan. Lha siapa yang mau mbayarin ? Ini anekdot saja, sebab contoh yang disampaikan oleh para pihak dalam kasus yang anda kemukakan di atas rasanya kurang relevan.

Salam,

SS