RAISON d'ETRE

Pada suatu saat, pernah terbetik suatu keinginan dari berbagai pihak, terutama para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), agar lembaga legislatif di republik kita ini memiliki hak untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana halnya lembaga eksekutif.

Pada suatu saat lain, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terpaksa harus menginap di ’hotel prodeo’, karena oleh para penegak hukum di republik ini telah dinyatakan melakukan korupsi berjama’ah. Padahal, berbagai keputusan yang dituduhkan kepada para anggota dewan yang terhormat tersebut ternyata diputuskan bersama-sama lembaga eksekutif dalam suatu forum sakral dan dituangkan dalam dokumen resmi yang disebut dengan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kemudian, banyak pihak dipaksa untuk mengernyitkan keningnya ketika mengetahui seorang petinggi pemerintahan dan juga seorang pejabat suatu perusahaan negara yang bergerak di bidang perbankan dituduh telah merugikan keuangan negara, padahal masyarakat menyang-sikan bahwa uang tersebut memang uang Negara dalam arti sebenarnya.

Sementara itu, para birokrat di berbagai lembaga pemerintah merasa ragu dalam mengambil keputusan, ataupun bahkan menolak menduduki jabatan tertentu terkait dengan pengelolaan keuangan negara, karena kurang memahami berbagai konsep (baru) keuangan Negara, sehingga khawatir tertimpa musibah.

Di lain pihak, karena ilmu keuangan negara yang disoroti dari berbagai dimensi keilmuan kurang berkembang di Indonesia, para cerdik pandai merasa ragu memasuki wilayah keilmuan ini, dan hanya sekedar mencoba meraba-raba dan membuat tafsiran dari sudut pandang keilmuan yang dimilikinya.

Itulah kira-kira sebagian alasan dibukanya BLOG yang khusus untuk mendiskusikan masalah-masalah keuangan Negara di Indonesia.

Partisipasi semua pihak dalam mendiskusikan berbagai permasalahan keuangan negara di republik ini akan merupakan usaha bersama untuk melakukan studi tentang konsepsi keuangan negara dan memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat.

Perlu disampaikan bahwa konsep baru keuangan negara yang dikembangkan oleh para pemikir yang kemudian dituangkan dalam paket undang-undang bidang keuangan negara maupun ketentuan derivasi lainnya, memang belum dapat dikatakan sempurna.

Namun bagaimanapun, lahirnya paket undang-undang tersebut di atas merupakan kenyataan bahwa Indonesia kini telah memiliki sistem keuangan negara sendiri, sehingga terlepas dari berbagai pengaruh ketentuan keuangan kolonial yang antara lain bertahun 1800-an.

Oleh sebab itu, sudah selayaknya bila semua pihak memberi apresiasi dan berusaha memahami sebaik-baiknya, seperti ungkapan bahasa Prancis di bawah ini :

----SI ON A PAS CE QUE L’ON AIME, IL FAUT AIMER CE QUE L’ON A ---

Salam

(SS)

Catatan :

Dalam rangka memenuhi saran dan pendapat berbagai pihak, artikel dalam Blog ini dikategorikan dalam :

* RUBRIK, yaitu artikel yang ditulis sesuai dengan design topik yang telah ditetapkan dalam blog ini.

* INTERMEZZO, yaitu artikel yang membahas masalah-masalah keuangan negara yang bersifat actual.

* TANGGAPAN, yaitu artikel yang berisi respons terhadap pertanyaan atau komentar pembaca yang, karena sifatnya, perlu dijelaskan secara lebih detail.



- - - - - -



Thursday, February 4, 2010

BADAN LAYANAN UMUM : MENUJU KE ARAH PROFESIONALISME BIROKRASI (Rubrik)

INTRODUKSI

Perkembangan keuangan negara, khususnya anggaran negara, pada akhir-akhir ini tampaknya telah sampai pada titik balik. Hukum Wagner yang selama ini dijadikan dasar pembenaran bagi semakin meningkatnya pengeluaran negara, sejak pertengahan tahun 1970-an harus dikaji ulang.

Pernyataan bahwa pengeluaran negara setiap saat akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya perkembangan masyarakat adalah sesuatu yang tidak dapat disangkal. Hal tersebut merupakan suatu sebab dan akibat.

Adalah suatu kenyataan bahwa semakin berkembang masyarakat, akan semakin meningkat kebutuhannya. Ini terlihat dengan jelas misalnya, bahwa lahirnya kota-kota metropolitan telah menyebabkan berkembangnya wilayah-wilayah penyangga (pinggiran) yang membutuhkan berbagai fasilitas yang diperlukan penduduk baru. Kebutuhan tersebut bukan saja terbatas pada masalah-masalah administratif, melainkan juga pada kebutuhan-kebutuhan yang lebih nyata seperti fasilitas kesehatan, perumahan dan fasilitas umum lainnya. Inilah yang mau tidak mau mendorong terjadinya kegiatan pemerintah yang pada akhirnya mendorong peningkatan anggaran.

Kenyataan ini telah mengakibatkan semakin bervariasinya pengeluaran negara. Pengeluaran negara menjadi semakin tidak terkendali, dan Pemerintah harus selalu mencari sumber-sumber dana baru untuk menutup kebutuhan pendanaan pada setiap tahun.

Statistik tentang perkembangan anggaran negara di berbagai negara di era setelah Perang Dunia ke II hingga awal tahun 70-an menunjukkan anggaran negara yang setiap tahun semakin meningkat secara signifikan. Di lain pihak, perkembangan penerimaan negara untuk menutup kebutuhan pengeluaran negara tersebut telah memaksa pemerintah di berbagai negara untuk menutup melalui program pinjaman negara baik dalam negeri maupun pinjaman luar negeri.

Berbagai analisis telah menunjukkan bahwa biaya penyelenggaran pemerintahan menjadi semakin berat. Dan hal itu mengakibatkan beban masyarakat juga menjadi semakin berat. Masyarakat harus membayar pajak yang setiap tahun semakin meningkat, dan juga bunga hutang yang semakin membengkak. Sementara itu, kualitas layanan masyarakat tidak semakin meningat kualitasnya karena sistem administrasi yang tidak terbenahi dengan baik di satu pihak, dan kualitas personnel yang dipandang kurang memadai, di pihak lain.

DEBUDGETISASI DAN USAHA PERBAIKAN LAYANAN PUBLIK.

Situasi tersebut di atas telah memaksa pemerintah di berbagai negara berpikir ekstra keras. Pemikiran untuk melakukan koreksi terhadap tugas-tugas klasik pemerintah dari hari ke hari terus dikembangkan. Berbagai pertanyaan dimunculkan apakah layanan dasar (public goods) yang selama ini dijadikan acuan berbagai tindakan pemerintah memang tetap harus dipertahankan ? Apakah pemerintah tidak dapat menyerahkan kewajiban pemerintah tersebut kepada pihak-pihak tertentu agar pemerintah dapat mengurangi beban pengeluaran anggarannya ? Dengan kata lain, apakah pemerintah dapat melakukan program debugetisasi dengan tanpa mengabaikan kepentingan masyarakat, terutama terhadap hak-hak azasinya ?

Bila kita mencermati kepustakaan klasik tentang keuangan negara, kegiatan layanan pemerintah yang berupa pertahanan dan keamanan, pendidikan, kesehatan, peradilan, dan pelaksanaan pekerjaan umum merupakan layanan dasar (public goods) yang mutlak harus disediakan oleh pemerintah. Hal ini tidak perlu didiskusikan lebih lanjut, karena kebutuhan masyarakat terhadap layanan dimaksud diamanahkan dalam konstitusi di hampir setiap negara dan dipandang sebagai kebutuhan azasi.

Terkait dengan itu, program debugetiasi haruslah dipandang sebagai akibat. Tidak boleh dilihat sebagai tujuan. Artinya, program debugetisasi seharusnya tidak boleh dilakukan, semata-mata karena pemerintah menghadapi kesulitan pendanaan anggaran. Program tersebut harus dilaksanakan ketika pemerintah benar-benar meyakini bahwa berbagai layanan yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat tersebut, tidak lagi dipandang sebagai kebutuhan dasar seluruh masyarakat. Kebutuhan layanan dasar tersebut sudah berubah menjadi kebutuhan sekelompok masyarakat dan sudah merupakan kebutuhan alternatif.

