DISKRESI KEUANGAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG BIDANG KEUANGAN NEGARA DAN PENYELESAIAN KASUS KORUPSI [1]
Diskresi,pada hakekatnya, adalah suatu bentuk pelanggaran terhadap kaidah baku yang berlaku secara umum. Oleh karena itu, dalam pengelolaan keuangan negara (baca: pelaksanaan anggaran) tindakan yang didasarkan pada diskresi hampir tidak pernah dapat dibenarkan. Hal ini disebabkan karena tindakan dalam pelaksanaan anggaran, pada prinsipnya, bukanlah tindakan yang berdiri sendiri.
Dalam konsepsi Hukum Keuangan Negara, pelaksanaan anggaran adalah bagian dari suatu rangkaian panjang sebuah proses yang diawali dari suatu proses politik. Sebuah proses pengambilan keputusan yang dilakukan dalam sebuah forum sakral antara lembaga eksekutif dan lembaga legislative. Yaitu, penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Oleh karena itu, lembaga eksekutif sebagai pelaksana keputusan tersebut memiliki kewajiban (obligatory) mematuhi berbagai keputusan yang telah dituangkan dalam APBN.
Untuk dapat melakukan observasi terhadap pemikiran tentang penerapan diskresi dalam pengelolaan keuangan negara beserta implikasinya, makalah yang disajikan pada kesempatan ini akan dibagi dalam dua bagian. Yaitu, bagian pertama yang membahas pemikiran konsepsi tentang pengelolaan keuangan negara dan kemungkinan dilakukannya diskresi; dan bagian kedua yang menyajikan praktek pelaksanaan diskresi. Atas dasar berbagai pemikiran yang terkandung dalam kedua bagian tersebut, pada bagian akhir akan disampaikan kesimpulan.
A. ANALISIS TEORITIK
1. Pengelolaan Keuangan Negara
Menurut studi Ilmu Hukum Keuangan Negara, Pengelolaan Keuangan Negara terbagi dalam dua aspek (sisi), yaitu : aspek politis dan aspek administratif.
Sudut pandang dari dua aspek sebagaimana tersebut di atas ditrapkan pula di Indonesia. Bahkan, pemisahan dimaksud di Indonesia diwujudkan secara tegas dengan menempatkan kedua aspek pengelolaan keuangan negara tersebut dalam undang-undang yang berbeda. Yaitu, aspek politis pengelolaan keuangan negara dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, sedangkan aspek administratifnya dalam Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
a. Aspek Politis : Anggaran Negara merupakan kesepakatan politik.
Dalam kajian Ilmu Hukum Keuangan Negara, aspek politik keuangan negara ini secara substansi mengatur hubungan hukum antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dalam rangka penyusunan dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Secara konkrit, aspek politis keuangan negara tersebut terkait dengan pelaksanaan pemikiran/ ide yang terkandung dalam undang-undang dasar. Yakni, mengatur bagaimana amanah undang-undang dasar yang meliputi penyelenggaraan pemerintahan negara dan pemenuhan hak-hak azasi warga negara harus diwujudkan.
Amanah undang-undang dasar dimaksud diwujudkan dalam bentuk kegiatan pengelolaan rumah tangga negara, baik dari aspek kegiatan yang akan dilaksanakan maupun dari aspek pembiayaannya (financing). Dari aspek pembiayaan, pada hakekatnya, menjawab pertanyaan bagaimana pemerintah dapat membiayai kegiatan pemerintah dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan dan pemenuhan hak-hak azasi warga negara.
Di negara demokratis, peran rakyat melalui sistem perwakilannya (lembaga legislatif) dalam pelaksanaan aspek politis keuangan negara ini sangat dominan dibandingkan peran pemerintah (lembaga eksekutif) yang pada prinsipnya hanya merupakan pelaksana. Mewakili rakyat, setiap tahun, lembaga legislatif membuat kesepakatan dengan lembaga eksekutif mengenai rencana kerja yang harus dilakukan dalam rangka mewujudkan amanah undang-undang dasar tersebut di atas. Kesepakatan tersebut bukan saja berisi kegiatan-kegiatan yang harus dan akan dilaksanakan, akan tetapi juga berisi bagaimana cara pembiayaannya. Dalam arti, dari mana pendanaan untuk membiayai kegiatan tersebut dapat diperoleh. Kesepakatan inilah yang kemudian dikenal secara luas dengan istilah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Dengan demikian, secara politis, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara adalah suatu bentuk kesepakatan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif yang berisi rencana kegiatan dan cara pembiayaannya. Dalam kesepakatan tersebut lembaga legislatif memberikan kewenangan sepenuhnya kepada lembaga eksekutif untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang tertuang didalamnya, di satu sisi, dan memberikan kewenangan untuk mengupayakan pendanaan dalam rangka membiayai kegiatan tersebut. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah autorisation parlementaire.