Kini, dengan semakin berkembangnya situasi sosial-ekonomi masyarakat yang membawa perubahan pula terhadap sistem tata nilai dalam kemasyarakatan, kebutuhan terhadap layanan dasar jenis-jenis tertentu, seperti kesehatan, pendidikan, dan sebagian layanan pekerjaan umum semakin menurun. Layanan tersebut untuk sebagian masyarakat sudah merupakan layanan pilihan (semi publik), atau bahkan sudah merupakan kebutuhan yang bersifat pribadi yang tidak lagi membutuhkan campur tangan pemerintah.

Pergeseran ini, disamping disebabkan oleh hal-hal tersebut di atas, juga antara lain disebabkan karena kualitas layanan pemerintah, termasuk di dalamnya kepastian waktu, yang tidak mampu merespons kebutuhan sebagian masyarakat. Di berbagai negara, karena keterbatasan dana anggaran, pemerintah hanya mampu menjamin layanan minimal terhadap kebutuhan masyarakat (minimum degree of service). Sementara masyarakat dalam kelompok tertentu telah membutuhkan kualitas layanan pada tingkatan yang lebih tinggi (expected degree of service).

Kenyataan inilah yang kemudian mendorong berbagai ahli keuangan negara berpikir bagaimana pemerintah dapat menerapkan efisiensi dalam pelaksanaan penyediaan layanan kepada masyarakat. Bagaimana pemerintah dengan jumlah anggaran yang kini tidak lagi longgar mampu menyelenggarakan layanan yang menjadi kewajibannya kepada masyarakat. Gagasan inilah yang kemudian melahirkan reformasi administrasi pemerintahan yang kemudian dikenal dengan istilah ’first wave reform’.

Reformasi ini bukan saja ditujukan untuk negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga untuk negara-negara maju. Oleh karena tidak dapat dipungkiri bahwa di berbagai negara di dunia sejak berakhirnya Perang Dunia kedua secara kreatif pemerintah telah menciptakan berbagai jenis pengeluaran baru dengan dalih bahwa semua itu untuk membiayai kegiatan yang memang dibutuhkan masyarakat. Ini adalah ekspresi dari hukum Wagner.

Akibatnya, organisasi pemerintahan menjadi sangat gemuk. Dan selanjutnya, semua akan berakibat pada inefisiensi penyelenggaraan pemerintahan dengan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi sangat mahal.

Di sisi lain, keterbatasan kemampuan perpajakan akan mendorong pemerintah menciptakan jenis-jenis penerimaan baru yang memberatkan masyarakat. Dan yang paling mungkin dilakukan adalah melakukan pinjaman pemerintah, terutama pinjaman luar negeri, yang semakin hari menjadi semakin tidak terkendali.

PUBLIK vs PRIVAT

Diskusi klasik dalam bidang keuangan negara tentang sektor pemerintah dan sektor swasta saat ini memang seharusnya diungkap kembali dan diperluas aspek kajiannya.

Kini, pembahasan seharusnya tidak lagi hanya difokuskan pada bentuk-bentuk barang dan jasa yang menjadi obyek masing-masing sektor ataupun pada motivasi mengapa dua sektor tersebut berbeda dalam memproduksi barang dan jasa. Pembahasan harus mulai difokuskan pada pengamatan terhadap keharusan pemerintah untuk menyediakan barang dan jasa kepada masyarakat. Artinya, perlu dilakukan pengklasifikasian ulang apakah sejumlah barang dan jasa yang dahulunya termasuk dalam kategori barang dan jasa publik dapat diklasifikasikan ke dalam barang dan jasa semi-publik. Dan juga, bagaimana efisiensi dapat dicapai dalam proses produksi barang dan jasa dimaksud dengan mengacu pada sektor swasta. Kita tidak lagi harus memberikan toleransi terhadap persepsi yang melekat selama ini bahwa pemerintah harus memproduksi barang dan jasa sedemikian rupa tanpa harus memperhitungkan segi-segi efisiensi.

Konsep efisiensi yang selama ini ditrapkan di sektor pemerintah yang berbeda dengan sektor swasta harus segera dikoreksi. Perlu ditekankan bahwa dalam memproduksi jenis-jenis barang dan jasa tertentu, konsep efisiensi yang digunakan di sektor swasta harus pula ditrapkan di sektor pemerintah. Pemikiran keliru tentang berapapun biaya untuk memproduksi barang dan jasa pemerintah harus dilakukan demi kesejahteraan masyarakat, harus mulai dikaji ulang penerapannya.

Untuk barang maupun jasa publik yang memiliki kategori strategis yang merupakan barang kebutuhan dasar masyarakat dalam arti sebenarnya (the real public goods), dasar pemikiran Pareto untuk menilai efisiensi dalam memproduksi barang dan jasa publik mungkin masih perlu dipertahankan. Namun, untuk barang dan jasa dengan kategori non-strategis penilaian efisiensi dalam proses produksinya harus menggunakan standar yang digunakan oleh sektor swasta.

JAWABAN TERHADAP TUNTUTAN ZAMAN : lahirnya BLU

Dengan mengacu pada praktek yang dilaksanakan di Eropa, pemerintahan kolonial Belanda menerapkan konsep pembagian peran pemerintah dan swasta dengan jelas. Begitu pula, sesuai dengan pemikiran pada masa itu, dengan pembedaan barang dan jasa publik, semi publik, dan barang jasa swasta.

Dari kacamata Ilmu Hukum Keuangan Negara, keberadaan IBW (Indische Bedrijven Wet) yang menaungi perusahaan-perusahaan pemerintah pada era Hindia Belanda dari segi hukum, pada hakekatnya, merupakan pengakuan bahwa pemerintah bukan hanya memiliki peran sebatas sebagai otoritas, tetapi juga sebagai individu. Di lain pihak, adanya perusahaan-perusahaan yang tunduk pada ketentuan ICW (Indische Comptabiliteits Wet) memberikan gambaran tentang barang-barang dan jasa semi publik yang harus dikelola pemerintah dengan memperhatikan berbagai aspek, khususnya aspek kelembagaan dan anggaran negara.

Dengan berbekal pada kenyataan tersebut di atas, gelombang perubahan yang terjadi di berbagai belahan dunia setelah berakhirnya Perang Dunia ke II di bidang pengelolaan keuangan negara tidak menimbulkan gejolak yang signifikan di Indonesia.

Lahirnya Undang-undang Bidang Keuangan Negara, khususnya Undang-undang Keuangan Negara dan Undang-undang Perbendaharaan Negara merupakan bukti adaptasi berbagai pemikiran yang selama ini ada beserta perkembangannya. Dan lahirnya Undang-undang Perbendaharaan Negara, secara formal, menandai lahirnya suatu lembaga khusus yang kemudian dikenal dengan nama Badan Layanan Umum (BLU).

*
* *

Monday, February 1, 2010

PSIKOLOGIS vs PSIKOLOGIS : solusi rasional dalam penyelesaian kasus Bank Century. (Intermezzo)

INTRODUKSI

Terlepas dari sikap pro kontra para pakar ekonomi dan perbankan tentang kondisi sistemik atau tidak sistemik, menarik kiranya untuk disimak pendapat seorang pakar ekonomi dalam memandang cara penyelesaian kasus yang oleh Menteri Keuangan pada saat itu dianggap sebagai the only and the best solution, yaitu bail-out. Menurut pakar ekonomi tersebut, dan mungkin juga beberapa lainnya yang tentu saja berseberangan, langkah Menteri Keuangan selaku Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) dianggap kurang berdasar, dan bahkan dinyatakan sebagai tindakan yang aneh.

Namun demikian, tentunya kita tak boleh buru-buru bersikap a priori terhadap pandangan tersebut. Terlebih bila kita dapat meyakini bahwa pendapat tersebut dikemukakan oleh pakar yang profesionalitasnya tak lagi diragukan, dan satu lagi, tidak memiliki kepentingan yang bersifat pribadi. Hal yang terakhir ini tampaknya sangat penting, terutama untuk menjamin nilai obyektifitas pandangan yang dikemukakan.

TIDAK TERUKUR

Dalam skandal Bank Century, kalaupun kita dapat menyebutnya seperti itu, masyarakat memang tidak dapat merasakan seberapa besar kekhawatiran yang sebenarnya berkecamuk di benak para pejabat Bank Indonesia ketika mengamati perkembangan situasi perekonomian yang terjadi ketika itu, dikaitkan dengan kondisi kritis beberapa bank. Bahkan, seorang Burhanudin Abdullah yang mantan Gubernur Bank Indonesia, maupun Anwar Nasution yang mantan Deputi Senior pun dianggap tidak lagi memiliki kepekaan untuk mampu merasakan kekhawatiran dimaksud. Perasaan khawatir para petinggi Bank Indonesia inilah yang tampaknya mampu dihayati oleh Menteri Keuangan yang ketika itu juga menjabat sebagai Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK).

Namun, bila kita semua kembali secara lebih teliti mencermati alasan Bank Indonesia untuk menyelamatkan Bank Century, ternyata dasar pijaknya hanyalah tertumpu pada satu faktor dari lima faktor yang dijadikan alat ukur, yaitu faktor psikologis. Faktor ini pada hakekatnya merupakan sikap atau perilaku masyarakat yang diperkirakan akan termanifestasi sebagai akibat meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan yang bisa saja disebabkan karena faktor ekonomi maupun sebagai akibat keputusan otoritas. Sikap masyarakat inilah yang dikhawatirkan oleh Bank Indonesia maupun Menteri Keuangan, yang diyakini akan mampu menjadi pemantik terjadinya kekacauan ekonomi yang, menurut mereka, telah berada pada kondisi sangat sensitif terhadap krisis.

Alasan yang tidak terukur inilah yang kemudian menimbulkan berbagai keraguan di benak masyarakat. Masyarakat merasa sekedar diajak berandai-andai. Dan masyarakat dipaksa untuk dapat memahami berbagai kemungkinan yang menjadi skenario atau diskenariokan oleh para pejabat Bank Indonesia, dan juga Menteri Keuangan. Keraguan masyarakat seperti itu memang tidak dapat dihindarkan. Bukan hanya para pakar ekonomi dan keuangan, masyarakat awam pun mulai merasakan ada yang tampaknya kurang wajar.

Sementara itu, situasi tampaknya bertambah runyam, ketika terjadi perang skenario yang tidak ada habisnya, karena semua pihak dapat saja menyusun berbagai kemungkinan yang dapat terjadi ataupun membantah bahwa yang diskenariokan pemerintah melalui Menteri Keuangan ataupun Bank Indonesia dapat saja tidak akan terjadi.

Padahal, semua pihak menyadari bahwa di bidang ekonomi, penilaian benar-salahnya suatu kebijakan hanya dapat dilakukan secara counter factual, artinya pembuktian baru dapat dilakukan bila semuanya telah terjadi. Lihat saja, misalnya kejadian krisis pada tahun 1997-98, yaitu ketika Bank Indonesia menaikkan suku bunga kredit hingga mencapai tingkat 70%.

Berbagai kajian yang dilakukan oleh para pakar setelah kebijakan tersebut dilakukan oleh Bank Indonesia sesuai dengan saran dan pendapat IMF, justru menyimpulkan hal yang sebaliknya. Yaitu, bahwa bila saja Bank Indonesia ketika itu tidak mengikuti saran IMF untuk menaikkan tingkat suku bunga kredit hingga pada posisi yang demikian ekstrim, tentu tidak akan terjadi krisis yang sedemikian parah. Mengapa demikian? Karena para pakar ekonomi dan juga pakar keuangan mencermati bahwa kebijakan Bank Indonesia pada saat itu justru dianggap memiliki akibat pro siklus yang membuat krisis semakin menjadi-jadi. Dan ini semua baru dapat dibuktikan setelah semuanya berlalu. Setelah masyarakat demikian menderita. Dan setelah pemerintah menanggung kerugian negara triliunan rupiah sebagai akibat BLBI.

ISSU SENTRAL

Kini, dalam skala yang lebih kecil, perdebatan semacam itu pun kemudian muncul. Bagi pemerintah maupun para pakar yang pro pemerintah, rasionalitas pemikiran mereka diarahkan untuk membuktikan bahwa keberhasilan mempertahankan stabilitas di masa krisis keuangan global ini merupakan dampak positif dari kebijakan yang diambil dalam rangka menghindarkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi diklaim sebagai akibat kondisi perekonomian yang kondusif. Dan itu semua merupakan akibat diselamatkannya Bank Century yang langsung maupun tidak langsung, diakui ataupun tidak diakui mampu meredam gejolak masyarakat untuk tidak percaya kepada sistem perbankan yang nantinya diyakini akan mampu merusak sendi-sendi perekonomian negara.

Namun di pihak lain, para pakar ekonomi yang berseberangan justru menertawakan sikap pemerintah beserta para pakar ekonominya yang dipandang justru ingin membodohi masyarakat. Kemampuan perekonomian Indonesia untuk bertahan pada saat itu, menurut mereka, justru karena didukung oleh beberapa faktor. Yang pertama, adalah bahwa ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap ekspor sangat rendah bila dibandingkan dengan tetangga sekitar kita, misalnya Singapura, Thailand, maupun Malaysia. Kedua, kemampuan bertahan ekonomi kita pada saat itu ditopang oleh tingkat pembiayaan sektor pemerintah yang relatif tinggi. Hal ini bisa dilihat antara lain dari derasnya kucuran dana-dana APBN ke sektor-sektor yang langsung bersentuhan dengan ketahanan ekonomi masyarakat.

Namun terlepas dari adanya school of thinking yang berbeda antara Pemerintah (baca: Bank Indonesia dan Menteri keuangan) dan pihak-pihak yang pro maupun yang kontra terhadap situasi yang dinyatakan sistemik tersebut, yang tidak kalah pentingnya untuk disoroti adalah cara penanganan masalah itu sendiri.

Kini, berbagai pihak tampaknya hanya terjebak pada permasalahan uang siapa yang digelontorkan untuk menalangi agar Bank Century tidak kolaps. Berapa besarnya ? Siapa yang bertanggungjawab ? Apakah uang tersebut bisa kembali atau tidak ? Kalau bisa, kapan ? Dan masih seabrek pertanyaan yang tampaknya tidak mungkin dijawab oleh siapapun secara konprehensif dan memuaskan. Belum lagi DPR yang disamping mencoba menarik masalah tersebut ke ranah politik, juga mulai mengaburkan permasalahan pokok dengan menariknya ke berbagai kejadian jauh sebelum terjadinya skandal penggelontoran dana talangan ke Bank Century itu sendiri.

Padahal, bila diamati secara lebih cermat, permasalahan tersebut ternyata dapat lebih disederhanakan. Katakanlah semua pihak kemudian sepakat dengan pendapat Bank Indonesia maupun Ketua KSSK bahwa penutupan Bank Century akan berdampak sistemik yang akan mendorong perekonomian ke dalam lingkaran krisis keuangan global. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah cara yang diambil oleh Pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan, selaku Ketua KSSK, dalam menangani kasus tersebut sudah benar ?

Pertanyaan inilah yang seharusnya dijadikan issu sentral. Oleh karena keputusan yang merupakan kebijakan pejabat pemerintah inilah yang kemudian membawa akibat finansial yang berupa terjadinya pengeluaran uang, entah itu milik negara ataupun milik pihak lain yang berada di bawah kendali negara yang jumlahnya triliunan rupiah. Jumlah yang kemudian mungkin dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, sehingga mengakibatkan terjadinya kerugian negara ataupun pihak lainnya.

LEBIH RASIONAL

Terlepas dari apa yang disimpulkan BPK dalam pemeriksaan baik di Bank Indonesia maupun di Bank Century bahwa penetapan penggelontoran dana talangan tersebut tidak didasarkan pada suatu kriteria terukur, pada kenyataannya memang Sri Mulyani cenderung lebih mendasarkan tindakannya pada kekhawatirannya terhadap sikap psikologis masyarakat yang nantinya justru akan berpengaruh pada faktor-faktor yang terukur.
Sekedar menyegarkan kembali ingatan kita, keputusan Sri Mulyani dalam kapasitasnya sebagai ketua KSSK dalam mengucurkan dana talangan kepada Bank Century didasarkan pada 5 hal, yaitu bahwa bila dana talangan tidak diberikan dikahawatirkan :
o akan merusak lembaga keuangan, khususnya perbankan,
o akan menimbulkan dampak sistemik pada pasar uang,
o akan mengganggu sistem pembayaran karena melemahnya rupiah,
o akan mempengaruhi psikologi pasar, dan
o akan berpengaruh terhadap kegiatan sektor riil.