Konsekuensi logis dari kesepakatan tersebut adalah :
Lembaga legislatif memiliki hak untuk melakukan pengawasan agar kesepakatan tersebut dilaksanakan dengan baik dan benar. Dalam arti bahwa seluruh rencana kegiatan yang tertuang dalam kesepakatan dimaksud harus dapat diwujudkan. Disamping itu, lembaga legislatif memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban terhadap realisasi kesepakatan dimaksud.
Sedangkan lembaga eksekutif memiliki kewajiban untuk melaksanakan dan mewujudkan program kerja sesuai dengan rencana yang telah disepakati, serta menyampaikan pertanggungjawaban baik dari segi kinerja maupun keuangan. Sementara itu, hak yang dimiliki oleh lembaga eksekutif berupa kewenangan untuk mengupayakan pendanaan dalam koridor kebijakan umum yang telah disepakati bersama.
Untuk dapat melakukan pengawasan secara efektif dan efisien terhadap pengelolaan anggaran negara yang dilaksanakan oleh lembaga eksekutif, lembaga legislatif memiliki peralatan ataupun prinsip-prinsip yang dikenal sebagai Golden Principles Of Budget Execution, yang terdiri dari: prinsip-prinsip anterioritas, annualitas, spesialitas/ spesifitas, universalitas, dan prinsip unitas.
Prinsip anterioritas atau prinsip prealable menegaskan bahwa anggaran negara baru dapat dinyatakan sah dan dapat dilaksanakan bilamana terlebih dahulu memperoleh pengesahan/ persetujuan dari lembaga legislatif. Dalam praktek, prinsip ini kemudian diwujudkan dalam berbagai ketentuan yang menyatakan, misalnya bahwa Anggaran Negara (APBN) merupakan dasar bagi pengeluaran negara, atau adanya larangan bagi pejabat pemerintah untuk membuat perikatan bilamana tidak tersedia/ tidak cukup tersedia dana dalam APBN untuk suatu kegiatan tertentu. Bila diperhatikan, prinsip ini merupakan prinsip yang paling penting di antara prinsip yang ada, karena menyangkut pemberian persetujuan lembaga legislatif kepada lembaga eksekutif.
Prinsip annualitas menyatakan bahwa anggaran negara berlaku dalam suatu periode tertentu, misalnya satu tahun. Prinsip tersebut bukan hanya sekedar pernyataan tentang periode berlakunya suatu anggaran negara, akan tetapi memiliki konsekuensi bahwa semua pengeluaran yang dilakukan oleh pihak eksekutif di luar periode yang telah ditetapkan merupakan pengeluaran yang tidak sah.
Prinsip spesialitas yang pada prinsipnya menjaga agar anggaran digunakan khusus untuk kegiatan-kegiatan yang telah ditetapkan ini pada prinsipnya akan memudahkan lembaga legislatif mendeteksi apakah program-program yang telah diputuskan dilaksanakan sesuai tujuan, dan tidak digeserkan sesuai dengan kehendak lembaga eksekutif dalam pelaksanaan. Sesuai dengan maksudnya, prinsip ini lebih ditekankan pada fungsi-fungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yakni antara lain, fungsi pemerintahan negara, fungsi keamanan, fungsi kesejahteraan rakyat, dlsb. Selanjutnya, dalam penyusunan anggaran negara ditambahkan unsur organisasi sebagai subyek (pelaksana) yang merupakan penanggungjawab kegiatan. Terkait dengan itu, dalam praktek kemudian dikenal pengeluaran untuk fungsi tertentu yang dilaksanakan oleh kementerian/ satuan kerja tertentu.
Prinsip universalitas merupakan prinsip yang mewajibkan adanya kas tunggal dalam pengelolaan keuangan negara. Selanjutnya, prinsip ini mengharuskan agar semua penerimaan di setor ke Kas Negara dan semua pengeluaran dilakukan melalui Kas Negara. Dengan prinsip ini lembaga legislatif akan mudah mengendalikan pengelolaan kas pemerintah untuk menghindarkan pemborosan ataupun fraude yang mungkin terjadi.
Prinsip unitas yang menyatakan bahwa APBN yang disepakati dan harus dilaksanakan oleh lembaga eksekutif harus tertuang dalam satu dokumen, bukan terpisah-pisah dalam berbagai dokumen. Tujuan penempatan anggaran negara dalam satu dokumen ini adalah agar lembaga legislatif dengan mudah dapat mengendalikan seluruh anggaran yang telah disepakati dan ditetapkannya, sehingga terhindar terjadinya fraude dalam pengelolaan keuangan negara.
b. Aspek Administratif : Pelaksanaaan Anggaran merupakan operasionalisasi sebuah keputusaan politik.
Bila aspek politik keuangan negara secara substansi mengatur hubungan hukum antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dalam rangka penyusunan dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), aspek administratifnya mengatur hubungan hukum antar instansi dalam lembaga eksekutif dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Dalam aspek administratif pengelolaan keuangan negara terdapat serangkaian tindakan (sequential act) yang diawali dengan pemberian kewenangan oleh Presiden sebagai Kepala Pemerintahan kepada para pembantunya, penerbitan dokumen yang dijadikan dasar dalam melaksanakan UU APBN, dan pelaksanaan kegiatan.
1) Otorisasi Presiden
Pemberian otorisasi parlementer dalam bentuk pengesahan dan penetapan Undang-undang APBN, menandai berakhirnya tahapan politis dalam pengelolaan keuangan Negara. Selanjutnya, pengelolaan keuangan Negara memasuki tahapan administratif.
Secara konkrit, aspek administratif keuangan negara tersebut terkait dengan teknik bagaimana Undang-undang APBN dilaksanakan. Yakni, mengatur bagaimana kesepakatan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang telah dituangkan dalam Undang-undang APBN dapat diwujudkan oleh berbagai instansi di dalam Kementerian/ Lembaga.
Mengawali tahapan administratif tersebut, sebagai tindak lanjut dari pemberian otorisasi parlementer yang diberikan kepada Pemerintah, Pemerintah, dalam hal ini Presiden, kemudian menerbitkan Otorisasi Presiden (Presidential Authorization) yang ditujukan kepada para Menteri/ Pimpinan Lembaga sebagai pengguna anggaran (budget user).
Secara substansi, Otorisasi Presiden tersebut berupa pemberian mandat/ kuasa kepada para Menteri/ Pimpinan Lembaga untuk melaksanakan berbagai kegiatan beserta alokasi dana sebagaimana telah dituangkan dalam Undang-undang APBN. Di dalam system pengelolaan keuangan Negara Indonesia, Otorisasi Presiden dimaksud diwujudkan dengan peraturan presiden yang mengatur tentang rincian APBN.
Bila dicermati dengan saksama, lahirnya Otorisasi Presiden tersebut mengandung dua makna penting. Pertama, di pihak Kementerian Keuangan dan, kedua, di pihak Kementerian/ Lembaga.
Di pihak Kementerian Keuangan keputusan Presiden tersebut menandai: pertama, berakhirnya peran Menteri Keuangan yang selama pembahasan bersama Legislatif bertindak mewakili Presiden dan berperan selaku Penguasa Fiscal (Fiscal Authority); dan kedua, menandai dimulainya peran Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (Treasurer) yang mengendalikan pengeluaran berbagai kementerian/ lembaga agar bertindak sesuai UU APBN dan mematuhi aturan dalam tata kelola administrasi Keuangan Negara.
Sedangkan di pihak Kementerian/ Lembaga, membebankan kewajiban kepada para Menteri untuk melaksanakan kesepakatan yang telah disetujui antara Pemerintah dengan lembaga legislatif sesuai bidangnya masing-masing.
Dengan demikian, terkait dengan makna kelahiran Otorisasi Presiden tersebut --khususnya makna kedua--, berbagai tindakan para pejabat publik dalam pelaksanaan APBN (dalam tahapan administratif) hanya merupakan operasionalisasi keputusan politis. Dengan kata lain, berbagai tindakan/ keputusan para pejabat publik terkait dengan pelaksanaan APBN adalah sekedar membuat berbagai keputusan yang telah dituangkan dalam APBN menjadi sesuatu yang nyata.