Hal ini konon tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh para petinggi Bank Indonesia yang intinya terfokus pada psikologi pasar.

Nah, inilah yang kemudian menjadi sangat menarik. Kalau memang psikologi pasar yang dijadikan alasan, kenapa keputusannya justru menggelontorkan dana talangan ?

Disinilah masyarakat mengamati bahwa tampaknya Sri Mulyani mulai kehilangan konsistensi berpikirnya. Berbagai pihak melihat bahwa analisis pemberian dana talangannya lebih didominasi oleh pertimbangan-pertimbangan logis-matematis. Menghitung triliunan kerugian yang mungkin terjadi bila saja keputusan pemberian dana talangan kepada Bank Century tidak dilakukan. Kerugian yang diukur dari besaran uang yang menurut perhitungan akan jauh lebih besar. Inilah konsep yang konon dikenal dengan istilah ‘too big to fail’. Konsep yang, menurut para akademisi, kini sudah mulai dipertanyakan kesahihannya. Bahkan, konon termasuk Lembaga Penjamin Simpanan di Amerika Serikat (FIDC).

Seharusnya, kata seorang pakar ekonomi, Pemerintah (baca: Ketua KSSK) melihat permasalahan dan solusinya secara proporsional. Permasalahan yang dikhawatirkan muncul karena akibat perubahan psikologi masyarakat seharusnya diselesaikan dengan tindakan-tindakan yang juga bersifat psikologis.

Pemerintah seharusnya mampu menemukan suatu cara yang jitu, yang tidak menimbulkan gejolak sosial maupun ekonomis masyarakat.Seorang pakar ekonomi yang pernah menjabat Menteri Keuangan dan juga pernah duduk sebagai Menteri Koordinator Perekonomian, Keuangan, dan Industri di masa lalu, dalam suatu wawancara dengan sebuah stasiun televisi swasta tanggal 21 Januari lalu pun juga membenarkan. Bahkan, dia pun sempat secara serius mempertanyakan, kenapa Pemerintah tidak belajar dari pengalaman masa lalu ?
Sekian tahun lalu, ketika terjadi kasus serupa pada suatu bank swasta dengan skala yang jauh lebih besar dari Bank Century, permainan psikologis oleh Pemerintah dalam meredam kemungkinan gejolak psikologis masyarakat yang dipastikan juga akan sangat berpengaruh terhadap kondisi perekonomian nasional telah sukses ditampilkan. Ketika itu, tiga aktor utama yang berperan mewakili Pemerintah --Menko Ekuin, Deputi Gubernur Bank Indonesia, dan seorang Direktur Utama sebuah bank BUMN terkemuka-- telah bersepakat bermain cantik dihadapan publik.
Deklarasi di hadapan publik yang memberikan jaminan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir uangnya akan hilang karena bank yang bersangkutan telah di-taken over oleh sebuah bank BUMN besar di republik ini, ternyata telah mampu meredam gejolak psikologis masyarakat. Masyarakat tidak melakukan rush. Padahal, masih kata bekas Menko Ekuin tersebut, Pemerintah tidak melakukan apa pun. Tidak sepeser pun uang digelontorkan. Bahkan setengah berkelakar dia mengatakan bahwa tindakan pemerintah itu hanya ’ecek-ecek’.
Memang itulah permainan psikologis. Dan pemerintah mampu memainkan perannya dengan baik. Yang pasti, itu semua karena kemampuan para aktornya untuk meyakinkan masyarakat.
Padahal, konon dalam rapat brainstorming sebelum keputusan penggelontoran dana kepada Bank Century, seorang nara sumber yang kebetulan juga seorang Direktur Utama Bank BUMN besar di Indonesia sempat juga menyampaikan usulan yang kurang-lebih hampir sama. Dia mengatakan bahwa perlu ditegaskan kembali kepada masyarakat bahwa simpanan sampai dengan dua miliar rupiah tetap dijamin pemerintah, sementara itu, deposan yang besar-besar nantinya 'diajak ngobrol'.
Bila dicermati, ini adalah ajakan untuk bermain psikologis seperti masa lalu. Tetapi toh tampaknya respon ke arah itu mungkin tidak cukup memadai.
Nah, akhirnya apa yang dapat dibandingkan dari dua kejadian tersebut ? Semua terserah kepada masyarakat untuk menilai. Yang pasti, Pemerintah akan tetap selalu mengatakan bahwa kondisi yang dihadapi oleh kedua kejadian tersebut sangat berbeda. Dan oleh karena itu, keputusan yang benar adalah yang telah dilakukan oleh Ketua KSSK, yaitu bail out.
Conditio sine qua non adalah jargon dalam ilmu ekonomi yang memang patut selalu dipertimbangkan bagi para pakar ekonomi untuk pengambilan suatu keputusan.
Lha kalau sudah begitu pendapatnya, ya sudahlah !!!

*
* *

Monday, January 18, 2010

ILMU KEUANGAN NEGARA : implementasinya dalam Pemerintahan Daerah di Indonesia ? [1] (Rubrik)


INTRODUKSI

Bila dicermati, berbagai kasus penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan keuangan daerah oleh para pejabat di pemerintahan daerah yang ujung-ujungnya dapat dikategorikan sebagai perbuatan korupsi, antara lain disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap konsepsi pengelolaan keuangan negara oleh para pejabat yang bersangkutan. Di sisi lain, kurangnya pemahaman tersebut justru disebabkan oleh ketidakjelasan konsep pengelolaan keuangan yang dimplementasikan pada pemerintahan daerah.

Ketidakjelasan konsep pengelolaan keuangan yang diimplementasikan pada pemerintahan daerah berakibat pula pada ketidakmampuan pemerintah daerah dalam menyajikan laporan keuangan yang berkualitas dengan opini yang diharapkan, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian.

Terkait dengan itu, pada kesempatan ini disajikan tulisan dengan urutan sebagaimana di bawah ini.


1. DAERAH SEBAGAI MINIATUR NEGARA

Berbagai pemikiran yang menjadi dasar konsep studi tentang keuangan negara telah dikemukakan secara detail dalam beberapa bagian terdahulu. Selanjutnya, mengingat konsep-konsep dimaksud akan diterapkan pada lembaga, yaitu pemerintah, pertanyaan yang harus diklarifikasi pada kesempatan ini adalah siapa sebenarnya yang dimaksudkan dengan pemerintah ?

Dalam suatu kepustakaan yang diterbitkan oleh OECD yang berjudul Managing Public Expenditure - A Reference Book for Transition Countries dengan Richard Allen dan Daniel Tommasi sebagai editor, pemerintah didefinisikan sebagai suatu kelompok entitas atau unit yang, disamping melaksanakan kewajiban politik dan melaksanakan perannya di bidang perekonomian dan di bidang pengaturan kemasyarakatan, menyediakan layanan masyarakat untuk kepentingan warga negara, baik individu maupun kelompok, mendistribusikan kembali pendapatan dan menjamin kesejahteraan masyarakat.

Terkait dengan itu, selanjutnya dinyatakan bahwa dengan peran dan kewajiban seperti tersebut di atas, pemerintah memiliki kewenangan untuk memungut, baik secara langsung maupun tidak langsung, pajak-pajak dan pungutan lainnya yang bersifat memaksa tanpa memberikan imbalan secara langsung dan dalam bentuk apapun kepada masyarakat.

Konsepsi yang terkandung dalam definisi di atas, secara prinsip, tidak berbeda dengan konsepsi sejak lahirnya pemikiran tentang keuangan negara. Oleh sebab itu, definisi tentang pemerintah ataupun negara, yang dalam kepustakaan digunakan secara bergantian, terkait dengan studi keuangan negara dapat ditemukan dalam berbagai kepustakaan sejak zaman klasik.