Perubahan dalam bentuk apa pun, kecuali telah diberikan mandat sebelumnya oleh Lembaga Legislatif, ditinjau dari sudut Hukum Keuangan Negara, merupakan suatu bentuk pelanggaran. Hal ini karena setiap perubahan yang terjadi sebagai akibat keputusan pejabat public dapat dipastikan akan melanggar prinsip pengelolaan Keuangan Negara (Golden Principles) sebagaimana dikemukakan di atas.
2) Otorisasi Menteri
Dalam rangka mengoperasionalkan keputusan politik yang tertuang dalam UU APBN, setiap Kementerian/ lembaga kemudian wajib menyusun dokumen pelaksanaan. Di dalam sistem tata kelola keuangan negara Indonesia -- menurut undang-undang bidang keuangan negara – dokumen dimaksud dikenal dengan nama Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).
Secara prinsip, sesuai alur pemikiran yang disampaikan di atas, DIPA suatu kementerian/ lembaga berisi segala rincian kegiatan dan sekaligus rincian pembiayaan (anggaran) yang diperlukan yang akan dilaksanakan selama satu tahun ke depan. Sebagai alat operasional, dokumen (DIPA) tersebut kemudian terbagi dalam unit-unit kerja kementerian/ lembaga yang dikenal dengan istilah Satuan Kerja (Satker). Artinya, setiap Satker akan memiliki dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA) sendiri-sendiri sebagai alat operasional dalam melaksanakan kegiatannya.
Bila dicermati, dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA) tersebut memiliki dua arti penting. Pertama, dilihat dari sudut Hukum Keuangan Negara; dan kedua, dilihat dari sudut manajemen, khususnya, manajemen keuangan negara.
Ditinjau dari sudut Hukum Keuangan Negara, dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA) merupakan dokumen yang memiliki karakter otorisasi yang dijadikan dasar bagi pelaksanaan pengeluaran negara. Bila diperhatikan dengan seksama, penerbitan DIPA tersebut merupakan bagian terakhir dari suatu rangkaian pemberian otorisasi (kewenangan). Yaitu, yang dimulai dengan Otorisasi Parlemen (otorisation parlementaire) dari lembaga legislatif kepada lembaga eksekutif yang berupa UU APBN; kemudian diikuti dengan Otorisasi Presiden (Otorisation Presidentiele) dari Presiden kepada setiap kementerian/lembaga yang diwujudkan dalam bentuk Peraturan Presiden tentang Rincian APBN; dan terakhir, Otorisasi Kementerian (Otorisation Ministeriele) dari Kepala Kementerian/ Lembaga kepada para pejabat bawahannya (Kepala Satuan Kerja) dalam bentuk DIPA.
Terkait dengan itu, penerbitan berbagai (surat) keputusan oleh pejabat publik dalam pelaksanaan APBN bukan merupakan keputusan yang berdiri sendiri, melainkan merupakan akibat dari suatu keputusan politis yang telah diambil dalam rangka penyusunan dan penetapan Undang-undang APBN. Penerbitan surat keputusan oleh para Pejabat Publik dimaksud adalah suatu bentuk tindakan dalam pemenuhan unsur untuk melengkapi langkah operasionalisasi keputusan politis.
Sedangkan ditinjau dari sisi lainnya, yaitu dari sudut manajemen keuangan negara, DIPA merupakan sebuah dokumen acuan bagi pelaksanaan kegiatan dan anggaran untuk setiap satuan kerja sebuah kementerian/ lembaga. Dus, DIPA tersebut merupakan alat kendali (means of control). Yaitu, merupakan alat kendali operasional :
· agar berbagai keputusan yang dilakukan oleh para pejabat publik di kementerian/ lembaga tetap mengacu dan sejalan dengan keputusan politik,
· agar pelaksanaan kegiatan dan pelaksanaan pengeluaran anggarannya tetap memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan anggaran (keuangan negara), antara lain: prinsip annualitas, prinsip spesialitas, dlsb.
Kedua hal di atas itulah, pada hakekatnya, yang melandasi makna hubungan antara UU APBN dengan DIPA.