Menurut para ahli, dalam konteks studi tentang keuangan negara, tidak dibedakan pengertian pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kecuali menyangkut kewilayahan. Hal ini dapat dilihat, misalnya dalam kepustakaan di atas, Richard Allen dan Daniel Tommasi menyatakan bahwa terminologi “Pemerintah” (General government) digunakan untuk mendeskripsikan entitas pemerintah pada tingkatan apa pun, baik untuk tingkat pusat, regional, maupun lokal.

Namun demikian, sekedar untuk mempertegas kedudukan pemerintah daerah dalam hubugannya dengan pemerintah pusat, dapat dilihat pendapatnya sebagai berikut, yaitu bahwa pemerintah daerah pada hakekatnya merupakan sekumpulan lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan atas suatu bagian tertentu dalam kawasan suatu negara. Dalam hal ini pemerintah daerah dapat berupa pemerintahan tingkat ketiga dalam suatu negara federal atau merupakan pemerintahan tingkat kedua atau ketiga dalam suatu negara kesatuan, yaitu, propinsi, kabupaten, maupun walikota.

Sementara itu, Schiavo Campo yang secara eksplisit mendeskripsikan tentang pemerintahan daerah dalam bukunya To Serve and To Preserve: Improving Public Administration in a Competitive World, yang diterbitkan oleh Asian Development Bank (ADB) menyatakan bahwa :
‘ Di bawah pemerintah pusat di setiap negara terdapat entitas pemerintahan daerah yang memiliki kewenangan hukum dan kewenangan administratif yang berbeda sesuai tingkatannya, dan memiliki sumber-sumber pendapatan yang dapat dipergunakan untuk menutup kebutuhannya. Entitas ini terdiri dari propinsi dan kabupaten di tingkat atas dan tingkat menengah. Kewenangan pemerintah daerah dapat berasal dari undang-undang dasar suatu negara atau dari perundang-undangan yang disusun oleh pemerintah pusat.’


Dari berbagai pendapat tersebut di atas, kemudian kita dapat menyusun sebuah pertanyaan untuk mengungkap logika di balik pernyataan yang dikemukakan oleh para ahli keuangan negara, yaitu mengapa mereka tidak membedakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah ?

Menurut kenyataan, para ahli tersebut mendasarkan pandangan mereka pada pemikiran yang bersifat analogik dalam masalah keuangan negara, yaitu bahwa setiap entitas pemerintahan (baik pusat maupun daerah) harus memiliki anggaran pendapatan dan belanja masing-masing yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam undang-undang atau undang-undang dasar.

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa keuangan negara merupakan permasalahan politik. Yaitu permasalahan bagaimana pemerintah mampu mengelola rumah tangga negara dengan baik sesuai kebutuhan warga negara. Dalam konsep ini kemudian lahir suatu bentuk kesepakatan antara yang memerintah (gouvernant) dan yang diperintah (gouverne). Dan ini terjadi pada berbagai tingkat pemerintahan. Tidak hanya di tingkat pemerintah pusat, tetapi juga di tingkat pemerintah daerah. Sementara itu, dalam kenyataan lainnya, mereka juga melihat bahwa pemerintah daerah juga memiliki sumber-sumber pendapatan yang dapat digunakan secara bebas untuk membiayai kebutuhan daerahnya.

Kenyataan seperti itulah yang kemudian membawa pemikiran logik mereka untuk kemudian berpendapat bahwa ‘daerah’, pada hakekatnya, adalah sebuah negara ‘mini’, karena memiliki kelengkapan kelembagaan politik dasar yang memegang fungsi eksekutif dan fungsi legislatif.


2. KONSEPSI DALAM IMPLEMENTASI


Dengan memperhatikan konsepsi maupun pandangan para ahli keuangan negara di atas, tidak seharusnya masih terdapat pihak-pihak tertentu yang berpandangan bahwa sistem pengelolaan keuangan pemerintah daerah berbeda dengan pemerintah pusat.

Seharusnya, semua pihak memahami apa yang dikatakan oleh Dominique FLECHER dan Henri FORT dalam bukunya Les Finances Locales, bahwa angaran pendapatan dan belanja pemerintah daerah tunduk pada prinsip-prinsip yang sama yang digunakan dalam anggaran pendapatan pemerintah pusat. Artinya bahwa pengelolaan keuangan daerah harus mengikuti prinsip universalitas, prinsip anualitas, prinsip spesialitas, dlsb yang merupakan golden principles dalam pengelolaan keuangan negara.

Hal tersebut di atas, sudah tentu akan berimplikasi terhadap masalah-masalah teknis-administratif pengelolaan keuangan itu sendiri di daerah. Tambahan lagi, sebagaimana dinyatakannya pula bahwa, walikota-seperti pula halnya propinsi menampilkan dua karakteristik, yaitu bahwa daerah tersebut merupakan wilayah suatu negara di mana dilaksanakan berbagai keputusan pemerintah pusat.

Pandangan tersebut tampaknya didukung pula oleh Richard Allen dan Daniel Tommasi yang menyatakan bahwa, oleh karena terdapat hubungan yang erat antara anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan juga mengingat bahwa pengeluaran daerah, pajak daerah, maupun kebijakan pinjaman daerah memiliki implikasi yang besar terhadap kinerja perekonomian dan fiskal suatu negara, desain dan penerapan kebijakan tersebut merupakan kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini menteri keuangan.

Kendatipun mereka mengakui bahwa ketentuan tentang proses penganggaran dan prosedur pengelolaan keuangan pada berbagai tingkatan daerah, maupun hubungan fiskal yang demikian kompleks antara pusat dan daerah harus diatur dalam perundang-undangan yang berbeda, undang-undang yang mengatur tentang anggaran pendapatan dan belanja negara harus pula mengatur berbagai ketentuan tentang :

· Prinsip-prinsip dasar pengelolaan keuangan, pengawasan dan audit eksternal, dan juga pengaturan tentang pembagian pendapatan, bila diperlukan.
· Pembatasan tentang pinjaman negara/ daerah
· Methode dan klasifikasi akuntansi anggaran yang memungkinkan koherensi dan berlaku bagi seluruh tingkat pemerintahan.

Namun demikian, diakui pula oleh para ahli bahwa penerapan konsep keuangan negara dalam wilayah pemerintahan daerah sebagai bagian dari suatu negara, membawa akibat terhadap fungsi anggaran pendapatan dan belanja negara yang kemudian berbeda dengan fungsi anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Sebagaimana dikemukakan dalam bagian sebelumnya bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara merupakan alat pemerintah dalam mengendalikan prekonomian nasional (budget is an economic tool of the government). Mekanisme pengendalian tersebut dilakukan melalui kebijakan anggaran defisit, berimbang, ataupun melalui kebijakan anggaran surplus, tergantung pada situasi perekonomian yang dihadapi pada suatu saat tertentu.

Sebagai instrumen pemerintah di bidang ekonomi, anggaran pendapatan dan belanja negara memiliki fungsi stabilisasi yang dapat mendorong ataupun menghambat laju pertumbuhan perekonomian nasional pada tingkatan yang diinginkan sesuai dengan konjungtur atau siklus global perekonomian.

Disamping itu, anggaran pendapatan dan belanja negara, juga memiliki fungsi pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat melalui kegiatan pengeluaran maupun kegiatan penerimaannya.

Oleh karena wilayah pemerintah daerah berada dalam lingkup negara, fungsi-fungsi tersebut tidak secara efektif dapat dilaksanakan oleh anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Dengan demikian, anggaran pemerintah daerah bukanlah alat kebijakan perekonomian daerah. Pemerintah daerah tidak memiliki alat untuk mengendalikan kemerosotan ataupun resesi ekonomi (nasional). Bila terjadi kemerosotan ataupun resesi perekonomian nasional, yang dapat dilakukan pemerintah daerah adalah sekedar mengurangi akibat kemerosotan ataupun resesi tersebut di wilayah itu sendiri sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat. Hal ini seperti dikemukakan oleh Jack Rabin, W. Bartley Hildreth, Gerald J Miller dalam bukunya Budgeting : Formulation and Execution ataupun oleh Dominique FLECHER dan Henri FORT.

Demikian pula halnya, dengan perbatasan wilayah yang terbuka (open boundary) pada kenyataannya berbagai kegiatan pengeluaran yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat yang dilakukan oleh suatu daerah, bukan hanya memberi manfaat atau kesejahteraan kepada penduduk setempat, tetapi juga kepada penduduk di wilayah sekitarnya. Hal yang demikian ini tentunya tidak akan terjadi pada konteks wilayah suatu negara.