2. Diskresi dalam pengelolaan keuangan negara
Sebuah system pengelolaan keuangan pemerintah yang baik adalah bilamana system tersebut mampu mendukung kegiatan unit-unit pemerintahan dalam jajarannya, tanpa menimbulkan kendala dalam situasi apa pun. Pemikiran inilah yang menjadi acuan para pejabat pengelola keuangan negara ketika berhadapan dengan berbagai ketentuan pengelolaan keuangan yang dirasakan demikian tidak fleksibel.
Berbagai pihak berpendapat bahwa, sepanjang dananya tersedia dalam anggaran negara, atau terdapat keadaan yang membutuhkan suatu tindakan cepat pemerintah, seharusnya pemerintah memiliki keleluasaan untuk menggunakan dana yang tersedia, atau setidak-tidaknya menggeserkan dana yang disediakan untuk kepentingan lain yang untuk sementara waktu belum digunakan. Pemikiran seperti inilah yang kemudian melahirkan gagasan tindakan yang bersifat diskretif.
Tentunya kita semua sependapat bahwa mengelola negara bukanlah sekedar menerapkan norma yang ada secara kaku. Namun, lebih dari itu. Mengelola negara, secara essensi, adalah menjamin negara mampu menyelenggarakan kewajibannya kepada rakyatnya dengan sebaik-baiknya.
Namun demikian, perlu disadari bahwa sebuah diskresi, menurut para ahli hukum, lahir karena adanya sebuah kekosongan aturan (regulasi). Kekosongan aturan itu sendiri dipicu oleh adanya suatu keadaan yang memaksa (force majeur). Atau, dalam alur logika yang sangat sederhana yang mudah dipahami oleh masyarakat awam adalah, bahwa lahirnya sebuah diskresi disebabkan karena keadaan yang sedang dihadapi bersifat sangat khusus, sehingga berbagai ketentuan yang ada tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahaan yang timbul. Dengan kata lain, bahwa diskresi akan menyebabkan terjadinya penyimpangan atau pelanggaran terhadap ketentuan yang ada. Hal yang demikian sangat logis, mengingat ketentuan yang ada, pada hakekatnya hanya diciptakan untuk mengatur keadaan yang biasa (normal).
Berdasarkan pemikiran seperti itulah kemudian para ahli hukum berpendapat bahwa lahirnya sebuah diskresi harus memenuhi dua persyaratan, yaitu, pertama, terjadi keadaan yang memaksa; dan kedua, terdapat kekosongan aturan hukum.
Ternyata, persyaratan lahirnya sebuah diskresi dalam pengelolaan keuangan negara, secara prinsip, tidak berbeda dengan konsep tersebut di atas.
Prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara sebagaimana disampaikan di atas, terutama tiga prinsip pertama -- anterioritas, annualitas, dan spesialitas/ spesifitas – hanya dapat dilanggar ketika terjadi situasi yang memaksa (force majeur). Hal ini bukan karena alasan bahwa secara formal APBN merupakan sebuah undang-undang, melainkan karena APBN, pada hakekatnya, adalah sebuah kesepakatan antara rakyat dan pemerintah. Diskresi di tingkat ini merupakan diskresi terkait dengan keputusan yang dapat mengakibatkan terjadinya pengeluaran negara. Diskresi semacam ini dapat dinamakan diskresi substansial.
Di sisi pelaksanaan anggaran, berbagai keputusan yang bersifat diskretif harus dilakukan dengan tetap mengacu pada paradigma yang menyatakan bahwa pelaksanaan anggaran adalah merupakan operasionalisasi sebuah keputusan politik. Terkait dengan itu, diskresi yang mungkin dilakukan adalah hanya mencakup bagaimana operasi pelaksanaan kegiatan penerimaan dan pengeluaran negara dapat tetap dilaksanakan ketika terjadi situasi yang tidak seperti biasanya. Namun dalam hal ini, langkah-langkah diskretif yang diambil harus tetap berpatokan pada prinsip kehati-hatian (prudential principle) untuk menghindarkan terjadinya kerugian negara. Diskresi di tingkat ini merupakan diskresi formal atau operasional. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam system pembayaran pada akhir tahun.
3. Kerugian Negara
Menurut definisi, yang dimaksud dengan kerugian Negara adalah kekurangan asset/ kekayaan Negara karena suatu perbuatan melanggar/ melawan hukum, lalai, ataupun karena force majeur. Kekurangan asset/ kekayaan ini dapat terjadi antara lain karena uang yang seharusnya disetor, tidak disetor; kekayaan yang seharusnya menjadi milik Negara, tidak menjadi milik Negara; atau dapat juga antara lain, karena uang yang berada di kas Negara berkurang secara melanggar/ melawan hukum; atau asset yang menjadi milik Negara terlepas dari kepemilikan Negara secara melanggar/ melawan hukum.