Oleh karena itu, bila anggaran pendapatan dan belanja negara merupakan alat pemerintah untuk mengendalikan perekonomian nasional, anggaran pendapatan dan belanja pemerintah daerah lebih merupakan alat administrasi pemerintah daerah. Bila anggaran pendapatan dan belanja negara di bidang ekonomi mengandung kebijakan makro (macro policy oriented), anggaran pendapatan dan belanja pemerintah daerah lebih bersifat mikro-teknis, yaitu sebagai alat pembukuan/ akuntansi.

Hal ini dapat dilihat misalnya, bahwa posisi defisit, berimbang ataupun surplus dalam anggaran pendapatan dan belanja negara, secara teori, adalah suatu kondisi yang disengaja. Posisi tersebut merupakan kebijakan pemerintah untuk mempengaruhi elemen-elemen makro ekonomi lainnya agar berperilaku sesuai keinginan pemerintah.

Akan tetapi, posisi defisit dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan suatu keterpaksaan, karena posisi tersebut merupakan akibat dari situasi di mana pemerintah daerah tidak mampu menutupi pengeluarannya dari penerimaan yang diproyeksikan. Demikian pula halnya dengan posisi surplus. Bagi pemerintah daerah, yang paling ideal adalah bahwa setiap saat, posisi anggaran pendapatan dan belanjanya adalah berimbang.

3. PENGALAMAN INDONESIA

Impementasi konsep keuangan negara dalam pemerintahan daerah di Indonesia secara nyata mulai diwujudkan dalam tahun 2003, yaitu sejak lahirnya Paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara yang terdiri dari Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang No.15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Tanggungjawab Pengelolaan Keuangan Negara.

Undang-undang Keuangan Negara maupun Undang-undang Perbendaharaan Negara, secara khusus, telah mewadahi berbagai pemikiran yang berkembang dalam rangka penerapan konsepsi keuangan negara secara baik ke dalam sistem pemerintahan daerah. Lahirnya paket undang-undang yang monumental tersebut telah pula merubah beberapa undang-undang terkait dengan pemerintahan daerah, yaitu tentang perimbangan keuangan dan pemerintahan daerah.

Namun demikian, dalam kenyataannya berbagai pihak masih tetap berpendapat bahwa keuangan daerah merupakan bagian dari pengelolaan pemerintahan daerah.

Praktek lama yang selama ini dikukuhi sebagai suatu dalil bahwa pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah yang didasarkan pada Indische Comptabiliteits Wet tahun 1925 (ICW), yang dalam beberapa hal, ternyata berbeda dengan praktek pengelolaan keuangan pemerintah pusat, dijadikan sebagai pembenaran bagi pihak-pihak tertentu untuk menyatakan bahwa pengelolaan keuangan daerah pada hakekatnya memang berbeda dengan pengelolaan keuangan negara. Padahal, bila dirunut, praktek tersebut dalam banyak hal lebih disebabkan pada penafsiran yang kurang tepat terhadap ICW, atau kurangnya pemahaman terhadap konsep konsep baru tentang pengelolaan keuangan negara.

Egoisme kelembagaan ataupun egoisme individu yang tidak didasarkan pada kepentingan nasional tersebut justru akan sangat merugikan pemerintah.

Pedoman yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri selalu berubah karena tidak didasarkan pada konsep dasar yang mapan (solid). Salah satunya, sebagaimana disinyalir oleh Bank Dunia dalam laporannya pada tahun 2005 adalah pedoman yang mengatur ketentuan dan format anggaran bagi pemerintah daerah yang terbukti kurang sejalan dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan.

Faktor ini tampaknya merupakan salah satu penyebab lambannya implementasi aturan baru tentang keuangan negara di daerah, disamping menyebabkan kebingungan di antara praktisi di pemerintah daerah.

Demikian pula halnya dengan perbaikan sistem pelaporan keuangan daerah. Kegiatan yang dilakukan sejak lahirnya Paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara pada tahun 2003, hingga kini belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Permasalahan yang muncul di lapangan adalah karena konsep dasar pengelolaan keuangan yang digunakan kurang jelas. Aturan pelaporan keuangan yang disusun Kementerian Dalam Negeri dan dituangan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) sering berbeda dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) yang telah ditetapkan Kementrian Keuangan.

Padahal, berbagai pihak telah menyarankan, termasuk Bank Dunia, agar dalam kerangka peraturan nasional, pemerintah diharapkan menetapkan peraturan daerah yang mengadopsi peraturan nasional yang sudah ditetapkan dan lebih lanjut menetapkan peraturan pelaksanaannya. Artinya bahwa dalam penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pemerintah Daerah agar mengacu pada ketentuan yang telah disusun secara nasional oleh Departemen Keuangan selaku pemegang kewenangan dibidang pengelolaan keuangan negara.

Akibat dari keadaan tersebut sangat jelas terlihat sebagaimana dikemukakan oleh Prof. DR. Anwar Nasution, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam ’papernya’ yang berjudul Perbaikan Pengelolaan Keuangan Negara dan Keuangan Daerah. Dari 459 laporan Keuangan pemerintah Daerah (LKPD) yang disajikan oleh 33 Propinsi dan 426 Kabupaten/ Kota pada tahun 2006, BPK hanya dapat memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap 3 LKPD. Sisanya, 326 LKPD dengan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), 102 LKPD dengan opini Disclaimer (Tidak Memberikan Pendapat), dan 28 LKPD dengan opini Tidak Wajar.

Sementara itu, dari hasil penelitian, perkembangan opini pemeriksaan BPK terhadap LKPD dalam kurun waktu tahun 2004 sampai dengan tahun 2006 menunjukkan kecenderungan yang relatif mengecewakan dengan semakin menurunnya persentase LKPD yang memperoleh opini WTP dan WDP. Sebaliknya, opini Tidak Memberikan Pendapat justru sangat menonjol.

Dalam menanggapi kenyataan seperti itu, Sri Mulyani, sebagai Menteri Keuangan, pada suatu kesempatan memberikan pengarahan menyampaikan agar dilakukan sosialisasi kepada seluruh Pemerintah Daerah tentang rezim pengelolaan keuangan negara baru yang didasarkan pada Undang-undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, dan Undang-undang No.1 Tahun 2004 Tentang perbendaharaan negara, dan juga Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Tanggungjawab Pengelolaan Keuangan Negara. Disamping itu, ketidakmampuan berbagai pemerintah daerah untuk menyusun laporan keuangannya yang disebabkan karena kurangnya tenaga teknis (akuntan), perlu disikapi dengan merekrut dan mendidik tenaga di bidang akuntansi.

Dengan mencermati uraian dalam bagian sebelumnya, arahan Menteri Keuangan tersebut dapat dipastikan tidak akan memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Menteri Keuangan tampaknya cenderung terjebak pada pemikiran/ penyelesaian yang bersifat teknis-administratif. Bukan bersifat konsepsional. Langkah yang dilakukan seharusnya fokus pada dua hal. Pertama, bersifat konsepsional, yaitu terkait dengan kejelasan tentang konsepsi keuangan daerah; kedua, bersifat teknis-administratif, yaitu yang terkait dengan ketersediaan aturan pelaksanaan di bidang keuangan daerah, dan ketersediaan tenaga pelaksana.

KESIMPULAN

Dari pembahasan yang telah kita cermati bersama, kemudian dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :

Bahwa pemikiran untuk meletakkan pengelolaan keuangan daerah ke dalam wilayah administrasi pemerintahan daerah akan cenderung menempatkan keuangan daerah sebagai cabang studi administrasi negara.

Padahal, sisi politis dan sisi hukum keuangan daerah itu sendiri, sejak lahirnya studi keuangan negara, merupakan sisi yang paling menonjol yang justru menjadi alas penyelenggaraan pemerintahan.

Sejak kelahirannya studi tentang keuangan negara berakar pada ilmu politik dan ilmu hukum. Sementara itu, aspek teknis-administratifnya (tata kelolanya) memang mengikuti prinsip ilmu administrasi, sehingga masuk dalam ranah studi administrasi negara.

Keuangan daerah, seperti pula halnya keuangan negara yang merupakan induk bidang studi, bukanlah suatu alat administrasi bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah, melainkan harus merupakan landasan bagi terselenggaranya kegiatan pemerintahan di daerah.


*

* *
[1] Artikel ini merupakan bagian dari Orasi Ilmiah yang disampaikan pada Dies Natalies Universitas Patria Artha, Makassar tanggal 28 Desember 2009 yang disajikan dengan perubahan seperlunya.

Tuesday, October 6, 2009

HAIRCUT UTANG BANK BUMN : suatu catatan untuk (R)UU APBN 2010
(INTERMEZZO)

Lahirnya pemikiran para anggota DPR, khususnya Panitia Anggaran, yang memposisikan bahwa piutang bermasalah bank-bank BUMN masuk ke dalam ranah korporasi akan membuat para bankir yang mengawaki bank-bank plat merah tersebut dapat bernapas lega. Pasalnya, kendala yang selama ini dihadapi bank-bank tersebut dalam melakukan hapus tagih piutang bermasalah akan segera sirna sudah. Dengan demikian, bank-bank plat merah tersebut tidak lagi harus menyisihkan cadangan dalam neracanya yang jumlahnya lumayan besar yang mengakibatkan kinerja keuangan mereka kurang efisien, sehingga melemahkan daya saing mereka terhadap bank-bank swasta.

Konon, dengan dituangkannya klausula tersebut dalam salah satu pasal (R)UU APBN 2010, ke depan bank-bank BUMN tidak lagi harus menunggu proses birokrasi di Kementrian Keuangan yang sangat lama dan tidak memberikan kepastian bila harus menghapuskan piutang bermasalah. Selanjutnya, dengan diberlakukannya ketentuan dalam (R)UU APBN 2010 dimaksud penyelesaian kredit macet di bank-bank BUMN akan tunduk pada UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.


UU APBN sebagai acte condition


Sudah pasti, langkah tersebut kemudian mendapat response positif dari berbagai pihak. Yang jelas, bukan saja dari para bankir plat merah itu sendiri, melainkan juga dari kalangan pengamat ekonomi maupun pengamat hukum yang memandang keputusan tersebut sangat cerdas, dan merupakan terobosan yang mampu memecahkan kebekuan dan ketidakpastian hukum, khususnya di bidang pengelolaan keuangan negara.

Lebih jauh lagi, kita semua seharusnya memang patut bergembira bahwa pada akhirnya, di ujung masa baktinya, para anggota DPR dapat memahami konsep dasar yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya pemikiran dichotomis tentang negara sebagai otoritas dan negara sebagai individu dengan konsekuensi pembedaan kekayaan negara dalam kekayaan negara yang tidak dipisahkan (yang dikelola melalui sistem APBN) dan kekayaan negara yang dipisahkan. Suatu identifikasi yang selama ini ternyata tidak mudah dipahami oleh berbagai pihak, terutama dengan adanya kepentingan masing-masing.

Namun demikian, tanpa bermaksud mengurangi apresiasi terhadap langkah cerdas yang telah diambil para anggota Dewan tersebut di atas, tampaknya ada hal mendasar yang perlu diperhatikan. Konkritnya, penempatan keputusan Panitia Anggaran DPR tentang piutang bermasalah bank BUMN ke dalam ranah korporasi dalam Undang-undang APBN Tahun 2010, ditinjau dari aspek hukum, bukanlah tindakan yang tepat.
Para anggota Dewan dan juga berbagai pihak, seharusnya memahami bahwa undang undang APBN bukanlah undang-undang dalam arti sebenarnya. Kendati tidak dapat dipungkiri bahwa undang-undang APBN adalah produk lembaga legislatif bersama lembaga eksekutif, sejak awal lahirnya pemikiran tentang Keuangan Negara di Eropa, para ahli Keuangan Negara berpendapat bahwa undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara hanyalah merupakan acte condition yang dapat diartikan kurang lebih sebagai ketentuan yang bersifat penetapan (beschiking). Memang, bila dicermati, secara substantif undang-undang APBN hanyalah merupakan penetapan tentang apa-apa yang telah disepakati oleh lembaga eksekutif bersama lembaga legislatif. Penetapan tentang apa yang harus dikerjakan oleh pemerintah dalam suatu periode tertentu. Atau, dalam terminologi yang lebih spesifik, merupakan penetapan pemberian kewenangan parlemen kepada pemerintah.

Dalam kedudukannya sebagai acte condition inilah seringkali undang-undang APBN disalahartikan oleh berbagai pihak selama ini. Undang-undang APBN selalu dipersepsikan dan diperlakukan sebagai lex spesialis bila dihadapkan dengan undang-undang pada umumnya yang bersifat pengaturan (acte regle). Padahal perlakuan tersebut tidak memiliki dasar pijak maupun relevansi dari sudut konsepsi.

Ketentuan alternatif

Pertanyaan mendasar yang mungkin bermanfaat untuk dikemukakan terkait dengan masalah tersebut di atas adalah, apakah undang-undang yang bersifat penetapan dapat merubah undang-undang yang bersifat pengaturan ? Atau dengan kata lain, apakah acte condition dapat merubah acte regle ? Secara pasti, jawabannya adalah tidak. Bila demikian halnya, klausula yang dituangkan dalam pasal 4 (R)UU APBN 2010 yang secara substantif akan merubah pasal 8 Undang-undang No. 49 Tahun 1960 tentang Piutang Negara yang mengecualikan bank-bank BUMN untuk melakukan hapus tagih piutangnya seperti halnya perusahaan negara pada umumnya, tidaklah dapat dibenarkan. Atau, dalam istilah yang lebih populer, keputusan para anggota Dewan tersebut adalah ilegal.

Terkait dengan itu, langkah-langkah yang akan diambil oleh Menteri Keuangan sebagai operasionalisasi ketentuan yang ditetapkan oleh DPR dalam UU APBN 2010 mendatang juga merupakan tindakan ilegal, karena bertentangan dengan undang-undang yang masih berlaku, yaitu Undang-undang No. 49 Tahun 1960.

Kali ini Pemerintah, khususnya Menteri Keuangan sebagai pelaksana (executing agency), harus benar-benar memikirkan akibat yang mungkin terjadi. Bukan hanya terbuai oleh kewenangan, akan tetapi legalitas dari tindakan itu sendiri harus menjadi pertimbangan utama. Jangan sampai kasus-kasus yang terjadi dalam penanganan masalah BPPN ataupun Bank Century yang hingga kini masih menyisakan masalah akan terulang kembali.

Namun, apapun yang terjadi, pemikiran yang dikembangkan para anggota Dewan tersebut perlu disambut gembira dengan antusiaisme yang memadai. Hanya saja, mungkin dari segi format perlu difikirkan kembali. Bila memang demikian halnya, apakah penerbitan Perppu oleh pemerintah bukan mungkin lebih dapat dipertimbangkan ?


*
* *
LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN : SEBUAH LEMBAGA KONTROVERSIAL
(INTERMEZZO)

Pernyataan Direktur eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Firdaus Djaelani, terkait status dana triliunan rupiah yang digelontorkan di awal kisruh Bank Century tampak lebih bernuansa politis ketimbang teknis keuangan. Demikian pula ungkapan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam menanggapi tuduhan para anggota DPR maupun dalam menangkis pendapat seorang kolumnis di sebuah media. Kedua pejabat departemen keuangan tersebut tampaknya mati-matian ingin mengesankan kepada semua pihak bahwa keputusan untuk menyelamatkan Bank Century bukan dengan cara menghamburkan uang rakyat yang secara langsung maupun tidak langsung dibebankan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Mengapa hal tersebut perlu dilakukan ? Bila dicermati, paling tidak terdapat dua hal yang perlu diketahui masyarakat dalam masalah ini. Pertama, bahwa kasus Bank Century bukanlah BLBI jilid 2. Keyakinan ini harus diberikan kepada masyarakat, mengingat masyarakat masih menyimpan trauma atas kasus BLBI yang masih menyisakan beban kepada rakyat sebesar 600 triliun rupiah. Kedua, semacam deklarasi bahwa penanganan masalah Bank Century dilakukan atas dasar professional judgement dan dilaksanakan dengan good governance. Oleh karena itu, Menteri Keuangan dengan entengnya mempersilahkan Badan Pemeriksa Keuangan ataupun Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan audit.