Bila dicermati, kerugian negara dimaksud adalah merupakan akibat dari suatu perbuatan melawan hukum. Sementara itu, perbuatan melawan hokum itu sendiri dapat terjadi di ranah administratif ataupun di ranah non administratif.
Pembedaan antara keduanya, disamping disebabkan karena sifat (nature) perbuatannya, juga terutama didasarkan pada pola penyelesaian kerugian negara itu sendiri. Konkritnya, kerugian negara yang terjadi di ranah administratif diselesaikan secara administratif dalam sebuah peradilan administratif. Sedangkan kerugian negara yang yang terjadi di ranah non administratif diselesaikan di peradilan umum, baik menurut hokum perdata maupun hokum pidana.
B. Penerapan Diskresi dan Implikasinya
1. Arahan Presiden
Menghadapi situasi yang cukup sulit dalam pelaksanaan anggaran, khususnya terkait dengan penyerapan dana anggaran yang relatif rendah oleh hampir seluruh Kementerian/ Lembaga, beberapa waktu lalu Pemerintah telah menerbitkan arahan yang terdiri dari lima butir. Bila diperhatikan secara seksama, arahan dimaksud, pada prinsipnya, menegaskan bahwa berbagai pihak harus dengan cermat membedakan perbuatan salah dalam pengelolaan keuangan negara yang bersifat administratif dan bersifat non-administratif beserta penanganan penyelesaian kerugian negaranya.
Yang menarik adalah bahwa dalam arahan dimaksud terdapat pernyataan yang dapat menimbulkan salah pemahaman berbagai pihak. Bukan saja para pejabat pengelola keuangan, tetapi juga para auditor, maupun para penegak hukum. Pernyataan dimaksud terdapat dalam butir satu yang menyatakan bahwa ‘ diskresi keuangan tidak bisa dipidanakan’.
Dengan mengacu pada uraian sebagaimana disampaikan dalam angka romawi 2 di atas, makna yang terkandung dalam arahan tersebut harus dipahami secara komprehensif, dan perlu disikapi dengan bijak. Kecuali dalam keadaan force majeur, pengertian diskresi keuangan di atas harus dimaknai sebagai diskresi operasional atau hanya bersifat administratif. Oleh sebab itu, arahannya jelas. Yaitu, tidak layak untuk dipidanakan !
2. Implikasi
Menyikapi arahan tersebut bebagai pihak kini telah menyiapkan atau bahkan telah mengambil langkah-langkah dengan menyusun ketentuan pelaksanaan. Namun sayangnya, berbagai langkah yang dipersiapkan tampaknya cenderung tidak sejalan dengan konsepsi pengelolaan keuangan negara.
Di sisi lain, pihak aparat penegak hokum menjadi ragu ketika mengambil langkah dalam menangani kasus-kasus yang merugikan negara. Keraguan dimaksud dipicu pula oleh langkah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang merekomendasikan agar kerugian negara yang terjadi di berbagai unit satuan kerja untuk dikembalikan kepada negara dalam tempo 60 hari. Padahal,dalam kenyataan, tidak semua kejadian kerugian negara dimaksud terjadi di ranah administratif.
K E S I M P U L A N
Dari pembahasan di atas kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. APBN merupakan sebuah kesepakatan politik yang dituangkan dalam bentuk undang-undang.
2. Pelaksanaan APBN merupakan operasionalisasi dari sebuah keputusan politik.
3. Diskresi dalam pengelolaan keuangan negara dapat berupa substansial dan formal/ operasional
4. Diskresi substansial, secara prinsip, hanya dapat dilakukan bila terjadi situasi force majeur.
1 comment:
terimakasih pak. sangat bermanfaat tulisan tentang diskresi ini..
saya punya pertanyaan bagaimana selanjutnya menyikapi arahan tentang arahan presiden yang menginstruksikan hal tersebut.
apakah timbulnya kerugian keuangan negara yang memenuhi unsuk tipikor atas diskresi keuangan yang telah dilakukan sesuai inpres 1 2016 dalam proyek strategis nasional dapat dipidanakan ?
regards
rezamiolo
Post a Comment