Namun demikian, terlepas dari itu semua setelah kasus tersebut mulai mereda dan tampaknya masyarakat mulai menemukan equilibrium baru tentang masalah Bank Century, kini justru menyeruak pertanyaan ikutan di benak masyarakat luas. Apa sebenarnya kedudukan atau peran LPS yang dibentuk atas dasar Undang-undang No.24 Tahun 2004 dalam pengelolaan kebijakan perekonomian dan keuangan Negara ?

Bukan lembaga negara

Terkait dengan itu, menarik memang apa yang diungkapkan Menteri Keuangan dan dikutip oleh berbagai Media. LPS adalah suatu Badan Hukum. Dan, sebagai badan hukum, LPS memiliki karakteristik seperti badan hukum pada umumnya, misalnya menyangkut visi, misi, motivasi dalam melakukan kegiatan,dan juga terkait dengan pemilikan asset/ kekayaan.

Oleh karena itu, merujuk pasal 81 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS, Menteri Keuangan menyatakan bahwa asset LPS merupakan kekayaan sendiri dan terpisah dari kekayaan negara. Artinya, kendati kekayaan tersebut berasal dari Negara, pengelolaannya dilakukan secara terpisah dan dengan pola yang sangat berbeda.

Itulah sebabnya Menteri Keuangan dengan lantang menyatakan bahwa uang yang digelontorkan ke Bank Century bukan uang Negara. Karena LPS memang bukan representasi Negara. Dan, pernyataan tersebut bukan pula semata-mata karena uang Pemerintah yang ada di LPS relatif lebih kecil dibandingkan dengan dana yang dialirkan untuk menyelamatkan Bank Century yang berasal dari premi.

Sri Mulyani hanya ingin menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan ‘uang negara’ dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan Negara di mana pemerintah/ Negara berperan selaku otoritas, adalah uang yang tertera dalam Undang-undang APBN. Ini adalah pernyataan yang secara eksplisit dinyatakan dalam undang-undang, yaitu Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Sementara itu, dengan mendasarkan pada prinsip industry helps industry, dari sisi misi dan motivasi, LPS memiliki ciri lembaga swasta murni (private sector), sehingga tidak memiliki kewajiban dalam penyediaan layanan publik dalam konteks pemerintahan Negara. LPS menjamin simpanan masyarakat di bank-bank sesuai premi yang dibayarkan. Dan ini, mencegah masyarakat melakukan rush, sehingga secara tidak langsung akan menghindarkan bank-bank dari bahaya collapse. Mekanisme kerja LPS dengan bank didasarkan pada contractual base.
Bila demikian halnya, mengapa para anggota DPR harus sewot ? Mengapa mereka serta merta harus meminta BPK maupun KPK untuk turun tangan melakukan audit dan pemeriksaan. Seharusnya mereka juga tidak perlu membuat polemik dan menyatakan bahwa DPR harus ikut campur, hanya karena di dalam institusi tersebut (LPS) terdapat uang Negara, atau bahkan menuding bahwa seluruh uang hasil premi juga merupakan uang Negara.

Memang harus diakui bahwa kucuran dana dari LPS kepada Bank Century tidak akan pernah terjadi tanpa campur tangan lembaga-lembaga pemerintah semisal Bank Indonesia, Departemen Keuangan, maupun Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Namun dengan dalih bahwa penyelamatan Bank Century menggunakan uang Negara, sehingga DPR perlu campur tangan hanya karena dalam institusi LPS terdapat uang Negara, menunjukkan kerancuan cara berpikir para anggota Dewan dalam memahami konteks ‘Negara’ dalam Undang-undang Keuangan Negara.

Perlu lembaga independen

Penjelasan Menteri Keuangan tentang kedudukan LPS maupun keyakinan berbagai pihak tentang mekanisme pengucuran dana talangan kepada bank yang ditengarai sebagai bank gagal, justru menimbulkan kerancuan pada logika masyarakat tentang LPS itu sendiri. Keterlibatan Bank Indonesia, Departemen Keuangan, dan juga Komite Stabilitas Sistem Keuangan sebagai penentu dikucurkan-tidaknya dana talangan kepada suatu bank yang dinyatakan sebagai bank gagal telah menempatkan LPS pada posisi tidak-lebih sekedar sebagai ‘kasir’.

Keterlibatan Bank Indonesia dalam menentukan operasi penyelamatan bank gagal tidaklah dapat dilihat semata-mata karena ingin menyelamatkan sistem perbankan, terutama dari aspek kelembagaan. Namun, harus dilihat lebih jauh lagi bahwa dibalik itu semua sebenarnya terdapat indikasi kekhawatiran pemerintah bahwa kegagalan suatu bank akan berpengaruh terhadap kondisi moneter di republik ini. Hal ini mengingat bahwa Bank Indonesia merupakan pemegang kebijakan moneter.

Demikian pula halnya dengan Departemen Keuangan. Keterlibatan Menteri Keuangan adalah semata-mata karena Menteri Keuangan sebagai Pengelola Fiskal dan sebagai penanggungjawab stabilitas ekonomi makro tidak ingin gejolak yang diakibatkan oleh sistem perbankan memiliki efek domino terhadap kondisi fiskal dan ekonomi makro.

Jadi, kepentingan nasional inilah yang memaksa pemerintah, termasuk Bank Indonesia, harus menangani bila sistem perbankan terkendala. Bila demikian halnya, dalam skenario yang lebih besar, penyelamatan bank gagal, pada hakekatnya, adalah usaha untuk menghindarkan terancamnya stabilitas perekonomian nasional. Dan ini memang merupakan kewajiban pemerintah.

Yang justru menjadi pertanyaan adalah, bagaimana penyelesaian masalahnya harus diserahkan kepada LPS yang secara kelembagaan bukan mewakili pemerintah ? Ini sesuai pernyataan Darmin Nasution yang tampaknya mengutip pasal 21 ayat (3) UU LPS yang menyatakan bahwa semenjak diputuskan oleh Komite Koordinasi yang bekerja adalah LPS.

Bagaimana Menteri keuangan ataupun pihak-pihak lain harus menjelaskan bahwa dasar filosofi ‘industry helps industry’ (3rd party helps 3rd party) yang ditrapkan pada LPS sebenarnya ditujukan untuk kepentingan yang lebih besar yang perlu diselamatkan, yaitu perekonomian nasional ? Bukan sekedar menyelamatkan bank yang dinyatakan gagal.

Tanpa harus mengedepankan pretensi negatif, satu pertanyaan mendasar dapat pula ditujukan kepada DPR, yaitu, bagaimana UU LPS dahulu dapat disetujui, bila secara substantif mengandung ketidakjelasan sebagaimana dikemukakan di atas ?

Untuk menghindarkan itu semua, seharusnya pemerintah, dan juga DPR, memikirkan perlunya ada suatu lembaga yang secara komprehensif dapat menangani masalah-masalah seperti itu yang mungkin timbul di kemudian hari. Lembaga yang memiliki tanggungjawab dan akuntabilitas yang penuh, dengan tugas dan kewenangan seperti yang mungkin pada saat ini dimiliki oleh KSSK dan Komite Koordinasi, dengan LPS berada di bawah naungannya. Idealnya, lembaga dimaksud adalah suatu lembaga pemerintah dengan independensi dalam pengambilan keputusan, tetapi tidak dengan kekayaan Negara yang dipisahkan.

Harapannya adalah agar di kemudian hari tidak ada lagi saling lempar tanggungjawab antara Bank Indonesia dan Departemen Keuangan seperti saat ini. Demikian pula, kita tidak perlu melihat kejanggalan bahwa Direktur Eksekutif LPS yang nota bene merupakan pimpinan ‘lembaga swasta’ duduk bersama Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan dalam Komite Koordinasi untuk menyerahkan bank gagal ke tangan LPS yang tidak lain adalah dirinya sendiri. Ataupun, kita tidak perlu meragukan pernyataan sebagaimana disampaikan Darmin Nasution bahwa tidak ada permasalahan hukum dalam penggelontoran dana ke Bank Century, karena semua didasarkan pada prinsip good governance, dan semua keputusan didasarkan pada professional judgement.
*
* *